Remaja merupakan masa dimana individu mencari jati diri. Dalam masa pencarian ini,
remaja rentan akan masalah yang kerap kali dialami baik secara sadar maupun tidak. Masalah-
masalah ini sering terjadi di segi sosial, yang didalamnya melanggar hukum ataupun ketentuan-
ketentuan yang telah diatur dalam masyarakat (Jessor dan Jessor, 1991). Kenakalan remaja
dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh individu yang berumur
dibawah 18 tahun. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 24 tahun 2014, remaja adalah
individu yang berusia 10 hingga 18 tahun. Masa ini adalah masa dimana remaja memiliki rasa
ingin tahu yang besar terhadap berbagai kegiatan ataupun perilaku, dimana ketika pengambilan
keputusan yang dilakukan salah, maka remaja akan masuk dalam tindakan ataupun perilaku
berisiko dan bahkan harus menanggung akibat eksternal maupun internal (Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2007). Remaja cenderung menempatkan diri pada situasi
yang memiliki resiko besar, seperti bergaul dengan orang yang cenderung melakukan
kekerasan atau kriminal (Cuevas,Turner dan Ormrod, 2007).
Masa remaja sering disebut juga sebagai masa transisi, yaitu suatu masa di mana
mereka tidak cukup matang untuk disebut sebagai orang dewasa tetapi juga tidak layak disebut
sebagai anak-anak. Masa transisi adalah masa yang serba sulit bagi para remaja. (Anjaswarni
et al, 2019). Pada tahap inilah remaja mulai memasuki tahap yang disebut dengan identity vs
identity confusion (Erikson dalam Papalia & Feldman, 2012). Masa pencarian identitas ini
biasanya akan diikuti dengan keinginan untuk mencari tahu dan mengeksplorasi banyak hal di
lingkungannya untuk mendapatkan nilai-nilai yang dapat diadopsi (Steinberg, 2011). Hal-hal
yang diadopsi dapat berupa hal yang berdampak positif atau justru yang memberikan dampak
negatif. Hal-hal negatif yang diadopsi oleh remaja inilah yang seringkali disebut sebagai
kenakalan remaja atau delikuensi remaja. Kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah
suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada
usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa. (Kartono, 1988).
Runi Sikah Seisabila – Kriminologi 2021A
Viktimologi Lanjutan – Study Visit Report (LPSK)
Namun pada dasarnya kenakalan yang dilakukan pada anak – anak seperti prostitusi
online ini merupakan tindakan yang melanggar hukum. Mereka tidak memiliki pengetahuan
yang lebih tentang akibat dari perilaku prostitusi online tersebut. Dilansir dari
bankdata.kpai.go.id menyatakan bahwa banyak anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaikorban kekerasan seksual atau pemerkosaan yang meningkat dari periode 2016 –
2020.Tahun 2020, data anak berhadapan dengan hukum ada 419 anak.
Kemudian tidak semua anak memiliki kuasa hukum untuk melindunginya. Padahal
seharusnya berdasarkan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) dan UU No.
11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang menjelaskan pengertian Anak
yaitu seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan (Pasal 1 angka 1 UU PA) berhak untuk dilindungi dan memiliki bantuan hukum
dan bantuan lainnya ketika berhadapan denganhukum sebagai korban ataupun pelaku tindak
pidana (Pasal 18 UU PA).
Sistem Peradilan Anak tersebut, juga menyatakan bahwa anak saksi dan anak korban
juga berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam maupun diluar
Lembaga, jaminan keselamatan, baik fisik, mental maupun sosial dan kemudahan dalam
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara (Pasal 90 (1) UU SPPA). Dengan
berpegang teguh pada aturan tersebut, menyatakan bahwa anak tidak bisa bertanggung jawab
sendiri pada perilaku yang mereka lakukan, terutama dalam kasus prostitusi online yang
penulis kemukakan dalam essay ini. Anak dikenal dengan konteks yang lemah sehingga
mereka mudah menjadi korban ataupun melakukan tindakan kriminal tanpa berfikir panjang
terhadap dampak yang mereka lakukan.
Kemudian penulis mendapatkan pencerahan yang penulis dapatkan dalam kunjungan
perkuliahan ke LPSK Jakarta. Penulis mendapatkan beberapa cara untuk tetap melindungi
korban dan mencapai sistem perlindungan korban kejahatan yang berkualitas. Apalagi
perlindungan terhadap korban anak – anak.
Perlindungan korban ada dalam Undang – Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban (undang – undang) tidak lepas dari semangat dalam
pemberantasan korupsi, perlindungan hak asasi manusia dan good governance yang setelah
tahun 1998 menjadi isu penting dalam transisi demokrasi, penegakan hukum dan hak asasi
manusia di Indonesia. Apalagi dalam Undang – Undang yang menjelaskan tentang
perlindungan kepada saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, dapat diberikan sejak
tahap penyelidikan dimulai (Pasal 8 Ayat 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban) dan kemudian
Runi Sikah Seisabila – Kriminologi 2021A
Viktimologi Lanjutan – Study Visit Report (LPSK)
memfasilitasi hak pemulihan bagi korban kejahatan berupa bantuan medis, psikologis,
rehabilitasi, psiko-sosial, fasilitas kompensasi dan restitusi.
Berikut adalah cara agar seorang anak dapat perlindungan korban dari prostitusi online
yaitu :
1. PASAL 29 AYAT (1) UU NOMOR 31 TAHUN 2014
Sanksi dan atau Korban yang bersangkutan :
A. Atas inisiatif sendiri
B. Atas Permintaan Pejabat yang berwenang mengajukan permohonan secara
tertulis kepada LPSK.
2. PASAL 29 AYAT (3) UU NOMOR 31 TAHUN 2014
Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan perlindungan tanpa diajukan
permohonan (Pro Aktif)
3. PASAL 29 A AYAT (3) UU NOMOR 31 TAHUN 2014
Berdasarkan penetapan pengadilan negeri setempat atas permintaan LPSK dalam
hal sanksi atau korban adalah anak dalam kondisi yang diatur undang – undang
tidak memerlukan izin dari orang tua atau wali
Dalam Pasal 29A ayat 3 UU Nomor 31 Tahun 2014 tersebut menyatakan dengan jelas
bahwa anak – anak yang memang menjadi korban atau saksi harus dilindungi oleh negara.
Dalam hal ini, pemohon korban dan saksi dapat berupa : Saksi atau korban itu sendiri, keluarga
dari saksi atau korban, pendamping atau kuasa hukum dari saksi atau korban, aparat penegak
hukum dan juga instansi terkait yang berwenang.
Dengan adanya berbagai aturan, program dan juga tujuan supaya tercapainya
perlindungan saksi dan korban yang baik untuk mencapai sistem yang berkualitas dan
berkeadilan, maka dari itu, diharapkan kerja sama dari berbagai LSM, Akademisi, Masyarakat,
aparat penegak hukum dan juga LPSK supaya penanganan saksi dan korban mendapatkan
proses yang lebih baik lagi dalam sistem aturan di masyarakat Indonesia.
Runi Sikah Seisabila – Kriminologi 2021A
Viktimologi Lanjutan – Study Visit Report (LPSK)
Referensi :
Anjaswarni, T., Nursalam., Widati, S., & Yusuf. (2019). Deteksi dini potensi kenakalan
remaja (juvenile delinquency) dan solusi “Save Remaja Milenial”. Sidoarjo: Zifatama Jawara.
Cuevas, C. A., Finkelhor, D., Turner, H. A., & Ormrod, R. K. (2007). Juvenile
delinquency and victimization: A theoretical typology. Journal of interpersonal violence.
Jessor, R & Jessor S. L. 1991. Problem Behavior and Psychosocial Development: A
Longitudinal Study of Youth. New York: Academic Press
Papalia, D.E., & Feldman, R.D. 2012. Experience human development (12th ed.). NY:
McGraw-Hill.
Pusat Data dan Informasi kementerian Kesehatan RI. 2007. Situasi Kesehatan
Reproduksi Remaja. Jakarta, Indonesia
Siegel. J & Welsh. B. 2011. Juvenile Deliquency The Core. California, Wadsworth
Steinberg, L. (2011). Adolescence (9th ed.). NY: McGraw-Hill. Sarwono, S.W. (2006).
Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Perkasa.