com/2011/09/25/analisis_putusan_p-niaga/
KASUS POSISI
Permasalahan ini dimulai ketika PT. Indah Raya Widya Plywood Industries mengajukan
permohonan kredit kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk pengajuan permohonan kredit
tersebut itupun disetujui oleh PT. BNI (persero) Tbk, dimana bentuk pinjaman kredit terbagi
dalam 2 bentuk mata uang, yaitu hutang dalam bentuk rupiah dan US Dollar. Perjanjian kredit
dalam bentuk rupiah pertama kali dibuat pada tanggal 3 Februari 1994 dengan fasilitas pinjaman
maksimal sebesar Rp. 2.300.000.000,- dan telah diubah dalam perjanjian kredit terakhir yaitu pada
tanggal 28 Juli 2000.
Perjanjian kredit dalam bentuk US Dollar dilakukan pada tanggal 24 Desember 1987 dengan
fasilitas pinjaman maksimum sebesar Rp. 4.200.000.000,- dan terakhir diubah didalam perjanjian
kredit tanggal 5 April 1993. Perjanjian ini kemudian diswitching (dialihkan) menjadi
fasilitas offshore loan dalam mata uang US Dollar yang kemudian dituangkan ke dalam
perjanjian kredit tanggal 12 Oktober 1993 dengan fasilitas pinjaman maksimum sebesar US $
1.990.000,00 dan terakhir diubah dalam perjanjian kredit tanggal 25 Maret 1998. Kemudian
berdasar Surat Bank BNI No. KPS/3/117/R tertanggal 13 Maret 1998, diputuskan melakukan
perubahan cabang penyelenggara rekening yang semula ada pada PT. BNI (Persero) Tbk
Kantor Cabang Singapore menjadi PT BNI (Persero) Tbk Kantor Cabang Grand Cayma
Island. Oleh karenanya perjanjian kredit dalam bentuk US Dollar tersebut didudukan lagi dalam
perjanjian yang terakhir diubah dalam perjanjian kredit tertanggal 28 Juli 2000.
Berdasarkan pada perjanjian tersebut di atas, jatuh tempo utang PT. Indah Raya Plywood
Industries terhadap PT. BNI (Persero) Tbk jatuh pada tanggal 29 Desember 2000, dan
termohon tidak juga melunasi hutangnya tersebut. Untuk menjaga kelangsungan usaha
pemohon, dengan iktikad baik pemohon melakukan beberapa kali negoisasi, namun hal ini tidak
ditanggapi oleh pihak termohon. Sampai dengan tanggal 31 Oktober 2005, utang termohon
menjadi sebesar :
Oleh karena sampai dengan tanggal di atas, termohon belum membayar lunas hutangnya,
maka diajukan permohonan pailit yang didaftarkan tanggal 29 Maret 2006. Dari pengajuan
permohonan pailit tersebut, pihak termohon pailit mengajukan permohonan PKPU tertanggal
28 April 2006 di kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Atas permohonan tersebut,
dikabulkan PKPU sementara tertanggal 4 Mei 2006. Bahwa setelah dikabulkan PKPU sementara
termohon maka pada tanggal 17 Mei 2006 dilaksanakan rapat kreditor pertama, dan pada tanggal
24 Mei 2006 dilaksanakan verifikasi utang piutang yang menghasilkan Daftar Kreditan
Sementara. Dari rapat tersebut, pihak termohon melakukan bantahan terhadap PT. BNI (Persero)
Tbk mengenai jumlah piutang yang masih ada perselisihan, serta penentuan keikutsertaan PT.
BNI (Persero) Tbk didalam menentukan batasan jumlah suara, sehingga menuntut pihak
termohon, pelaksanaan rapat pembahasan atas rencana perdamaian tersebut dianggap tidak
sah dan cacat hukum.
Melihat pada laporan Hakim Pengawas tertanggal 16 Juni 2006, dapat diketahui bahwa pada
saat Rapat Pemungutan Suara/Voting atas Rencana Perdamaian Debitor (dalam PKPU) yang
diselenggarakan tanggal 14 Juni 2006, diperoleh hasil bahwa semua kreditor yang hadir di
dalam rapat tersebut, 100% menyatakan menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor.
Hak inipun juga turut diamani oleh pihak pengurus melalui pertimbangan hukumnya. Dengan
merujuk pada Pasal 289 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka hakim pengawas wajib
segera melaporkan pada pengadilan yang memeriksa, menangani dan memutus perkara ini. Pada
pasal tersebut dapat dibaca dan diketahui bahwa apabila rencana perdamaian ditolak maka dalam
hal demikian Pengadilan harus menyatakan debitor pailit setelah pengadilan menerima
pemberitahuan penolakan dari Hakim Pengawas.
PUTUSAN PENGADILAN
Terhadap pengajuan Permohonan Pailit tersebut, telah dijatuhkan putusan dengan
putusan Nomor : OS/PKPU/2006/PN.Niaga, Jkt.Pst.Jo Nomor :13/Pailit/2006/PN. Niaga. Jkt.Pst.
Dari putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut telah menjatuhkan bahwa Termohon
Pailit (PT. Indah Raya Widya Plywood Industries) pailit dengan segala akibat hukumnya.
PERTIMBANGAN HUKUM
Pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan pailit terhadap Termohon pailit adalah sebagai
berikut:
1. Bahwa benar termohon pailit memiliki dua kreditor atau lebih (Cansursus Creditorum), yaitu
diantaranya :
2. Koperasi Karyawan Bumi Jaya, yang beralamat di Palembang
3. Utang terhadap karyawan, yang dalam hal ini diwakili oleh MR. Soki, SH,Cs
Bahwa benar dari adanya beberapa kreditur, jelas terdapat satu utang yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih yaitu utang pihak Termohon pailit terhadap Pemohon Pailit yang
jatuh tempo pada tanggal 29 Desember 2000.
Bahwa pihak pemohon selaku kreditor telah memiliki iktikad baik terhadap Termohon
Pailit dengan melakukan beberapa kali negoisasi untuk tetap menjamin
terlaksananya/berjalannya operasional usaha Termohon Pailit.
Bahwa pada Rapat Pemungutan Suara/Voting atas Rencana Perdamaian Debitor (dalam
PKPU) yang diselenggarakan tanggal 14 Juni 2006, diperoleh hasil bahwa semua kreditor
yang hadir di dalam rapat tersebut, 100% menyatakan menolak rencana perdamaian yang
diajukan oleh debitor.
Sebelum menuju ke analisis putusan tersebut, apakah sudah memenuhi asas pembuktian
sederhana atau mengenai akibat dari penolakan perdamaian dalam penjatuhan putusan pada
perkara kepailitan tersebut, penulis akan mengingatkan kembali kepada teori-teori yang terkait
dengan permasalahan tersebut.
A. Hukum Kepailitan sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Piutang.
Pengertian kepailitan menurut Henry C. Black diartikan sebagai kondisi seorang pedagang
yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung untuk mengelabui pihak
kreditornya.[1] Sedangkan menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan, pailit adalah
seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bangkrut dan yang aktivanya atau
warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya.[2]
Pengertian atau definisi kepailitan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU)
yang terdapat dalam Bab I Ketentuan umum adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Mengenai syarat untuk dapat dinyatakan pailit, Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU menyebutkan bahwa
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Memperhatikan
ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa syarat untuk dapat dinyatakan pailit melalui putusan
pengadilan adalah :[3]
1. Terdapat minimal 2 orang kreditor;
2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU bahwa salah satu syarat untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah dengan adanya dua kreditor atau lebih. Dengan
demikian undang-undang ini hanya memungkinkan seorang Debitor dinyatakan pailit apabila Debitor
memiliki paling sedikit dua keditor. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor
dikenal sebagai concursus creditorium.[4]Syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor,
sangat terkait dengan filosofi lahirnya hukum kepailitan, bahwa hukum kepailitan merupakan realisasi
dari Pasal 1131 KUH Perdata.[5] Tentunya diharapkan dengan adanya pranata hukum kepailitan
dapat mengatur mengenai cara membagi harta kekayaan debitor di antara para kreditornya dalam hal
debitor memiliki lebih dari seorang kreditor. Rasio kepailitan ialah jatuhnya sita umum atas semua
harta benda debitor yang setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian
atau accord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitor untuk kemudian hasil
perolehannya dibagi-bagikan kepada semua kreditornya sesuai dengan tata urutan tingkat kreditor
sebagaimana diatur oleh undang-undang.[6]
Apabila seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensinya dari UU KPKPU
kehilangan rasio d’etre-nya.[7] Akibat eksistensi dari UU KPKPU hilang debitor hanya memiliki pihak
atau 1 orang kreditornya saja maka cukup ditempuh penyelesaian dengan gugatan hukum perdata
saja.[8] Selain itu akibat lain yang ditimbulkan adalah seluruh harta kekayaan debitor otomatis
menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro
rata dan pari passu.[9] Dengan demikian, jelas bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor
tersebut hanya mempunyai satu kreditor saja.
Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) UUKPKPU menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit bagi seorang Debitor adalah :
“Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
seerhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaomana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
telah terpenuhi.”
Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU disana dijelaskan maksud dari “terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana” bahwa:
“Yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta
dua atau lebih kreditor dari fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan
perbeaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak
menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit”
Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan pernyataan pailit
terdapat fakta atau keadaan yang secara terbukti secara sederhana bahwa prasyarat pernyataan
pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dapat terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk memutus
suatu permohonan pernyataan pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat pernyataan pailit dalam
pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, akan tetapi harus pula terpenuhi asas pembuktian sederhana dalam
pasal 8 ayat (4) UUKPKPU.
Perlu dijelaskan bahwa keberadaan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU hanyalah bertujuan mewajibkan
hakim untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat ibuktikan
secara sederhana fakta dan keadaannya, yaitu fakta dan keadaan yang merupakan syarat-syarat
kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penunaan Kewajiban Pembayaran Utang.[12] Akan tetapi bukanlah berarti
bahwa apabila ternyata dalam perkara yang diajukan permohonan pernyataan pailitnya itu tidak dapat
dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya, maka majelis Hakim Pengadilan Niaga atau
Majelis Hakim Kasasi wajib menolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan karena
perkara yang demikian itu merupakan kewenangan pengadilan negeri dalam hal ini pengadilan
perdata biasa. Oleh karena itu baik Majelis Hakim Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Kasasi
wajib tetap memeriksa dan memutus permohonan pernytaan pailit itu, sedangkan fakta dan keadaan
yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana tetap menjadi tanggung jawabnya dan bukan karena
kenyataan yang demikian itu majelis hakim kepailitan harus terlebih dahulu mempersilahkan para
pihak untuk meminta putusan Pengadilan Negeri yang dalam hal ini adalah pengadilan perdata biasa
terkait dengan fakta dan keadaan pokok perkaranya.[13]
Pembuktian sederhana menurut UU KPKPU merupakan kombinasi pelaksanaan dari prinsip
dasar kepailitan, yaitu prinsip: concursus creditorum (para kreditor harus bertindak secara bersama-
sama), prinsip paritas creditorium(kesetaraan kedudukan para kreditor), pari passu prorata parte ( harta
debitor merupakan jaminan bersama bagi kreditor dan dibagi secara proporsional berdasarkan besar
kecilnya piutang) dan prinsip structured creditors (kreditor didahulukan berdasarkan urutan kelas
kreditor).[14]
Dalam pembuktian sederhana terdapat 3 (tiga) hal yang harus dibuktikan yaitu:
1. Kebenaran adanya dua kreditor atau lebih yang mempunyai hubungan hukum dengan debitor ,
2. Kebenaran adanya minimal salah salah satu utang yang belum dibayar lunas, serta
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Ketiga syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, satu syarat saja tidak
terpenuhi maka pemeriksaan dengan pembuktian secara sederhana tidak dapat dilaksanakan.
C. Tinjauan tentang Perdamaian dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
1. Perdamaian dalam Kepailitan
Di samping rapat pencocokan piutang, yang mungkin dibahas dalam rapat pencocokan tersebut
adalah rencana perdamaian yang kemungkinan diajukan oleh Debitor pailit.[15] Perdamaian
merupakan perjanjian antara debitor dengan para kreditor dimana debitor menawarkan pembayaran
sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut dibebaskan
dari sisa utangnya, sehingga ia tidak mempunyai utang lagi.[16] Dengan demikian, dalam suatu
perdamaian terdapat hak dan kewajiban dari kedua belah pihak dalam hal ini terutama bagi Debitor
dan Kreditor, di samping tentu ada hal-hal yang harus dilakukan oleh Kurator.
Perdamaian dalam kepailitan merupakan hak dari Debitor pailit untuk mengajukannya. Apabila
Debitor mengajukan rencana perdamaian dan paling lambat 8 hari sebelum rapat pencocokan
piutang menyediakannya di kepaniteraan pengadilan. Hal itu agar dapat dilihat secara Cuma-Cuma
oleh yang berkepentingan, sehingga mereka dapat mempersiapkannya. Pembahasan usulan
perdamaian diusahakan dilakukan dan diputuskan setelah selesai rapat pencocokan piutang kecuali
terhadap hak itu dilakukan penundaan. Salinan rencana perdamaian dikirimkan pulan kepada
anggota panitera kreditor sementara. Isis rencana perdamaian kemungkinan:
Dalam rencana perdamaian tersebut harus jelas alternatif perdamaian dimaksud, sehingga Kreditor
mempersiapkan diri untuk mempertimbangkannya dalam rapat yang bersangkutan.[17]
Berbeda dengan perdamaian dalam kepailitan, perdamaian dalam PKPU dapat diajukan oleh
Kreditor selain Debitor. Hal ini adalah logis, karena tidak mungkin perdamaian dalam kepailitan
diajukan oleh Kreditor karena kepailitan itu sendiri telah dimohonkan sebelumnya oleh Kreditor yang
bersangkutan. Perbedaan nyata lain adalah perdamaian dalam PKPU secara tegas memungkinkan
Debitor untuk menyelesaikan sebagaian selain seluruh utangnya kepada Kreditor.[18]
Untuk menentukan diterima tidaknya rencana perdamaian yang diajukan oleh Debitor pailit, akan
dilakukan pemungutan suara oleh para Kreditor konkuren. Pasal 149 UUKPKPU dan Pasal 138 UUK
(yang mengubah Pasal 139 FV) menyebutkan secara rinci Kreditor yang tidak boleh ikut memberikan
suara dalam penetuan putusan rencana perdamaian dimaksud. Kreditor yang demikian adalah:
Pengecualian terhadap larangan tersebut, dapat dilakukan apabila mereka sebelum pemungutan
suara melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit. Apabila hal itu mereka
lakukan, konsekuensinya mereka berubah menjadi Kreditor konkuren termasuk dalam hal
perdamainan yang dibahas tidak diterima.[19]
Rencana perdamaian diputuskan diterima apabila disetujui oleh lebih dari ½ jumlah Kreditor
konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang
mewakili paling sedikit 2/3 dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk
sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat bersangkutan.
Pemungutan suara akan diulang apabila lebih dari ½ jumlah Kreditor yang hadir pada rapat dan
mewakili paling sedikit ½ jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk
menerima rencana perdamaian tersebut. Pemungutan suara ulangan tersebut dilakukan paling
lambat 8 hari setelah rapat pertama dan tidak diperlukan pemanggilan lagi. Pada pemungutan suara
kedua, Kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara dalam rapat
pembahasan perdamaian yang pertama Penerimaan rencana perdamaian berdasarkan pemungutan
suara seperti diuraikan di atas, mengikat semua Kreditor termasuk Kreditor yang tidak menyetuji
dalam pemungutan suara. Dengan demikian, perdamaian mempunyai sifat memaksa.[20]
2. Perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Sebelum putusan pengesahan perdamaian dalam PKPU mempunyai kekuatan hukum tetap,
rencana perdamaian tersebut menjadi gugur apabila terdapat putusan Pengadilan yang memutuskan
PKPU berakhir. Dalam rangka menghadapi rapat Kreditor untuk membicarakan rencana perdamaian
tersebut, beberapa tindakan harus dilakukan oleh pengurus termasuk masalah tagihan, daftar piutang
dan sebagainya. [21]
Dalam hal yang menyetujui rencana perdamaian kurang dari persyaratan, dimungkinkan
diadakan pemungutan suara ulangan. Berkaitan dengan pemungutan suara ulangan atau
pemungutan suara kedua dalam PKPU ini beberapa ketentuan untuk kepailitan juga berlaku.
Demikian pula alasan pengadilan menolak pengesahan perdamaian dalam PKPU, berlaku ketentuan
penolakan pengesahan perdamaian dalam kepailitan yang diatur dalam Pasal 159 UUK.[22] Dengan
ditolaknya pengesahan perdamaian dalam PKPU, Pengadilan wajib memutuskan Debitor dalam
keadaan pailit.[23]
Akibat hukum yang terjadi dengan putusan perdamaian antara lain:[24]
Setelah perdamaian, kepailitan berakhir;
Keputusan penerimaan perdamaian mengikat seluruh kreditor konkuren;
Perdamaian tidak berlaku bagi kreditor separatis dan kreditor yang diistimewakan;
Perdamaian tidak boleh diajukan dua kali;
Perdamaian merupakan alas hak bagi debitor;
Hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap guarantor dan rekan debitor;
Hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap benda-benda pihak ketiga;
Penangguhan eksekusi jaminan utang berahir;
Actio pauliana berakhir;
Debitor dapat direhabilitasi.
ANALISIS
A. Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan pada Perkara Permohonan
Kepailitan PT. Indah Raya Widya Plywood.
Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas pembuktian sederhana. Menurut
penulis, hal tersebut sejalan dengan tujuan dari hukum kepailitan yaitu untuk kepentingan dunia
usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Dengan
dianutnya asas pembuktian sederhana seyogyanya salah satu tujuan dari hukum kepailitan yaitu
”cepat” dapat tercapai. Kecepatan dalam menyelesaikan suatu kasus kepailitan sangat penting,
mengingat adanya pembatasan waktu pengucapan putusan Pengadilan maksimal 60 hari sejak
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Dalam pembuktian sederhana terdapat 3 (tiga) hal yang harus dibuktikan yaitu:
1. Kebenaran adanya dua kreditor atau lebih yang mempunyai hubungan hukum dengan debitor;
2. Kebenaran adanya minimal salah salah satu utang yang belum dibayar lunas, serta;
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga
mendasarkan pada ketentuan pasal 1 ayat 1 UUKPKPU, yang menyatakan bahwa debitor dapat
dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor
yang tagihannya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya.
Dari definisi mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka apabila
kita melihat posisi kasus pada para pihak yang bersengketa, maka pengajuan permohonan pailit
yang diajukan Pemohon Pailit Kreditor. Dalam hal ini adalah PT. BNI (Persero) Tbk adalah
sudah terpenuhi syarat-syaratnya.
Di dalam pengajuan permohonan pailit yang diajukan pemohon pailit tersebut, dapat diketahui
bahwa termohon pailit memiliki dua kreditor atau lebih (Cansursus Creditorum), yaitu diantaranya :
1. Koperasi Karyawan Bumi Jaya, yang beralamat di Palembang
2. Utang terhadap karyawan, yang dalam hal ini diwakili oleh MR. Soki, SH,Cs
Dari adanya beberapa kreditur, jelas terdapat satu utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih yaitu utang pihak Termohon pailit terhadap Pemohon Pailit yang jatuh tempo
pada tanggal 29 Desember 2000. Syarat terhadap pengajuan Permohonan Pailit itupun juga
terpenuhi dikarenakan syarat pemohon pailit diajukan oleh PT. BNI (Persero) Tbk yang
berkedudukan sebagai kreditor dari Termohon Pailit.
Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, permohonan pailit kepada PT.
Indah Raya Widya Plywood berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga yang diajukan oleh PT BNI
(Persero) Tbk secara sederhana telah terpenuhi dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
sehingga asas pembuktian sederhana dalam perkara ini telah terpenuhi.
B. Akibat Hukum terhadap Penolakan Perdamaian dalam Penjatuhan Putusan pada Perkara
Kepailitan PT. Indah Raya Widya Plywood.
Dalam penyelesaian perkara tentu diusahakan perdamaian sebagaimana dalam Hukum Acara
Perdata yang bersumber dari HIR menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara hakim wajib
mengusahakan perdamaian terlebih dahulu. Rencana Perdamaian adalah perjanjian antara debitor
dan para kreditornya mengenai penyesuaian jumlah piutang (yang diajukan Kreditor) dengan jumlah
utang yang diajukan debitor, dalam rangka menghindari terjadinya likuidasi. Perjanjanjian perdamaian
dapat diajukan dalam perkara kepailitan maupun perkara PKPU. Perjanjian tersebut harus disetujui
oleh para kreditor konkuren dengan melakukan pemungutan suara dalam rapat kreditor, dan untuk
beberapa kriteria juga harus disetujui oleh Pengadilan. Jika disetujui, maka akan mengikat seluruh
Kreditor konkuren. Jika Kreditor atau Pengadilan menolak rencana perdamaian, maka Debitor akan
dilikuidasi.[25]
Melihat pada putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengenai sengketa ini, dapat
diketahui didalam pertimbangan Pemohon Pailit, bahwa pihak pemohon selaku kreditur justru
memiliki iktikad baik terhadap Termohon Pailit dengan melakukan beberapa kali negoisasi untuk
tetap menjamin terlaksananya/berjalannya operasional usaha Termohon Pailit. Berkenaan dengan
adanya pengajuan penundaan kewajiban pembayaran utang yang kemudian dikabulkan menjadi
penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara memang seharusnya dikabulkan meskipun
telah diajukan permohonan pailit. Dikabulkannya permohonan PKPU ditengah-tengah
permohonan pailit disebabkan hal tersebut untuk menjamin keberlangsungan kegiatan usaha
debitor (Termohon Pailit).[26] Di dalam PKPU sementara ini, jangka waktunya berlangsung
sejak putusan PKPU sementara diucapkan dan sampai dengan tanggal sidang yang akan
diselenggarakan mengenai Rencana Perdamaian yang dihadiri oleh Hakim Pengawas, Pengurus,
Debitur, dan Kreditur.[27]
Mengacu pada putusan permasalahan ini, sebelum dilakukannya rapat mengenai Rencana
Perdamaian, setelah rapat kreditor dan rapat mengenai Rencana Verifikasi utang piutang. Di
dalam Rapat Verifikasi utang piutang tersebut masih terdapat sengketa diantara termohon pailit
dan pemohon pailit dikarenakan masih adanya selisih besaran utang. Oleh karenanya menurut
pihak termohon pailit, pelaksanaan voting terhadap rencana perdamaian tidak dapat dianggap
sah. Akan tetapi dengan mengacu pada pasal 280 Undang-Undang Kepailitan, Hakim
Pengawas menentukan kreditor-kreditor mana sajakah yang tagihannya dapat dibantah dan
ikut serta dalam pemungutan suara. Di dalam Rapat Rencana Perdamaian Tersebut Hakim
Pengawas telah menentukan bahwa PT. BNI (Persero) Tbk selaku pemohon pailit telah
ditetapkan hak suaranya selaku kreditor, dan di dalam berita acara rapat tersebut, masing-
masing pihak telah menyetujui, berarti sesungguhnya dalam hal ini voting adalah sah karena
pihak debitor juga menyetujui berita acara rapat tersebut.
Penulis setuju terhadap putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat terhadap Termohon Pailit. Persetujuan penulis terhadap putusan pengadilan niaga yang
dijatuhkan tersebut, didasarkan pada adanya kesesuaian pertimbangan yang diberikan majelis hakim
dengan mengacu pada pertimbangan masing-masing pihak, dan hal tersebut telah sesuai
aturan perundangan kepailitan, dimana di dalam penentuan voting yang dilaksanakan tersebut
telah sah secara hukum karena penentuan mengenai jumlah kreditur dan penetapan hak
suara kreditor oleh Hakim Pengawas, dalam hal ini berkaitan dengan hak suara PT. BNI
(Persero) Tbk selaku Pemohon Pailit.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara ini, selanjutnya diubah menjadi PKPU
tetap untuk menghindari dijatuhkannya putusan pailit. Adapun untuk pemberian PKPU tetap, maka
harus mendapatkan persetujuan dari para kreditor, dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui
yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang
sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut, dan
apabila timbul perselisihan antara pengurus dan kreditor konkuren tentang hak suara kreditor,
maka perselisihan tersebut diputuskan oleh Hakim Pengawas;
2. Persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia,
hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas keberadaan lainnya yang hadir dan mewakili paling
sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
Melihat pada laporan Hakim Pengawas tertanggal 16 Juni 2006, dapat diketahui bahwa pada
saat Rapat Pemungutan Suara/Voting atas Rencana Perdamaian Debitor (dalam PKPU) yang
diselenggarakan tanggal 14 Juni 2006, diperoleh hasil bahwa semua kreditor yang hadir di
dalam rapat tersebut, 100% menyatakan menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor.
Hak inipun juga turut diamani oleh pihak pengurus melalui pertimbangan hukumnya. Dengan
merujuk pada Pasal 289 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka hakim pengawas wajib
segera melaporkan pada pengadilan yang memeriksa, menangani dan memutus perkara ini. Pada
pasal tersebut dapat dibaca dan diketahui bahwa apabila rencana perdamaian ditolak maka dalam
hal demikian Pengadilan harus menyatakan debitor pailit setelah pengadilan menerima
pemberitahuan penolakan dari Hakim Pengawas. Hal ini pula dianggap telah sesuai dengan
Pasal 230 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dikarenakan didalam Pasal tersebut menjelaskan
bahwa kreditor yang tidak menyetujui pemberian PKPU tetap atau perpanjangan sudah
diberikan tetapi sampai batas waktu belum tercapai rencana perdamaian, maka pengurus
wajib memberitahu hal ini melalui hakim pengawas kepada pengadilan yang harus
menyatakan debitor pailit paling lambat pada hari berikutnya.
Rencana perdamaian dibahas oleh debitor dan para kreditor pada saat rapat kreditor, selanjutnya
para kreditor melakukan pemungutan suara (voting) terhadap rencana perdamaian tersebut. Apabila
melalui voting rencana perdamaian tersebut ditolak oleh para kreditor, maka hakim pengawas
memberitahukan penolakan dengan cara menyerahkan kepada Pengadilan Niaga salinan rencana
perdamaian. Akibat hukum yang timbul terhadap penolakan perdamaian yaitu proses pailit dilanjutkan
kembali dan perdamaian tidak dapat ditawarkan kembali dan hal tersebut berdampak kepada semua
Kreditor, Debitor dan semua orang yang bersangkutan dengan perkara kepailitan terseut.
SIMPULAN
1. Permohonan pailit kepada PT. Indah Raya Widya Plywood berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga
yang diajukan oleh PT BNI (Persero) Tbk secara sederhana telah terpenuhi dalam pasal 2 ayat (1) UU
Nomor 37 Tahun 2004 sehingga asas pembuktian sederhana dalam perkara ini telah terpenuhi.
2. Rencana perdamaian dibahas oleh debitor dan para kreditor pada saat rapat kreditor, selanjutnya para
kreditor melakukan pemungutan suara (voting) terhadap rencana perdamaian tersebut. Apabila
melalui voting rencana perdamaian tersebut ditolak oleh para kreditor, maka hakim pengawas
memberitahukan penolakan dengan cara menyerahkan kepada Pengadilan Niaga salinan rencana
perdamaian. Akibat hukum yang timbul terhadap penolakan perdamaian yaitu proses pailit dilanjutkan
kembali dan perdamaian tidak dapat ditawarkan kembali dan hal tersebut berdampak kepada semua
Kreditor, Debitor dan semua orang yang bersangkutan dengan perkara kepailitan tersebut.
Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada Media
Group. Jakarta.2008.
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik,
Alumni, Bandung, 2010
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung,
2006
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bahti, Bandung, 2005
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang, 2008
Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia (studi
Putusan-Putusan Pengadilan), Total Media, Jakarta, 2008.
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2008
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk
Kepentingan Umum.