Masalah kenakalan remaja bukan saja merupakan masalah hukum nasional suatu negara
tertentu, melainkan sudah merupakan masalah hukum semua negara di dunia atau merupakan
masalah global. Banyak peristiwa yang terjadi di masyarakat khususnya perilaku para remaja
yang kurang mendapat perhatian yang serius, baik dari para aparat penegak hukum maupun dari
masyarakat itu sendiri, yang dalam hal ini peristiwa yang berhalangan dengan hukum, misalnya
tentang perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para remaja khususnya para remaja yang
mengatasnamakan geng motor di Kota Bandung.
Kartini Kartono menyatakan bahwa, geng delinquen banyak tumbuh dan berkembang di
kota-kota besar dan bertanggung jawab atas banyaknya kejahatan dalam bentuk: pencurian,
perusakan milik orang lain, dengan sengaja melanggar, dan menentang otoritas orang dewasa
serta moralitas yang konvensional, melakukan tindak kekerasan, meneror lingkungan, dan lain-
lain.
Menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah:
Wagiati Soetedjo mengemukakan pendapat mengenai kenakalan anak bahwa: Hal tersebut
cenderung dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak, terlalu ekstrim rasanya
seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya
adalah proses alami yang tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan masa menjelang
kedewasaannya.
Permunculan teori control sosial diakibatkan tiga ragam yaitu adanya reaksi terhadap
orientasi labeling dan konflik dan kembali kepada penyelidikan tentang tingkah laku criminal.
Romli Atmasasmita menyatakan ada tiga komponen dari control sosial yaitu kurangnya kontrol
internal yang wajar selama masa anak-anak ; hilangnya kontrol tersebut; tidak adanya norma-
norma sosial atau konflik yang dimaksud (di sekolah, orang tua, atau lingkungan dekat).
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka peneliti berpendapat bahwa semua orang berhak
untuk mendirikan suatu perkumpulan (geng motor) selama perkumpulan tersebut tidak
menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Wagiati Soetedjo mengemukakan bahwa ada tiga fase pertumbuhan yaitu fase pertama
adalah timbulnya pada anak usia 0 tahun dampai dengan 7 tahun yangbisa disebut sebagai masa
anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, perkembangan fungsi-fungsi tubuh,
perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bagi bahasa anak-anak, masa
kritis(trozalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak.
Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak,
di mana dapat digolongkan kedalam dua periode, yaitu masa anak sekolah dasar mulai dari usia
7-12 tahun adalah periode intelektual. Dan masa remaja/pra pubertas atau pubertas awal yang
dikenal dengan sebutan periode pueral. Pada periode ini terdapat kematangan fungsi jasmaniah
ditandai dengan berkembanganya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan
tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal, kurang sopan, liar, dan lain-lain.
Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14-21 tahun, yang dinamakan masa remaja, dalam arti
sebenrnya yaitu fase pubertas dan adolescent, di mana terdapat masa penghubung dan masa
peralihan dari anak menjadi orang dewasa.
Wagiati Soetedjo mengemukakan bahwa masa remaja atau masa pubertas bisa di bagi
dalam empat fase yaitu :
Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti berusaha mengambil batas usia remaja yang
dipergunakan dalam hukum positif Indonesia dan perundang-undangan lain, di antaranya yaitu:
1. Pasal 45 KUHP yaitu jika seseorang dituntut karena perbuatan yang dilakukannya
ketika umurnya belum 16 tahun.
2. Pasal 330 KUHPer yaitu bekum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21
tahun dan tidak lebih dulu telah kawin.
3. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu calon mempelai menurut Undang-
Undang Perkawinan harus telah mencapai usia 19 tahun pria dan 16 tahun wanita.
4. Pasal 1 ke-1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak yaitu bahwa anak adalah
orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum
mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
5. Pasal 1 ke-1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak yaitu anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Berdasarkan kesimpulan di atas, kenakalan remaja adalah tindak perbuatan para remaja
yang bertentangan dengan agama dan norma-norma masyarakat sehingga akibatnya dapat
merugikan orang lain, mengganggu ketentraman umum dan juga merusak karya sendiri.
Kenakalan remaja di bagi empat jenis yaitu kenakalan yang menimbulkan korban fisik
pada orang lain, kenakalan yang menimbulkan korban materi, kenakalan sosial yang tidak
menimbulkan korban di pihak orang lain, dan kenakalan yang melawan status.
Para remaja mempunyai beberapa kebutuhan, diantaranya yaitu kebutuhan biologis, psikis,
dan sosial. Dari berbagai macam kebutuhan remaja tersebut dapat diuraikan beberapa tentang
problema remaja, yaitu:
1. Problema penyesuaian diri, yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk hidup
dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap
dirinya dan terhadap lingkunagnnya.
2. Problema beragama, diantaranya yaitu keyakinan kesadaran beragama, pelaksanaan
ajaran agama secara teratur, dan perubahan tingkah laku karena agama.
3. Problema kesehatan, yaitu masalah yang dihadapi sehubungan dengan kesehatan
jasmani dan rohaninya.
4. Problema ekonomi dan mendapat pekerjaan. Masalah pekerjaan dan memenuhi
kebutuhan ekonomi, merupakan masalah yang cukup menggelisahkan para remaja.
5. Problema perkawinan dan hidup berumah tangga. Problema ini di dasarkan atas
kebutuhan seksual yang amat menonjol pada masa remaja. Sehubungan dengan
kematangan organ seksual. Pada masa ini kadang-kadang timbul konflik antara dia
dengan orang tuanya dalam soal pemilihan jodoh.
6. Problema ingin berperan dalam masyarakat, yaitu suatu dorongan sosial yang terbentuk
karena tuntutan kemajuan teknologi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan pada
umumnya.
7. Problema pendidikan. Problema ini berhubungan dengan kebutuhan akan ilmu
pengetahuan yang diperlukan para remaja dalam rangka mencapai kepuasan ingin
mengetahui/meneliti hal-hal yang belum terungkapkan secara ilmiah. Kebutuhan ini
juga berguna bagi tercapainya masa depan yang gemilang dan ada kaitannya dengan
status ekonomi mereka nantinya.
8. Problema mengisi waktu terluang. Waktu terluang (senggang) ialah sisa waktu yang
kosong setelah habis belajar dan bekerja. Waktu terluang ini relatif lebih panjang dari
pada waktu belajar dan bekerja.
Masalah-masalah yang dihadapi remaja dapat menimbulkan tingkah laku yang diinginkan
dan merupakan tingkah laku yang menyimpang dan melanggar norma-norma kehidupan
masyarakat, sehingga tingkah laku yang demikian dapatlah dianggap sebagai masalah sosial.
Pada umumnya anak-anak remaja sangat agresif sifatnya, suka berbaku hantam dengan
siapa pun tanpa suatu sebab yang yang jelas, dengan suatu tujuan sekedar untuk mengukur
kekuatan kelompok sendiri, serta membuar onar di tengah lingkungan.
Ciri-ciri karakteristik geng antara lain yaitu jumlah anggotanya sekitar antara 3-40 anak
remaja, jarang beranggotakan lebih dari 50 orang anak remaja, anggota geng lebih banyak terdiri
dari anak laki-laki ketimbang anak perempuan, walaupun ada juga anak peremuan yang ada di
dalamnya.
Anak-anak delinkuen mempunyai karakteristik umum yang sangat berbeda dengan anak-
anak non delinkuen, yaitu berbeda dalam perbedaan struktur intelektualnya, perebdaan konstitusi
fisik dan psikis, dan perbedaan ciri karakteristik individual.
Wujud perilaku delinkuen yang perilaku tersebut sangat erat kaitannya dengan dampak dari
maraknya geng motor di Kota Bandung yaitu :
Berikut data tentang jumlah jenis kasus yang dilakukan oleh remaja di Jawa Barat dalam
bentuk tabel.
Jumlah Kasus yang Dilakukan oleh Anak Remaja
1 Pencurian 16
2 Curas 6
3 Curat 9
4 Larikan Gadis 2
5 Pembunhan 10
6 Pemerkosaan 38
7 Pencabulan 18
8 Perzinahan 1
9 Penculikan 1
10 Penganiayaan 24
11 Penipuan 1
12 Sodomi 4
13 Napza 1
14 Teror Bom 4
15 Traficking 1
16 Tawuran 76
17 Miras 12
18 Balapan liar 92
19 Grafiti 240
20 Pengrusakan 4
21 Membawa 1
22 Penyerangan 4
Keterangan:
Jumlah kasus anak 590 orang
Selain kasus di atas, ada data sekunder yang diperoleh dari HU Galamedia yang
menggambarkan kasus kenakalan atau kejahatan yang cukup serius yang ditimbulkan oleh geng
motor di Kota Bandung.
Berikut tentang data klasifikasi usia anggota geng motor yang berhasil ditangkap dan
sedang menjalani pemeriksaan di Polresta Bandung Tengah, sebagai berikut:
6 PR 16 tahun Pelajar
Motif yang mendorong anak remaja melakukan tindak kejahatan dan kedursilaan, yang
dalam hal ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh geng motor menurut Kartini Kartono
diantaranya yaitu:
Selanjutnya ada motivasi kenapa remaja ingin bergabung dengan geng motor yang didapat
dari hasil wawancara dengan salah satu anggota geng motor
Ada pun berikut factor yang menjadikannya ingin menghindar dari geng motor itu
diantaranya
1. Menyita waktu
2. Merasa bosan
3. Merasa was-was karena takut dengan geng lain yang menjadi saingannya
4. Ingin mengurangi tindak criminal
Adapun bentuk upaya dari aparat kepolisian untuk menanggulangi kejahatan tersebut
antara lain yaitu:
Dalam upaya memberantas kejahatan yang dilakukan geng motor, aparat kepolisisan juga
mengalami hambatan-hambatan sebagai berikut:
1. Sulit untuk menngidentifikasi para geng motor tersebut, karena kejadiannya selalu
tengah malam, dan di daerah yang sepi
2. Sulit untuk mencari saksi karena masyarakat enggan untuk melaporkan kejadian yang
dilakukan oleh para kawanan geng motor tersebut karena masyarakat merasa takut
G. Kegelisahan Masyarakat Kota Bandung
Pertama, sebaiknya masalah tindak pidana yang dilakukan oleh geng motor di Kota
Bandung diatur secara khusus dalam sebuah peraturan daerah yang tentu saja secra yuridis harus
mengacu pada perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, dalam menanganin masalah tindak
pidana yang dilakukan kelompok geng motor ini harus melibatkan berbagai pihak dari
masyarakat. Ketiga, untuk remaja sendiri diperlukan sikap mawas diri dalam melihat kelemahan
dan kekurangan diri sendiri dan melakukan introspeksi dan koreksi terhadap kekeliruan yang
telah dilakukan.