PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,
perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencipakan kondisi
agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan
dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Arif Gosita3
tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.
positif tetapi tindakan negatif terhadap anak masih marak terjadi bahkan eskalatif
hingga pemerkosaan terhadap anak yang setiap hari menempati arus utama berita
ada dengan berbagai harapannya ibarat panggang jauh dari api, persetubuhan
1
Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), halaman 33.
3
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989), halaman
53
1
untuk jadi realis. Intensitasnya semakin tinggi. Anak terkesan barang produksi
layak konsumsi.
jejaring sosial, situs-situs porno lewat internet, pornografi, pornoaksi dan gaya
hidup hippis dan serba permisif, tetapi ada satu pendapat yang paling tidak
precipitation.
Tindakan negatif di atas tidak saja regional tetapi juga universal. Afrika
% dan menurut Departemen Pendikan Amerika Serikat hampir 9,6 % dari siswa
menjadi target kejahatan seksual oleh pendidik selama masa sekolah mereka, di
4
Viktimologi dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan), bahasa Latin victim
(korban) dan logos (ilmu pengetahuan). Secara sederhana viktimologi/ victimology artinya ilmu
pengetahuan tentang korban kejahatan. Lihat Bambang Walyuo, Viktimologi: Perlindungan
Korban & Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), halaman 9.
5
Insestual berasal dari kata inses yang berarti hubungan seksual atau perkawinan antara
dua orang bersaudara kandung yang dianggap melanggar adat, hukum atau agama. Lihat
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008), halaman 539. Kata inses sehari-hari lebih dikenal dengan
sebutan sumbang.
2
mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, di India pelecehan seksual
yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota (kemaluan) laki-laki
Ajaran Islam memandang persetubuhan atas dasar suka sama suka diluar
pernikahan adalah perzinahan terlepas salah satu pelakunya atau keduanya terikat
perkawinan atau tidak dengan orang lain8. Persetubuhan pada dasarnya bukan
perbuatan negatif tetapi perbuatan yang produktif positif bagi manusia bahkan
biologis yang dapat bernilai positif jika dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum, budaya dan agama dan negatif ketika menyimpang dari hal tersebut.
6
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak, diakses tanggal 18
Agustus 2018.
7
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), halaman 209.
8
Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), halaman 119.
9
Kata eksistensi dapat digunakan dalam arti umum untuk menandakan “apa yang ada”,
misalnya dikatakan: eksistensi negara Indonesia, tetapi bagi kalangan para sarjana filsafat kata
eksistensi lazim digunakan untuk menandakan keberadaan manusia saja, yakni cara manusia
berada di dunia sebagai subjek yang konkrit. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), halaman 51.
10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002), halaman 265.
3
Persetubuhan dapat dikatakan sebagai pelanggaran nilai-nilai kesusilaan dan
karenanya juga dikatakan sebagai pelanggaran hukum, sebab, tulis Barda Nawawi
Arief11 bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan
yang minimal (das recht ist das ethische minimum) sedangkan hukum pidana
banyak aduan kekerasan pada anak tahun 2010, dari 171 kasus pengaduan, 67,8 %
terkait kasus kekerasan diantaranya kekerasan seksual sebesar 45,7 persen (53
kasus)14.
Melakukan Persetubuhan dengan Anak yang pelakunya anak dibawah umur yang
Pada Hari Jumat, Tanggal 25 Maret 2016, Sekira Pukul 00.30 Wib, telah
orang tua korban, Dusun V Butrea Desa Sidomulyo Kec Tinggi Raja Kab Asahan,
Dengan cara Terlapor masuk dari pintu depan rumah yang mana pada saat itu
11
Ibid.
12
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasa-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Penerapannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), halaman 25.
13
http://www.klikheadline.com/in/berita/komnas-kasus-kekerasan-anak-terbanyak-di-
sumut.html, diakses tanggal 29 Juli 2018.
14
Ibid.
4
pintu rumah tersebut terbuka, kemudian Terlapor masuk kedalam kamar Korban
yang tidak dalam keadaan terkunci, kemudian Terlapor menciumi leher Korban,
membuka rok dan celana Dalam Korban, setelah itu Terlapor melakukan
hubungan layaknya suami istri terhadap Korban, setelah itu Terlapor pergi
B. Rumusan Masalah
5
BAB II
PEMBAHASAN
pemaksaan yang lebih dikenal dengan pemerkosaan dan dapat dilakukan tanpa
persetubuhan secara umum terhadap orang yang dewasa dan anak-anak dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan secara khusus jika dilakukan
Perlindungan Anak serta jika dilakukan terhadap orang yang masih termasuk
15
C.S.T. Kansil, Op.Cit, halaman 245.
6
bilamana orang mengatakan hukum pidana maka pada umumnya yang dimaksud
Hukum pidana materil adalah hukum yang berisi tentang aturan tingkah
laku (perbuatan) yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan
hukum pidana materil berisi peraturan-peraturan tentang perbuatan apa yang dapat
materil mengatur tentang apa, siapa dan bagaimana orang dapat dihukum19.
seksual yang umum dilakukan untuk memperoleh kenikmatan seksual atau untuk
16
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur oleh M. S. Djindang, Jakarta,
PT. Ichtiar Baru, 1983, halaman 388.
17
E. Y. Kanter & S. R. Sianturi, Op.Cit, halaman 20.
18
Satochid Kartanegara, Op.Cit, halaman 1
19
C.S.T. Cansil, Op.Cit, halaman 249.
20
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan
Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), dan R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan
KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Rajawali Pers,
2003), mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesusilaan” sedangkan R. Soesilo, Op.Cit,
mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesopanan”.
21
Andi Hamzah II, Op.Cit, halaman 150.
7
proses memperoleh anak. Persetubuhan dengan demikian bukanlah sebuah bentuk
merupakan kebutuhan kodrati. Sifat jahat terhadap aktifitas seksual ini kemudian
melekat jika itu dilakukan tidak sesuai dengan hukum sehingga disebutlah
perbedaan prinsipil secara yuridis. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang
perbuatan itu dinilai sebagai pelanggaran kesusilaan dalam ruang lingkup nasfu
cabul dengan demikian lebih mengandung pengertian yang lebih luas dari
perbuatan cabul tetapi perbuatan cabul tidak selalu dapat dikatakan persetubuhan.
22
R. Soesilo, Op.Cit, halaman 212.
23
Neng Djubaidah, Op.Cit, halaman 75.
8
memiliki perbedaan. Tindak pidana pencabulan terhadap orang dewasa diatur
dalam Pasal 28924, Pasal 290 ayat (1)25, Pasal 294 ayat (2) KUHP26, sedangkan
pencabulan yang dilakukan khusus terhadap orang belum cukup umur 15 tahun
diatur dalam Pasal Pasal 290 ayat (2) dan (3) KUHP27, pencabulan terhadap orang
yang belum dewasa diatur dalam Pasal 29228, Pasal 29329 dan Pasal 294 ayat (1)
KUHP30, sementara itu ketentuan Pasal 295 KUHP31 adalah mengatur tentang
24
Pasal 289 KUHP berbunyi: barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul,
dihukum karena merusak kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan.
25
Pasal 290 ayat 1 KUHP berbunyi: Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh
tahun dihukum: 1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
26
Pasal 294 ayat (2) KUHP berbunyi: 2. Dengan hukuman yang serupa dihukum: (1)
Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau
dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga. (2) Pengurus, dokter,
guru, pegawai/pejabat, pengawas, atau pembantu suatu lembaga pemasyarakatan, lembaga kerja
negara, lembaga pendidikan, rumah yatim piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa, atau lembaga-
lembaga kebajikan, yang melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan seseorang
yang dimasukkan ke dalamnya.
27
Pasal 290 ayat 2 dan 3 KUHP berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun: (2) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. (3) Barangsiapa membujuk
seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diduga bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin,
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan
dengan orang lain.
28
Pasal 292 KUHP berbunyi: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain sesama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum dewasa,
diancam pidana penjara paling lama lima tahun.
29
Pasal 293 KUHP berbunyi: (1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang
atau barang, menyelahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaaan, atau dengan
menyesatkan sengaja menggerakkan seseorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum
kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap
dirinya dilakukan kejahatan itu. (3)Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah
masing-masing 9 (sembilan) bulan dan 12 (dua belas) bulan.
30
Pasal 294 ayat (1) KUHP berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan
anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau
dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa , diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
31
Pasal 295 KUHP berbunyi: 1. Diancam: (1.1) Dengan pidana penjara paling lama lima
tahun, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul
oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak yang dibawah pengawasannya yang belum
9
menyebabkan/memudahkan pencabulan oleh anaknya, anak tirinya, anak
angkatnya atau anak asuhnya yang belum dewasa dengan pihak ketiga orang lain
dan jika mangadakan atau memudahkan perbuatan cabul itu menjadi pencaharian
atau kebiasaan diatur dalam Pasal 296 KUHP32. Keseluruhan pasal-pasal terkait
tindak pidana pencabulan dalam KUHP dimaksud tidak akan dibahas dalam
tulisan ini secara luas, karena focus pembahasan tulisan ini adalah tentang tindak
menakutkan.
b. Statory rape, yaitu hubungan seksual yang telah dilakukan dengan seorang
perempuan tersebut.
dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan
orang lain. (1.2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas,
yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya
demikian, dengan orang lain. 2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian
atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
32
Pasal 296 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai
pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
33
Neng Djubaidah, Op.Cit, hlm. 259-260.
10
c. Fornication, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang tidak
e. Incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, antar
perempuan;
jenis kelaminnya;
11
B. Kendala Pembuktian Terhadap Kasus Persetubuhan Kepada Anak Sebagai
beberapa kendala yang dihadapi oleh pihak penyidik dalam mengungkap tindak
pidana kekerasan seksual pada anak di Polres Asahan, Kabupaten Asahan yaitu:
1. Kendala yang pertama adalah ketika pelaku tindak pidana kekerasan seksual
pada anak mengetahui bahwa dirinya telah dilaporkan oleh korban ke polisi.
Pelaku yang telah dilaporkan biasanya akan melarikan diri dan bersembunyi
mengalami kesulitan dalam mencari si pelaku yang telah melarikan diri dan
melakukan koordinasi dengan Polda Sumut untuk melacak para pelaku dari
tindak pidana kekerasan seksual pada anak yang sering melarikan diri ke
seluruh daerah Sumatera Utara. Jika tidak membuahkan hasil yang nyata,
maka pihak Polda Sumut akan berbagi informasi DPO kepada seluruh Polres
yang ada di Indonesia untuk melacak keberadaan pelaku yang melarikan diri
tersebut.
perkara sesuai target waktu yang diberikan. Misalnya: untuk berkas dari
12
tindak pidana KDRT target yang diberikan adalah satu bulan akan tetapi
berkas tersebut dapat terselesaikan atau terungkap sebelum dari waktu satu
bulan. Lain halnya dengan tindak pidana kekerasan seksual diberikan waktu
satu bulan akan tetapi tidak dapat terungkap sebelum dari satu bulan. Berkas
terdapat didalam Unit PPA Polres Asahan adalah hanya 6 (enam) orang
Kabupaten Asahan dan dalam kondisi sekarang, satu orang penyidik harus
ekstra keras. Jumlah personel tersebut berbanding jauh dengan besar wilayah
mengetahui wajah dan sinyal handphone yang telah tidak aktif. Informasi
yang di dapatkan oleh para penyidik hanyalah sekedar informasi seputar ciri-
ciri fisiknya, alamat rumah, nomor telepon, keberadaan sementara dari pelaku
13
keluarga korban seringkali berbeda dengan hasil penelusuran pihak penyidik
dilapangan.
keterangan dari si korban yang memiliki trauma berat. Trauma berat yang
dialami seorang anak sangat rentan untuk di minta keterangan atas tindak
trauma psikis yang berat adalah korban dari tindak pidana kekerasan seksual
pada anak, salah satu langkah penyidik mendapatkan alat bukti dari adanya
tindak pidana kekerasan seksual pada anak adalah dengan melakukan visum.
pihak penyidik, akan tetapi sebagian besar korban beserta keluarganya yang
melakukan visum adalah berasal dari keluarga yang kurang mampu dalam hal
membayar proses visum yang cukup mahal. Pihak korban dan kelurganya
yang merasa keberatan adalah keluarga dari korban yang mengalami trauma
berat. Visum yang dilakukan mengeluarkan biaya rata-rata sekitar Rp. 60.000
Laporan Polisi yang dibuat oleh korban dan keluarganya dan pihak SPKP
14
memproses dengan membuat surat permohonan kepada kepala Rumah Sakit
untuk melakukan visum kepada korban tindak pidana tersebut. Apabila tidak
terdapat surat permohonan dari SPKP maka hasil visum yang dilakukan oleh
pada anak di Unit PPA Polres Asahan yaitu tempat penyidikan yang sempit,
ruang penyidikan yang kurang maksimal, terbatasnya dana atau biaya untuk
tindak pidana, apa dan bagaimana pengaruh dari perbuatan pidana yang
mendatang, pengaruh tindak pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan
menjatuhkan pidana.
15
Tindakan terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau
yang berupa penghukuman. Ketika seseorang dirugikan oleh yang lain maka Ia
besarnya kerugian yang diderita dan posisi sosialnya dari yang dirugikan itu.
Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dari pembayaran ini atau
memilih menjalani pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda, hal ini
Penulis menarik kesimpulan bahwa, dalam hal ini ditinjau dan segi
efektivitasnya, maka pidana denda yang menyertai pidana penjara pada perkara
tidak efektif. Hal ini disebabkan karena terdakwa merasa lebih ringan menjalani
dijatuhkan yang dimana dalam perkara ini terdakwanya hampir semua adalah
16
Penjatuhan pidana denda dalam kasus tersebut diatas, tidak mencapai
tujuan yang diharapkan yakni memberikan ganti rugi kepada korban, karena
denda.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
pertama, KUHP pada Pasal 285, Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 288; kedua,
UURI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 81; dan
Rumah Tangga pada Pasal 46 dan Pasal 47. Sejak berlaku Undang-Undang
Polres Asahan;
18
f. Pihak korban dan kelurga yang akan melakukan proses visum untuk
Korban dan Anak Sebagai Pelaku adalah dengan Hakim memberikan pidana
terhadap korban putusan dalam perkara tersebut diatas telah sesuai dengan
ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materil dan
B. Saran
anak dan tindak pidana persetubuhan pada anak, hal ini dimaksudkan demi
terhadap anak yang menjadi korban dari tindak pidana persetubuhan pada
19
3. Diharapkan kepada aparat penegak hukum untuk mencermati kasus-kasus
partisipasi aktif dari korban dan iktikad baik terdakwa misalnya perlu
keadilan.
20
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku.
Grafika, 2011)
2010)
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT.
21
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi
B. Undang-Undang
22