Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan merupakan perbuatan melanggar hukum, istilah kejahatan ini

dalam bahasa Belanda dikenal dengan “rechtdelicten”, yaitu perbuatan-

perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, baik perbuatan itu diancam

pidana atau tidak.1

Realita pada masa saat ini kejahatan sering terjadi dimana-mana, mulai

dari kejahatan yang bersifat ringan seperti penghinaan hingga kejahatan yang

mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang seperti pembunuhan. Pelaku tindak

pidana tidak hanya orang yang berpenampilan preman saja, bahkan pejabat-

pejabat negara dan aparat penegak hukum pun juga sering diberitakan di

berbagai media terkait kasus yang melawan hukum, seperti melakukan tindak

pidana dalam konsep pedofilia.

Semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula kejahatan

di Indonesia. Tragisnya, yang sering menjadi korban kejahatan bukan hanya

orang dewasa saja, bahkan anak yang masih di bawah umur menjadi sasaran

kejahatan pula. Mulai dari kasus penganiayaan, pelecehan seksual,

pemerkosaan, bahkan kekerasan seksual yang mengakibatkan kematian.

1
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta : 2012, hlm 101.

1
Salah satu contoh kasus tragis yang dialami seorang anak ialah kasus

pembunuhan Angeline yang jasadnya ditemukan pihak kepolisian pada tanggal

10 Juni 2015 di pekarangan rumah Margareth yang berlokasi di Jalan Sedap

Malam, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Angeline ditemukan terkubur pada

kedalaman setengah meter, dengan pakaian lengkap dan tangan memeluk

boneka. Tubuhnya dililit seprei dan tali.

Kekerasan seksual terhadap anak cenderung dilakukan oleh seorang

pedophilie. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang pedophilie disebut dengan

pedophilia. Pedophilia adalah kelainan perkembangan psikoseksual dimana

individu memiliki hasrat erotis yang abnormal terhadap anak-anak.2 Pelaku

pedophilia ini menjadikan anak-anak polos sebagai sasaran utamanya dengan

bujukan rayuan berupa pemberian hadiah, uang dan sebagainya. Setelah

terpenuhi hasrat seksualnya dia akan melakukan kekerasan dan mengancam

anak tersebut untuk tidak memberitahu kepada siapapun termasuk kepada

orang tua anak tersebut.

Kasus kejahatan seksual berikutnya yang dilakukan seorang pedophilie

adalah kasus kematian Putri Nur Fauziyah yang sebelumnya mengalami

kekerasan seksual, jasadnya ditemukan dipinggir tol kawasan Sahabat RT

06/05 Kelurahan Kamal, Kecamatan Kalideres, jakarta Barat pada tanggal 02

Oktober 2015 dalam keadaan telungkup dalam kardus dengan mulut tersumpal

kaos kaki dan telanjang, mulut dan hidungnya berdarah, posisi badannya

2
Sawitri Supardi, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Refika Aditama, Bandung
: 2005, hlm 71.

2
meringkuk dengan kedua kaki menjepit kedua tangan dan kepalanya

terpelengkuk ke bawah.3

Untuk melindungi anak – anak dari kejahatan pedophilie, presiden

Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhoyono pada masa jabatannya

mengeluarkan Inpres No. 5 Tahun 2014 Tentang Gerakan Nasional Anti

Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Ancaman pidana bagi pelaku

penyimpangan seksual yang menjadikan anak-anak sebagai objek pelampiasan

nafsu seksualnya diatur dalam Pasal 82 Undang – undang Nomor 23 Tahun

2002 Junto Undang – undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak :

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan,
maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Tersedianya ancaman pidana sebagaimana dalam Pasal 82 Undang-undang

No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ternyata tidak mampu menekan

pelaku pedophilia tersebut. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya angka

kejahatan yang dilakukan kaum pedophilie. Dalam kurun waktu tiga tahun angka

kekerasan terhadap anak mencapai 21.689.797 yang mengakibatkan korbannya

mengalami trauma yang berkepanjangan.4 Berdasarkan realita tersebut,

3
Anonim, “Polisi Mengungkap Penyebab kematian Putri Nur Fauzah”, dalam
http://www.viva.co.id/berita/metro/682337-polisi-ungkap-penyebab-kematian-putri-nur-fauziah,
Diakses Tanggal 09 Oktober 2017.
4
Anonim, “Indonesia Darurat Kejahatan Kekerasan Anak”, dalam http://www.berita-
metro.co.id/nasional.hml, Diakses Tanggal 09 Oktober 2017.

3
masyarakat merasa ketakutan dan khawatir terhadap anak-anak mereka sehingga

muncul inisiatif masyarakat untuk diterapkan hukuman kebiri bagi pelaku tindak

pidana pedophilia sebagaimana diterapkan di negara lain, seperti California,

Korea Selatan, Georgia, Montana, Oregon, Wisconsin, Florida, Iowa, Luosiana,

dan Texas.

Kebiri atau yang biasa disebut kastrasi merupakan sebuah teknik

mengamputasi jaringan genetik yang dilakukan pada testis seorang pria. 5 Testis

merupakan organ reproduksi pria yang berperan menghasilkan sperma dan

membuat testosteron.6 Disejumlah negara teknik hukuman kebiri ini beragam, ada

yang dengan cara tradisonal, yakni pembedahan untuk membuang testis (buah

dhakar), dikenal sebagai kebiri fisik, atau menyuntikkan zat kimia tertentu,

disebut suntik kebiri atau kebiri kimiawi.7

Hukuman kebiri telah diterapkan terhadap beberapa negara sehingga teori

tentang hukuman tersebut dapat ditemukan di berbagai media, seperti buku,

internet, Koran, dan lain sebagainya. Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya

David L. Rowland dan Luca Incrooci yang berjudul “Handbook of Sexual and

Gender Identity Disorders” yang menjelaskan tentang berbagai macam kelainan

sexual yang diantaranya adalah pedophilia, hukuman kebiri bagi pelaku tindak

pidana pedophilia, serta penerapan hukuman kebiri tersebut.

Dalam Islam, tidak ada pembahasan tindak pidana pedophilia secara

khusus. Namun jika dilihat dari unsur deliknya, tindak pidana Pedophilia dapat

5
Travis Nygard dan Alec Sonsteby, In The Cultural Encyclopedia of The Body, Greenwood
Press, Jakarta : 2008, hlm 502.
6
Ayu Febri Wulanda, Biologi Reproduksi, Salemba Media, Jakarta : 2011, hlm 9.
7
M. Zaid Wahyudi, “Suntik Kebiri untuk Mematikan Dorongan Seksual”, dalam
http://health.kompas.com/read/2014/05/19/1659515.html diakses pada 09 Oktober 2017.

4
dikategorikan dalam jarimah zina. Zina merupakan setiap perbuatan seksual yang

dilakukan bukan terhadap wanita miliknya (istri atau hamba sahayanya).8

Dalam perspektif viktimologi, anak adalah salah satu kelompok rentan

yang wajib mendapatkan perlindungan dari negara. Anak-anak berada dalam

kondisi yang secara fisik dan psikis tidak mampu melindungi dirinya sendiri,

karna itu negara wajib memberikan perlindungan. Bentuk perlindungan yang

seharusnya diberikan negara adalah memastikan anak-anak terbebas dari praktek-

praktek diskriminasi,eksploitasi dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual.9

Anak merupakan generasi yang diharapkan sebagai penerus bangsa pada

hakekatnya memiliki peran penting dalam pembangunan nasional. Oleh

karenanya mereka (anak) wajib mendapatkan perlindungan dari negara sesuai

dengan ketentuan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yang menyatakan bahwa anak berhak atas perlindungan dari kekerasan.

Indonesia menegaskan perlindungan terhadap anak melalui regulasi yang

dibuat dalam Undang – undang Noomor 23 Tahun 2002 yang diubah menjadi

Undang – undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Kemudian

pada tahun 2014 dilakukan perubahan pertama atas undang undang tersebut yakni

dengan UU No.35 Tahun 2014, dengan memperberat ancaman pidana bagi para

pelaku kejahan seksual terhadap anak.

Menimbang kian meningkatnya angka kekerasan seksual terhadap anak

secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak

8
A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Raja Grafindo
Persada, Jakarta : 1997, hlm 35-36
9
Supriyadi Widodo Eddiyono Dkk, Menguji Euforia Kebiri, Press Release, Jakarta : 2016,
hlm 3

5
kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak serta mengganggu rasa kenyamanan

anak, ketentraman keamanan dan ketertiban masyarakat, maka pemerintah

mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) No.1 Tahun 2016

tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak.

Menurut wakil ketua KPAI Santoso, ada beberapa alasan kenapa perpu

sangat diperlukan. yakni, adanya keadaan dan kebutuhan mendesak untuk

menyelesaikan masalah hukum. korban kejahatan seksual anak semakain banyak,

semantara pelaku tidak jera, bahkan tidak jarang pelaku mengulangi perbuatannya

tanpa rasa iba kepada korban. Hal ini butuh penjeraan sebagai upaya preventif.

selain itu, muatan pasal pidana terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak,

dalam undang – undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, masih

tergolong ringan. Karna maksimal hanya 15 tahun dan belum efektif untuk

menekan kejahatan seksual terhadap anak, yang terakhir, kondisi dan

kompleksitas kejahatan seksual ini membutuhkan kapastian hukum, karna itu,

maka diperlukan Perppu tersebut.10

Menurut Perpu ini diberlakukan pemberatan sanksi pidana bagi pelaku

kejahatan seksual terhadap anak (pedofilia), Sanksi yang diatur berupa kebiri

secara kimiawi serta pemasangan alat deteksi elektronik sehingga pergerakan

pelaku bisa dideteksi setelah keluar dari penjara.Hukuman juga diperberat

10
Putu Merta Surya Putra, Http://News.Liputan6.Com/Read/2348814/Kpai-Perppu-Kebiri-
Bisa-Jadi-Solusi-Kejahatan-Seksual-Anak, Di Akses Pada 19 Oktober 2017

6
menjadi hukuman mati, hukuman seumur hidup, maksimal 20 tahun dan minimal

10 tahun penjara.11

Salah satu bentuk kebiri kimia adalah memasukan bahan kimia anti

androgen kedalam tubuh melalui suntikan atau pil yang diminum. Anti androgen

ini berfungsi melemahkan hormon testosteron sehingga penyebab hasrat seksual

orang yang mendapat suntikan atau minum pil yang mengandung anti androgen

tersebut berkurang atau akan hilang sama skali.12

Pemberlakuan Perpu ini ternyata tidak serta merta mendapat dukungan

dari semua pihak, dengan adanya pemberlakuan sanksi kebiri bagi pelaku

kejahatan seksual terhadap anak (pedofilia). Banyak menuai pro dan kontra di

berbagai kalangan termasuk kalangan para ahli hukum, medis, dan pegiat hak

asasi manusia.

Banyak hal yang menjadi alasan oleh sebagian pihak yang tidak setuju

dengan permberlakuan pemidanan kebiri dalam perpu tersebut. Menurut aliansi 99

dalam kata pengantar catatan mereka, jika sanksi kebiri diberlakukan maka akan

terjadi pertentangan dengan asas – asas yang berlaku dalam pemidanaan bagi

pelaku, bertentangan juga dengan jenis-jenis pidana yang dianut KUHP, karena

KUHP hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan dan didalam dua jenis

pidana tersebut tidak ada satupun yang mencantumkan pidana kebiri yang

merupakan jenis corporal punishment atau penghukuman terhadap badan.13

11
Ihsanuddin,Http://Nasional.Kompas.Com/Read/2016/05/25/17001251/Jokowi.Tanda.Tan
gani.Perppu.Yang.Atur.Hukuman.Kebiri, Diakses Pada 26 Oktober 2017
12
Supriyadi Widodo Ediyono Dkk. Op.Cit, hlm 4
13
Dilihat pada http://icjr.or.id/menguji-eforia-kebiri/, diakses pada 27 Oktober 2017

7
Penolakan dari organisasi–organisasi HAM pada dasarnya bersandar pada

beberapa alasan yaitu; Pertama, Hukuman kebiri tidak dibenarkan dalam sistem

hukum pidana nasional atau tujuan pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum

Indonesia. Kedua, hukuman kebiri melanggar Hak Asasi Manusia sebagaimana

tertuang di berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi dalam hukum

nasional kita diantaranya Kovenan Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak

Sipol/ICCPR), Konvensi Anti Penyiksaan (CAT), dan juga Konvensi Hak Anak

(CRC), penghukuman badan, dalam bentuk apapun harus dimaknai sebagai

bentuk penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia, terlebih apabila

ditujukan untuk pembalasan dengan alasan utama efek jera yang diragukan secara

ilmiah. Dan Ketiga, Segala bentuk kekerasan pada anak, termasuk kekerasan

seksual, pada dasarnya merupakan manifestasi atau operasionalisasi hasrat

menguasai, mengontrol dan mendominasi terhadap anak, dengan demikian,

hukum kebiri tidak menyasar akar permasalahan kekerasan terhadap anak.14

Menurut ajaran Islam, pelampisan nafsu seksualitas hanya dianggap legal,

bila dilakukan melalui perkawinan yang sah. Di luar itu, persetubuhan dianggap

melampui batas dan dianggap haram, bahkan mendekatinya saja merupakan

perbuatan terlarang.15 Dalam hukum islam perzinaan dianggap sebagai sesuatu

perbuatan yang sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Pendapat ini

disepakati oleh ulama, kecuali perbedaan hukumannya. Menurut sebagaian ulama

tanpa memandang pelakunya, baik dilakukan oleh yang belum nikah atau orang

yang telah menikah, selama persetubuhan tersebut berada di luar kerangka

14
Supriyadi Widodo Ediyono Dkk. Op.Cit, hlm 6
15
Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam; Fiqh Jinayah. Pustaka Setia, Bandung : 2000,
hlm 72

8
pernikahan, hal itu disebut sebagai zina, dan dianggap sebagai perbuatan melawan

hukum. Juga tidak mengurangi nilai kepidanaannya, walaupun hal itu dilakukan

secara suka rela atau suka sama suka. Meskipun tidak ada yang merasa dirugikan

zina dianggap oleh Islam sebagai pelanggaran seksualitas yang sangat tercela,

tanpa kenal prioritas Zina diharamkan dalam segala keadaan.16

Selain itu, hukum yang telah ada dan diterapkan untuk menjerat pelaku

tindak pidana pedofilia ini di rasa belum memberikan keadilan bagi korban.

Korban yang notabene adalah anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan

justru mendapat perlakuan yang bisa memberikan dampak traumatis secara

psikologis yang bisa berkepanjangan hingga dia dewasa sampai seumur hidupnya

dan menjadikan dia kehilangan masa depannya akibat trauma tersebut. Bahkan

tidak jarang korban setelah dewasa bisa menjadi pelaku tindak pidana pedofilia

juga akibat dari trauma psikologis yang mendalam, bahkan akan terus terbayang

dalam ingatan mereka ketika aksi pelaku dilakukan dengan kekerasan sehingga

akan memunculkan sifat dendam yang sulit dihilangkan. Akibat sifat dendam

tersebut bisa memungkinkan dia pun akan menjadi pelaku pedofilia ketika

beranjak dewasa,karena tidak jarang pelaku pedofilia juga semasa kecilnya pernah

menjadi

korban tindak pidana pedofilia. Oleh karena itu perlu ada hukum yang bisa

memberikan keadilan yang setimpal bagi korban terhadap apa yang dilakukan

oleh pelaku tindak pidana pedofilia tersebut.

16
Ibid, hlm 69

9
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada lampiran latar belakang di atas maka ditarik

permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan hukum di Indonesia terhadap sanksi tindak pidana

pedofilia..?

2. Bagaimana kedudukan terhadap sanksi pedofilia dalam alternatif sanksi

bagi pelaku tindak pidana pedofilia..?

C. Tujuan Penelitian

Berangkat pada poin rumusan masalah maka, penelitian ini bertujuan dengan

maksud sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui ketentuan hukum di Indonesia pada sanksi tindak

pidana pedofilia.

2. Untuk mengetahui kedudukan terhadap sanksi pedofilia dalam alternatif

sanksi bagi pelaku tindak pidana pedofilia.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian tentang sanksi kebiri bagi pelaku tindak pidana pedofilia ini

diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik secara teoritis maupun praktis

sebagai berikut :

1. Manfaat secara teoritis

a. Melatih kemampuan penulis dalam melakukan penelitian baik secara

observasi literatur maupun observasi lapangan dengan wawasan yang

telah didapatkan.

10
b. Dapat menerapkan teori – teori yang telah didapatkan dalam kelas,

mengkorelasikannya dengan kejadian dilapangan.

c. Memberikan informasi dan menambah pengetahuan secara akademis

serta menjadi literatur hukum pidana.

2. Manfaat secara praktis

a. Diharapkan dapat menjadi sebuah pertimbangan bagi penegak hukum

dalam menyelesaikan tindak pidana kekerasan seksual pada anak,

sehingga pelaku mendapat hukuman yang sama dengan perbuatannya

serta memberikan efek jera.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran,

baik bagi para praktisi maupun masyarkat umum.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah metode yang akan diterapkan dalam penelitian

yang akan dilakukan, apakah memakai metode pendekatan bersifat yuridis

normatif (legal research).17

Agar penelitian ini berjalan dengan lancar serta memperoleh data dan hasil

yang dapat dipertanggung jawabkan, maka penelitian ini perlu menggunakan

suatu metode tertentu, metode yang akan dilakukan dalam penelitian ini antara

lain :18

17
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta : 2002, hlm
17
18
Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2006, hlm 18

11
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library

research), yaitu penelitian yang menekankan sumber informasinya dari

buku buku hukum, buku buku seksualitas, jurnal, dan literatur yang

berkaitan atau relevan dengan objek penelitian.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik, dimana

penyusun menguraikan secara sistematis tinjauan yurisdis hukuman kebiri

dalam perspektif hukum positif Indonesia.

3. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yaitu

penelitian untuk menemukan doktrin – doktrin atau asas – asas hukum,

maka dalam penelitian ini penulis mencoba memahami perbincangan

seputar penyimpangan seksual khususnya yang membahas tentang tindak

pidana pedofilia dan hukuman kebiri sebagai alternatif upaya hukum

terhadap tindak pidana pedofilia.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah riil yang sangat dibutuhkan

sehubungan dengan referensi yang sesuai dengan objek. Dalam

penyusunan ini dilakuan langkah langkah mengambil data sebagai berikut:

12
a. Sumber Primer

Bahan primer dalam penulisan ini yaitu menggunakan bahan yang

diambil dari hukum positif Indonesia yang diambil dari KUHP dan UU

No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak.

b. Sumber Sekunder

Adapun bahan sekunder adalah bahan yang diambil dari buku-buku

literatur yang berhubungan dengan tema judul yang diangkat penulis,

yaitu buku-buku yang berhubungan dengan pedofilia dan kebiri.

5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif, yaitu

segala sesuatu yang responden nyatakan baik tertulis maupun lisan, serta

perilaku nyata yang dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh.

Kemudian data yang telah terkumpul dioalah, pertama-tama menseleksi

data yang ada atas dasar reabilitas dan validitasnya, data yang kurang

lengkap digugurkan atau dilengkapi dengan subtitusi. Setelah data data

diseleksi kemudian diolah dengan metode berpikir secara deduktif.

F. Kerangka Pikir

Dewasa ini masyarakat telah familiar dengan istilah pedofilia setelah

mencuatnya kasus pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur. Pedofilia

merupakan kepuasan seks yang didapatkan oleh seseorang dari hubungan seks

dengan anak – anak.19 Praktik pedofilia termasuk ekshibitionisme2 terhadap anak,

manipulasi terhadap anak anak. Dengan kata lain, pedofilia adalah perbuatan

19
Koes Irianto, Memahami Seksologi, Sinar Baru Algensindo, Bandung : 2010, hlm 101

13
seksual yang dilakukan oleh orang dewasa dengan anak anak dimana kaegori anak

anak disini adalah setiap anak yang berusia di bawah 15 tahun sesuai dengan

ketentuan aturan di Indonesia.

Pengaturan tindak pidana pedofilia memang tidak diatur secara khusus

dalam peraturan perundang undangan Indonesia. Selama ini untuk menejerat

pelaku salah satunya adalah menggunakan ketentuan yang ada dalam KUHP,

yakni Pasal 290 :

“di pidana dengan pidana penjara selama lamanya tujuh tahun:

1. Barang siapa melakukan tindakan tindakan melanggar kesusilaan


dengan seorang yang ia ketahui bahwa orang tersebut sedang dalam
keadaan pingsan atau sedang berada dalam keadaan tidak berdaya;
2. Barang siapa melakukan tindakan tindakan melanggar kesusilaan
dengan seorang yang ia ketahui atau sepantasnya harus dapat ia duga
bahwa orang tersebut belum mencapai usia lima belas tahun, atau jika
tidak dapat diketahui usianya, orang tersebut belum dapat dinikahi
3. Barang siapa membujuk seseorang yang ia ketahui atau sepantasnya ia
duga bahwa orang tersebut belum mencapai usia lima belas tahun atau
jika tidak dapat diketahui usianya, orang tersebut belum dapat
dinikiahi, untuk melakukan atau untuk membiarkan dilakukannya
tindakan tindakan yang melanggar kesusilaan, atau untuk melakukan
hubungan kelamin di luar pernikahan dengan pihak ketiga.”

Pasal 292 KUHP

“orang dewasa yang melakukan suati tindakan melanggar kesusilaan


dengan anak yang belum dewasa dari jenis kelamin yang sama, yang
kebelum dewasaannya ia ketahui atau sepantasnya harus ia duga, dipidana
dengan pidana penjara selama lamanya lima tahun”

Kemudian dengan diberlakukannya UU No. 23 tentang Perlindungan Anak

menjadi salah satu langkah untuk memberikan perlindungan terhadap anak,

terutama kaitannya dengan masalah pedofilia, sebab dalam undang – undang

tersebut, secara umum menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat tumbuh,

14
berkembang dan berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat, serta

mendapatkan perlindungan dari kekerasan.

Penjatuhan pidana tersebut tentulah belum seimbang dengan dampak yang

ditimbulkannya, yakni korban yang masih anak anak tentu akan mengalami

trauma yang berkepanjangan hingga dewasa bahkan seumur hidupnya. Padahal di

lain pihak pelaku juga melanggar UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak yakni Pasal 81 tentang orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan

atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan

dengannya, dalam pasal ini pelaku diancam hukuman maksimal lima belas tahun

penjara.

Beberapa polemik yang muncul berkaitan diberlakukannya Undang –

Undang Perlindungan Anak (UUPA) adalah klaim tidak terjadinya kekerasan dan

paksaan terhadap korban, menunjukan betapa pedofilia sering dikacaukan

pengertiannya. Ada tidaknya unsur kekerasan fisik sering dijadikan kriteria untuk

mengkategorikan tindak pelecehan seksual terhadap anak sebagai bentuk

kejahatan atau tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih sering

disempitkan artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan

bentuk pelecehan non-kontak seksual, seperti ekshibitionisme dan pornografi. Ada

tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak terlalu signifikan dalam kasus kejahatan

seks antara orang dewasa dengan anak – anak. Sebagai contoh yang dikemukakan

oleh Gunter Schmidt (2002) dalam artikel The Dillema of the Male Pedophile,

bentuk manipulasi genital yang dilakukan anak-anak, meski mengakibatkan

orgasme, tidak bisa serta merta disamakan dengan bentuk masturbasi pada orang

15
dewasa.20 Keluguan dan rasa ingin tahu yang kuat terhadap kehidupan seksualitas

yang menjadi ciri khas anak anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia

(pedophile) untuk menjerat korbannya. Karena itu dalam kasus pedofilia,

penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi dan manipulasi yang muncul sebagai

akibat ketidak seimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dengan

anak – anak yang menjadi korbannya.

Dilihat dari karakteristik perbuatan kaum pedofilia bisa dikatakan anakanak

dieksploitasi sebagai korban. Anak-anak sebagai korban mestinya dilindungi dan

memperoleh pelayanan khusus, terutama di bidang hukum. Secara yuridis pihak

yang dituntut bertanggung jawab adalah eksploitatornya atau pelakunya. Selama

ini undang-undang yang sering dipakai untuk mengadili penjahat ini adalah

dengan KUHP Pasal 292 juncto Pasal 64 tentang pencabulan. Tuntutan

maksimalnya 5 tahun penjara dipandang aktifis perlindungan anak sudah tidak

relevan untuk memberikan efek jera bagi si pelaku. Selain itu, dalam Pasal 287

KUHP disebutkan dengan sanksi maksimal 9 tahun penjara. Namun dalam hal

tidak ada pengaduan, maka penuntutan tidak akan dilakukan. Hal ini tentu

menjadi titik lemah dalam KUHP karena pada kenyataanya, korban terkadang

memang tidak melaporkan kejadian tersebut dengan berbagai alasan seperti

ancaman dan rasa malu.

Pasal – Pasal tersebut nyatanya tidak memberikan efek jera bagi pelaku

tindak pidana pedofilia. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyak dan maraknya

kasus kekerasan/pelecehan seksual terhadap anak. Hukuman yang berlaku dari

20
Gunter Schmidt, The Dillema of the Male Pedophile, Journal, International Law Journal,
2002, hlm 23

16
tahun ke tahun tidak mengalami perubahan. Hal ini merupakan kelemahan hukum

yang ada karena hukuman yang seharusnya bisa memberikan perlindungan dan

pencegahan menjadi tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Oleh karenanya

perlu ada sebuah upaya hukum yang baru untuk memberikan efek jera sekaligus

sebagai tindakan pencegahan agar bisa mengurangi bahkan tidak terjadi lagi kasus

pedofilia tersebut. Salah satu upaya hukum tersebut adalah dengan melakukan

pembaharauan hukum pidana dan mencantumkan hukum kebiri sebagai hukuman

bagi pelaku tindak pidana pedofilia.

Pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya untuk melakukan

reorientasi dan reformasi hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai sentral

sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang

melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum

di Indonesia. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada

kebijakan (“policy oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang

berorientasi pada nilai (”value oriented approach”).21

Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan,

karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari kebijakan atau

policy.22 Di dalam setiap kebijakan terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh

karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan

nilai. Dengan uraian di atas dapat disimpulkan makna dan hakikat pembaharuan

hukum pidana sebagai berikut :

21
Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Op.Cit, hlm 29
22
Ibid

17
1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan

a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah

masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka

mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan

sebagainya).

b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana

pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan

masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).

c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum

pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan

penegakan hukum.

2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai

Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan peninjauan dan

penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai nilai sosiopolitik,

sosiofilosofis, dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap

muatan normatife dan substansi hukum pidana yang dicita-citakan

(misalnya KUHP baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana

lama warisan penjajah (KUHP lama atau WvS).

Di samping itu, pembaharuan hukum pidana juga diatur dalam KUPH Pasal 103.

Ketentuan pasal ini menyatakan bahwa “ ketentuan – ketentuan dari kedelapan

Bab I dalam Buku I berlaku juga atas peristiwa yang padanya ditentukan pidana

18
menurut ketentuan perundangan lainnya kecuali kalau dalam Undang-Undang

atau Peraturan Pemerintah ditentukan lain.”. Berdasarkan ketentuan ini,

dimungkinkan dibuat aturan hukum pidana di luar KUHP dalam memenuhi

kebutuhan masyarakat, asalkan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang

telah dikodifikasikan dalam KUHP.23

Upaya pembaharuan hukum pidana dalam hal kasus tindak pidana pedofilia

ini adalah dengan memberikan hukuman kebiri sebagai upaya hukum untuk

memberikan efek jera bagi pelaku. Kebiri disebut juga pengebirian atau kastrasi,

yaitu tindakan bedah atau kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis

pada jantan atau fungsi ovarium pada betina, pengebirian dapat dilakukan baik

apada hewan maupun manusia. Kebiri secara fisik adalah memotong saluran testis

makhluk hidup (hewan,manusia) sehingga tidak lagi mengahasilkan sperma.

Kebiri kimiawi adalah pengebirian dengan cara menyuntik seorang pria dengan

obat – obatan yang secara efektif menyebabkan tumpulnya gairah seksnya untuk

jangka waktu tertentu. Hukum kebiri ini menjadi alasan sebagai upaya hukum

baru terhadap pelaku tindak pidana pedofilia, karena di Indonesia kejahatan

seksual terhadap anak akhir-akhir ini telah begitu meluas dan sudah sangat

banyak/marak kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Indonesia.

Hukum kebiri bukanlah hukuman yang baru Karena telah ada beberapa

Negara yang menerapkan hukuman tersebut bagi pelaku kejahatan seksual.

Sebagai contoh Negara yang telah menerapkan hukuman kebiri adalah Negara

bagian California, hukuman kebiri di Negara ini telah diterapkan sejak tahun

23
Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Op.Cit, hlm 190

19
1996. Negara bagian Florida yang telah menerapkan hukuman ini sejak tahun

1997. Negara bagian lain yang telah menerpakan hukuman ini adalah Georgia,

Iowa, Montana, Oregon, Texas dan Wiconsin. Di beberapa Negara bagian

tersebut, hukuman kebiri kimiawi bisa dilaksanakan tergantung pada keputusan

pengadilan untuk tindak pidana pertama. Namun untuk tindak pidana kedua,

hukuman kebiri bisa dilakukan secara paksa kepada pelaku kejahatan seksual.

G. Definisi Konseptual

a. Pengertian Hukum Pidana

Hukum pidana adalah semua perintah dan larangan yang diadakan

oleh negara dan yang diancam dengan suatu pidana/nestapa bagi barangsiapa

yang tidak menaatinya. Dan juga merupakan semua aturan yang ditentukan

oleh negara yang berisi syarat-syarat untuk menjalankan pidana tersebut.

b. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah keadaan yang dibuat seseorang atau barang

sesuatu yang dilakukan, dan perbuatan itu menunjuk baik pada akibatnya

maupun yang menimbulkan akibat.

c. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

Pelaku tindak pidana adalah barang siapa yang melaksanakan semua

unsur – unsur melawan hukum sebagai mana unsur – unsur tersebut

dirumuskan di dalam undang-undang yang berlaku.

d. Pengertian Sanksi Pidana

Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah

kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan

20
memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari

pihak berwajib.

e. Pengertian Pedofilia

Pedofilia adalah gangguan seksual yang berupa nafsu seksual terhadap

remaja atau anak-anak di bawah usia atau orang yang mengidap pedofilia

disebut pedofil.

H. Jadwal Kegiatan

Dalam penelitian ini terdiri dari berbagain Kegiatan yang dilakukan

selama 3 (tiga) bulan sebagaimana uraian berikut ini :

BULAN
No KEGIATAN Februari Maret April
. 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Seminar Proposal
2. Perbaikan Proposal
3. Pembuatan Instrumen
Penelitian
4. Penyusunan Penelitian
5. Ujian Skripsi
6. Perbaikan Skripsi

21
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,


2007.

Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana Indonesia dan Perkembangannya,


Jakarta, Sofmedia, 2012.

A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Raja


Grafindo Persada, Jakarta : 1997.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Kencana, Jakarta
: 2010.

_________________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana


dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Grup, Jakarta :
2007.

_________________, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian


Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung : 2005.

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta :


2002.

Koes Irianto, Memahami Seksologi, Sinar Baru Algensindo, Bandung : 2010.

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta :


2009.

Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta : 2012.

Muliadi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Cetakan
Kedua, edisi revisi, alumni, Bandung : 1992.

Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam; Fiqh Jinayah. Pustaka Setia, Bandung :
2000.

Sawitri Supardi, Bunga Rampai Kasus Gangguan Psikoseksual, Refika Aditama,


Bandung : 2005.

Supriyadi Widodo Eddiyono Dkk, Menguji Euforia Kebiri, Press Release, Jakarta
: 2016

Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2006

22
Travis Nygard dan Alec Sonsteby, In The Cultural Encyclopedia of The Body,
Greenwood Press, Jakarta : 2008.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika,


2002.

B. Perundang – Undangan

Undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang – undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang – Undang


Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang – undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pedofilia.

C. Sumber Internet

Gunter Schmidt, The Dillema of the Male Pedophile, Journal, International Law
Journal, 2002.

http://www.viva.co.id/berita/metro/682337-polisi-ungkap-penyebab-kematian-
putri-nur-fauziah

http://www.berita-metro.co.id/nasional.hml

http://health.kompas.com/read/2014/05/19/1659515.html

Http://News.Liputan6.Com/Read/2348814/Kpai-Perppu-Kebiri-Bisa-Jadi-Solusi-
Kejahatan-Seksual-Anak

Http://Nasional.Kompas.Com/Read/2016/05/25/17001251/Jokowi.Tanda.Tangani
.Perppu.Yang.Atur.Hukuman.Kebiri

http://icjr.or.id/menguji-eforia-kebiri/

23

Anda mungkin juga menyukai