TPI pertama kali mengudara pada 1 Januari 1991 selama 2 jam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. TPI diresmikan Presiden Soeharto pada 23 Januari 1991 di Studio 12 TVRI Senayan, Jakarta. Secara bertahap, TPI mulai memanjangkan durasi tayangnya. Pada akhir 1991, TPI sudah mengudara selama 8 jam sehari. TPI didirikan oleh putri sulung Presiden Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh PT Cipta Lamtoro Gung Persada. Stasiun televisi yang akrab dengan masyarakat segmen menengah bawah ini harus diakui tidak memiliki kinerja keuangan yang baik, terutama ketika TPI kemudian memutuskan keluar dari naungan TVRI dan beralih menjadi stasiun musik dangdut pada pertengahan 1990-an. Secara berangsur-angsur kondisi keuangan semakin memburuk, Utang-utang pun kian menumpuk. Pada tahun 2002, posisi utang TPI sudah mencapai Rp 1,634 triliun, jumlah yang sangat besar untuk periode tahun itu. Mbak Tutut pun yang saat itu juga terbelit utang maha besar kelimpungan. Di satu sisi dirinya menghadapi ancaman pailit, di sisi lain utang TPI juga terancam tak terbayar. Di tengah kondisi tersebut, Mbak Tutut meminta bantuan kepada Hary Tanoe untuk membayar sebagian utang- utang pribadinya. Sebagai catatan, Hary Tanoe saat itu menjabat sebagai Direktur utama PT Bimantara Citra Tbk (BMTR) yang sekarang berubah nama menjadi PT Global Mediacom Tbk (BMTR). Bimantara Citra merupakan perusahaan kongsi antara Bambang Trihatmojo, adik Mbak Tutut dengan Hary Tanoe dan kawan-kawan. Akhirnya BMTR sepakat untuk membayar sebagian utang mbak Tutut sebesar US$ 55 juta dengan kompensasi akan mendapat 75% saham TPI. Oleh sebab itu, kedua belah pihak yakni pihak Mbak Tutut dengan pihak Hary Tanoe melalui PT Berkah Karya Bersama (BKB) menandatangani investment agreement pada 23 Agutus 2003 dan ditandatanganinya adendum surat kuasa pengalihan 75% saham TPI kepada BKB pada Februari 2003. Crown Capital Global Limited (CCGL) memberikan tuduhan pailit kepada TPI. Tuduhan pailit oleh perusahaan Crown Capital Global Limited (CCGL) terhadap PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dikabulkan oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 14 Oktober 2009. Putusan tersebut menuai banyak protes oleh para ahli hukum, DPR, Komisi Penyiaran Indonesia, pekerja TPI, dan semua konsumensiaran TPI di Indonesia. Hal ini disinyalir adanya campur tangan Markus (Makelar Kasus), sehingga kasus ini aneh sekali jika dikabulkan dengan mudahnya oleh Pengadilan Niaga. Menurut Sang Nyoman, Direktur Utama TPI keberadaan makelar kasus dalam perkara ini dis inyalir sangat kuat mengingat sejumlah fakta hukum yang diajukan ke persidangan tidak men jadi pertimbangan majelis hakim saat memutus perkara ini. Ketika di desak siapa makelar kasus yang dimaksud, Nyoman mengatakan bahwa ada pihak yangdisebut-sebut mendapat tugas pemberesan sengketa ini dan mengakui sebagai pengusaha batu bara berinisial RB. Inisial ini pernah terungkap ketika diadakan rapat pertemuan antara hakim pengawas, tim kurator, dan direksi TPI di Jakarta Pusat pada Rabu tanggal 6 November 2009. Hal tersebut dirasa aneh oleh pihak TPI sendiri karena pihak TPI tidak merasa memiliki utang yang belum terbayar kepada CCGL. Menurut Pengadilan Niaga, tuduhan kepailitan dikabulkan dengan alasan didasarkan pada asumsi majelis hakim bahwa TPI tidak bisa memenuhi kewajiban membayar utang obligasi jangka panjang ( sub ordinated bond ) senilai USD 53 juta kepada Crown Capital Global Limited (CCGL). Sementara dalam kenyataannya yang terjadi adalah 1. Pada 1961, TPI yang masih dipegang Presiden Direktur Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut mengeluarkan sub ordinated bond (Sub Bond) sebesar USD 53 juta. Utang dalam bentuk sub ordinated bond tersebut. 2. Dibuat sebagai rekayasa untuk mengelabuhi publik atas pinjaman dari BIA. Marx menjelaskan, rekayasa terjadi karena ditemukan fakta bahwa uang dari Peregrine Fixed Income Ltd masuk ke rekening TPI pada 26 Desember 1996. Namun, selang sehari tepatnya 27 Desember 1996 uang tersebut langsung ditransferkembali kerekening Peregrine Fixed Income Ltd. Setelah utang- utang itu dilunasi oleh manajemen baru TPI, dokumen - dokumen asli Sub Bond masih disimpan pemilik lama yang kemudian diduga diambil secara tidak sah oleh Shadik Wahono (yang saat ini menjabat sebagai Direktur Utama PT Cipta Marga Nusaphala Persada). 3. Terjadi transaksi Sub Bond antara Filago Ltd dengan CCGL dengan menggunakan promissory note (surat perjanjian utang) sehingga tidak ada prosespembayaran. Semua transaksi pengalihan Sub Bond berada di luar kendali TPI setelah Sub Bond berpindah tangan, sehingga apabila CCGL menagih hutang dari Sub Bond, jelas – jelas illegal. Hal ini juga sulit diterima oleh Komisi Penyiaran Indonesia karena penanganan kasus yang melibatkan media massa tidak bisa semua kalangan mampu dan sanggupmenggunakannya, sehingga penanganannya pun harus dikecualikan. Dalam putusan pailit ini, kerugian tidak hanya dialami perusahaan tersebut tetapi masyarakat luas juga turut dirugikan. Pihak kuasa hukum PT. TPI mencoba memberi klarifikasi yang sejujurnya disertai dengan bukti-bukti otentik melalui segala macam transaksi yang tercatat di buku ATM Bank BNI 46 yang menjadi ATM basis bagi perusahaan TPI. Dikatakan Marx Andriyan, bahwa pada tahun 1993 telah ditandatangani Perjanjian piutang antara TPI dengan Brunei Investment Agency (BIA) sebesar USD 50 juta. Atas instruksi pemilik lama, dana dari BIA tidak ditransfer ke rekening TPI tapi ke rekening pribadi pemilik lama. Dalam laporan keuangan TPI juga tidak pernah tercatat utang TPI dalam bentuk Sub Bond senilai USD 53 juta. Berdasarkan hasil audit laporan keuangan TPI yang dilakukan dikantor akuntan publik dipastikan bahwa di dalam neraca TPI 2007 dan 2008 juga tidak tercatat adanya kreditur maupun tagihan dari CCGL.
Hasil Putusan Kasus Kepailitan TPI
Kejanggalan ini kemudian disangka sebagai akibat munculnya Markus (Makelar Kasus) yang tidak beritikad baik dan berencana merugikan TPI. Merasa tidak bersalah, TPI melakukan kasasi untuk permohonan peninjauan kembali kasus tersebut kepada Mahkamah Agung. Setelah proses verifikasi oleh Mahkamah Agung, kesalahan – kesalahan yang belum teridentifikasi oleh Pengadilan Niaga mulai nampak, seperti bukti pembayaran tagihan utang oleh TPI. Dalam laporan keuangan tersebut dikatakan, bahwa surat utang (obligasi) milik TPI sebesar US$ 53 juta yang jatuh tempo pada tanggal 24 Desember 2006 telah berhasil dibayar. Lagi pula, ada masalah lain yang lebih kompleks tentang keberadaan surat- surat utang itu. Keadaan yang rumit itu seharusnya tidak dilanjutkan dalam urusan hukum.Dikatakan bahwa, persyaratan pengajuan kepailitan adalah apabila transaksi yang berjalan berlangsung dengan sederhana, bukan kompleks seperti masalah dugaan pailitnya TPI. Apalagi dikatakan juga dari hasil pengkajian ulang, bahwa hanya ada 1 kreditor yang merasa punya masalah utang piutang dengan TPI, sementara dalam persyaratan diakatakan bahwaharus ada lebih dari 1 kreditor yang merasa dirugikan yang boleh mengajukan kasus ini ke pengadilan. Melihat dua kekeliruan di atas, dalam sidang putusan kasasi kasus pailit TPI ini yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir Moppong dengan hakim anggota Zaharuddin Utama dan M. Hatta Ali, maka pada tanggal 15 Desember 2009 diputuskan bahwa TPI tidak pailit. Akibat berita baik ini, keluarga besar PT. TPI yang sahamnya 75% dimiliki oleh PT. Media Nusantara Citra yang dimiliki oleh Hary Tanoe melakukan syukuran danmemantapkan hati dan langkah untuk mengibarkan sayapnya di udara.