PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Runtuhnya rezim Orde Baru pada akhir Mei 1998 menjadi awal
reformasi dan sejalan dengan hal tersebut terus bergulir tuntutan di segala
bidang. Salah satu tuntutan reformasi yang menyangkut bidang politik dan
khazanah ilmu hukum tata negara maupun ilmu politik, salah satu cara
Dalam era reformasi dewasa ini perubahan terhadap UUD 1945 ada yang
sistem amandemen.1
yang dilaksanakan dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999,
1
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Yogyakarta: 2000, Liberty, hal. 28.
1
2000, 2001, dan 2002.2 Dengan perubahan-perubahan itu, pokok-pokok
Undang Dasar. Di samping itu, ada pula organ negara yang sebelumnya tidak
ada justru diadakan menurut ketentuan yang baru, seperti Dewan Perwakilan
Konstitusi. Hal tersebut berawal dari adanya tuntutan untuk dibentuknya suatu
2
Perubahan konstitusi (reformasi konstitusi) sejak amandemen pertama sampai dengan keempat telah
meletakkan dua prioritas uatama sebagai sentral perubahan. Prioritas ini sudah jauh‐jauh hari
ditandai untuk direformat dan direformulasikan dalam rangka pergeseran signifikan dari kadar
otoritarianisme menuju kadar konstitusi demokrasi yang dikehendaki. (Lihat dalam Catatan Editorial,
Hendra Nurtjahjo, Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Depok:2004, Pusat Studi Hukum Tata
Negara FHUI, hal. xiv.)
3
Jimly Asshiddiqie, Dalam Kata Pengantar buku yang berjudul Undang Undang dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 dan Undang undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, Jakarta: 2005, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hal. iii.
2
mengingat bahwa banyak peraturan setingkat undang-undang yang
Ketetapan MPR). Selain itu hal tersebut juga sebagai upaya pemberdayaan
sejak tahun 2003, yaitu dengan ketentuan pasal III Aturan Peralihan yang
Mahkamah Agung.4
4
Dalam Pasal III Aturan Peralihanyang disahkan dalam Sidang Tahun 2002, dinyatakan: “Mahkamah
Konstitusi dibentuk selambat‐lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala
kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”. Untuk melaksanakan kewenangan transisional
itu, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 yang
mengatur hukum acara peradilan tata negara tersebut.
3
B. PERUMUSAN MASALAH
barang tentu seiring digagasnya hal tersebut terdapat tujuan-tujuan dan politik
hukum yang melandasinya. Oleh karena itu makalah ini ingin mencoba
apa yang terjadi ketika adanya gagasan untuk membentuk suatu Mahkamah
4
BAB II
PEMBAHASAN
Ketika itu M. Yamin yang merupakan salah satu anggota dari BPUPK
dengan UUD, hukum adat yang diakui, atau syariat agama Islam.5 Walaupun
5
Jimly Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Dalam
http//www.jimly.com/makalah/namafile/10/Mahkamah_Konstitusi_dalam_Sis.
5
wewenang pengujian undang-undang, dengan dua alasan sebagai berikut.
Pertama, UUD yang sedang disusun pada saat itu (yang kemudian menjadi
mengenai hal itu sehingga ditakutkan tidak akan berjalan dengan efektif.6
parlemen yang mana menurut prinsip tersebut MPR dianggap sebagi pelaku
Perubahan UUD 1945 yang terjadi pada era reformasi tidak lagi
6
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi; Memahami Keberadaannya Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: 2006, PT. Rineka Cipta, hal. 25.
6
MPR bukan lagi satu-satunya pelaku kedaulatan rakyat yang diatur dalam
UUD. Selain itu, juga bermunculan gagasan-gagasan dan ide-ide agar tradisi
mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang
disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian
Perubahan Ketiga UUD 19457 pada Sidang Tahunan (ST) MPR 2001 tanggal
menjadi negara ke-78 yang membentuk MK dan menjadi negara pertama pada
7
Perubahan Ketiga atas Undang‐Undang Dasar 1945.
8
Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: 2004, Mahkamah Konstitusi RI,
hal. 194.
7
Dalam praktiknya, tidak ada keseragaman di negara-negara di dunia ini
diatas maka dapat disimpulkan setidaknya ada tiga hal yang menjadi latar
9
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: 2007, Raja Grafindo Persada, hal.204‐205.
10
Dimasa lalu dalam praktiknya terdapat relative banyak undang‐undang yang secara substansial
bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945, seperti undang‐undang yang menghambat
demokrasi dan hak asasi manusia.
11
Konflik ini bisa disebabkan adanya tiga hal, yaitu (1) lembaga negara bertindak tidak proporsional
atau melebihi kewenangan yang dimilki; (2) terjadi perbedaan intepretasi terhadap kewenangan
yang dimilki; (3) timbulnya kepentingan politik yang berbeda diantara lembaga negara. Lihat dalam
Abdul Latif, Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Yogyakarta: 2007,
Total Media, hal.12.
12
Terdapat ketidakjelasan alasan dalam UUD 1945 (sebelum amademen) yang menjadi dasar untuk
memberhentikan presiden dalam masa jabatannya. Lihat dalam ibid, hal.14.
8
B. KEDUDUKAN DAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI
ketatanegaraan tertentu yang diatur menurut ketentuan pasal 7B jo. Pasal 24C
13
Perubahan Ketiga Undang‐Undang Dasar 1945.
14
Lihat Undang‐Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
9
perubahan ketiga UUD 1945.15 Jadi, pasca perubahan ketiga UUD 1945
cabang, yaitu cabang peradilan biasa (Ordinary Court) yang berpuncak pada
15
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi; Memahami Keberadaannya Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: 2006, PT. Rineka Cipta, hal. 25.
16
Dari segi kelembagaannya, menurut ketentuan UUD 1945 setelah perubahan keempat tahun 2002
dalam struktur kelembagaan RI terdapat delapan buah organ negara yang mempunyai kedudukan
sederajat yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional dari UUD. Kedelapan organ
tersebut adalah; 1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); 2.Dewan Perwakilan Daerah (DPD); 3. Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR); 4. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); 5. Presiden dan Wakil
Presiden; 6. Mahkamah Agung (MA); 7.Mahkamah Konstitusi (MK); dan 8. Komisi Yudisial
(KY). Kedelapan organ tersebut kewenangannya berdasarkan perintah Undang‐Undang Dasar
(constitutionally entrusted power). Lihat dalam Ni’matul Huda, Op. Cit, hal. 151‐152.
17
Fatkhurrohman, Dian Aminudin dan Sirajudin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia, Bandung: 2004, PT. Citra Aditya Bakti, hal. 62.
10
Wewenang yang dimiliki Mahkamah konstitusi untuk menguji undang-
dengan peraturan yang lebih tinggi.18 Menurut Prof. Mahfud hal ini
didasarkan pada alasan bahwa hukum adalah produk politik yang pasti
penyimpangan.19
18
Ibid, hlm. 23
19
Moh. Mahfud, MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: 2006, LP3ES, hal.
37.
11
Suatu sengketa kewenangan lembaga negara dapat menjadi
sebagai berikut;
20
Fatkhurrohman dkk. Op.Cit, hal. 37.
21
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Op.Cit, hal. 36‐37.
12
keberadaan partai politik yang bersangkutan secara hukum begitu juga
Esensi dari kewenangan ini adalah uji sahih atas penghitungan suara
Perwakilan Daerah
dalam Pasal 24C UUD 1945 juga disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi
22
Ibid, hlm. 37‐38.
23
Ibid, hal. 39.
24
Fatkhurrohman dkk, Op.Cit, hal. 50. Lihat juga ketentuan Pasal 74 ayat (1) Undang‐Undang No. 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
13
memilki kewajiban memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
konstitusi dalam hal ini dapat menjadi dasar hukum bagi DPR dalam
yang begitu kuat pasca bergulirnya reformasi yang salah satu agendanya
dalam UUD 1945 sebelum perubahan yang dirubah. Salah satu hasil
25
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Op.Cit, hal. 39‐40. Lihat juga Pasal 3 ayat (3) jo Pasal 7A jo Pasal
7B ayat (1), (6), dan ayat (7) perubahan ketiga UUD 1945.
14
ketatanegaraan yang menuntut penegakkan hukum secara adil dan
keadilan dan berpihak kepada rakyat. Gelegar kekhawatiran ini jelas jelas
dapat dibaca dalam Tap MPR RI Tahun 1999 tentang GBHN yang menilai
kinerja aparat penegak hukum di pengadilan, bahkan juga kalangan TNI dan
kepolisian, sebuah dokumen politik resmi yang dapat dibaca oleh semua orang
supremasi MPR yang berlaku sebelumnya. Oleh karena itu, perlu diadakan
26
M. Solly Lubis, “Makamah Konstitusi dan Putusannya; Antara Harapan dan Kenyataan”, Dalam Jurnal
Konstitusi Vol. 3. No. 4, Jakarta: Desember 2006, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hal. 58.
27
Jimly Asshiddiqie. Mahkamah Konstitusi dan Cita Negara Hukum Indonesia; Refleksi Pelaksanaan
Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandeman UUD 1945. Dalam
http://www.Pemantauperadilan.com/opini/30.Mahkamah%20konstitusi%20dan%20Cita%20Negar
a%20Hukum%20Indonesia.Pdf.
15
1. Perlu diadakan mekanisme untuk memutus sengketa kewenangan yang
mendasarkan diri pada prinsip “the rule of majority”. Karena itu fungsi-
Hal ini secara tidak langsung telah menguntungkan kekuasaan, karena produk
16
perundang-undangan yang dibuat oleh para penguasa tidak akan ada yang
bisa mengganggu gugat. Kondisi semacam itu pada masa orde baru dinilai
yang berasal dari lembaga eksekutif hampir dapat dipastikan selalu disetujui
oleh DPR. Sehingga terlihat lembaga DPR hanya dijadikan boneka para
penguasa saja.
Menurut Prof. Mahfud perlunya dan judicial review juga didasarkan pada
alasan bahwa hukum adalah produk politik yang pasti tidak steril dari
tersebut agar sejalan dan tidak bertentangan dengan UUD sebagai sebuah
penafsiran. Dalam konteks ini, yang berlaku adalah logika politik. Kekuatan
politik yang paling dominanlah yang pada akhirnya akan lebih banyak
17
memberikan warna pada penafsiran, betapapun semua golongan diajak turut
Dari sini dapat dilihat bahwa salah satu politik hukum yang melatar
diselewengkan dan dapat berdampak negatif terhadap rakyat. Jadi lembaga ini
Konstitusi pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam, namun
secara umum adalah berawal dari suatu proses perubahan politik kekuasaan
28
Yusril Ihza Mahendra, Politik atas Perubahan Tafsir Atas Konstitusi, dalam Pidato yang disampaikan
dalam Upacara Pengukuhan Guru Besar Madya Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, tanggal 25 April 1998.
29
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945.
Yogyakarta: 2003, FH UII Press, hal. 223.
18
rezim Orde Baru yang dinilai banyak kalangan merupakan rezim kekuasaan
yang sangat otoriter pada akhirnya dipaksa mundur oleh rakyat yang
lain sebagainya. Dari sisi lain dapat diketahui bahwa politik hukum lain dibalik
demokratis.
19
D. KEWENANGAN JUDICIAL REVIEW OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI
berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
konstitusi (the guardian of the constitution) dan sebagai penafsir konstitusi (the
30
Jimly Ashiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, cetakan ketiga, Jakarta:
2006, Konstitusi Press, hal. 95.
31
Soedarsono, Sewarsa Berjubah Merah, dalam buku Refly Harun Dkk, Menjaga Denyut Konstitusi
Refleksi Satu Tahun Mahkamah Agung, Jakarta: 2004, Konstitusi Press, hal. 119‐120.
20
proses demokratisasi (the guardian of the process of democratization) dengan
Judicial review terdiri dari dua kata, yaitu: kata ”Judicial” yang
sebagai ”hak untuk menguji oleh lembaga peradilan”. Dalam ranah Ilmu
Hukum, Judicial review selalu berkaitan dengan hak menguji norma atau
produk hukum tertulis yang dibentuk oleh negara. Judicial Review pada
32
Jimly Ashiddiqie, Ibid.
33
Dalam praktek dikenal tiga macam norma hukum yang dibentuk oleh negara yang dapat diuji melalui
mekanisme judicial. Ketiga norma hukum tersebut adalah : (1) Produk atau norma hukum yang
dikategorikan sebagai peraturan perundang‐undangan; (2) Produk hukum yang dikategorikan
sebagai keputusan atau beschikking (bersifat administratif, konkret, dan individual), pengujian
produk hukum ini dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara; (3) Produk hukum yang dibentuk
oleh pengadilan (berupa putusan pengadilan, bersifat penghakiman), Pengujian produk hukum ini
dilakukan melalui prosedur upaya hukum, baik upaya hukum biasa (Verzet, Banding dan Kasasi)
maupun upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali).
34
Legislative Review diartikan apabila DPR seharusnya melakukan review dan membatalkan apabila
memang diperlukan. Jika hakim menyatakan peraturan tidak sah, maka hakim tersebut menjalankan
fungsi legislator atau pembuat undang‐undang. Dalam Todung Mulya Lubis, In Search of Human
Rights: Legal‐Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966‐1990, A Disertation Submitter to
Boalt Hall Law School in atrial Fulfillment of the Candidacy for the Degree of Juris Scientiae Doctor,
21
lembaga legislatif) dan Executive /Administrative review (pengujian oleh
lembaga eksekutif).
oleh lembaga negara atau pejabat negara yang berwenang dan mengikat
norma hukum yang bersifat abstrak, baru kemudian apabila diwujudkan dalam
undang dalam arti formil dan undang-undang dalam arti materiil. Undang-
dibentuk oleh DPR bersama Presiden, atau yang lebih dikenal dengan nama
oleh lembaga negara atau pejabat negara yang berwenang. Dalam Pasal 7
ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan terdiri dari: 1). UUD 1945, 2). UU/Perpu, 3). Peraturan
University of California, Berkeley, December 1990, dalam buku Satya Arinanto, Politik Hukum 2,
Jakarta: 2004, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, hal. 205.
35
Pasal 1 angka 2 Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐
undangan.
22
Pemerintah, 4). Peraturan Presiden, 5). Peraturan Daerah. Ketentuan dalam
ayat (1) tentang jenis tersebut masih diperluas dengan ketentuan ayat (4), yang
sebagaimana diuraikan diatas dapat berupa uji materiil (pengujian terhadap isi
undangan dan Keputusan yang harmoni, sinkron dan tertib (rechtsorde) antara
36
Jenis‐jenis peraturan perundang‐undangan tersebut diuraikan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 7
ayat (4) UU No.10 Tahun 2004.
23
undangan) dan concrete norm (keputusan) tetap berada pada tertib hukum,
terbatas pada pengujian apakah materi dan hal-hal diluar pengujian materiil.38
Dalam pengujian selain pengujian materiil tercakup empat arti, yang pertama
atau belum, yang ketiga, apakah lembaga pembentuk UU telah tepat atau
undangan tersebut telah tepat atau tidak. Berdasarkan hal tersebut, maka
berpedoman pada Perma No. 1 tahun 1999 tentang Gugatan Uji Materiil.
Pengujian undang-undang saat ini lebih dikenal dengan istilah judicial review,
walaupun pada prinsipnya istilah ini mengandung pengertian yang lebih luas
37
Penjenjangan peraturan perundang‐undangan tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh stufenbao
Theory yang dikenalkan oleh penganut Kelsenian.
38
Pasal 51 ayat (3) UU MK
24
dari sekedar tindakan pengujian seperti halnya yang diatur dalam Undang-
keempat, prinsip pembagian kekuasan yang bersifat vertikal itu tidak lagi dianut
oleh UUD 1945. Sekarang, meskipun bukan dalam pengertian trias politica ala
sebagai lembaga yudikatif yang sejajar dengan lembaga negara yang lainnya
dalam kaitannya dengan judicial review adalah untuk menjaga agar UU yang
merupakan produk politik tidak melanggar konstitusi, yang oleh karena itu juga
39
Jimly Assidiqqie, Op.Cit, hal. 105.
40
Pembuktian terhadap prinsip ini dilihat dari adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan
presiden ke DPR, (bandingkan sebelum dan sesudah perubahan); dikenal sistem pengujian
konstitusiona oleh MK; diakuinya lembaga pelaku kedaulatan rakyat yang tidak terbatas pada
MPR; MPR bukan lagi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi rakyat; hubungan antar lembaga
negara seimbang dan saling mengendalikan.
25
rangka menjaga keseimbangan antara produk politik DPR bersama dengan
melenceng jauh dari bintang pemandu (politik hukum) Indonesia yang telah
digariskan dalam nilai-nilai Pancasila dan dijabarkan dalam UUD 45. Sangat
pesanan Pasal dari kelompok tertentu, tekanan pihak asing, atau bahkan
Hukum Nasional.
perlu juga kita mendalami apa yang dijadikan alasan oleh John Marshall
melalukan judicial review terhadap UU, yaitu Judiciary Act (1789) karena
41
Abdul Latif, Op.Cit, hal. 159‐160.
42
Keputusan The Supreme Court dalam perkara Marbury vs Madison adalah bahwa Section 13
Juducuary Act 1789 bertentangan dengan Pasal III Konstitusi (berdasarkan intepretasi The Supreme
Court) sehingga section 13 UU tersebut dinyatakan inkonstitusional. Kasus inilah yang menjadi uji
materiil undang‐undang pertama di Amerika Serikat yang kemudian dijadikan preseden hukum bagi
kewenangan uji materiik perundang‐undangan dan sekaligus wewenang mengintepretasi konstitusi.
Kasus ini dipandang sebagai sejarah penting yang melatarbelakangi munculnya judicial review
dibanyak negara di dunia termasuk Indonesia. William H Rehnquist, The Supreme Court; How it Was,
How it Is, New York: 1989, William Morrow, at 99‐114, dalam buku Satya Arinanto, Politik Hukum 3,
Jakarta: 2001, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, hal. 1‐15.
26
Hakim bersumpah menjunjung tinggi Konstitusi, sehingga jika ada peraturan
terhadap peraturan tersebut. Kedua, konstitusi adalah the supreme of the land
agar isi konstitusi tidak dilanggar. Ketiga, Hakim tidak boleh menolak perkara,
harus dipenuhi.
27
BAB III
PENUTUP
di Indonesia. Sebagai nilai dasar Pancasila memiliki sifat yang masih abstrak
28
Perundang-Undangan di bawah UU terhadap UU, maupun oleh berbagai
29
konstitusionalnya satu sama lain, maka yang memutus final atau mengikat atas
43
Ibid, hal. 96‐97.
30
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. Dalam Kata Pengantar buku yang berjudul Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang undang
Republik Indonesia No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Jakarta: 2005, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
Harun, Refly, Dkk. Menjaga Denyut Konstitusi Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Agung, Jakarta: 2004, Konstitusi Press.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: 2007, Raja Grafindo
Persada.
31
-------------------. Politik Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Terhadap Dinamika
Perubahan UUD 1945. Yogyakarta: 2003, FH UII Press.
Nurtjahjo, Hendra. Politik Hukum Tata Negara Indonesia, Depok: 2004, Pusat
Studi Hukum Tata Negara FHUI.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
32
Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Yusril Ihza Mahendra, Politik atas Perubahan Tafsir Atas Konstitusi, dalam
Pidato yang disampaikan dalam Upacara Pengukuhan Guru Besar
Madya Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, tanggal 25 April 1998
33