Anda di halaman 1dari 8

https://ninyasminelisasih.

com/2011/09/25/analisis_putusan_p-niaga/

KASUS POSISI
       Permasalahan  ini  dimulai  ketika  PT.  Indah  Raya  Widya  Plywood Industries mengajukan
permohonan kredit kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk pengajuan permohonan kredit
tersebut itupun disetujui oleh PT. BNI  (persero)  Tbk,  dimana  bentuk  pinjaman  kredit  terbagi 
dalam  2  bentuk mata uang, yaitu hutang dalam bentuk rupiah dan US Dollar. Perjanjian  kredit 
dalam  bentuk  rupiah  pertama  kali  dibuat  pada tanggal 3 Februari 1994 dengan  fasilitas pinjaman
maksimal sebesar Rp. 2.300.000.000,- dan  telah diubah dalam perjanjian kredit  terakhir yaitu pada
tanggal 28 Juli 2000.

       Perjanjian kredit dalam bentuk US Dollar dilakukan pada  tanggal 24 Desember  1987  dengan 
fasilitas  pinjaman  maksimum  sebesar  Rp. 4.200.000.000,- dan  terakhir diubah didalam perjanjian
kredit  tanggal 5 April 1993.  Perjanjian  ini  kemudian  diswitching  (dialihkan)  menjadi 
fasilitas offshore  loan  dalam  mata  uang  US  Dollar  yang  kemudian  dituangkan ke dalam
perjanjian kredit  tanggal 12 Oktober 1993 dengan fasilitas pinjaman maksimum  sebesar US  $ 
1.990.000,00  dan  terakhir  diubah  dalam  perjanjian kredit tanggal 25 Maret 1998. Kemudian 
berdasar Surat Bank BNI No. KPS/3/117/R  tertanggal  13 Maret 1998, diputuskan melakukan
perubahan cabang penyelenggara rekening yang  semula  ada  pada  PT.  BNI  (Persero)  Tbk 
Kantor  Cabang  Singapore menjadi  PT  BNI  (Persero)  Tbk  Kantor  Cabang  Grand  Cayma 
Island.  Oleh karenanya perjanjian kredit dalam bentuk US Dollar  tersebut didudukan  lagi dalam 
perjanjian  yang  terakhir  diubah  dalam  perjanjian  kredit  tertanggal  28 Juli 2000.
       Berdasarkan  pada  perjanjian  tersebut  di  atas,  jatuh  tempo  utang  PT. Indah Raya Plywood 
Industries  terhadap PT. BNI  (Persero) Tbk    jatuh pada tanggal  29  Desember  2000,  dan 
termohon  tidak  juga  melunasi  hutangnya tersebut. Untuk menjaga  kelangsungan  usaha 
pemohon,  dengan  iktikad  baik pemohon melakukan  beberapa  kali  negoisasi,  namun  hal  ini tidak
ditanggapi oleh  pihak  termohon.  Sampai  dengan  tanggal  31  Oktober  2005,  utang termohon
menjadi sebesar :

1. Hutang dalam bentuk rupiah


1)    Hutang pokok  = Rp.  2.270.000.000

2)    Bunga  = Rp.  118.512.149

3)    Denda  = Rp.   500.089

Total hutang  = Rp.  2.389.012.238 (Hutang dalam bentuk US Dollar)

1)    Hutang Pokok  = US $  1,979,612,85

2)    Bunga  = US $  301.674,82

3)    IBP  = US $  251.823,45

Total Hutang  = US $  2,533,111,12

       Oleh  karena  sampai  dengan  tanggal  di  atas,  termohon  belum membayar lunas hutangnya,
maka diajukan permohonan pailit yang didaftarkan tanggal 29 Maret 2006. Dari  pengajuan 
permohonan  pailit  tersebut,  pihak  termohon  pailit mengajukan  permohonan  PKPU  tertanggal 
28  April  2006  di  kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Atas permohonan tersebut,
dikabulkan PKPU sementara tertanggal 4 Mei 2006.  Bahwa  setelah  dikabulkan  PKPU  sementara 
termohon  maka  pada tanggal 17 Mei 2006 dilaksanakan rapat kreditor pertama, dan pada tanggal
24 Mei  2006  dilaksanakan  verifikasi  utang  piutang  yang  menghasilkan  Daftar Kreditan
Sementara. Dari rapat tersebut, pihak termohon melakukan bantahan terhadap  PT. BNI  (Persero) 
Tbk mengenai  jumlah  piutang  yang masih  ada perselisihan,  serta  penentuan  keikutsertaan  PT. 
BNI  (Persero)  Tbk  didalam menentukan  batasan  jumlah  suara,  sehingga  menuntut  pihak 
termohon, pelaksanaan  rapat  pembahasan  atas  rencana  perdamaian  tersebut  dianggap tidak
sah dan cacat hukum.
       Melihat pada laporan Hakim Pengawas tertanggal 16 Juni 2006, dapat diketahui  bahwa  pada 
saat  Rapat  Pemungutan  Suara/Voting  atas  Rencana Perdamaian  Debitor  (dalam  PKPU)  yang 
diselenggarakan  tanggal  14  Juni 2006,  diperoleh  hasil  bahwa  semua  kreditor  yang  hadir  di 
dalam  rapat tersebut, 100% menyatakan menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor. 
Hak  inipun  juga  turut  diamani  oleh  pihak  pengurus  melalui pertimbangan hukumnya.  Dengan
merujuk  pada  Pasal  289  Undang-Undang  Nomor  37  Tahun 2004, maka hakim pengawas wajib
segera melaporkan pada pengadilan yang memeriksa, menangani  dan memutus  perkara  ini.  Pada 
pasal  tersebut  dapat dibaca dan diketahui bahwa apabila  rencana perdamaian ditolak maka dalam
hal demikian Pengadilan harus menyatakan debitor pailit  setelah pengadilan menerima
pemberitahuan penolakan dari Hakim Pengawas.

 
PUTUSAN PENGADILAN
       Terhadap  pengajuan  Permohonan  Pailit  tersebut,  telah  dijatuhkan  putusan  dengan 
putusan  Nomor  :  OS/PKPU/2006/PN.Niaga,  Jkt.Pst.Jo  Nomor :13/Pailit/2006/PN. Niaga.  Jkt.Pst.
Dari  putusan  Pengadilan Niaga  Jakarta  Pusat tersebut  telah  menjatuhkan  bahwa  Termohon 
Pailit  (PT.  Indah  Raya  Widya Plywood Industries) pailit dengan segala akibat hukumnya.

 PERTIMBANGAN HUKUM
       Pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan pailit terhadap Termohon pailit adalah sebagai
berikut:
1. Bahwa benar termohon  pailit memiliki  dua  kreditor  atau lebih (Cansursus Creditorum), yaitu
diantaranya :
2. Koperasi Karyawan Bumi Jaya, yang beralamat di Palembang
3. Utang  terhadap  karyawan,  yang  dalam  hal  ini  diwakili  oleh MR.  Soki, SH,Cs
 Bahwa benar dari  adanya  beberapa  kreditur,  jelas  terdapat  satu  utang  yang  telah  jatuh 
tempo  dan  dapat  ditagih  yaitu  utang  pihak  Termohon  pailit  terhadap Pemohon  Pailit  yang 
jatuh  tempo  pada  tanggal  29  Desember  2000.
 Bahwa pihak  pemohon  selaku  kreditor  telah  memiliki  iktikad  baik terhadap  Termohon 
Pailit  dengan melakukan  beberapa  kali  negoisasi  untuk tetap menjamin
terlaksananya/berjalannya operasional usaha Termohon Pailit.
 Bahwa pada Rapat  Pemungutan  Suara/Voting  atas  Rencana Perdamaian  Debitor  (dalam 
PKPU)  yang  diselenggarakan  tanggal  14  Juni 2006,  diperoleh  hasil  bahwa  semua  kreditor 
yang  hadir  di  dalam  rapat tersebut, 100% menyatakan menolak rencana perdamaian yang
diajukan oleh debitor.

        Sebelum menuju ke analisis putusan tersebut, apakah sudah memenuhi asas pembuktian
sederhana atau mengenai akibat dari penolakan perdamaian dalam penjatuhan putusan pada
perkara kepailitan tersebut, penulis akan mengingatkan kembali kepada teori-teori yang terkait
dengan permasalahan  tersebut.
A.   Hukum Kepailitan sebagai Salah Satu Cara Penyelesaian Utang Piutang.
       Pengertian  kepailitan  menurut  Henry  C.  Black  diartikan  sebagai kondisi seorang pedagang
yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang  cenderung  untuk  mengelabui  pihak 
kreditornya.[1]  Sedangkan  menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan,  pailit  adalah 
seseorang  yang oleh  suatu  pengadilan  dinyatakan  bangkrut  dan  yang  aktivanya  atau
warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya.[2]
       Pengertian atau definisi kepailitan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU)
yang terdapat dalam Bab I Ketentuan umum adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

      Mengenai syarat untuk dapat dinyatakan pailit, Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU menyebutkan bahwa
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Memperhatikan
ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa syarat untuk dapat  dinyatakan pailit melalui putusan
pengadilan adalah :[3]
1. Terdapat minimal 2 orang kreditor;
2. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang;
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
       Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU KPKPU bahwa salah satu syarat untuk
mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah dengan adanya dua kreditor atau lebih. Dengan
demikian undang-undang  ini hanya memungkinkan seorang Debitor dinyatakan pailit apabila Debitor
memiliki paling sedikit dua  keditor. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor
dikenal sebagai concursus creditorium.[4]Syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor,
sangat terkait dengan filosofi lahirnya hukum kepailitan, bahwa hukum kepailitan merupakan realisasi
dari Pasal 1131 KUH Perdata.[5] Tentunya diharapkan dengan adanya pranata hukum kepailitan
dapat mengatur mengenai cara membagi harta kekayaan debitor di antara para kreditornya dalam hal
debitor memiliki lebih dari seorang kreditor. Rasio kepailitan ialah jatuhnya sita umum atas semua
harta benda debitor yang setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian
atau accord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitor untuk kemudian hasil
perolehannya dibagi-bagikan kepada semua kreditornya sesuai dengan tata urutan tingkat kreditor
sebagaimana diatur oleh undang-undang.[6]
       Apabila seorang debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensinya dari UU KPKPU
kehilangan rasio d’etre-nya.[7] Akibat eksistensi dari UU KPKPU hilang debitor hanya memiliki pihak
atau 1 orang kreditornya saja maka cukup ditempuh penyelesaian dengan gugatan hukum perdata
saja.[8] Selain itu akibat lain yang ditimbulkan adalah seluruh harta kekayaan debitor otomatis
menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro
rata dan pari passu.[9] Dengan demikian, jelas bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika debitor
tersebut hanya mempunyai satu kreditor saja.
     Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4), (5) UUKPKPU menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit bagi seorang Debitor adalah :

1. Debitor yang bersangkutan;


2. Kreditor atau para kreditor;
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4. Bank Indonesia apabila Debitornya bank;
5. Bank Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal Debitornya Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
6. Menteri Keuangan dalam hal Debitornya Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.
       Pengertian  mengenai  Penundaan  Kewajiban  Pembayaran  Utang mengandung  arti  suatu 
masa  yang  diberikan  oleh  undang-undang  melalui putusan Hakim Niaga dimana dalam masa
tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara
pembayaran hutang  dengan  memberikan  rencana  pembayaran  seluruh  atau  sebagian
hutangnya,  termasuk  apabila  perlu  untuk  merestrukturisasi  hutangnya tersebut.[10]  Jadi didalam
penundaan kewajiban pembayaran utang.  Kewajiban  pembayaran  utang  sebesarnya merupakan 
sejenis meratorium,  dalam  hal  ini adalah legal meratorium.[11]
       Berdasarkan Ketentuan Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004, tujuan diajukannya PKPU
adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utang kepada Kreditor baik Kreditor konkuren maupun Kreditor yang didahulukan (Kreditor
preferent).

 B.   Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan dan PKPU.


       Mekanisme yang ditawarkan UU KPKPU  adalah proses persidangan untuk menyelesaikan
masalah utang piutang secara adil, terbuka, cepat dan efektif. Untuk melaksanakan mekanisme
penyelesaian yang ditawarkan undang-undang maka proses acara pemeriksaan yang digunakan
lebih cepat karena adanya pembatasan waktu proses pemeriksaan kepailitan dan dengan sistem
pembuktian yang digunakan adalah pembuktian secara sederhana.
       Pada dasarnya pembuktian sederhana terkait dengan permohonan pailit telah diatur menurut
Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU yang menyebutkan bahwa:

“Permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
seerhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaomana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
telah terpenuhi.”

Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU disana dijelaskan maksud dari “terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana” bahwa:
“Yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta
dua atau lebih kreditor dari fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan
perbeaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak
menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit”

       Asas pembuktian sederhana terpenuhi apabila dalam suatu permohonan pernyataan pailit
terdapat fakta atau keadaan yang secara terbukti secara sederhana bahwa prasyarat pernyataan
pailit dalam pasal 2 ayat (1) UUKPKPU  dapat terpenuhi. Jadi dapat disimpulkan, untuk memutus
suatu permohonan pernyataan pailit tidak hanya harus memenuhi prasyarat pernyataan pailit dalam
pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, akan tetapi harus pula terpenuhi asas pembuktian sederhana dalam
pasal 8 ayat (4) UUKPKPU.

       Perlu dijelaskan bahwa keberadaan Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU hanyalah bertujuan mewajibkan
hakim untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat ibuktikan
secara sederhana fakta dan keadaannya, yaitu fakta dan keadaan yang merupakan syarat-syarat
kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penunaan Kewajiban Pembayaran Utang.[12] Akan tetapi bukanlah berarti
bahwa apabila ternyata dalam perkara yang diajukan permohonan pernyataan pailitnya itu tidak dapat
dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya, maka majelis Hakim Pengadilan Niaga atau
Majelis Hakim Kasasi wajib menolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan karena
perkara yang demikian itu merupakan kewenangan pengadilan negeri dalam hal ini pengadilan
perdata biasa. Oleh karena itu baik Majelis Hakim Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Kasasi
wajib tetap memeriksa dan memutus permohonan pernytaan pailit itu, sedangkan fakta dan keadaan
yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana tetap menjadi tanggung jawabnya dan bukan karena
kenyataan yang demikian itu majelis hakim kepailitan harus terlebih dahulu mempersilahkan para
pihak untuk meminta putusan Pengadilan Negeri yang dalam hal ini adalah pengadilan perdata biasa
terkait dengan fakta dan keadaan pokok perkaranya.[13]
       Pembuktian sederhana menurut UU KPKPU merupakan kombinasi pelaksanaan dari prinsip
dasar kepailitan, yaitu prinsip: concursus creditorum (para kreditor harus bertindak secara bersama-
sama), prinsip paritas creditorium(kesetaraan kedudukan para kreditor), pari passu prorata parte ( harta
debitor merupakan jaminan bersama bagi kreditor dan dibagi secara proporsional berdasarkan besar
kecilnya piutang) dan prinsip structured creditors (kreditor didahulukan berdasarkan urutan kelas
kreditor).[14]
Dalam pembuktian sederhana terdapat 3 (tiga) hal yang harus dibuktikan yaitu:
1.  Kebenaran adanya dua kreditor atau lebih yang mempunyai hubungan hukum dengan debitor ,
2. Kebenaran adanya minimal salah salah satu utang yang belum dibayar lunas, serta
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Ketiga syarat tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, satu syarat saja tidak
terpenuhi maka pemeriksaan dengan pembuktian secara sederhana tidak dapat dilaksanakan.

 C.   Tinjauan tentang Perdamaian dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
1. Perdamaian dalam Kepailitan
       Di samping rapat pencocokan piutang, yang mungkin dibahas dalam rapat pencocokan tersebut
adalah rencana perdamaian yang kemungkinan diajukan oleh Debitor pailit.[15] Perdamaian
merupakan perjanjian antara debitor dengan para kreditor dimana debitor menawarkan pembayaran
sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa ia setelah melakukan pembayaran tersebut dibebaskan
dari sisa utangnya, sehingga ia tidak mempunyai utang lagi.[16] Dengan demikian, dalam suatu
perdamaian terdapat hak dan kewajiban dari kedua belah pihak dalam hal ini terutama bagi Debitor
dan Kreditor, di samping tentu ada hal-hal yang harus dilakukan oleh Kurator.
       Perdamaian dalam kepailitan merupakan hak dari Debitor pailit untuk mengajukannya. Apabila
Debitor mengajukan rencana perdamaian dan paling lambat 8 hari sebelum rapat pencocokan
piutang menyediakannya di kepaniteraan pengadilan. Hal itu agar dapat dilihat secara Cuma-Cuma
oleh yang berkepentingan, sehingga mereka dapat mempersiapkannya. Pembahasan usulan
perdamaian diusahakan dilakukan dan diputuskan setelah selesai rapat pencocokan piutang kecuali
terhadap hak itu dilakukan penundaan. Salinan rencana perdamaian dikirimkan pulan kepada
anggota panitera kreditor sementara. Isis rencana perdamaian kemungkinan:

a    Utang akan dibayar sebagian

b   Utang akan dibayar dicicil


c    Utang akan dibayar sebagian dan sisanya dicicil

Dalam rencana perdamaian tersebut harus jelas alternatif perdamaian dimaksud, sehingga Kreditor
mempersiapkan diri untuk mempertimbangkannya dalam rapat yang bersangkutan.[17]
       Berbeda dengan perdamaian dalam kepailitan, perdamaian dalam PKPU dapat diajukan oleh
Kreditor selain Debitor. Hal ini adalah logis, karena tidak mungkin perdamaian dalam kepailitan
diajukan oleh Kreditor karena kepailitan itu sendiri telah dimohonkan sebelumnya oleh Kreditor  yang
bersangkutan. Perbedaan nyata lain adalah perdamaian dalam PKPU secara tegas memungkinkan
Debitor untuk menyelesaikan sebagaian selain seluruh utangnya kepada Kreditor.[18]
       Untuk menentukan diterima tidaknya rencana perdamaian  yang diajukan oleh Debitor pailit, akan
dilakukan pemungutan suara oleh para Kreditor konkuren. Pasal 149 UUKPKPU dan Pasal 138 UUK
(yang mengubah  Pasal 139 FV) menyebutkan secara rinci Kreditor yang tidak boleh ikut memberikan
suara dalam penetuan putusan rencana perdamaian dimaksud. Kreditor yang demikian adalah:

a    Pemegang gadai;

b   Pemegang jaminan fidusia;

c    Pemegang hak tanggungan

d    Pemegang hipotik;

e    Pemegang hak agunan lainnya;

f    Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah.

Pengecualian terhadap larangan tersebut, dapat dilakukan apabila mereka sebelum pemungutan
suara melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit. Apabila hal itu mereka
lakukan, konsekuensinya mereka berubah menjadi Kreditor konkuren termasuk dalam hal
perdamainan yang dibahas tidak diterima.[19]
      Rencana perdamaian diputuskan diterima apabila disetujui oleh lebih dari ½ jumlah Kreditor
konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang
mewakili paling sedikit 2/3 dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk
sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat bersangkutan.
Pemungutan suara akan diulang apabila lebih dari ½ jumlah Kreditor yang hadir pada rapat dan
mewakili paling sedikit ½ jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk
menerima rencana perdamaian tersebut. Pemungutan suara ulangan tersebut dilakukan paling
lambat 8 hari setelah rapat pertama dan tidak diperlukan pemanggilan lagi. Pada pemungutan suara
kedua,  Kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara dalam rapat
pembahasan perdamaian yang pertama Penerimaan rencana perdamaian berdasarkan pemungutan
suara seperti diuraikan di atas, mengikat semua Kreditor termasuk Kreditor yang tidak  menyetuji
dalam pemungutan suara. Dengan demikian, perdamaian mempunyai sifat memaksa.[20]
2. Perdamaian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
       Sebelum putusan pengesahan perdamaian dalam PKPU mempunyai kekuatan hukum tetap,
rencana perdamaian tersebut menjadi gugur apabila terdapat putusan Pengadilan yang memutuskan
PKPU berakhir. Dalam rangka menghadapi rapat Kreditor untuk membicarakan rencana perdamaian
tersebut, beberapa tindakan harus dilakukan oleh pengurus termasuk masalah tagihan, daftar piutang
dan sebagainya. [21]
       Dalam hal yang menyetujui rencana perdamaian kurang dari persyaratan, dimungkinkan
diadakan pemungutan suara ulangan. Berkaitan dengan pemungutan suara ulangan atau
pemungutan suara kedua dalam PKPU ini beberapa ketentuan untuk kepailitan juga berlaku.
Demikian pula alasan pengadilan menolak pengesahan perdamaian dalam PKPU, berlaku ketentuan
penolakan pengesahan perdamaian dalam kepailitan yang diatur dalam Pasal 159 UUK.[22] Dengan
ditolaknya pengesahan perdamaian dalam PKPU, Pengadilan wajib memutuskan Debitor dalam
keadaan pailit.[23]
       Akibat hukum yang terjadi dengan putusan perdamaian antara lain:[24]
 Setelah perdamaian, kepailitan berakhir;
 Keputusan penerimaan perdamaian mengikat seluruh kreditor konkuren;
 Perdamaian tidak berlaku bagi kreditor separatis dan kreditor yang diistimewakan;
 Perdamaian tidak boleh diajukan dua kali;
 Perdamaian merupakan alas hak bagi debitor;
 Hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap guarantor dan rekan debitor;
 Hak-hak kreditor tetap berlaku terhadap benda-benda pihak ketiga;
 Penangguhan eksekusi jaminan utang berahir;
 Actio pauliana berakhir;
 Debitor dapat direhabilitasi.

ANALISIS
A.   Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan pada Perkara Permohonan
Kepailitan PT.  Indah  Raya  Widya  Plywood.
       Dalam penyelesaian suatu kasus kepailitan, dianut suatu asas pembuktian sederhana. Menurut
penulis, hal tersebut sejalan dengan tujuan dari hukum kepailitan yaitu untuk kepentingan dunia
usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Dengan
dianutnya asas pembuktian sederhana seyogyanya salah satu tujuan dari hukum kepailitan yaitu
”cepat” dapat tercapai. Kecepatan dalam menyelesaikan suatu kasus kepailitan sangat penting,
mengingat adanya pembatasan waktu pengucapan putusan Pengadilan maksimal 60 hari sejak
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.

       Dalam pembuktian sederhana terdapat 3 (tiga) hal yang harus dibuktikan yaitu:

1. Kebenaran adanya dua kreditor atau lebih yang mempunyai hubungan hukum dengan debitor;
2. Kebenaran adanya minimal salah salah satu utang yang belum dibayar lunas, serta;
3. Utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
       Untuk membuktikan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Pengadilan Niaga
mendasarkan pada ketentuan pasal 1 ayat 1 UUKPKPU, yang menyatakan bahwa debitor dapat
dinyatakan pailit apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut mempunyai paling tidak satu kreditor
yang tagihannya telah jatuh tempo dan dapat ditagih, juga mempunyai minimal satu kreditor lainnya.
Dari  definisi  mengenai  kepailitan  dan  penundaan  kewajiban pembayaran  utang, maka  apabila 
kita melihat  posisi  kasus  pada  para  pihak yang bersengketa, maka pengajuan permohonan pailit
yang diajukan Pemohon Pailit  Kreditor.  Dalam  hal  ini  adalah  PT.  BNI  (Persero)  Tbk  adalah 
sudah terpenuhi syarat-syaratnya.

       Di dalam pengajuan permohonan pailit yang diajukan pemohon pailit tersebut,  dapat  diketahui 
bahwa  termohon  pailit memiliki  dua  kreditor  atau lebih (Cansursus Creditorum), yaitu diantaranya :
1. Koperasi Karyawan Bumi Jaya, yang beralamat di Palembang
2. Utang  terhadap  karyawan,  yang  dalam  hal  ini  diwakili  oleh MR.  Soki, SH,Cs
        Dari  adanya  beberapa  kreditur,  jelas  terdapat  satu  utang  yang  telah  jatuh  tempo  dan 
dapat  ditagih  yaitu  utang  pihak  Termohon  pailit  terhadap Pemohon  Pailit  yang  jatuh  tempo 
pada  tanggal  29  Desember  2000.  Syarat terhadap  pengajuan  Permohonan  Pailit  itupun  juga 
terpenuhi  dikarenakan syarat  pemohon  pailit  diajukan  oleh  PT.  BNI  (Persero)  Tbk  yang
berkedudukan sebagai kreditor dari Termohon Pailit.

       Sebagaimana telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya, permohonan pailit kepada PT. 
Indah  Raya  Widya  Plywood berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga yang diajukan oleh PT BNI
(Persero) Tbk secara sederhana telah terpenuhi dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
sehingga asas pembuktian sederhana dalam perkara ini telah terpenuhi.

                                        
B.   Akibat Hukum terhadap Penolakan Perdamaian dalam Penjatuhan Putusan pada Perkara
Kepailitan PT.  Indah  Raya  Widya  Plywood.
       Dalam penyelesaian perkara tentu diusahakan perdamaian sebagaimana dalam Hukum Acara
Perdata yang bersumber dari HIR menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara hakim wajib
mengusahakan perdamaian terlebih dahulu. Rencana Perdamaian adalah perjanjian antara debitor
dan para kreditornya mengenai penyesuaian jumlah piutang (yang diajukan Kreditor) dengan jumlah
utang yang diajukan debitor, dalam rangka menghindari terjadinya likuidasi. Perjanjanjian perdamaian
dapat diajukan dalam perkara kepailitan maupun perkara PKPU. Perjanjian tersebut harus disetujui
oleh para kreditor konkuren dengan melakukan pemungutan suara dalam rapat kreditor, dan untuk
beberapa kriteria juga harus disetujui oleh Pengadilan. Jika disetujui, maka akan mengikat seluruh
Kreditor konkuren. Jika Kreditor atau Pengadilan menolak rencana perdamaian, maka Debitor akan
dilikuidasi.[25]
       Melihat  pada  putusan  Pengadilan  Niaga  Jakarta  Pusat mengenai  sengketa  ini,  dapat 
diketahui  didalam  pertimbangan  Pemohon Pailit,  bahwa  pihak  pemohon  selaku  kreditur  justru 
memiliki  iktikad  baik terhadap  Termohon  Pailit  dengan melakukan  beberapa  kali  negoisasi  untuk
tetap menjamin terlaksananya/berjalannya operasional usaha Termohon Pailit. Berkenaan  dengan 
adanya  pengajuan  penundaan  kewajiban pembayaran utang yang kemudian dikabulkan menjadi
penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara memang seharusnya dikabulkan meskipun
telah diajukan  permohonan  pailit.  Dikabulkannya  permohonan  PKPU  ditengah-tengah 
permohonan  pailit  disebabkan  hal  tersebut  untuk  menjamin keberlangsungan kegiatan usaha
debitor (Termohon Pailit).[26] Di  dalam  PKPU  sementara  ini,  jangka  waktunya  berlangsung 
sejak  putusan PKPU sementara diucapkan dan sampai dengan  tanggal sidang yang akan 
diselenggarakan  mengenai  Rencana  Perdamaian  yang  dihadiri  oleh Hakim Pengawas, Pengurus,
Debitur, dan Kreditur.[27]
       Mengacu pada putusan permasalahan ini, sebelum dilakukannya rapat mengenai  Rencana 
Perdamaian,  setelah  rapat  kreditor  dan  rapat  mengenai Rencana Verifikasi  utang  piutang. Di 
dalam Rapat Verifikasi  utang  piutang tersebut masih  terdapat sengketa diantara  termohon pailit
dan pemohon pailit dikarenakan  masih  adanya  selisih  besaran  utang.  Oleh  karenanya  menurut
pihak  termohon pailit, pelaksanaan voting  terhadap rencana perdamaian  tidak  dapat  dianggap 
sah.  Akan  tetapi  dengan mengacu  pada  pasal  280  Undang-Undang  Kepailitan,  Hakim 
Pengawas  menentukan  kreditor-kreditor  mana sajakah  yang  tagihannya  dapat  dibantah  dan 
ikut  serta  dalam  pemungutan suara.  Di dalam Rapat Rencana Perdamaian Tersebut Hakim
Pengawas telah menentukan  bahwa  PT.  BNI  (Persero)  Tbk  selaku  pemohon  pailit  telah
ditetapkan  hak  suaranya  selaku  kreditor,  dan  di  dalam  berita  acara  rapat tersebut, masing-
masing pihak  telah menyetujui, berarti sesungguhnya dalam hal  ini  voting  adalah  sah  karena 
pihak  debitor  juga menyetujui  berita  acara rapat tersebut.

       Penulis setuju terhadap  putusan  yang  dijatuhkan  Majelis  Hakim Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat terhadap Termohon Pailit. Persetujuan  penulis  terhadap  putusan  pengadilan  niaga  yang 
dijatuhkan tersebut, didasarkan pada adanya kesesuaian pertimbangan yang diberikan majelis hakim 
dengan  mengacu  pada  pertimbangan  masing-masing  pihak,  dan  hal tersebut  telah  sesuai 
aturan perundangan kepailitan, dimana di dalam penentuan voting  yang  dilaksanakan  tersebut 
telah  sah  secara  hukum  karena  penentuan mengenai  jumlah  kreditur  dan  penetapan  hak 
suara  kreditor  oleh  Hakim Pengawas,  dalam  hal  ini  berkaitan  dengan  hak  suara  PT.  BNI 
(Persero)  Tbk selaku Pemohon Pailit.

       Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara  ini,  selanjutnya diubah menjadi PKPU 
tetap untuk menghindari dijatuhkannya putusan pailit.  Adapun untuk pemberian PKPU  tetap, maka
harus mendapatkan persetujuan dari para kreditor, dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Persetujuan  lebih  dari  ½  jumlah  kreditor  konkuren  yang  haknya  diakui atau sementara diakui
yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari  seluruh  tagihan  yang  diakui  atau  yang 
sementara  diakui  dari  kreditor konkuren  atau  kuasanya  yang  hadir  dalam  sidang  tersebut,  dan 
apabila timbul  perselisihan  antara  pengurus  dan  kreditor  konkuren  tentang  hak suara  kreditor, 
maka  perselisihan  tersebut  diputuskan  oleh  Hakim Pengawas;
2. Persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai,  jaminan  fidusia, 
hak  tanggungan,  hipotek,  atau  hak  agunan  atas keberadaan lainnya yang hadir dan mewakili paling
sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
       Melihat pada laporan Hakim Pengawas tertanggal 16 Juni 2006, dapat diketahui  bahwa  pada 
saat  Rapat  Pemungutan  Suara/Voting  atas  Rencana Perdamaian  Debitor  (dalam  PKPU)  yang 
diselenggarakan  tanggal  14  Juni 2006,  diperoleh  hasil  bahwa  semua  kreditor  yang  hadir  di 
dalam  rapat tersebut, 100% menyatakan menolak rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor. 
Hak  inipun  juga  turut  diamani  oleh  pihak  pengurus  melalui pertimbangan hukumnya.  Dengan
merujuk  pada  Pasal  289  Undang-Undang  Nomor  37  Tahun 2004, maka hakim pengawas wajib
segera melaporkan pada pengadilan yang memeriksa, menangani  dan memutus  perkara  ini.  Pada 
pasal  tersebut  dapat dibaca dan diketahui bahwa apabila  rencana perdamaian ditolak maka dalam
hal demikian Pengadilan harus menyatakan debitor pailit  setelah pengadilan menerima
pemberitahuan penolakan dari Hakim Pengawas. Hal  ini  pula  dianggap  telah  sesuai  dengan 
Pasal  230 ayat (1)  Undang-undang  Kepailitan  dikarenakan  didalam  Pasal  tersebut  menjelaskan 
bahwa kreditor  yang  tidak  menyetujui  pemberian  PKPU  tetap  atau  perpanjangan sudah 
diberikan  tetapi  sampai  batas  waktu  belum  tercapai  rencana perdamaian,  maka  pengurus 
wajib  memberitahu  hal  ini  melalui  hakim pengawas  kepada  pengadilan  yang  harus 
menyatakan  debitor  pailit  paling lambat pada hari berikutnya.

       Rencana perdamaian dibahas oleh debitor dan para kreditor pada saat rapat kreditor, selanjutnya
para kreditor melakukan pemungutan suara (voting) terhadap rencana perdamaian tersebut. Apabila
melalui voting rencana perdamaian tersebut ditolak oleh para kreditor, maka hakim pengawas
memberitahukan penolakan dengan cara menyerahkan kepada Pengadilan Niaga  salinan rencana
perdamaian. Akibat hukum yang timbul terhadap penolakan perdamaian yaitu proses pailit dilanjutkan
kembali dan perdamaian tidak dapat ditawarkan kembali dan hal tersebut berdampak kepada semua
Kreditor, Debitor dan semua orang yang bersangkutan dengan perkara kepailitan terseut.
SIMPULAN
1. Permohonan pailit kepada PT.  Indah  Raya  Widya  Plywood berdasarkan keputusan Pengadilan Niaga
yang diajukan oleh PT BNI (Persero) Tbk secara sederhana telah terpenuhi dalam pasal 2 ayat (1) UU
Nomor 37 Tahun 2004 sehingga asas pembuktian sederhana dalam perkara ini telah terpenuhi.
2. Rencana perdamaian dibahas oleh debitor dan para kreditor pada saat rapat kreditor, selanjutnya para
kreditor melakukan pemungutan suara (voting) terhadap rencana perdamaian tersebut. Apabila
melalui voting rencana perdamaian tersebut ditolak oleh para kreditor, maka hakim pengawas
memberitahukan penolakan dengan cara menyerahkan kepada Pengadilan Niaga  salinan rencana
perdamaian. Akibat hukum yang timbul terhadap penolakan perdamaian yaitu proses pailit dilanjutkan
kembali dan perdamaian tidak dapat ditawarkan kembali dan hal tersebut berdampak kepada semua
Kreditor, Debitor dan semua orang yang bersangkutan dengan perkara kepailitan tersebut.
Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.

DAFTAR PUSTAKA
Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Kencana Prenada Media
Group. Jakarta.2008.
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik,
Alumni, Bandung, 2010
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung,
2006
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bahti, Bandung, 2005
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Malang, 2008
Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia (studi
Putusan-Putusan Pengadilan), Total Media, Jakarta, 2008.
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan, Grafiti, Jakarta, 2008
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2000 tentang Permohonan Pernyataan Pailit untuk
Kepentingan Umum.

Anda mungkin juga menyukai