Anda di halaman 1dari 11

PEMERINTAH DAERAH DALAM KONTEKS

OTONOMI DAERAH

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

     Otonomi daerah merupakankewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus


kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

            Sebagai respon atas tuntutan reformasi pemerintah dengan cukup cepat telah mela-kukan
pembahan yang cukup mendasar atas berbagai UU dalam bidang politik dari yang berwatak
sentralistisotoritarian ke otonomi-demokratis. Setelah berhasil menyusun tiga UU bidang politik
yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu tahun 1999 pemerintah segera menyusulinya dengan UU
baru dalam bidang politik khusus mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah yakni UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Hubungan
Keuangan antara Pusat dan Daerah.

            Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini menyangkut masalah yang
sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding)yang selama era Orde Baru sangat
timpang karena hampir seluruh kekuasaan bertumpu di tangan pemerintah Pusat tepatnya di tangan
Presiden.

            Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini menjadi kehamsan paling tidak dua

alasan. Pertama, demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan

otonomi daerah menjadi tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah satu

dari lima hati nurani global (global conciousnes)  Kedua, pengalaman Indonesiadengan sistem
otoriter yang mengabaikanotonomi daerah terbukti telah menyimpan

api yang kemudian menyulut lahimya kritis politik, bahkan yang terjadi belakangan ini krisis politik
telah. memancing fenomena disintegrasi.
B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa itu otonomi daerah

2.      Empat Problem Otonomi Daerah

3.      Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

4.      Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah

5.      Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi

C.    Tujuan
Tujuan umum dari makalah ini adalah agar pembaca dapat mengetahui dan memperluas
pengetahuan, bahwa Otonomi Daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II

PEMBAHASAN
D.    OTONOMI DAERAH

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomuntuk mengatur dan mengurus


kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri".
Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian
pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu
sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu
wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu
sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan
sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si


pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam
berorganisasi.

Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan
pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan,
pemerataan, dan keanekaragaman.

Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era otonomi daerah
sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan Bank Dunia, angka
kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas apakah berarti otonomi daerah
justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?

Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya otonomi daerah
di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan paradikmatik-empirik. Tahun
1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas pemerintahan yang sangat sentralistis dan
ingin menuju pola masyarakat yang lebih menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat
Indonesia berada dalam era otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas
konsep otonomi itu memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.

Dalam paparan singkat ini, penulis ingin memberikan catatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah
pada faktanya telah menimbulkan empat problem.

1.      Dasar Hukum

Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :


1.      Undang-undang Dasar

Sebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18 UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan
pemerintahan pusat dan daerah.

2.      Ketetapan MPR-RI

Tap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah : Pengaturan, Pembagian
dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan kekuangan Pusat dan
Daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3.      Undang-Undang
Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada prinsipnya mengatur
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas Desentralisasi.
Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999 adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran
dan fungsi DPRD.

Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan lagi bahwa pelaksanaan
Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana
dengan dasar hukum yang kuat tersebut pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara
optimal.

2.      Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah

Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya menjadi pedoman
dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

1.   Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian kewenangan


berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

2.   Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah propinsi,
sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah Kabupaten dan
daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan
melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

3.   Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan demikian, wilayah
administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom
atau dihapus.

4.   Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah administrasi dalam
rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah
Kabupaten atau daerah Kota.

3. Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah

Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :

1.   Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi,


keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

2.   Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3.   Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah
Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan Otonomi Terbatas.

4.   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap terjamin
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

5.   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan
karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi wilayah administrasi.

6.   Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan Otorita, Kawasan
Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata
dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan Daerah Otonom.

7.   Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah,
baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.

8.   Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai
Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan
kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.

9.   Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah Daerah kepada
Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

E.     Empat Problem Otonomi Daerah

Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara adalah atasan para
pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang demikian? Kenyataannya
sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan walikota untuk terpilih butuh
dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih taat pada pimpinan partai yang
mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di atasnya sering diabaikan, sementara
undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan cepat-cepat berangkat dengan memakai uang
negara. Ini membuat Indonesia seperti mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan
partai tidak memerintah, tapi mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang
didukung partai mereka.

Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur bukan atasan
bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang jumlahnya lebih dari empat
ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis yang untuk meraihnya
membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi presiden, gubernur, dan
bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah wajar kalau dengan semua itu jalur
komando dari pusat ke daerah menjadi terputus. Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan
seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.

Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal banyak program yang
sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah Supari terkait kegagalam
penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari departemen kesehatan tidak mengalir ke
sasaran karena para kepala daerah tidak mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan),
kiranya cukup relevan sebagai contoh. Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah
persekutuan ratusan kabupaten dan kota di Indonesia.
Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam pemerintahan di
Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan perusahaan. Partai dan
perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat bagaimanapun juga adalah atasan
pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah.
Ini membuat partai dan perusahaan di Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan
perusahaan lebih terasa sebagai suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai
“kumpulan” atau bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di
Indonesia terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana
yang umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa
konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini berarti
yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.

Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat tergantung modal asing
dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara (sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz,
dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya
perusahaan; kekayaan Warren Buffet, orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa
dibayangkan jika di jaman dulu puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah”
bisa dikuasai oleh VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang
umumnya secara politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas
negara? Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman
korporatokrasi/konglomeratokrasi.

Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep otonomi daerah
adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah bahwa para gubernur,
bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah pusat, tetapi dalam kontrol DPRD
setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD mempunyai realitas yang sama dengan para
pimpinan pemerintahan dalam hubungannya dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti
kekuasaan korporasi justru semakin mengakar.

Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah ukuran korporasi,
bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan korporasi tidak sesuai dengan
hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan per kapita (angka yang dibutuhkan korporasi),
banyak kabupaten di Indonesia mempunyai pendapatan per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp.
1,5 juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu berarti banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai
penghasilan di atas keluarga doktor. Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka
kemiskinan merupakan hitungan kesejahteraan). Indonesia memang negeri yang sangat aneh.
Berbagai bentuk iklan semakin megah dan meriah. Tapi jalan-jalan semakin berlubang.

Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan antara otonomi
daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan otonomi, harapannya adalah
suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. Kenyataannya, sentralisasi lama dipreteli kekuasaannya
untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan korporasi/konglomerasi internasional.

F.     Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang
kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi
daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-
menarik kalangan elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak
tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh
para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai
pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini :

1.      UU No. 1 tahun 1945

Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah
hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.

2.      UU No. 22 tahun 1948

Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada desentralisasi. Tetapi masih
ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih
menjadi alat pemerintah pusat.

3.      UU No. 1 tahun 1957

Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana kepala daerah
bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat pemerintah pusat.

4.      Penetapan Presiden No.6 tahun 1959

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi. Melalui penpres ini
kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari kalangan pamong praja.

5.      UU No. 18 tahun 1965

Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi dengan memberikan
otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai
pelengkap saja

6.      UU No. 5 tahun 1974

Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya UU NO. 5 tahun 1974 yaitu
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal
Ode Baru, maka pada masa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral
dibanding dengan politik. Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi
peran pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu
nasional.

7.   UU No. 22 tahun 1999

Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas, nyata
dan bertanggung jawab.

 G. Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah

1.   Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali


kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan bidang lain.

2.   Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi,
dan standardisasi nasional.

3.   Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus
disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.

4.   Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus
disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.

5.   Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan
yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu
lainnya.

6.   Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.

7.   Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang


pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.

8.   Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung
jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:

o    Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;

o    Pengaturan kepentingan administratif;

o    Pengaturan tata ruang;

o    Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh pemerintah; dan

o    Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.

9.   Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari batas
laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

10.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain
kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup
kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro,
dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara,
pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.

11.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan,
pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas
pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah.
Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

H. Sumber-sumber Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi meliputi:

1.   PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)

o    Hasil pajak daerah

o    Hasil restribusi daerah

o    Hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.

         Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro

2.   DANA PERIMBANGAN

o    Dana Bagi Hasil

o    Dana Alokasi Umum (DAU)

o    Dana Alokasi Khusus

3.   PINJAMAN DAERAH

o    Pinjaman Dalam Negeri

1.   Pemerintah pusat

2.   Lembaga keuangan bank

3.   Lembaga keuangan bukan bank

4.   Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)

o    Pinjaman Luar Negeri

1.   Pinjaman bilateral

2.   Pinjaman multilateral

4.   Lain-lain pendapatan daerah yang sah;

o    hibah atau penerimaan dari daerah propinsi atau daerah Kabupaten/Kota lainnya,

o    penerimaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan


BAB III

PENUTUPAN

I.          KESIMPULAN

            Seiring dengan kemajuan dalam berbagai bidang/sektor yang sudah menjamur diwilayah
khususnya Indonesia, baik itu dari sektor industri, pertanian,  peternakan, perikanan, perkebunan
dan sebagainya, maka persaingan pun akan menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh
sebuah wilayah untuk mewujudkan suatu daerah yang otonom.

            Oleh karena itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya-upaya yang akan
menjadi sasaran atau pedoman dalam peningkatan mutu dan sekaligus dapat berpengaruh
terhadap kelancaran suatu daerah yang otonom. Beberapa hal tersebut diantaranya yaitu:

1.   Adanya dasar hukum  yang menjadi landasan dalam mewujudkan suatu program otonomi
daerah.

2.   Tersedianya sumber daya manusia(SDM) yang berkualitas dan sumber daya alam(SDA) yang
memadai guna lancarnya otonomi tersebut.

3.      Harus memperhatikan arah/sasaran dan tujuan yang akan dicapai.

4.    Kehidupan berpolitik.
diantaranya yaitu:

         Demokrasi pancasila dan Partisipasi masyarakat

          Kehidupan konstitusional Baik :

           •          Demokrasi

           •          Hukum

           •          Kepemimpinan nasional

           •          Fungsi lembaga tinggi negara

           •          Dan lembaga-lembaga tinggi negara

5.      Hak dan kewajiban wewenang dan tanggung jawab sebagai warga  negara Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Rusdi, 2007, “Indikator Kinerja dengan Model Matriks Kinerja”, dipresentasikan
dalam Pelatihan Pengelolaan Keuangan Daerah, World Bank Institute, Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (PPE-FEUGM), dan Politik Lokal
dan Otonomi Daerah (PLOD), Yogyakarta, 26-27 Januari.

Asian Development Bank, 2005, “Capacity Building to Support Decentralization in


Indonesia”, Technical Assistance Performance Evaluation Report.

Anda mungkin juga menyukai