Anda di halaman 1dari 20

Analisis Putusan Kepailitan :)

Analisis Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung


Nomor 057 PK/Pdt.Sus/2010 Antara GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY
ANGELINA alias ANG FANNY ANGELIA Melawan OEI KENG HIEN dan TROY
HARYANTO Dengan Adanya Kontradiksi Hukum Atas Diajukannya Permohonan
Kepailitan Dan Gugatan Perdata Secara Bersamaan

Diajukan guna melengkapi tugas mata kuliah Hukum Kepailitan Kelas A2


yang oleh Prof. Dr. Etty Susilowati, S.H.,M.S.
Oleh :
RAJIMAN, S.H.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, maka
penyelesaian perkara kepailitan diselesaikan oleh Pengadilan Negeri yang merupakan bagian
dari Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, ada 4 (empat) lingkungan peradilan di Indonesia yaitu:
Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun demikian sejak ditetapkan dan berlakunya Undang-undang Kepailitan Nomor 4
Tahun 1998 maka kemudian penyelesaian perkara Kepailitan diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum hingga berlakunya undang-
undang yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga
secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian,
verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya. Di sinilah kadang terjadi suatu
persimpangan dengan kompetensi dalam hal pemeriksaan perkara, terutama pada perkara-
perkara yang bersifat perdata. Melalui Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998,
kewenangan mutlak (kompetensi absolut) Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan
pailit dialihkan ke Pengadilan Niaga.
Dalam penyelesaian aneka masalah kepailitan dalam perkara kepailitan sangat
diperhatikan suatu kompetensi dalam hal pemeriksaan perkara yang benar sehingga tidak
terjadi persimpangan dalam putusannya. Sebagai contoh salah satu kasus Kepailitan yang
juga turut diajukan dilingkungan Pengadilan Niaga Surabaya adalah kasus kepailitan yang
terjadi antara OEI KENG HIEN dan TROY HARYANTO, selaku pemohon pailit yang
diajukan terhadap GUNAWAN ALIE selaku Direktur CV DELIMA dan ANG FANNY
ANGELIA, selaku Termohon Pailit.
Dari pengajuan Permohonan Pailit tersebut, telah dijatuhkan putusan dengan putusan
Nomor: No. 08/Pailit/2008/PN.NIAGA.Sby jo. putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 702
K/Pdt.Sus/2008 jo No. 057 PK/Pdt.Sus/2010. Dari putusan Pengadilan Niaga Surabaya
tersebut telah menjatuhkan bahwa Termohon Pailit GUNAWAN ALIE selaku Direktur CV
DELIMA dan ANG FANNY ANGELIA pailit dengan segala akibat hukumnya.
Penjatuhan putusan pailit itu sendiri terhadap Termohon Pailit telah sesuai dengan Pasal
2 ayat (1) Undang-Undang Rl Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepaillitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi “Debitor yang mempunyai dua atau lebih
Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan baik atas permohonannya sendiri
maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya”; dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
telah terpenuhi sebagaimana berikut, “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan
apabila terdapat fakta ataukeadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi”; Dilihat dari bunyi
pertimbangan hukum majelis didalam putusannya tersebut, menurut pendapat penulis,
penjatuhan putusan dengan berdasar pasal diatas telah sesuai dengan peraturan perundangan
tentang kepailitan.
Kami menyoroti adalah adanya dua kompetensi yang mengadili pada saat bersamaan
yaitu pada pengadilan niaga dan juga pengadilan negeri, ada kewenangan yang berbeda
antara kedua lembaga peradilan tersebut. Baik ditinjau dari kewenangan relatif maupun
kewenangan absolutnya. Dimana dalam perkara ini Putusan Pengadilan Niaga tidak
menunggu adanya putusan Pengadilan Negeri terlebih dahulu.
Sehingga saya, tertarik untuk mengambil judul “Analisis Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Nomor 057 PK/Pdt.Sus/2010 Antara GUNAWAN ALIE dan ANG
FANNY ANGELINA Alias ANG FANNY ANGELIA (Suami Istri), Selaku Pemilik
CV.DELIMA Melawan OEI KENG HIEN dan TROY HARYANTO Dengan Adanya
Kontradiksi Hukum Atas Diajukannya Permohonan Kepailitan Dan Gugatan Perdata
Secara Bersamaan” .

B.     Rumusan Masalah


Berdasar latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kasus posisi antara OEI KENG HIEN dan TROY HARYANTO, selaku
pemohon pailit yang diajukan terhadap GUNAWAN ALIE selaku Direktur CV
DELIMA dan ANG FANNY ANGELIA, selaku Termohon Pailit?
2. Bagaimana analisis yuridis atas sengketa wanprestasi dan kepailitan dalam perkara
antara GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA Alias ANG FANNY
ANGELIA (Suami Istri), Selaku Pemilik CV.DELIMA Melawan OEI KENG HIEN
dan TROY HARYANTO?
3. Bagaimana kajian terhadap asas-asas kepailitan dalam perkara antara GUNAWAN
ALIE dan ANG FANNY ANGELINA Alias ANG FANNY ANGELIA (Suami Istri),
Selaku Pemilik CV.DELIMA Melawan OEI KENG HIEN dan TROY HARYANTO?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kasus Posisi Antara OEI KENG HIEN dan TROY HARYANTO, Selaku Pemohon
Pailit Yang Diajukan Terhadap GUNAWAN ALIE Selaku Direktur CV DELIMA dan
ANG FANNY ANGELIA, Selaku Termohon Pailit
Perkara kepailitan ini diajukan oleh pihak-pihak yang merupakan Kreditur dari CV.
DELIMA yang bergerak dibidang percetakan, yaitu OIE KENG HIEN dan TROY
HARYANTO (Pemohon), dimana dana pinjaman yang diperoleh dari keduanya
dimaksudkan sebagai tambahan dana operasional dalam menjalankan usaha milik
GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY ANGELIA yang
bertindak selaku Debitur (Termohon).
Permohonan pailit tersebut dilakukan oleh Kreditur atas dasar sebelumnya kedua belah
pihak terikat perjanjian utang-piutang dan sampai sekarang belum dapat dikembalikan
penyelesaiannya, masing-masing sebesar Rp 924.501.000 (sembilan ratus dua puluh empat
juta lima ratus satu ribu rupiah) yaitu dana pinjaman yang berasal dan OEI KENG HIEN dan
Rp 1.500.000.000,-(satu milyar Iima ratus juta rupiah) yaitu dana pinjaman yang berasal dari
TROY HARYANTO. Jadi, total utang Termohon kepada para Pemohon adalah sebesar Rp
924.501.000 (sembilan ratus dua puluh empat juta lima ratus satu ribu rupiah) + Rp
1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah), yaitu senilai Rp 2.424.501.000,- (dua
milyar empat ratus dua puluh empat juta lima ratus satu ribu rupiah).
Utang Termohon terhadap para Pemohon di atas telah jatuh tempo dan seharusnya telah
dibayarkan oleh Termohon kepada para Pemohon paling lambat pada saat Bilyet Giro pada
Bank BNI dan Bank Mandiri jatuh tempo, tetapi ternyata para Pemohon tidak dapat
mencairkan dana-dana dalam rekening Bilyet Giro yang dikeluarkan oleh Termohon.
Para Pemohon mengajukan permohonan kepailitan kepada Termohon karena didasari
sesuai Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menyatakan bahwa
“Dalam Perseroan Firma, tiap-tiap persero bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk
seluruhnya atas perikatan perseroannya”, maka Termohon II yaitu GUNAWAN ALIE yang
merupakan Direktur Persero Pengurus harus bertanggung jawab penuh pula secara pribadi
kewajiban perseroannya untuk seluruhnya. Tetapi, saat ini Termohon II faktanya juga tidak
diketahui dimana keberadaannya serta sampai kapan, dan sehubungan dengan hal itu
Termohon II telah dimasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) di Kepolisian Wilayah
Kota Besar Surabaya (Polwiltabes Surabaya) sesuai dengan Surat No. Pol.
R/635/VII/2007/RESKRIM tertanggal 31 Juli 2007 berdasarkan laporan polisi No. Pol.
LP/K/1768/XII/2006/SPK tanggal 13 Desember 2006 dan No. Pol. LP/K/0650/IV/2007/SPK
tanggal 20 April 2007 atas dugaan terjadinya tindak pidana penipuan dan penggelapan (Pasal
372 dan 378 KUHP) oleh Termohon II terhadap Kreditor yang lain. Hal ini semakin
membuktikan bahwa Termohon II sebagai Debitor yang mempunyai utang dan telah jatuh
tempo tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya kepada para
Kreditornya.
Bahwa, Termohon II mempunyai istri yang bernama Ny. ANG FANNY ANGELINA
alias ANG FANNY ANGELIA (Turut Termohon), beralamat di Jalan Darmo Permai Timur
1/17 Surabaya, dalam hal ini menjadi Turut Termohon karena selaku istri dari Termohon II
selama dalam perkawinannya dengan Termohon II telah mempunyai harta bersama yang
karena itu pula harta tersebut menjadi jaminan atas perbuatan salah satu diantara mereka,
dengan demikian beralasan hukum apabila harta kekayaan milik pribadi Termohon II dan
Turut Termohon selama perkawinan dijadikan jaminan dan tanggungan atas kepailitan yang
sedang diperiksa dan akan diputus oleh Majelis Hakim dalam perkara ini.
Bahwa, para Termohon selain mempunyai utang kepada para Pemohon juga
mempunyai utang terhadap Kreditor lain yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yang
menjadi bagian tak terpisahkan dari pengajuan permohonan kepailitan ini yaitu FERRY
SUDIKNO yang beralamat di Jalan Bratang Gede No. 49, sebesar Rp 11.798.054.000,-
(sebelas milyar tujuh ratus sembilan puluh delapan juta lima puluh empat ribu rupiah).
Bahwa atas permohonan tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya
telah mengambil putusan, yaitu putusan Nomor 08/Pailit/2008/PN.NIAGA.Sby tanggal 14
Agustus 2008, yang amarnya intinya mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Ini berarti Termohon, GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG
FANNY ANGELIA dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Untuk itu, pihak
Pengadilan Niaga juga telah menujuk Hakim Pengawas dan Kurator untuk membereskan
harta debitur pailit.
Pada tingkat Kasasi yang diajukan ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY
ANGELIA tersebut, Mahkamah Agung tetap menguatkan putusan pengadilan pada tingkat
pertama, dimana putusan tersebut diuraikan dalam risalah Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 702 K/Pdt.Sus/2008 tanggal 27 November 2008 diberitahukan
kepada Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Termohon Kasasi pada tanggal 11 Februari
2009 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut yaitu
putusan Mahkamah Agung Nomor 702 K/Pdt.Sus/2008 tersebut, kemudian terhadapnya oleh
para Pemohon Peninjauan Kembali (dengan perantaraan kuasanya berdasarkan surat kuasa
khusus tanggal 2 November 2009) diajukan permohonan Peninjauan Kembali secara lisan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri/Niaga Surabaya tersebut pada tanggal 4 Desember 2009
permohonan mana disertai dengan memori yang memuat alasan-alasan permohonannya yang
diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri/Niaga Surabaya tersebut pada tanggal 4
Desember 2009.
Dalam novum yang ditemukan setelah 180 (seratus delapan puluh) hari dari putusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) pada tanggal 29
September 2009 sehingga tenggang waktu Peninjauan Kembali masih cukup waktu dan
memenuhi syarat berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1945 Mahkamah Agung,
sebagaimana terdapat dalam Pasal 67, Pasal 69 huruf b yang disebut pada huruf b, ”sejak
ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah
sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang”.
Pemohon Peninjauan Kembali di dalam mengajukan permohonan dengan ditemukan
fakta-fakta berupa:
1.      Terdapat bukti baru yang menimbulkan dugaan kuat jika keadaan itu sudah diketahui pada
waktu sidang/proses pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga dan Surabaya dan Mahkamah
Agung RI masih berlangsung hasilnya akan menjadi putusan yang setidak-tidaknya lain dari
putusan yang ada sekarang ini;
2.      Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 08/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby, tertanggal 14
Agustus 2008, diajukan gugatan dan terdaftar di Kepaniteraan Negeri Surabaya tanggal 30
Juni 2008, sedangkan sebelum permohonan kepailitan tersebut diajukan kepada GUNAWAN
ALIE (CV DELIMA) dan ANG FANNY ANGELIA, lebih dulu gugatan GUNAWAN
ALIE (CV. DELIMA) dan ANG FANNY ANGELIA terhadap PT Bank Mandiri
(Persero), Tbk. Surabaya yang beralamat di Jalan Basuki Rahmat No. 129- 137 Surabaya
pada tanggal 18 Januari 2008 dan diputus Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
34/Pdt.G/2008/PN.Sby, tanggal 13 November 2008.
Jadi relevansinya hukum putusan Pengadilan Niaga Surabaya No. 08/Pailit/
2008/PN.Niaga.Sby seharusnya di tangguhkan menunggu putusan Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor 34/Pdt.G/2008/PN.Sby, dikarenakan masih adanya upaya hukum Pemohon
Peninjauan Kembali untuk kelanjutan usahanya;
3.      Dari uraian poin 2 terjadi satu kontradiksi dalam hukum yang mana pada saat gugatan
kepailitan sedang berjalan GUNAWAN ALIE (CV. DELIMA) dan ANG FANNY
ANGELIA semestinya menunggu putusan gugatan GUNAWAN ALIE (CV. DELIMA)
dan ANG FANNY ANGELIA kepada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Surabaya
sampai adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde), kenyataan gugatan kepailitan tetap berlanjut dan diputus dengan putusan
Pengadilan Niaga Surabaya No. 08/ Pailit/2008/PN.Niaga Sby, tertanggal 14 Agustus 2008
dan putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 702 K/Pdt.Sus/2008 tertanggal 27 November
2008;
4.      Kontradiksi dalam hukum yang dimaksud oleh hakim Agung adalah sebagai berikut :
a)      Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 08/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby, tertanggal 14
Agustus 2008, yang amarnya intinya menyatakan para Termohon GUNAWAN ALIE dan
ANG FANNY ANGELIA pailit dengan segala akibat hukumnya;
b)      Putusan Mahkamah Agung RI Reg. Nomor 702 K/Pdt.Sus/2008 tertanggal 27 November
2008, yang amarnya intinya menyatakan penolakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi
ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY ANGELIA;
c)      Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 34/Pdt.G/2008/ PN.Sby, tanggal 13 November
2008, yang amarnya intinya menyatakan Tergugat lalai atau Wanprestasi terhadap Perjanjian
Kredit Modal Kerja Nomor CCO.SBY/118/PK-KMK/2005 yang dibuat pada tanggal 5
Agustus 2005 Nomor : 20 oleh Penggugat dan Tergugat dihadapan Isy Karimah Syakir,
SH. Notaris di Surabaya dan perjanjian Kredit Investasi dan Insterest During Construction
(IDC) Nomor : CCO.SBY/021/PK-KI/2005, Akte Nomor : 21 tanggal 5 Agustus 2005 yang
dibuat dihadapan Isy Karimah Syakir, SH. Notaris di Surabaya;
d)     Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 204/PDT/2009/ PT.SBY jo Nomor
34/Pdt.G/2008/PN.Sby tanggal 15 Juni 2009 merupakan bukti baru (novum), yang amarnya
intinya menyatakan Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 13 November
2008 No. 34/Pdt.G/2008/PN.Sby, yang dimintakan banding tersebut.
5.      Bahwa, pada poin 4 telah terjadi pertentangan antar putusan peradilan dan dapat dikatakan
putusan tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) (Pasal
1365 KUHPerdata) dan tidak sesuai dengan asas-asas dalam kepailitan yakni asas
keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integrasi dikarenakan
adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia sehingga melawan Undang-Undang 1945
(ongrondweetig) Amandemen-10 Agustus 2002.
Tetapi, terhadap novum yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tersebut,
setelah diperiksa dalam prosesnya menurut pendapat hakim, bukti-bukti tersebut dianggap
tidak merupakan bukti baru yang bersifat menentukan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 295
ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.
Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang
diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali yang diajukan oleh GUNAWAN ALIE dan
ANG FANNY ANGELINA ALIAS ANG FANNY ANGELIA tersebut dinyatakan ditolak,
untuk itu, sumber hukum yang dianggap berlaku adalah hasil putusan tingkat pertama yang
telah diputus oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya sebelumnya.

B.     Analisis Yuridis Atas Sengketa Wanprestasi Dan Kepailitan Dalam Perkara Antara
GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA Alias ANG FANNY ANGELIA
(Suami Istri), Selaku Pemilik CV.DELIMA Melawan OEI KENG HIEN dan TROY
HARYANTO
Pailitnya GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY
ANGELIA (suami istri), selaku Pemilik CV. DELIMA yang bertindak sebagai pihak
Debitor, banyak menimbulkan akibat yuridis yang diberlakukan kepadanya oleh Undang-
Undang Kepailitan. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada Debitor dengan 2 (dua)
model pemberlakuan, yaitu:
1.      Berlaku demi hukum
Beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah
pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap
ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas,
Kurator, Kreditor, dan pihak lain yang terlibat dalam proses kepailitan tidak dapat
memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis tersebut.1[1]
2.      Berlaku secara Rule of Reason
Selain akibat yuridis hukum kepailitan yang berlaku demi hukum, terdapat akibat hukum
tertentu dari kepailitan yang berlaku secara Rule of Reason. Maksud dari pemberlakuan
model ini adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika
diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan yang wajar untuk
diberlakukan.2[2]
Akibat yuridis dari putusan kepailitan terhadap pihak Debitor yang dipailitkan diatas
adalah GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY
ANGELIA (suami istri), selaku Pemilik CV. DELIMA kehilangan hak untuk melakukan
pengurusan hartanya, yang kemudian diwakili oleh Kurator dan Hakim Pengawas dalam
1 [1] Contoh dari pemberlakuan model ini dapat dilihat pada Pasal 97 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2 [2] Contoh pemberlakuan mode secara Rule of Reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Harta debitor
pailit dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas, sehingga hal ini tidak berlaku secara otomatis. Hal ini
dapat pula dilihat dalam ketentuan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
melakukan sita umum dan pembayaran kompensasi kepada pihak-pihak Kreditur berdasarkan
hak atau jaminan kebendaan yang dimilikinya. Tetapi kendalanya dalam perkara ini, berlaku
pula penangguhan eksekusi karena hasil putusan yang saling TUMPANG TINDIH atau
kontradiksi antar lembaga yang mengadili.
Sitaan umum ini berlaku terhadap seluruh harta Debitor, yaitu harta yang telah ada pada
saat putusan pailit ditetapkan yang telah inkracht van bewijdse. Adanya putusan pernyataan
pailit berakibat terhadap semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika
diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Sitaan terhadap seluruh
kekayaan Debitor merupakan bagian dari pengelolaan harta pailit (management of estate).
Pengelolaan ini merupakan suatu metode sistematik untuk mengurus harta kekayaan Debitor
selama menunggu proses kepailitan. Caranya dilakukan dengan menunjuk beberapa wakil
Kreditor untuk mengontrol semua harta kekayaan Debitor, serta diberikan kekuasaan untuk
mencegah, dalam bentuk peraturan, transaksi, perbuatan curang untuk mentransfer kekayaan,
mengumpulkan, mengelola, dan mendistribusikannya kepada para Kreditor.
Dalam perkara ini sita umum seharusnya dilakukan secara langsung terhadap semua
harta kekayaan yang dimiliki oleh Debitor untuk manfaat semua Kreditor. Dengan demikian,
undang-undang kepailitan digunakan untuk memaksa para Kreditor menghentikan eksekusi
haknya sendiri-sendiri, dan pada sisi yang lain Debitor harus melepaskan penguasaan
terhadap aset-asetnya dan menyerahkannya pada pengadilan. Adapun tujuan undang-undang
kepailitan dalam hal ini adalah memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-
hak dari berbagai macam Kreditor terhadap aset Debitor yang tidak cukup nilainya (debt
collection system).3[3]
Pada kasus ini, para Pemohon yang mengajukan gugatan kepailitan kepada Termohon
karena didasari sesuai Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang
menyatakan bahwa “Dalam Perseroan Firma, tiap-tiap persero bertanggung jawab secara
tanggung renteng untuk seluruhnya atas perikatan perseroannya”, maka pihak-pihak
Termohon yaitu GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY
ANGELIA (suami istri), yang bertindak sebagai Direktur Persero Pengurus harus
bertanggung jawab penuh pula secara pribadi kewajiban perseroannya untuk seluruhnya.
Keunikan lainnya yaitu berupa terdapatnya kenyataan bahwa gugatan tingkat perdata
saling berjalan beriringan dengan gugatan pada tingkat Pengadilan Niaga. Dalam risalah

3 [3] Rahayu Hartini. 2009. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia. Jakarta : Kencana, hal 192-193.
putusan tidak dijelaskan secara tersurat mana gugatan yang didahulukan daripada yang
lainnya, tetapi nampak bahwa gugatan pada tingkat Pengadilan Niaga akibat hukumnya
dianggap lebih dapat dilaksanakan terlebih dahulu, daripada gugatan tingkat perdata. Hal ini
tercermin pada pernyataan:
Putusan Mahkamah Agung RI Reg. Nomor 702 K/Pdt.Sus/2008 jo Reg. Nomor
08/Pailit/2008/PN.Niaga.Sby tertanggal 27 November 2008 tidak sesuai dengan asas-asas
dalam kepailitan tersebut, dipertegas dalam Peraturan Perundangan di Indonesia dengan 6
(enam) asas perundang-undangan, yaitu :
a.       Undang-Undang tidak berlaku surut;
b.      Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi pula;
c.       Undang-Undang yang berlaku khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat
umum (lex specialis derogat lex generalis);
d.      Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku
terdahulu (lex posteriore derogate lex priori);
e.       Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat;
f.       Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan
spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu melalui pembaharuan dan pelestarian
(asas welfare-staat).”
Atas hal tersebut, nampak walaupun pihak GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY
ANGELINA alias ANG FANNY ANGELIA (suami istri), selaku Pemilik CV. DELIMA
juga sedang berperkara dengan PT Bank Mandiri (Persero), Tbk. Surabaya dalam tuduhan
sengketa wanprestasi, tetapi gugatan tersebut tidak menghentikan pemeriksaan jalannya
gugatan kepailitan antara GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG
FANNY ANGELIA (suami istri), selaku Pemilik CV. DELIMA dengan OIE KENG
HIEN dan TROY HARYANTO.

C.    Kajian Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 057 PK/Pdt.Sus/2010
Antara GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA Alias ANG FANNY
ANGELIA (Suami Istri), Selaku Pemilik CV.DELIMA Melawan OEI KENG HIEN dan
TROY HARYANTO terhadap Asas-Asas Hukum Kepailitan
Prinsip-prinsip hukum di dalam hukum kepailitan diperlukan sebagai dasar
pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar andalan memecahkan persoalan hukum
yang timbul yang mana tidak dapat/belum dapat diakomodir oleh peraturan hukum yang ada.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa prinsip di dalam hukum kepailitan dimana
keberadaanya digunakan sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum terkait dengan
putusan Peninjauan Kembali tersebut, yaitu:

1. Prinsip Paritas Creditorium

Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa kreditor
mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat
membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor4[4]. Prinsip
paritas creditorium mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa
barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai
debitor dan barangbarang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian
kewajiban debitor. Adapun filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan
suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda, sementara utang debitor terhadap para
kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan
debitor demi hukum. menjadi jaminan terhadap utang-utangnya, meski harta tersebut tidak
terkait langsung dengan utang-utangnya.
Menurut Kartini Muljadi, peraturan kepailitan di dalam Undang-Undang Kepailitan adalah
penjabaran dari Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1132 Burgerlijk Wetboek. Hal ini
dikarenakan :
a.       Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debitornya,
b.      Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak atasnya, tetapi tidak
lagi berhak menguasainya atau menggunakannya atau memindahkan haknya atau
mengagunkannya,
c.       Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh harta pailit.
Namun demikian, prinsip ini tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena hal ini akan
menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak ketidakadilan tersebut adalah para kreditor
berkedudukan sama antara satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip ini tidak
membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan piutang besar
maupun kecil, pemegang jaminan, atau bukan pemegang jaminan. Oleh karenanya,
ketidakadilan prinsip paritas creditorium harus digandengkan dengan prinsip pari passu pro
rata parte dan prinsip structured creditors5[5]. Berbeda halnya dengan Undang-Undang
Kepailiatan yang menerapkan prinsip paritas creditorium, maka di dalam

4[4] Mahadi. 2003. Falsafah Hukum : Suatu Pengantar. Bandung : Alumni, hlm. 135.
Faillissementsverordening (Peraturan Kepailitan sebelum Tahun 1998) tidak menganut
prinsip paritas creditorium. Di dalam Pasal 1 Peraturan Kepailitan/
Faillissementsverordening menyatakan bahwa setiap debitor yang tidak mampu membayar
kembali utang tersebut baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor
atau lebih, dapat diadakan putusanoleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang
bersangkutan dalam keadaan pailit. Ketentuan tersebut, tersurat bahwa pernyataan pailit
hanya memerlukan dua syarat saja, yaitu debitor harus berada dalam keadaan telah berhenti
membayar, dan harus ada permohonan pailit baik oleh debitor sendiri maupun seorang
kreditor atau lebih. Ketentuan di dalam Faillissementsverordening yang tidak menganut
prinsip paritas creditorium merupakan kelalaian pembuat undang-undang. Pentingnya prinsip
paritas creditorium untuk dianut di dalam peraturan kepailitan adalah sebagai pranata hukum
untuk menghindari unlawful execution akibat berebutnya para kreditor untuk memperoleh
pembayaran piutangnya dari debitor dimana hal itu akan merugikan baik debitor sendiri
maupun kreditor yang datang terakhir atau kreditor yang lemah.
Berdasarkan prinsip ini, hakim telah benar dalam menerapkan hukum mengingat
GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY ANGELIA
(suami istri), selaku Pemilik CV. DELIMA dimana keduanya dipailitkan karena telah
memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pada Pasal 2 dimana telah ada dua atau lebih
kreditur pailit dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan tidak dapat ditagih, sehingga
secara normatif permohonan kepailitan harus dikabulkan. Secara sosiologis, pengabulan
permohonan pailit membawa implikasi bahwa adanya pembagian harta yang dimiliki oleh
debitur pailit untuk membayar semua utangnya kepada krediturnya, oleh sebab itu
permohonan kepailitan ini bertujuan untuk sesegera mungkin dilakukan pelunasan utang
debitur pailit yang pengurusannya dilakukan oleh kurator.
2.      Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte
Prinsip pari passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan
bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara
mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus
didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.

5[5] Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Rudhy A.
Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 300.
Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya
terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-
pond gewijs) dan bukan dengan sama rata. Prinsip pari passu pro rata parte ini bertujuan
memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditor
yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapatkan porsi pembayaran
piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil
daripadanya. Adapun pengaturan mengenai prinsip ini diatur pula di dalam Pasal 189 ayat (4)
dan (5) dan penjelasan Pasal 176 huruf a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pada putusan kasus diatas, debitur pailit mempunyai utang 2.424.501.000,- (dua milyar empat
ratus dua puluh empat juta lima ratus satu ribu rupiah) sehingga untuk pengurusan harta pailit
dimana semua harta milik pailit tersebut dilakukan pengurusannya oleh kurator setelah
dilakukan pengurangan terhadap biaya untuk kurator (didahulukan karena perintah undang-
undang) kemudian dibagikan pada para kreditur pailit secara proporsional.
3.      Prinsip Structured Pro Rata
Prinsip structured pro rata atau yang disebut juga dengan istilah structured creditors
merupakan salah satu prinsip di dalam hukum kepailitan yang memberikan jalan
keluar/keadilan diantara kreditor. Prinsip ini adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan
mengelompokkan berbagai macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Di dalam
kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu kreditor separatis, kreditor
preferen, dan kreditor konkuren. Menurut Jerry Hoff, pembagian kreditor di dalam hukum
kepailitan dijabarkan sebagai berikut :
1. Right of secured creditors, security interests are in rem right that vest in the creditor by
agreement and subsequent performance of certain formalities. A creditor whose interests are
secured by in rem right is usually entitled to cause the foreclosure of the collateral without a
judgement, to satisfy his claim from the proceeds with priority over the other creditors. This
right to foreclosure without a jugdementis called the right of immediate enforcement.
2. Preferred Creditors, The preferred creditors have a preference to their claim. Obviously, the
preference issue is only relevant if there is more than one creditor and if the assets of the
debtor are not sufficient to pay of all the creditors (there is a concursus creditorum).
Preferred creditor are required to present their claims to the the receiver for verification and
are thereby charged a pro rata parte share of costs of the bankruptcy. There are several
categories of preferred creditors : creditors who have statutory priority, creditors who have
non-statutory priority, and estate creditors.
3. Unsecured Creditors, The unsecured creditors do not have priority and will therefore be
paid, if any poceeds of the bankruptcy estate remain, after all trhe other creditors have
received payment. Unsecured creditors are required to present their claims for verification to
their receiver and they are charged a pro rata parte share of the costs of the bankruptcy.
Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor konkuren saja, melainkan
juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor separatis) dan kreditor yang
menurut ketentuan hukum harus didahulukan (kreditor preferen). Ketiga kreditor ini diakui
eksistensinya dan bahkan di dalam undang-undang kepailitan Belanda tidak terdapat
keraguan terhadap hak kreditor separatis dan kreditor preferen untuk mengajukan kepailitan.
Berdasarkan perkara diatas OEI KENG HIEN memberikan pinjaman senilai Rp
1.500.000.000,-(satu milyar Iima ratus juta rupiah) yaitu dana pinjaman yang berasal dari
TROY HARYANTO. Jadi, total utang Termohon kepada para Pemohon adalah sebesar Rp
924.501.000 (sembilan ratus dua puluh empat juta lima ratus satu ribu rupiah) + Rp
1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah), yaitu senilai Rp 2.424.501.000,- (dua
milyar empat ratus dua puluh empat juta lima ratus satu ribu rupiah) sehingga pembagian
utang pailit dilakukan secara proporsional sehingga kreditur dengan pemilik piutang yang
paling banyak adalah TROY HARYANTO yang memperoleh bagian yang paling banyak.

4.      Prinsip Debt Collection


Prinsip debt collection (debt collection principle) adalah suatu konsep pembalasan dari
kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor.
Menurut Tri Hernowo, kepailitan dapat digunakan sebagai mekanisme pemaksaaan dan
pemerasan. Sedangkan menurut Emmy Yuhassarie, hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat
collective proceeding, yang berarti tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditor
akan berlomba-lomba secara sendiri-sendiri mengklaim aset debitor untuk kepentingan
masing-masing. Oleh karenanya, hukum kepailitan mengatasi apa yang disebut dengan
collective action problem yang ditimbulkan dari kepentingan individu masingmasing
kreditor.
Fred BG. Tumbuan menyatakan bahwa di dalam sistem hukum Kepailitan Belanda,
penerapan prinsip debt collection sangat ditekankan. Hal ini disitir Fred BG Tumbuan dari
Professor Mr. B. Wessels dari bukunya yaitu Faillietverklaring. Di dalam buku tersebut
menyatakan bahwa sehubungan dengan pemohonan pernyataan pailit perlu kiranya diingat
bahwa baik sita jaminan (conservatoir beslaglegging) maupun permohonan pernyataan pailit
adalah prosedur penagihan yang tidak lazim (oineigenlijke incassoprocedures). Dinamakan
“tidak lazim” karena kedua upaya hukum tersebut disediakan sebagai “sarana tekanan”
(pressie middle) untuk memaksa pemenuhan kewajiban oleh debitor6[6].
Berkaitan dengan penggunaan permohonan pernyataan pailit sebagai sarana untuk menekan
atau memaksa debitor memenuhi kewajibannya. Di negeri Belanda, terdapat perlindungan
yang layak bagi debitor, yaitu :
a.       Pemohon pernyataan pailit harus mempunyai kepentingan wajar (redelijk belang) dalam
permohonan pernyataan pailit. Syarat “kepentingan wajar” bersumber pada keadah hukum
“tanpa kepentingan, tidak ada hak gugat” (geen belang, geen actie). Kaedah hukum ini
dinyatakan secara jelas dalam Pasal 3 : 303 BW Belanda (Netherland Burgerlijk Wetboek)
yang berbunyi : “zonder voldoende belang kamt niemand een rechtvordering toe” (hanya
orang yang mempunyai kepentingan yang cukup berhak mengajukan gugatan hukum).
Kaedah hukum ini menegaskan bahwa “kepentingan yang cukup” adalah kepentingan yang
seimbang dan oleh karenanya membenarkan diajukannya gugatan hukum
(evenredigheidscriterium).
b.      Hak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit tidak boleh disalahgunakan. Larangan
ini bersumber pada kaedah hukum bahwa penyalahgunaan wewenang (misbruik van
bevoegheid) tidak dibenarkan. Kaedah hukum tersebut ditegaskan di dalam Pasal 3 : 13 (1)
BW Belanda yang berbunyi : “degene aan een bevoegheid toekomt, kom haar niet inroepen,
voor zoverhij haar misbruikt” (orang yang mempunyai suatu kewenangan tidak dapat
menggunakan kewenangan tersebut sejauh ia menyalahgunakannya).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa segenap harta kekayaan debitor adalah menjadi
jaminan terhadap utang dari para kreditor. Letak prinsip debt collction di dalam kepailitan
yaitu berfungsi sebagai sarana pemaksa untuk merealisasikan hak-hak kreditor melalui proses
likuidasi terhadap harta kekayaan debitor. Menurut Setiawan, peraturan kepailitan pada
prinsipnya adalah debt collection law dan bahwa kepailitan merupkan suatu aksi kolektif
(collective action) dalam debt collection. Douglas G. Bird menyatakan bahwa hukum
kepailitan bertujuan untuk digunakan sebagai alat collective proceeding. Debt collection
principle merupakan prinsip yang menekankan bahwa utang dari debitor harus dibayar
dengan harta yang dimiliki oleh debitor secara sesegera mungkin untuk menghindari itikad

6[6] Fred BG Tumbuan, “Komentar Atas Catatan Terhadap Putusan No : 14 K/N/2004 jo No :


18/Pailit/P.Niaga/Jkt.Pst” dalam Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan Pada pengadilan Negeri
Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Jakarta, 2005, hlm. 11.
buruk dari debitor dengan cara menyembunyikan dan menyelewengkan terhadap segenap
harta bendanya yang sebenarnya adalah sebagai jaminan umum bagi kreditornya. Manifestasi
dari prinsip debt collection di dalam kepailitan adalah ketentuan untuk melakukan
pemberesan aset dengan jalan likuidasi yang cepat dan pasti, prinsip pembuktian sederhana,
diterapkannya putusan kepailitan secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad), adanya
ketentuan masa tunggu (stay) bagi pemegang jaminan kebendaan, dan kurator sebagai
pelaksana pengurusan dan pemberesan.
Berkaitan dengan peraturan atau hukum kepailitan yang ada di Indonesia, di dalam Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 1 ayat (1) undang-undang kepailitan sangat memegang teguh bahwa
kepailitan adalah sebagai pranata debt collection. Persyaratan dipailitkan hanya berupa dua
syarat kumulatif, yakni debitor memiliki utang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih
yang belum dibayar lunas, serta memiliki dua atau lebih kreditor. Di dalam undang-undang
kepailitan tersebut tidak mensyaratkan adanya jumlah minimum utang tertentu atau
disyaratkannya keadaan insolven dimana harta kekayaan debitor (aktiva) lebih kecil daripada
utang-utang yang dimiliki (pasiva). Prinsip debt collection di dalam undang-undang
kepailitan Indonesia lebih mengarah kepada kemudahan umntuk melakukan permohonan
kepailitan. Implementasi dari prinsip debt collection juga terdapat di dalam konsep mengenai
sita umum harta kekayaan si pailit. Akan tetapi hal-hal yang berkaitan dengan konsep sita
umum ini telah mengalami pergeseran makna dalam konteks hukum kepailitan. Hal ini
terbukti dari adanya sanksi kehilangan hak keperdataan tertentu, antara lain diatur di dalam
Pasal 79 ayat (3) juncto Pasal 96 Undang-Undang Perseroan Terbatas, Pasal 45 ayat (1) dan
Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Dari hal diatas dapat diketahui bahwa ketentuan-ketentuan yang berkait dengan kepailitan
berakibat hukum kepailitan mengalami distorsi dimana seharusnya kepailitan hanya berkaitan
dengan harta kekayaan subyek hukum saja, tetapi pada kenyataannya mencakup pula hak-hak
keperdataan lainnya dan bahkan hak-hak publik sehingga perkara perdata maupun perkara
ganti kerugian dalam perkara pidana yang diajukan oleh pihak dalam perkara yang
bebarengan dengan permohonan kepailitan, perkara-perkara tersebut menjadi
dikesampingkan karena adanya perkara kepailitan (asas lex specialis derogate legi generalis).
5.      Prinsip Utang
Di dalam proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting dan
esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara kepailitan
akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidak ada karena kepailitan
adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utang-
utangnya terhadap para kreditornya.
Dengan melihat definisi dari seluruh kewajiban (obligations), hal tersebut tidak menunjukkan
adanya seluruh liputan kewajiban yang ada pada debitor. Claim menurut Bankruptcy Code
Amerika Serikat, mengharuskan adanya right to payment. Right to payment ini merupakan
suatu claim sekalipun berbentuk contingent, unliquidated, dan unmatured. Suatu contingent
claim adalah : “one which the debtor will be called upon to pay only upon the occurrence or
happening of an extrinsicevent which will trigger the liability of the debtor to the alleged
creditor and if triggering event or occurrence was one reasonably contemplated by the
debtor and creditor at the time the event giving rise to the claim occurred”.
Menurut Jordan, Warren, dan Bussel, sekalipun suatu claim didefinisikan sebagai right to
payment, hak tersebut tidak perlu merupakan hak yang telah ada sekarang untuk menerima
sejumlah uang (a present right to receive money). Dengan demikian menurut definisi
tersebut, apabila kewajiban debitor tidak menimbulkan suatu right to payment maka
kewajiban debitor tersebut tidak dapat digolongkan sebagai suatu claim. Pada saat
diundangkannya Section 101 (5), Congress Amerika Serikat melakukan revisi terhadap
definisi claim sehingga menjadi lebih luas pengertiannya dibandingkan dengan Bankruptcy
Law sebelumnya. Di dalam ketentuan sebelumnya, claim harus memenuhi “proved” dan
“allowed”. Namun setelah dilakukan revisi, maka claim yang dimaksud di dalam Bankruptcy
Code adalah tetap harus “allowed”. Claim ini dianggap “allowed” apabila claim tersebut
telah diakui validitasnya oleh pengadilan menurut jumlah tersebut (has been recognized by
the court as valid in the amount claim).
Pengertian utang dalam Undang-Undang No 37 Tahun 2004, pada ketentuan umum, Utang
adalah kewajiban yang dinyatakan) atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam
mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang
dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor. Dalam perkara ini utang yang
dimiliki oleh debitur pailit merupakan utang yang sesuai dalam pengertian utang pada
undang-undang di atas dan dapat permohonan pailit dapat dikabulkan.

6.      Prinsip Debt Pooling


Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan paiit
harus dibagi diantara para kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut,
kurator akan berpegang pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata
parte serta pembagian berdasarkan jenis masing-masing kreditor (structured creditors
principle).
Black menjelaskan debt pooling sebagai, “Arrangement by which debtor adjusts many
debts by distributing his assets among several creditor, who mat or may not agree to take
less than is owed; or and arrangement by which debtor agree to pay in regular installments a
sum of money to one creditor who agrees to discharge all his debt.
Prinsip debt pooling ini juga merupakan artikulasi dari kekhususan sifat-sifat yang melekat
di dalam proses kepailitan, baik itu berkenaan dengan karakteristik kepailitan sebagai
penagihan yang tidak lazim (oineigenlijke incassoprocedures), pengadilan yang khusus
menangani kepailitan dengan kompetensi absolut yang berkaitan dengan kepailitan dan
masalah yang timbul dalam kepailitan, terdapatnya hakim pengawas dan kurator, serta hukum
acara yang spesifik diperlukan dalam pembaruan hukum kepailitan kedepan. Dalam pada itu,
pada kasus diatas permohonan pailit memang diperlukan karena adanya utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih serta adanya dua kreditur atau lebih yang berpiutang.
Disamping itu pengurusan yang dilakukan oleh kurator bertujuan untuk meniadakan adanya
ikhtikad tidak baik dari debitur pailit untuk menggelapkan harta pailit.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Perkara kepailitan ini diajukan oleh pihak-pihak yang merupakan Kreditur dari
CV.DELIMA yang bergerak dibidang percetakan, yaitu OIE KENG HIEN dan TROY
HARYANTO (Pemohon), serta GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias
ANG FANNY ANGELIA yang bertindak selaku Debitur (Termohon).
Para Pemohon mengajukan permohonan kepailitan kepada Termohon karena didasari
Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menyatakan bahwa “Dalam
Perseroan Firma, tiap-tiap persero bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk
seluruhnya atas perikatan perseroannya”, maka Termohon II yaitu GUNAWAN ALIE yang
merupakan Direktur Persero Pengurus harus bertanggung jawab penuh pula secara pribadi
kewajiban perseroannya untuk seluruhnya.
Dari pengajuan permohonan Pailit tersebut, telah dijatuhkan putusan dengan Putusan
Nomor : No. 08/Pailit/2008/PN.NIAGA.Sby jo. Putusan Mahkamah Agung RI Reg. No. 702
K/Pdt.Sus/2008 jo No. 057 PK/Pdt.Sus/2010. Dari putusan Pengadilan Niaga Surabaya
tersebut telah menjatuhkan bahwa Termohon Pailit GUNAWAN ALIE selaku Direktur CV.
DELIMA dan ANG FANNY ANGELIA pailit dengan segala akibat hukumnya.
Berdasarkan Prinsip Paritas Creditorium, hakim telah benar dalam menerapkan hukum
mengingat GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY
ANGELIA (suami istri), selaku Pemilik CV. DELIMA dimana keduanya dipailitkan
karena telah memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, pada Pasal 2 dimana telah ada dua
atau lebih kreditur pailit dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan tidak dapat ditagih,
sehingga secara normatif permohonan kepailitan harus dikabulkan. Secara sosiologis,
pengabulan permohonan pailit membawa implikasi bahwa adanya pembagian harta yang
dimiliki oleh debitur pailit untuk membayar semua utangnya kepada krediturnya, oleh sebab
itu permohonan kepailitan ini bertujuan untuk sesegera mungkin dilakukan pelunasan utang
debitur pailit yang pengurusannya dilakukan oleh kurator.
Namun dalam perkara ini terdapat beberapa kontradiksi/keunikan yaitu:
      Dalam perkara ini, berlaku perkara penangguhan eksekusi karena hasil putusan yang saling
TUMPANG TINDIH atau kontradiksi antar lembaga yang mengadili.
      Terdapat kenyataan bahwa gugatan tingkat perdata saling berjalan beriringan dengan gugatan
pada tingkat Pengadilan Niaga. Dalam risalah putusan tidak dijelaskan secara tersurat mana
gugatan yang didahulukan daripada yang lainnya, tetapi tampak bahwa gugatan pada tingkat
Pengadilan Niaga akibat hukumnya dianggap lebih dapat dilaksanakan terlebih dahulu,
daripada gugatan tingkat perdata.
      Walaupun pihak GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY
ANGELIA (suami istri), selaku Pemilik CV. DELIMA juga sedang berperkara dengan PT.
Bank Mandiri (Persero), Tbk. Surabaya dalam tuduhan sengketa wanprestasi, tetapi
gugatan tersebut tidak menghentikan pemeriksaan jalannya gugatan kepailitan antara
GUNAWAN ALIE dan ANG FANNY ANGELINA alias ANG FANNY ANGELIA
(suami istri), selaku Pemilik CV. DELIMA dengan OIE KENG HIEN dan TROY
HARYANTO.

B.     SARAN
Adanya kontradiksi dalam kasus kepailitan seperti kasus diatas tentu saja mempunyai
dampak bagi dunia peradilan di Indonesia. Adanya ketidakjelasan wewenang ini dapat
menyebabkan tidak adanya kepastian hukum serta ketidakjelasan dalam masyarakat yang
dapat berakibat hilangnya kepercayaan masayarakat terhadap lembaga peradilan.
Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal tersebut terulang kembali harus ada kepastian
hukum serta kepastian wewenang antar lembaga peradilan di Indonesia sehingga tidak akan
terjadi tumpang tindih antar lembaga peradilan. Apabila ada kewenangan yang jelas maka
kinerja dari setiap lembaga peradilan ini dapat maksimal dan demikian diharapkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan khususnya peradilan niaga dapat terus
meningkat.

Anda mungkin juga menyukai