Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya berjalan

sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu dihadapkan pada masalah-

masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Dalam

keadaan yang demikian ini hukum diperlakukan untuk menjaga keseimbangan

dan ketertiban dalam masyarakat.

Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya

kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati

dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan

yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam

kejahatankejahatan berat dengan pidana mati.

Waktu berjalan terus dan di berbagai negara terjadi perubahan dan

perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata

sejarah pemidanaan diberbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang

tidak sama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas. Dengan

adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis,

maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai

bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatan-kejahatan yang berat

dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata merupakan harapan hampa

belaka.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Pidana dan Pemidanaan?

2. Apa teori dan tujuan Pemidanaan?

3. Apa jenis-jenis sanksi dan tindakan?

4. Bagaimana Perbedaan antara sanksi pidana dana tindakan?

5. Apa Hal-hal yang menggugurkan Penuntutan Pidana?

6. Hal-hal yang menggugurkan Pelaksanaan Pidana?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pidana dan Pemidanaan

Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana.

Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah yang lain, yaitu

hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan pidana, pemberian pidana, dan

hukuman pidana.

Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-

syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas

delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara

pada pelaku delik itu.1

“Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat

mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi

dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan

dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan,

moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih

khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat

menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”.2

Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, yaitu berupa

penderitaan. Perbedaanya hanyalah, penderitaan pada tindakan yang lebih kecil

atau ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana

berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut dengann istilah

1
Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2012. hlm 185.
2
Ibid, h. 185 – 186

3
hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah

lazim merupakan terjemahan dari recht.3

Berdasarkan pengertian pidana di atas dapatlah disimpulkan bahwa

pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri, yaitu (1) pidana itu pada

hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-

akibat lain yang tidak menyenangkan; (2) pidana itu diberikan dengan sengaja

oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang), dan

(3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana

menurut undang-undang, dan (4) pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh

negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.

B. Teori dan Tujuan Pemidanaan

Teori pemidanaan yang digunakan adalah teori pemidanaan yang lazim

dikenal didalam sistem hukum eropa kontinental, yaitu teori absolut, teori relatif,

dan teori gabungan.4

1. Teori Absolut

Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik

masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban.

Menurut Johannes Andenaes tujuan dari pidana menurut teori absolut ialah”

untuk memuaskan tuntutan pengadilan” (to statisfy the claim of justice),

tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam

pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “philosophy of law “sebagai

berikut: “pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk

mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi pelaku sendiri maupun

3
Adama Chazawi.2013, Pelajaran Hukum Pidana I,Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 23-24.
4
Mahrus Ali. Op.Cit. h. 186 – 187

4
bagi masyarakat. Tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena

orang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

Karl O.christian sen mengidentifikasi 5 ciri pokok dari teori absolut

yakni:5

a. Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung

sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat.

c. Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku

e. Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan

bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosailisasi

sipelaku

Dalam kaitan dengan pertanyaan sejauhmana pidana perlu diberikan

kepada pelaku kejahatan, teori absolut menjelaskan sebagai berikut:6

a. Dengan pidana tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam si

korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, keluarganya serta

masyarakat. Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat

dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum, tipe ini disebut

vindicative.

b. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan pada pelaku kejahatan

dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan

orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak

wajar, akan menerima ganjarannya. Ini disebut dengan fairness

Ibid, h. 188 – 189


5
6
Ibid, h. 189

5
c. Pidana dimaksudkan untuk menunjukan adanya kesebandingan antara apa

yang disebut dengan the gratify of the offence dengan pidana yang

dijatuhkan. Tipe absolut ini disebut dengan proporsionality

Dalam perkembangannya, teori absolut mengalami modifikasi dengan

munculnya teori absolut modern yang menggunakan konsep “ ganjaran yang

adil (just desert) yang didasarkan atas filsafat Kant. Menurut konsep tersebut,

seseorang yang melakukan kejahatan telah memperoleh suatu keuntungan

yang tidak fair dari anggota masyarakat yang lain.

2. Teori Relatif,

Teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaanya

setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana (special

prevention) dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi dimasa mendatang,

serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari

kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah

dilakukan terpidana maupun lainnya.

Teori ini memang sangat menekankan pada kemampuan pemidanaan

sebagai suatu upaya mencegah terjadinya kejahatan (prevention of crime )

khususnya bagi terpidana. Oleh karena itu, implikasinya dalam praktik

pelaksanaan pidana sering kali bersifat out of control sehingga sering terjadi

kasus-kasus penyiksaan terpidana secara berlebihan oleh aparat dalam rangka

menjadikan terpidana jera untuk selanjutnya tidak melakukan kejahatan lagi.

Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif ini sebagai

berikut:7

7
Ibid, h. 191

6
a. Tujuan pidana adalah pencegahan ( prevention )

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sarana untuk mencapai tujuan

yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada

sipelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana

d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan

e. Pidana melihat kedepan ( bersifat prospektif ) pidana dapat mengandung

unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan

tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk

kepentingan kesejahteraan masyarakat

3. Teori Gabungan

Munculnya teori gabungan pada dasrnya merupakan respon terhadap

kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun teori relatif.

Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada

upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk

mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan keahatan lagi

yang merugikan dan meresahkan masyarakat.

Selain teori pemidanaan, hal tidak kalah pentingnya adalah tujuan

pemidanaan. Di Indonesia sendiri hukum pidana positif belum pernah

merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan

pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun

7
sebagai kajian, konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanan pada pasal

54 yaitu8

a. Pemidanaan bertujuan

1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat.

2) Memasyarakatkan terpidanan dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna

3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat

4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan

martabat manusia.

Berdasarkan tujuan pemidanaan di atas perumus konsep KUHP

tidak sekadar mendalami bahan pustaka barat dan melakukan transfer

konsep-konsep pemidanaan dari negeri seberang (Barat), tetapi

memperhatikan pula kekayaan domestik yang dikandung dalam hukum

adat dari berbagai daerah dengan agama yang beraneka ragam.

Harkristuti juga mengatakan bahwa tujuan pemidanaan dalam

konsep KUHP nampak lebih cenderung ke pandangan konsekuensialis.,

falsafah utilitarian memang sangat menonjol, walaupun dalam batas-batas

8
Ibid, h. 192

8
tertentu aspek pembalasan sebagai salah satu tujuan pemidanaan masih

dipertahankan.

C. Jenis-jenis Sanksi Pidana dan Tindakan

Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang keduanya

mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan.

Sanksi tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak tersebar di

luar KUHP, walaupun dalam KUHP sendiri mengatur juga bentuk-bentuknya,

yaitu berupa perawatan dirumah sakit dan dikembalikan pada orang tuanya

atau walinya bagi orang yang tidak mampu bertanggungjawab (Pasal 44). Hal

ini berbeda dengan bentuk-bentuk sanksi tindakan yang tersebar di luar KUHP

yang lebih variatif sifatnya, seperti pencabutan surat ijin mengemudi,

perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat

tindak pidana, latihan kerja, rehabilitasi, dan perawatan di suatu lembaga.

Kedua jenis sanksi tersebut (sanksi pidana dan sanksi tindakan) dalam teori

hukum pidana lazim disebut dengan double track system (sistem dua jalur),

yaitu sistem sanksi dalam hukum pidana yang menempatkan sanksi pidana

dan sanksi tindakan sebagai suatu sanksi yang mempunyai kedudukan yang

sejajar dan bersifat mandiri. Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau

penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan

perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut

diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.9

9
Ibid, h. 194

9
Jenis-jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Jenis-jenis

pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali

ketentuan undang-undang itu menyimpang. Jenis-jenisnya dibedakan antara

pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati,

pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dna pidana tutupan.

Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu,

perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Pidana

tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam hal

tertentu.

Pertama adalah pidana pokok yang terdiri dari lima jenis pidana:

1. Pidana mati.

Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang paling tua, setua

umat manusia. Pidana mati, paling menarik dikaji oleh para ahli karena

memiliki nilai kontradiksi atau pertentangan yang tinggi antara yang setuju

dengan yang tidak setuju. Kalau di negara lain satu persatu menghapus

pidana mati, maka sebaliknya yang terjadi di Indonesia. semakin banyak

detik yang diancam dengan pidana mati. Paling tidak delik yang diancam

dengan pidana mati di dalam KUHP ada 9 buah, yaitu sebagai berikut:10

a. Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden dan wakil presiden)

b. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan

atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau berperang)

c. Pasal 124 ayat (1) KUHP (membantu musuh waktu perang)

10
Ibid, h. 196

10
d. Pasal 124 Bis KUHP (menyebabkan atau memudahkan atau

menganjurkan huru-hara).

e. Pasal 140 ayat (3) KUHP (makar terhadap raja atau presiden atau

kepala negara sahabat yang direncanakan atau berakibat maut)

f. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)

g. Pasal 365 ayat (4) KUHP (pencurian dengan kekerasan yang

mengakibatkan luka berat atau mati)

h. Pasal 444 KUHP (pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai yang

mengakibatkan kematian).

i. Pasal 479 k ayat (2) Pasal 479 o ayat (2) KUHP, (Kejahatan

penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan).

Baik berdasarkan pasal 69 maupun berdasarkan hak yang tertinggi

bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat. Karena pidana ini

berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan

terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya

berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang

menimbulkan pendapat pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan

cara memandang pidana mati itu sendiri.

Selain itu, kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila

telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan,

baik revisi atas jenis pidananya maupun perbaikan atas diri terpidananya

apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana itu terdapat kekeliruan, baik

kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya/petindaknya, maupun

11
kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu

dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana.11

2. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan bergerak dari

seorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang tersebut di

dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang menyebabkan harus

mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar.

Pidana penjara adalah jenis pidana yang dikenal juga dengan istilah pidana

pencabutan kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan, pidana

penjara juga dikenal dengan sebutan pidana kemasyarakatan.

Pidana penjara dalam KUHP bervariasi dari pidana penjara

sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur hidup. Pidana

penjara seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati

(pidana mati atau seumur hidup atau pidana dua puluh tahun).

3. Pidana Kurungan

Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan:12

a. Custodia Hunesta

Untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delik-

delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti pasal 182 KUHP tentang

perkelahian satu lawan satu dan pasal 39 KUHP tentang pailit

sederhana. Kedua pasal tersebut diancam dengan pidana penjara.

11
Adama Chazawi. Op.Cit. h. 29
12
Mahrus Ali. Op.Cit. h. 197

12
b. Custodia Simplex

Yaitu suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran

Pidana kurungan hakikatnya lebih ringan daripada pidana penjara

dalam hal penentuan masa hukuman kepada seseorang. Hal ini sesuai

dengan stelsel pidana dalam pasal 10 KUHP, dimana pidana kurungan

menempati urutan ketiga dibawah pidana mati dan pidana penjara.13

Perbedaan antara pidana penjara dengan pidana kurungan adalah

dalam segala hal pidana kurungan lebih ringan daripada pidana penjara.

Lebih ringannya itu terbukti sebagai berikut:14

a. Dari sudut macam/jenis tindak pidana diancam dengan pidana

kurungan, tampak bahwa pidana kurungan itu hanya diancamkan pada

tindak pidana yang lebih ringan daripada tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara. Pidana kurungan banyak diancamkan pada

jenis pelanggaran. Sementara itu, pidana penjara banyak diancamkan

pada jenis kejahatan.

b. Ancaman maksimum umum dari pidana penjara (yakni 15 tahun) lebih

tinggi daripada ancaman maksimum umum pidana kurungan (yakni 1

tahun). Bila dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, pidana

kurungan diperberat tetapi tidak boleh lebih dari 1 tahun 4 bulan (18

ayat 2), sedangkan untuk pidana penjara bagi tindak pidana yang

dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, misalnya perbarengan

(65) dan pengulangan dapat dijatuhi pidana penjara dengan ditambah

13
Ibid,
14
Adama Chazawi. Op.Cit. h. 32 – 33

13
sepertiganya, yang karena itu bagi tindak pidana yang diancam dengan

pidana penjara maksimum 15 tahun dapat menjadi maksimum 20

tahun.

c. Pidana penjara lebih berat daripada pidana kurungan (berdasarkan

Pasal 69 KUHP)

d. Pelaksanaan pidana denda tidak dapat diganti dengan pelaksanaan

pidana penjara. Akan tetapi, pelaksanaan pidana denda dapat diganti

dengan pelaksanaan kurungan disebut kurungan pengganti denda

(Pasal 30 ayat 2).

e. Pelaksanaan pidana penjara dapat saja dilakukan di lembaga

Pemasyarakatan di seluruh Indonesia (dapat dipindah-pindahkan).

Akan tetapi, pidana kurungan dilaksanakan di tempat (lembaga

Pemasyarakatan) di mana ia berdiam ketika putusan hakim dijalankan

(tidak dapat dipindah) apabila ia tidak mempunyai tempat kediaman di

daerah ia berada, kecuali bila menteri kehakiman, atas permintaan

terpidana, meminta menjalani pidana di tempat lain (pasal 21).

f. Pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana penjara lebih

berat daripada pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan pada narapidana

kurungan (pasal 19)

g. Narapidana kurungan dengan biaya sendiri dapat sekadar meringankan

nasibnya dalam menjalankan pidananya menurut aturan yang

ditetapkan (hak pistole, Pasal 23)15.

15
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana. (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 121

14
4. Pidana Denda

Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara luas di dunia,

dan bahkan di Indonesia. pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik

ringan, berupa pelanggaran atau kejahatan ringan. Dengan pemahaman ini,

pidana denda adalah satu-satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang

lain selain terpidana.16

Dalam KUHP pidana denda diatur dalam pasal 30 dan Pasal 31.

Pasal 30 menyatakan:17

a. Denda paling sedikit adalah dua puluh lima sen.

b. Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan kurungan

c. Lamanya kurungan pengganti paling sedikit adalah satu hari dan paling

lama adalah enam bulan.

d. Dalam putusan hakim lamanya kurungan pengganti ditetapkan

demikian. Jika dendanya lima puluh sen atau kurang, dihitung satu

hari, jika lebih dari lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari,

demikian pula sisanya yang tidak cukup lima puluh sen.

e. Jika ada pemberatan denda, disebabkan karena ada perbarengan atau

pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a, maka kurungan

pengganti paling lama dapat menjadi delapan bulan.

f. Kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.

Pasal 31 KUHP menyatakan:

16
Mahrus Ali. Op.Cit. h. 198
17
Ibid, h. 199

15
a. Orang yang dijatuhi denda, boleh segera menjalani kurungan sebagai

pengganti dengan tidak usah menunggu sampai waktu harus membayar

denda itu.

b. Setiap waktu ia berhak dilepaskan dari kurungan pengganti jika

membayar dendanya.

c. Pembayaran sebagian dari denda, baik sebelum maupun sesudah dan

mulai menjalani kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari

sebagian kurungan bagian denda yang telah dibayar.

Ada beberapa keistimewaan tertentu dari pidana denda, jika dibandingkan

dengan jenis-jenis lain dalam kelompok pidana pokok. Keistimewaan itu

adalah sebagai berikut:18

a. Dalam hal pelaksanaan pidana, denda tidak menutup kemungkinan

dilakukan atau dibayar oleh orang lain, yang dalam hal pelaksanaan

pidana lainnya kemungkinan seperti ini tidak bisa terjadi. Jadi dalam

hal ini pelaksanaan pidana denda dapat melanggar prinsip dasar dari

pemidanaan sebagai akibat yang harus dipikul/diderita oleh pelaku

sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas perbuatan (tindak

pidana) yang dilakukannya.

b. Pelaksanaan pidana denda boleh diganti dengan menjalani pidana

kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat 2). Dalam putusan

hakim yang menjatuhkan pidana denda, dijatuhkan juga pidana

kurungan pengganti denda sebagai alternatif pelaksanaannya, dalam

18
Adama Chazawi. Op.Cit. h. 40 – 41

16
arti jika benda tidak dibayar terpidana wajib menjalani pidana

kurungan pengganti denda itu. Dalam hal ini terpidana bebas

memilihnya. Lama pidana kurungan pengganti denda ini minimal

umum satu hari dan maksimal umum enam bulan.

c. Dalam hal pidana denda tidak terdapat maksimum umumnya yang ada

hanyalah minimum umum yang menurut pasal 30 ayat 1 adalah tiga

rupiah tujuh puluh lima sen. Sementara itu, maksimum khususnya

ditentukan pada masing-masing rumusan tindak pidana yang

bersangkutan, yang dalam hal ini sama dengan jenis lain dari

kelompok pidana pokok.

5. Pidana Tutupan

Pidana tutupan merupakan jenis pidana yang tercantum dalam

KUHP sebagai pidana pokok berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946.

Dalam Pasal 2 UU No. 20 Tahun 1946 menyatakan:

a. Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam

dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut

dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.

b. Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan

kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan

tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman

penjara lebih pada tempatnya.

17
Pidana tambahan yang terdiri dari tiga jenis. Pertama, pencabutan hak-hak

tertentu. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti

hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan hak-hak tertentu itu adalah

suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua cara, yaitu (1)

tidak bersifat otomatis tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim, dan

(2) tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut

undang-undang dengan suatu putusan hakim.

Pasal 35 KUHP menyatakan hak-hak tertentu yang dapat dicabut, yaitu:

a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu

Pada pencabutan hak memegang jabatan, dikatakan bahwa

hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya,

dalam aturan-aturan khusus ditentukan bahwa penguasa lain yang

melakukan pemecatan tersebut;

b. Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;

c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan-aturan umum;

d. Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi

wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang

bukan anak sendiri;

e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau

pengampunan atas anak sendiri

f. Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

18
Kedua, perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini

merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda.

Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu barang-barang yang

didapat karena kejahatan, dan barang-barang yang dengan sengaja

digunakan dalam melakukan kejahatan.

Pasal 39 KUHP menyatakan:

(2) barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau

sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

(3) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan

sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti di atas,

tetapi hanya dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang.

(4) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang

oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-

barang yang disita.

Ketiga, pengumuman putusan hakim. Di dalam pasal 43 KUHP

ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya diumumkan

berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan umum yang lain, maka

harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya

terpidana.

Tempat dan menjalani pidana tutupan, serta segala sesuatu yang

perlu untuk melaksanakan UU No. 20 tahun 1946 diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1948, yang dikenal dengan Peraturan

Pemerintah Tutupan.

19
Di dalam Peraturan nomor 8 Tahun 1948 ini, terlihat bahwa rumah

tutupan itu berbeda dengan rumah penjara (Lembaga Pemasyarakatan)

karena keadaan rumah tutupan itu, serta fasilitas-fasilitasnya adalah lebih

baik dari yang ada pada penjara, misalnya dapat kita baca dalam pasal 55 2

dan 5, 36 ayat 1 dan 3, 37 ayat 2. Pasal 33 menyatakan bahwa makanan

orang dipidana tutupan harus lebih baik dari makanan orang dipidana

penjara. Uang rokok bagi yang tidak merokok diganti dengan uang seharga

rokok tersebut.

Dari ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP Nomor 8 tahun

1948 tersebut, dapat diketahui bahwa narapidana tutupan itu lebih banyak

mendapatkan fasilitas daripada narapidana penjara. Hal ini disebabkan

karena orang yang dipidana tutupan itu tidak sama dengan orang-orang

yang dipidana penjara. Tindak pidana yang dilakukannya itu merupakan

tindak pidana yang didorong oleh maksud yang patut dihormati.

Berdasarkan bunyi pasal 2 ayat 1 PP ini, tampaknya pidana tutupan

bukan jenis pidana yang berdiri sendiri, melainkan pidana penjara juga.

Perbedaannya hanyalah terletak pada orang yang dapat dipidana tutupan

hanya bagi orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh

maksud yang patut dihormati. Sayangnya dalam UU itu maupun PP

pelaksanaannya itu tidak dijelaskan tentang unsur maksud yang patut

dihormati itu. Karena itu penilaiannya, kriterianya diserahkan sepenuhnya

kepada hakim.

20
Pengertian Sanksi Tindakan dan Jenis-jenisnya

Sanksi diartikan sebagai tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa

orang menepati janji atau mentaati ketentuan undang-undang. Sanksi juga

berarti bagian dari (aturan) hukum yang dirancang secara khusus unut

memberikan pengamanan bagi penegakan hukum dengan mengenakan

sebuah ganjaran atau hukuman bagi seseorang yang melanggar aturan

hukum itu, atau memberikan suatu hadiah bagi yang mematuhinya. Jadi,

sanksi itu sendiri tidak selalu berkonotasi negatif. Sedangkan tindakan

diartikan sebagai pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak

menderitakan, tetapi mendidik dan mengayomi. Tindakan ini dimaksudkan

untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki pembuat, seperti

pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan kedalam rumah sakit,

dan lainnya.19

Dalam KUHP sanksi tindakan memiliki beberapa jenis yaitu:

a. Penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat

dipertanggung jawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau

terganggu penyakit. (Pasal 44 ayat (2) KUHP)

b. Bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindak pidana,

hakim dapat mengenakan tindakan berupa: (Pasal 45 KUHP)

1) Mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya,

atau;

2) Memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah

19
Mahrus Ali. Op.Cit. h. 202

21
c. Dalam hal ini yang ke-2, anak tersebut dimasukkan dalam rumah

pendidikan Negara yang penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan

Pendidikan Paksa

d. Penempatan di tempat bekerja Negara bagi penganggur yang malas

bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta menggangu

ketertiban umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan atau

perbuatan asosial.

D. Perbedaan Antara Sanksi Pidana dan Tindakan

Sanksi pidana bersumber pada ide dasar : "Mengapa diadakan

pemidanaan?". Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar: "untuk apa

diadakan pemidanaan itu?". Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya

bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih

bersifat antisifatif terhadap pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana

tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar

yang bersangkutan menjadi jera), maka fokus sanksi tindakan terarah pada

upaya memberi pertolongan agar dia berubah. Jelaslah, bahwa sanksi pidana

lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). Ia merupakan

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.

Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti

tersebut di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori pemidanaan. Substansi

teori absolute dan teori relative sesungguhnya berkisar pada perbedaan hakikat

ide dasar sanksi pidana dan sanksi tindakan. Teori absolute memandang bahwa

pemidanaan merupakan pembalasan dari kesalahan yang telah dilakukan. Teori

retribusi mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau

22
(backward looking), yakni memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan

yang telah dilakukan. Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku

harus menerima sanksi itu demi kerugian yang sudah diakibatkan, demi alasan itu

pemidanaan dibenarkan secara moral.20

Teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan,

yaitu preventif, deterrence, dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan

adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan

terpisah dari masyarakat. Dalam kepustakaan pemidanaan, hal ini disebut

incapacitation. Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan adalah untuk

menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan.

Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan

atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat

untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Dari teori ini

muncullah tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan

khusus yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan

pada masyarakat.

E. Hal-hal yang menggugurkan Penuntutan Pidana

Di dalam KUHP terdapat empat hal yang dapat menggugurkan

penuntutan pidana, yaitu ne bis in ide, terdakwa meninggal dunia, daluarsa, dan

penyelesaian perkara di luar pengadilan. Pertama, ne bis in idem. Ketentuan

mengenai ne bis in dem atau tidak boleh suatu perkara dituntut dua kali atas

perbuatan yang oleh hakim telah diadili dengan putusan yang berkekuatan tetap

20
Ibid, h. 204 – 205

23
yang menjadi dasar gugurnya penuntutan pidana diatur di dalam Pasal 76 KUHP

yang berbunyi:

“Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak

boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh Hakim Indonesia terhadap

dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.”

Ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum

kepada masyarakat maupun kepada setiap individu agar menghormati putusan

tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan putusan yang telah berkekuatan tetap

dapat berupa:

1. Putusan bebas

2. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum

3. Putusan pemidanaan

Kedua, terdakwa meninggal dunia. Ketika terdakwa meninggal dunia,

makal itu dapat dijadikan dasar untuk menggugurkan penuntutan pidana.

Penjatuhan suatu pidana harus ditujukan kepada pribadi orang yang

melakukan perbuatan pidana. Apabila orang yang melakukan perbuatan

pidana meninggal dunia, tidak ada lagi penuntutan bagi perbuatan yang

dilakukannya. Jika orang itu meninggal dunia, maka penuntutan pidana

kepadanya menjadi gugur, atau dengan kata lain, kewenangan menuntut

pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia.

Ketiga, daluarsa. Latar belakang yang mendasari daluarsa sebagai

alasan yang menggugurkan penuntutan pidana adalah dikaitkan dengan

kemampuan daya ingat manusia dan keadaan alam yang memungkinkan

petunjuk alat bukti lenyap atau tidak memiliki nilai untuk hukum pembuktian.

24
Daya ingat manusia baik sebagai terdakwa maupun sebagai saksi seringkali

tidak mampu untuk menggambarkan kembali kejadian yang telah terjadi di

masa lalu. Bahan pembuktian yang diperlukan dalam perkara yang telah

terjadi di masa lalu.21

Berdasarkan ketentuan pasal 78 ayat (1) KUHP terdapat empat

macam daluarsa yang didasarkan pada sifat perbuatan pidana yang dilakukan,

antara lain:

a. Tenggang waktu bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan dengan

percetakan adalah satu tahun.

b. Tenggang waktu bagi kejahatan yang diancam pidana denda, kurungan

atau penjara paling lama tiga tahun adalah enam tahun.

c. Tenggang waktu lagi kejahatan yang diancam dengan pidana penjara

lebih dari tiga tahun adalah dua belas tahun.

d. Tenggang waktu bagi kejahatan yang diancam dengan pidana penjara

seumur hidup atau pidana mati adalah delapan belas tahun .

Keempat, penyelesaian perkara di luar pengadilan. Ketentuan mengenai

penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagai alasan yang menggugurkan

penuntutan pidana di atur di dalam pasal 82 ayat (1) KUHP yang berbunyi:

“Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan denda saja

menjadi hapus, kalau dengan sukarela dibayar denda maksimum

denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah

dimulai, atau kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan

umum dan dalam waktu yang ditetapkan olehnya.”

21
Ibid, h. 208

25
Ketentuan pasal 82 ayat (1) KUHP tersebut seringkali disebut

lembaga penebusan (afkoop) atau lembaga hukum perdamaian (Schikking)

sebagai alasan yang menggugurkan penuntutan pidana hanya dimungkinkan

pada perkara tertentu, yaitu perkara pelanggaran yang hanya diancam dengan

pidana denda secara tunggal, pembayaran denda harus sebanyak maksimum

ancaman pidana denda beserat biaya lain yang harus dikeluarkan, atau

penebusan harga tafsiran bagi barang yang terkena rampasan, dan harus

bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang sudah cukup umum.

Dalam konsep KUHP gugurnya kewenangan penuntutan pidana tidak

hanya empat hal sebagaimana terdapat dalam ketentuan KUHP, tetapi

diperluas menjadi sebelas hal, yaitu telah ada putusan yang memperoleh

kekuatan hukum tetap, terdakwa meninggal dunia, daluarsa, penyelesaian di

luar proses, maksimum denda di bayar dengan sukarela bagi tindak pidana

yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori

II, maksimum denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak

kategori III, Presiden memberi amnesti atau abolisi, penuntutan dihentikan

karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian,

tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik

kembali, atau pengenaan asas oportunitas oleh jaksa agung. 22

F. Hal – hal Yang Menggugurkan Pelaksanaan Pidana

Selain hal-hal yang menggugurkan penuntutan pidana, KUHP juga

mengatur mengenai hal-hal yang menggugurkan pelaksanaan pidana. Terhadap

22
Ibid, h. 209

26
orang yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap, orang tersebut diwajibkan menjalankan atau

melaksanakan hukuman atau pidana yang dijatuhkan padanya. Namun demikian,

dalam hal tertentu orang pelaksanaan pidana yang harus dijalankan orang itu

menjadi gugur.23

23
Ibid, h. 209

27
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pidana adalah istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa

Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence, serta dalam bahasa

latin sanctio. Digunakannya istilah pidana di sini dan bukan hukuman adalah

bertujuan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana

tersebut.

Dari penjelasan definisi pidana tersebut, tujuan pemidanaan ini berkaitan

dengan aliran-aliran dalam hukum pidana yang mana aliran-aliran ini berusaha

untuk memperoleh suatu sistem hukum pidana positif yang prektis yang

bermanfaat sesuai dengan perkembangan persepsi manusia tentang hak-hak asasi

manusia.

Terdapat tiga hal yang menggugurkan pelaksanaan pidana yang diatur di

dalam KUHP. Pertama, terpidana meninggal dunia. Dalam hukum pidana

terdapat suatu doktrin yang menyatakan bahwa hukuman atau pidana dijatuhkan

semata-mata kepada pribadi terpidana, karenanya tidak dapat dibebankan kepada

ahli warisnya. Pasal 83 KUHP menyatakan bahwa Kewenangan menjadikan atau

melaksanakan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.

B. Saran

Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan

manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun

menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami

28
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

makalah kami.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.

Chazawi, Adama. 2013, Pelajaran Hukum Pidana I, Rajawali Pers, Jakarta. Hlm.

Prasetyo, Teguh. 2015. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.

30

Anda mungkin juga menyukai