Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi,

secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi1. Maidin Gultom2 menyatakan,

perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencipakan kondisi

agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan

dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Arif Gosita3

mengatakan bahwa hukum perlindungan anak adalah hukum (tertulis maupun

tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan

kewajibannya.

Meskipun perlindungan anak telah diletakkan dalam tataran normatif

positif tetapi tindakan negatif terhadap anak masih marak terjadi bahkan eskalatif

misalnya penelantaran, penyiksaan, diskriminasi, pencabulan, persetubuhan

hingga pemerkosaan terhadap anak yang setiap hari menempati arus utama berita

disamping korupsi dan penyalahgunaan psikotropika dan narkotika. Regulasi yang

ada dengan berbagai harapannya ibarat panggang jauh dari api, persetubuhan

terhadap anak tidak tereliminasi bahkan meminimalisasinya seperti terlalu utopis

1
Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), halaman 33.
3
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989), halaman
53
1
untuk jadi realis. Intensitasnya semakin tinggi. Anak terkesan barang produksi

layak konsumsi.

Eskalasi tindakan persetubuhan terhadap anak disinyalir karena pengaruh

jejaring sosial, situs-situs porno lewat internet, pornografi, pornoaksi dan gaya

hidup hippis dan serba permisif, tetapi ada satu pendapat yang paling tidak

terbantahkan tingkat kebenarannya bahwa korban sendirilah yang merupakan

faktor kriminogen (turut menjadi penyebab terjadinya kejahatan berupa

persetubuhan) atau dalam perspektif viktimologi4 sering disebut victim

precipitation.

Tindakan negatif di atas tidak saja regional tetapi juga universal. Afrika

Selatan misalnya adalah tempat kasus pemerkosaan terbesar di dunia, pelecehan

seksual terhadap anak di Amerika diperkirakan menembus angka 8 % hingga 71

% dan menurut Departemen Pendikan Amerika Serikat hampir 9,6 % dari siswa

menjadi target kejahatan seksual oleh pendidik selama masa sekolah mereka, di

Inggris pelecehan seksual terhadap anak mencapai 12 %, Finlandia berdasarkan

survey tahun 1992 mengungkap kasus insestual5 yang sangat menyolok, di

Taiwan berdasarkan satu survei, 2,5% remaja Taiwan melaporkan telah

4
Viktimologi dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan), bahasa Latin victim
(korban) dan logos (ilmu pengetahuan). Secara sederhana viktimologi/ victimology artinya ilmu
pengetahuan tentang korban kejahatan. Lihat Bambang Walyuo, Viktimologi: Perlindungan
Korban & Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), halaman 9.
5
Insestual berasal dari kata inses yang berarti hubungan seksual atau perkawinan antara
dua orang bersaudara kandung yang dianggap melanggar adat, hukum atau agama. Lihat
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2008), halaman 539. Kata inses sehari-hari lebih dikenal dengan
sebutan sumbang.
2
mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, di India pelecehan seksual

pada anak mencapai 53,22 %6.

Persetubuhan dalam ilmu biologi dikenal dengan istilah senggama.

Persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan

yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota (kemaluan) laki-laki

harus masuk kedalam anggota (kemaluan) perempuan, sehingga mengeluarkan air

mani sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5 Pebruari 1912 (W.9292)7.

Ajaran Islam memandang persetubuhan atas dasar suka sama suka diluar

pernikahan adalah perzinahan terlepas salah satu pelakunya atau keduanya terikat

perkawinan atau tidak dengan orang lain8. Persetubuhan pada dasarnya bukan

perbuatan negatif tetapi perbuatan yang produktif positif bagi manusia bahkan

hewan untuk kelangsungan eksistensi hidup9. Persetubuhan adalah perbuatan

biologis yang dapat bernilai positif jika dilakukan sesuai dengan ketentuan

hukum, budaya dan agama dan negatif ketika menyimpang dari hal tersebut.

Persetubuhan adalah delik (tindak pidana) yang tergolong delik kesusilaan.

Delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan kesusilaan10.

6
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelecehan_seksual_terhadap_anak, diakses tanggal 18
Agustus 2018.
7
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), halaman 209.
8
Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), halaman 119.
9
Kata eksistensi dapat digunakan dalam arti umum untuk menandakan “apa yang ada”,
misalnya dikatakan: eksistensi negara Indonesia, tetapi bagi kalangan para sarjana filsafat kata
eksistensi lazim digunakan untuk menandakan keberadaan manusia saja, yakni cara manusia
berada di dunia sebagai subjek yang konkrit. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), halaman 51.
10
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002), halaman 265.
3
Persetubuhan dapat dikatakan sebagai pelanggaran nilai-nilai kesusilaan dan

karenanya juga dikatakan sebagai pelanggaran hukum, sebab, tulis Barda Nawawi

Arief11 bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan

yang minimal (das recht ist das ethische minimum) sedangkan hukum pidana

beranjak dari suatu “batas etik minimum”12.

Secara umum Provinsi Sumut peringkat pertama bagi kasus kekerasan

pada anak sepanjang 2012, tercatat 38 % kekerasan anak di Indonesia terjadi di

Sumut menyusul di bawahnya Provinsi NTT 28 % kemudian provinsi lain

termasuk Jabodetabek13. Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan

banyak aduan kekerasan pada anak tahun 2010, dari 171 kasus pengaduan, 67,8 %

terkait kasus kekerasan diantaranya kekerasan seksual sebesar 45,7 persen (53

kasus)14.

Contoh kasusnya adalah suatu kasus di Polres Asahan dengan kasus

Melakukan Persetubuhan dengan Anak yang pelakunya anak dibawah umur yang

berisial R. P. D yang duduk perkaranya sebagai berikut:

Pada Hari Jumat, Tanggal 25 Maret 2016, Sekira Pukul 00.30 Wib, telah

terjadi tindak pidana Persetubuhan Terhadap Anak Di Bawah Umur, di rumah

orang tua korban, Dusun V Butrea Desa Sidomulyo Kec Tinggi Raja Kab Asahan,

Dengan cara Terlapor masuk dari pintu depan rumah yang mana pada saat itu

11
Ibid.
12
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasa-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Penerapannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), halaman 25.
13
http://www.klikheadline.com/in/berita/komnas-kasus-kekerasan-anak-terbanyak-di-
sumut.html, diakses tanggal 29 Juli 2018.
14
Ibid.
4
pintu rumah tersebut terbuka, kemudian Terlapor masuk kedalam kamar Korban

yang tidak dalam keadaan terkunci, kemudian Terlapor menciumi leher Korban,

membuka rok dan celana Dalam Korban, setelah itu Terlapor melakukan

hubungan layaknya suami istri terhadap Korban, setelah itu Terlapor pergi

meninggalkan Korban di TKP. Akibat dari kejadian tersebut korban mengalami

luka robek di Kemaluan Korban.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar Belakang diatas maka rumusan masalah yang

akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak

Menurut Hukum Pidana di Indonesia?

2. Bagaimana Kendala Pembuktian Terhadap Kasus Persetubuhan Kepada Anak

Sebagai Korban dan Anak Sebagai Pelaku?

3. Bagaimana Penegakan Hukum Tindak Pidana Kasus Persetubuhan Kepada

Anak Sebagai Korban dan Anak Sebagai Pelaku?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut

Hukum Pidana di Indonesia

Pada umumnya perbuatan persetubuhan dapat dilakukan dengan

pemaksaan yang lebih dikenal dengan pemerkosaan dan dapat dilakukan tanpa

pemaksaan. Hukum positif yang berlaku di Indonesia telah mengatur perbuatan

persetubuhan secara umum terhadap orang yang dewasa dan anak-anak dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan secara khusus jika dilakukan

terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak serta jika dilakukan terhadap orang yang masih termasuk

dalam hubungan keluarga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Aturan Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana. Pada umumnya jika membicarakan tentang

hukum pidana, maka yang dimaksudkan ialah peraturan-peraturan pidana yang

terkumpul dalam suatu kitab yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

disingkat KUHP (Wetboek van Strafrecht = H.v.S)15. E. Utrech mengatakan,

15
C.S.T. Kansil, Op.Cit, halaman 245.
6
bilamana orang mengatakan hukum pidana maka pada umumnya yang dimaksud

adalah hukum pidana materiil16.

Hukum pidana materil adalah hukum yang berisi tentang aturan tingkah

laku (perbuatan) yang diancam dengan pidana, siapa yang dapat dipidana dan

berbagai macam pidana yang dapat dijatuhkan17. Satochid Kartanegara menulis,

hukum pidana materil berisi peraturan-peraturan tentang perbuatan apa yang dapat

dipidana (masalah tindak pidana-pen), siapa-siapa yang dapat dipidana (masalah

pertanggungjawaban pidana-pen) dan hukuman apa yang dapat dijatuhkan

terhadap pelanggar hukum (penjatuhan pidana-pen)18. Singkatnya hukum pidana

materil mengatur tentang apa, siapa dan bagaimana orang dapat dihukum19.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang lebih dikenal dengan

KUHP memasukkan perbuatan persetubuhan sebagai kejahatan terhadap

kesusilaan atau kejahatan terhadap kesopanan20. Andi Hamzah21 menyatakan

bahwa kesusilaan (goede zeden) adalah kesusilaan moral dengan norma

kesopanan, khususnya dibidang seksual.

Persetubuhan secara sederhana diartikan sebagai aktifitas/hubungan

seksual yang umum dilakukan untuk memperoleh kenikmatan seksual atau untuk

16
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur oleh M. S. Djindang, Jakarta,
PT. Ichtiar Baru, 1983, halaman 388.
17
E. Y. Kanter & S. R. Sianturi, Op.Cit, halaman 20.
18
Satochid Kartanegara, Op.Cit, halaman 1
19
C.S.T. Cansil, Op.Cit, halaman 249.
20
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan
Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), dan R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan
KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Rajawali Pers,
2003), mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesusilaan” sedangkan R. Soesilo, Op.Cit,
mempergunakan istilah “kejahatan terhadap kesopanan”.
21
Andi Hamzah II, Op.Cit, halaman 150.
7
proses memperoleh anak. Persetubuhan dengan demikian bukanlah sebuah bentuk

kejahatan tapi merupakan perbuatan manusiawi karena lumrah dilakukan bahkan

merupakan kebutuhan kodrati. Sifat jahat terhadap aktifitas seksual ini kemudian

melekat jika itu dilakukan tidak sesuai dengan hukum sehingga disebutlah

perbuatan itu sebagai kejahatan seksual.

Terminologi persetubuhan dan terminologi pencabulan memiliki

perbedaan prinsipil secara yuridis. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang

melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam

lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota

kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya22. Menurut J. M. Van

Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Neng Djubaedah23, mengemukakan bahwa

perbuatan cabul itu termasuk persetubuhan dan homoseksualitas atau perbuatan

cabul yang bertentangan dengan alam.

Perbuatan cabul tidak mengharuskan adanya hubungan kelamin asal saja

perbuatan itu dinilai sebagai pelanggaran kesusilaan dalam ruang lingkup nasfu

berahi, tetapi persebutuhan mengharuskan adanya hubungan kelamin. Perbuatan

cabul dengan demikian lebih mengandung pengertian yang lebih luas dari

pengertian persetubuhan sehingga dikatakan bahwa persetubuhan termasuk

perbuatan cabul tetapi perbuatan cabul tidak selalu dapat dikatakan persetubuhan.

KUHP secara tegas memisahkan pengaturan perihal persetubuhan dengan

perbuatan cabul mengindikasikan bahwa kedua perbuatan ini secara hukum

22
R. Soesilo, Op.Cit, halaman 212.
23
Neng Djubaidah, Op.Cit, halaman 75.
8
memiliki perbedaan. Tindak pidana pencabulan terhadap orang dewasa diatur

dalam Pasal 28924, Pasal 290 ayat (1)25, Pasal 294 ayat (2) KUHP26, sedangkan

pencabulan yang dilakukan khusus terhadap orang belum cukup umur 15 tahun

diatur dalam Pasal Pasal 290 ayat (2) dan (3) KUHP27, pencabulan terhadap orang

yang belum dewasa diatur dalam Pasal 29228, Pasal 29329 dan Pasal 294 ayat (1)

KUHP30, sementara itu ketentuan Pasal 295 KUHP31 adalah mengatur tentang

24
Pasal 289 KUHP berbunyi: barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul,
dihukum karena merusak kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan.
25
Pasal 290 ayat 1 KUHP berbunyi: Dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh
tahun dihukum: 1. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
26
Pasal 294 ayat (2) KUHP berbunyi: 2. Dengan hukuman yang serupa dihukum: (1)
Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawah perintahnya atau
dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga. (2) Pengurus, dokter,
guru, pegawai/pejabat, pengawas, atau pembantu suatu lembaga pemasyarakatan, lembaga kerja
negara, lembaga pendidikan, rumah yatim piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa, atau lembaga-
lembaga kebajikan, yang melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan seseorang
yang dimasukkan ke dalamnya.
27
Pasal 290 ayat 2 dan 3 KUHP berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun: (2) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang padahal diketahuinya
atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya
tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. (3) Barangsiapa membujuk
seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya diduga bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin,
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan
dengan orang lain.
28
Pasal 292 KUHP berbunyi: Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain sesama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum dewasa,
diancam pidana penjara paling lama lima tahun.
29
Pasal 293 KUHP berbunyi: (1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang
atau barang, menyelahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaaan, atau dengan
menyesatkan sengaja menggerakkan seseorang belum dewasa dan baik tingkah-lakunya, untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum
kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap
dirinya dilakukan kejahatan itu. (3)Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah
masing-masing 9 (sembilan) bulan dan 12 (dua belas) bulan.
30
Pasal 294 ayat (1) KUHP berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan
anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau
dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa , diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
31
Pasal 295 KUHP berbunyi: 1. Diancam: (1.1) Dengan pidana penjara paling lama lima
tahun, barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul
oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya atau anak yang dibawah pengawasannya yang belum
9
menyebabkan/memudahkan pencabulan oleh anaknya, anak tirinya, anak

angkatnya atau anak asuhnya yang belum dewasa dengan pihak ketiga orang lain

dan jika mangadakan atau memudahkan perbuatan cabul itu menjadi pencaharian

atau kebiasaan diatur dalam Pasal 296 KUHP32. Keseluruhan pasal-pasal terkait

tindak pidana pencabulan dalam KUHP dimaksud tidak akan dibahas dalam

tulisan ini secara luas, karena focus pembahasan tulisan ini adalah tentang tindak

pidana persetubuhan. James A. Inciardi sebagaimana dikutip oleh Neng

Jubaidah33, merumuskan beberapa hubungan seksual yang termasuk kejahatan

seksual (sexual offences) diantaranya:

a. Forcible rape, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang

perempuan dengan menggunakan ancaman pemaksaan dan kekerasan yang

menakutkan.

b. Statory rape, yaitu hubungan seksual yang telah dilakukan dengan seorang

perempuan di bawah usia yang ditentukan (biasanya 16 tahun atau 18

tahun, tetapi kadang-kadang 14 tahun) dengan atau tanpa persetujuan dari

perempuan tersebut.

dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan
orang lain. (1.2) Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan sengaja
menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas,
yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya
demikian, dengan orang lain. 2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencaharian
atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
32
Pasal 296 KUHP berbunyi: Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai
pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
33
Neng Djubaidah, Op.Cit, hlm. 259-260.
10
c. Fornication, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang tidak

(belum) dalam ikatan perkawinan.

d. Adultery, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan, sekurang-kurangnya salah satu dari mereka terikat perkawinan

dengan orang lain.

e. Incest, yaitu hubungan seksual antara orang tua dengan anaknya, antar

saudara kandung, atau antara hubungan darah yang relatif dekat.

f. Sodomy, yaitu perbuatan-perbuatan hubungan seksual yang meliputi:

1) Fellatio, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks laki-laki;

2) Cunnilingus, yaitu hubungan oral seksual dengan organ seks

perempuan;

3) Buggery, yaitu penetrasi melalui anus;

4) Homosexuality, yaitu hubungan seksual antara orang-orang yang sama

jenis kelaminnya;

5) Bestiality, yaitu hubungan seksual dengan binatang;

6) Pederasty, yaitu hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan

seorang anak laki-laki secara tidak alamiah;

7) Necrophilia, yaitu hubungan seksual dengan mayat.

11
B. Kendala Pembuktian Terhadap Kasus Persetubuhan Kepada Anak Sebagai

Korban dan Anak Sebagai Pelaku

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis terdapat

beberapa kendala yang dihadapi oleh pihak penyidik dalam mengungkap tindak

pidana kekerasan seksual pada anak di Polres Asahan, Kabupaten Asahan yaitu:

1. Kendala yang pertama adalah ketika pelaku tindak pidana kekerasan seksual

pada anak mengetahui bahwa dirinya telah dilaporkan oleh korban ke polisi.

Pelaku yang telah dilaporkan biasanya akan melarikan diri dan bersembunyi

di daerah/kota tertentu sebelum ditangkap oleh penyidik. Penyidik sering

mengalami kesulitan dalam mencari si pelaku yang telah melarikan diri dan

menjadi buronan tersebut. Pihak penyidik dari Polres Asahan telah

melakukan koordinasi dengan Polda Sumut untuk melacak para pelaku dari

tindak pidana kekerasan seksual pada anak yang sering melarikan diri ke

seluruh daerah Sumatera Utara. Jika tidak membuahkan hasil yang nyata,

maka pihak Polda Sumut akan berbagi informasi DPO kepada seluruh Polres

yang ada di Indonesia untuk melacak keberadaan pelaku yang melarikan diri

tersebut.

2. Kendala kedua adalah pihak penyidik memiliki keterbatasan waktu dalam

memproses berkas dari tindak pidana tersebut. Dengan keterbatasan waktu

yang diberikan untuk mengungkap tindak pidana tersebut, pihak penyidik

mengalami kesulitan untuk menyelesaikan berkas perkara seusia target yang

di tentukan. Berbeda seperti kasus KDRT yang dapat menyelesaikan berkas

perkara sesuai target waktu yang diberikan. Misalnya: untuk berkas dari
12
tindak pidana KDRT target yang diberikan adalah satu bulan akan tetapi

berkas tersebut dapat terselesaikan atau terungkap sebelum dari waktu satu

bulan. Lain halnya dengan tindak pidana kekerasan seksual diberikan waktu

satu bulan akan tetapi tidak dapat terungkap sebelum dari satu bulan. Berkas

tersebut baru dapat selesai atau terungkap setelah berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun. Hal tersebut dikarenakan jumlah atau kuota dari penyidik

mengalami kekurangan personel. Saat ini, jumlah personel penyidik yang

terdapat didalam Unit PPA Polres Asahan adalah hanya 6 (enam) orang

penyidik yang mengungkap tindak pidana kekerasan seksual pada anak di

Kabupaten Asahan dan dalam kondisi sekarang, satu orang penyidik harus

mengungkap sekitar 9-10 Laporan Polisi sehingga penyidik harus bekerja

ekstra keras. Jumlah personel tersebut berbanding jauh dengan besar wilayah

dari Kabupaten Asahan dan jumlah penduduknya sehingga dalam

pelaksanaan pengungkapan tindak pidana kekerasan seksual pada anak di

Kabupaten Asahan masih kurang maksimal.

3. Kendala ketiga adalah kurang mendapatkan informasi tentang si pelaku juga

semakin mempersulit pihak penyidik dalam menemukan si pelaku. Pihak

penyidik kesulitan melacak keberadaan pelaku yang melarikan diri tanpa

mengetahui wajah dan sinyal handphone yang telah tidak aktif. Informasi

yang di dapatkan oleh para penyidik hanyalah sekedar informasi seputar ciri-

ciri fisiknya, alamat rumah, nomor telepon, keberadaan sementara dari pelaku

sehingga penyidik sulit mengetahui secara jelas. Hal tersebut dikarenakan

juga banyaknya informasi yang diberikan dari kerabat pelaku, korban,

13
keluarga korban seringkali berbeda dengan hasil penelusuran pihak penyidik

dilapangan.

4. Kendala yang keempat adalah pihak penyidik kesulitan mendapatkan

keterangan dari si korban yang memiliki trauma berat. Trauma berat yang

dialami seorang anak sangat rentan untuk di minta keterangan atas tindak

pidana kekerasan seksual yang dialaminya. Untuk korban yang mengalami

trauma psikis yang berat adalah korban dari tindak pidana kekerasan seksual

sodomi atau pencabulan atau persetubuhan.

5. Kendala kelima, dalam penyidikan mengenai tindak pidana persetubuhan

pada anak, salah satu langkah penyidik mendapatkan alat bukti dari adanya

tindak pidana kekerasan seksual pada anak adalah dengan melakukan visum.

Dalam pelaksanaannya, tidak ditemukan kesulitan yang sangat memberatkan

pihak penyidik, akan tetapi sebagian besar korban beserta keluarganya yang

melakukan visum adalah berasal dari keluarga yang kurang mampu dalam hal

perekonomian. Pihak korban dan keluarganya sering merasa keberatan umtuk

membayar proses visum yang cukup mahal. Pihak korban dan kelurganya

yang merasa keberatan adalah keluarga dari korban yang mengalami trauma

berat. Visum yang dilakukan mengeluarkan biaya rata-rata sekitar Rp. 60.000

hingga Rp. 300.000 dan belum termasuk obat-obatan yang diterima.

Perbedaan dalam penentuan tarif dalam melakukan visum sangat tergantung

dari pengobatan yang dilakukan. Visum dapat dilakukan di Rumah Sakit

Kepolisian setelah pembuatan surat pengantar SPKP yang berdasar kepada

Laporan Polisi yang dibuat oleh korban dan keluarganya dan pihak SPKP

14
memproses dengan membuat surat permohonan kepada kepala Rumah Sakit

untuk melakukan visum kepada korban tindak pidana tersebut. Apabila tidak

terdapat surat permohonan dari SPKP maka hasil visum yang dilakukan oleh

korban tidak dianggap sah secara hukum sebagai alat bukti.

6. Kendala berikutnya adalah kurangnya sarana dan prasarana yang memadai

untuk penyelidikan dan pengungkapan dari tindak pidana kekerasan seksual

pada anak di Unit PPA Polres Asahan yaitu tempat penyidikan yang sempit,

perlengkapan alat-alat kantor yang tidak ditanggung dari pemerintah seperti

peralatan komputer, rak lemari untuk menyimpan berkas-berkas serta meja

dan kursi sehingga penyidik melakukan swadaya sendiri, adanya penggunaan

ruang penyidikan yang kurang maksimal, terbatasnya dana atau biaya untuk

menyelidiki sebuah tindak pidana.

C. Penegakan Hukum Tindak Pidana Kasus Persetubuhan Kepada Anak

Sebagai Korban dan Anak Sebagai Pelaku

Berdasarkan hasil penelitian, bahwa dalam menjatuhkan pidana, peranan

Majelis Hakim sangat penting. Setelah mengetahui tujuan pemidanaan, Majelis

Hakim wajib mempertimbangkan keadaan-keadaan yang ada di sekitar si pembuat

tindak pidana, apa dan bagaimana pengaruh dari perbuatan pidana yang

dilakukan, pengaruh pidana yang dijatuhkan bagi si pembuat pidana di masa

mendatang, pengaruh tindak pidana terhadap korban serta banyak lagi keadaan

lain yang perlu mendapatkan perhatian dan pertimbangan Hakim dalam

menjatuhkan pidana.

15
Tindakan terhadap kejahatan dengan penyitaan terhadap milik atau

pembayaran denda telah terdapat di sebagian besar masyarakat. Tetapi sangat

banyak. Perkembangannya adalah mengikuti perkembangan tindakan masyarakat

yang berupa penghukuman. Ketika seseorang dirugikan oleh yang lain maka Ia

boleh menuntut penggantian rugi atas kerugiannya. Jumlahnya tergantung dan

besarnya kerugian yang diderita dan posisi sosialnya dari yang dirugikan itu.

Penguasa pun selanjutnya menuntut pula sebagian dari pembayaran ini atau

pembayaran tambahan untuk ikut campur tangan pemerintah dalam pengadilan

atau atas tindakan pemerintah terhadap yang membuat gangguan

Berdasarkan data yang diperoleh Polres Asahan bahwa terdakwa lebih

memilih menjalani pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda, hal ini

dikarenakan terdakwa dalam perkara persetubuhan terhadap anak di bawah umur

hampir semua adalah termasuk masyarakat golongan menengah ke bawah,

sehingga mereka lebih memilih melaksanakan pidana kurungan dibandingkan

dengan pidana denda yang menurut mereka lebih memberatkan.

Penulis menarik kesimpulan bahwa, dalam hal ini ditinjau dan segi

efektivitasnya, maka pidana denda yang menyertai pidana penjara pada perkara

persetubuhan terhadap anak di bawah umur di kota Kisaran Kabupaten Asahan

tidak efektif. Hal ini disebabkan karena terdakwa merasa lebih ringan menjalani

pidana kurungan pengganti pidana denda daripada membayar denda yang

dijatuhkan yang dimana dalam perkara ini terdakwanya hampir semua adalah

termasuk masyarakat mengenah ke bawah.

16
Penjatuhan pidana denda dalam kasus tersebut diatas, tidak mencapai

tujuan yang diharapkan yakni memberikan ganti rugi kepada korban, karena

terpidana Iebih memilih menjalani kurungan pengganti dari pada membayar

denda.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.

1. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Menurut

Hukum Pidana di Indonesia diatur dalam 3 (tiga) undang-undang yaitu:

pertama, KUHP pada Pasal 285, Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 288; kedua,

UURI No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 81; dan

ketiga, UURI No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga pada Pasal 46 dan Pasal 47. Sejak berlaku Undang-Undang

Perlindungan Anak sebagai aturan yang bersifat khusus (spesialis)

2. Kendala Pembuktian Terhadap Kasus Persetubuhan Kepada Anak Sebagai

Korban dan Anak Sebagai Pelaku Adalah:

a. Penyidik sulit menemukan keberadaan pelaku yang telah melarikan diri

dan menjadi buronan;

b. Pihak penyidik memiliki keterbatasan ruang dan waktu sehingga sulit

menyelesaikan berkas perkara;

c. Pihak penyidik mengalami kekurangan jumlah personel dari Unit PPA

Polres Asahan;

d. Penyidik kurang mendapatkan informasi tentang si pelaku;

e. Penyidik kesulitan mendapatkan keterangan dari si korban yang memiliki

trauma psikis yang berat;

18
f. Pihak korban dan kelurga yang akan melakukan proses visum untuk

membuat laporan polisi mengalami keterbatasan dalam perekonomian

untuk membayar biaya visum;

g. kurangnya sarana dan prasarana yang memadai untuk penyelidikan dan

pengungkapan dari tindak pidana kekerasan seksual pada anak di Unit

PPA Polres Asahan.

3. Penegakan Hukum Tindak Pidana Kasus Persetubuhan Kepada Anak Sebagai

Korban dan Anak Sebagai Pelaku adalah dengan Hakim memberikan pidana

penjara terpidana kasus persetubuhan dengan melihat dalam berkas-berkas

perkara terdakwa bahwa akibat dari persetubuhan yang dilakukan terdakwa

terhadap korban putusan dalam perkara tersebut diatas telah sesuai dengan

ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materil dan

syarat dapat dipidananya seorang terdakwa.

B. Saran

1. Diharapakan kepada Pemerintah unutk Perlu dilakukan keseragaman

pengaturan terkait anak termasuk diantaranya perihal umur yang tergolong

anak dan tindak pidana persetubuhan pada anak, hal ini dimaksudkan demi

menghindari beda tafsir dan aplikasi pada tataran praktek.

2. Diharapkan kepada pemerintah Meningkatkan kualitas perlindungan hukum

terhadap anak yang menjadi korban dari tindak pidana persetubuhan pada

anak sehingga anak memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan

penghidupannya sebagai bagian dari hak asasi manusia.

19
3. Diharapkan kepada aparat penegak hukum untuk mencermati kasus-kasus

persetubuhan terhadap anak tidak semata-mata hanya memperhatikan

normatif tekstual undang-undang tetapi juga harus memperhitungkan faktor-

faktor khusus secara kasuistis. Faktor kecerdasan pelaku dan korban,

partisipasi aktif dari korban dan iktikad baik terdakwa misalnya perlu

mendapat tempat dalam pertimbangan hukum sehingga dalam penanganan,

penuntutan, pembelaan dan penjatuhan putusan termotivasi kebenaran dan

keadilan.

20
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku.

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010).

Arif Gosta, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989).

Bambang Walyuo, Viktimologi: Perlindungan Korban & Saksi, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2011)

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994)

Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2010)

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2002).

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasa-Pasal Terpenting dari

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Penerapannya

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama, 2003).

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur oleh M. S. Djindang,

Jakarta, PT. Ichtiar Baru, 1983

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan

dan Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

21
R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP: Dilengkapi Yurisprudensi

Mahkamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003),

B. Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga.

22

Anda mungkin juga menyukai