Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memberikan batasan:
kesehatan

adalah

keadaan

sejahtera

badan,

jiwa,

dan

sosial

yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Batasan
yang diangkat dari batasan kesehatan menurut Organisasi Kesahatan Dunia
(WHO) yang paling baru ini, memang lebih luas dan dinamis dibandingkan
dengan batasan sebelumnya yang mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan
sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak hanya bebas dari penyakit
dan cacat. Pada batasan yang terdahulu, kesehataan itu hanya mencakup tiga
aspek, yakni : fisik, mental, dan sosial, tetapi menurut Undang-Undang No.
23/1992, kesehatan itu mencakup 4 aspek yakni fisik (badan), mental (jiwa),
sosial, dan ekonomi. Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari
aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya
dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi.
Secara Psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi
dengan masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat
orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama,
sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Remaja merupakan periode transisi
antara masa anak-anak ke masa dewasa. Di dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu
yang terkait (seperti biologi dan ilmu fisiologi), remaja dikenal sebagai suatu
tahap perkembangan fisik ketika alat-alat kelamin manusia mencapai kematangan.
Hal ini berarti secara anatomis, alat-alat kelamin maupun organ tubuh yang lain
akan memperoleh bentuknya yang sempurna.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan social
secara lengkap dan bukan hanya adanya penyakit atau kelemahan, dalam segala
hal yang berhubungan dengan system reproduksi dan fungsi-fungsi serta
prosesnya. Sedangkan kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi yang
sehat yang menyangkut system, fungsi, dan proses reproduksi yang dimiliki oleh
remaja. Kaum remaja Indonesia saat ini mengalami lingkungan sosial yang sangat

berbeda daripada orangtuanya. Dewasa ini, kaum remaja lebih bebas


mengekspresikan dirinya, dan telah mengembangkan kebudayaan dan bahasa
khusus antara grupnya. Sikap-sikap kaum remaja atas seksualitas dan soal seks
ternyata lebih liberal daripada orangtuanya, dengan jauh lebih banyak kesempatan
mengembangkan hubungan lawan jenis, berpacaran, sampai melakukan hubungan
seks.
Permasalahan remaja yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi berasal dari
kurangnya informasi, pemahaman dan kesadaran untuk mencapai keadaan sehat
secara reproduksi. Orang tua yang diharapkan remaja dapat dijadikan tempat
bertanya atau dapat memberikan penjelasan tentang masalah kesehatan
reproduksi, ternyata tidak banyak berperan karena masalah tersebut masih
dianggap tabu untuk dibicarakan dengan anak remajanya. Guru, yang juga
diharapkan oleh orang tua dan remaja dapat memberikan penjelasan yang lebih
lengkap kepada siswanya tentang kesehatan reproduksi, ternyata masih
menghadapi banyak kendala dari dalam dirinya, seperti: tabu, merasa tidak pantas,
tidak tahu cara menyampaikannya, tidak ada waktu, dan lain sebagainya. Solusi
yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan pemberian
pendidikan mengenai kesehatan reproduksi.
Menurut PKBI, akibat derasnya informasi yang diterima remaja dari berbagai
media massa, memperbesar kemungkinan remaja melakukan praktek seksual yang
tak sehat, perilaku seks pra-nikah, dengan satu atau berganti pasangan. Saat ini,
kekurangan informasi yang benar tentang masalah seks akan memperkuatkan
kemungkinan remaja percaya salah paham yang diambil dari media massa dan
teman sebaya. Akibatnya, kaum remaja masuk ke kaum beresiko melakukan
perilaku berbahaya untuk kesehatannya.
Penelitian PKBI pada tahun 2005 yang dilakukan di 4 kota besar yaitu
Jabotabek, Bandung, Surabaya, dan Medan tentang perilaku seksual remaja
menyatakan remaja yang telah melakukan hubungan seks pranikah di Jabotabek
51%, Bandung 54%, Surabaya 47% dan Medan 52% dengan kisaran umur
pertama kali melakukan hubungan seks pada umur 13-18 tahun, 60% tidak
menggunakan alat kontrasepsi, dan 85% dilakukan di rumah sendiri. Berdasarkan

data PKBI (2006), didapatkan 2,5 juta perempuan pernah melakukan aborsi per
tahun, 27% dilakukan oleh remaja, sebagian besar dilakukan dengan cara tidak
aman, 30-35% aborsi ini adalah penyumbang kematian ibu atau Maternal
Mortality Rate (MMR).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan remaja?
2. Bagaimana ciri-ciri pada masa remaja?
3. Apa definisi dari kesehatan reproduksi remaja?
4. Apa saja yang termasuk dalam hak-hak reproduksi?
5. Bagaimana kebijakan dan solusi permasalahan kesehatan reproduksi
remaja?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan remaja
2. Untuk mengetahui ciri-ciri pada masa remaja
3. Untuk mengetahui definisi dari kesehatan reproduksi remaja
4. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam hak-hak reproduksi
5. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan dan solusi dalam permasalahan
kesehatan reproduksi remaja

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Remaja

Remaja/adolense adalah periode perkembangan selama dimana individu


mengalami perubahan diri masa kanak-kanak menuju masa dewasa biasanya,
antara usia 13-21 tahun. Istilah adolense biasanya menunjukkan maturasi
psikologi Individu, ketika pubertas mengakibatkan perubahan penampilan pada
orang muda dan perkembangan mental (mengakibatkan kemampuan untuk di
hipotesis & berkehidupan dengan abstraksi, penyesuaian dan adaptasi dibutuhkan
untuk mikoping perubahan stimulasi ini dan usaha untuk membentuk peranan
Identintitas yang matur (Paradina, 2009).
WHO (World Health Organization) 1974 mengidentifikasikan tentang remaja
yang lebih konseptual dengan adanya tiga kriteria yaitu : a. Biologis dengan ciri
individu berkembang mulai saat pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual
sekunder sampai saat ini mencapai kematangan seksual. b. Remaja sebagai
individu yang mengalami perkembangan psikologik pada identifikasi dari kanak
kanak menjadi dewasa. c. Pada kriteria sosial ekonomi, terjadi peralihan dari
ketergantungan 10 sosial ekonomi yang penuh keadaan yang relatif mandiri.
WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan remaja. PBB pada
tahun 1985 menetapkan tahun pemuda internaional dengan kriteria pamuda adalah
15-24 tahun. Sensus penduduk 1980 di Indonesia membatasi kriteria remaja yang
mendekati batasan PBB yaitu 14-24 tahun (Paradina, 2009).
Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa meliputi
semua perkembangannya yang dialami sebagai persiapan menstruasim memasuki
masa dewasa. Kebanyakan ahli memandang masa remaja dalam 2 periode karena
terdapat ciri-ciri perilaku yang cukup banyak berbeda dalam kedua tersebut,
pembagian ini biasanya menjadi periode remaja awal, yaitu berkisar antara 13
sampai 17 tahun, periode masa akhir yaitu 17 sampai 18 (Usia matang secara
hukum). Masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dalam masyarakat
dewasa, dimasa anak tidak lagi merasakan dibawah tingkah orang lebih tua
melainkan berada pada tingkatkan yang lama, sekurangkurangnya dalam
masalah hak (Paradina, 2009).
2.2 Ciri-ciri Masa Remaja
a. Masa Remaja Sebagai Periode Yang Penting

Pada masa remaja sebagai akibat fisik dan psikologis mempunyai presesi yang
sama penting. Perkembangan fisik yang cepat disertai dengan cepatnya
perkembangan mental terutama pada awal masa remaja, dimana perkembangan itu
dapat menimbulkan sikap, nilai, dan minat baru.
b. Masa Remaja Sebagai Periode Peralihan
Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya,
tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu tahap pekembangan ketahap
berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan
bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan akan datang. Bila anak beralih dari
masa kanakkanak ke dewasa, anak harus meninggalkan segala sesuatu yang
bersifat kanak kanak dan harus mempelajari pada perilaku dan sikap baru untuk
menggantikan perilaku yang sudah ditinggalkan.
c. Masa Remaja Sebagai Usia Bermasalah
Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik,
oleh anak lakilaki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan
itu, yaitu:
1) Sepanjang masa kanakkanak, masalah anakanak sebagian diselesaikan oleh
orang tua dan guruguru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman
dalam mengatasi masalah.
2) Para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya
sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru guru.
Ketidakmampuan remaja mengatasi sendiri masalahnya, maka memakai
menurut cara mereka yakni. Banyak remaja akhirnya menentukan cara yang
mereka yakini. Banyak remaja akhirnya menentukan bahwa penyesaiannya tidak
selalu sesuai dengan harapan mereka. Banyak kegagalan yang sering kali tragis,
bukan karena tidak mampuan individu tetapi kenyataan bahwa tuntutan yang
diajukan kepadanya, justru pada saat semua tenaganya telah dihabiskan untuk
mencoba mengatasi masalah pokoknya, yang disebabkan oleh pertumbuhan dan
perkembangan seksual yang normal.
3) Masa Remaja Sebagai Masa Mencari Identitas

Sepanjang usia kelompok pada akhir masa kanak kanak, penyesuaian diri
dengan standar kelompok adalah jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar
dari pada individualitas. Seperti telah bagi anak yang lebih besar ingin cepat
seperti temanteman kelompoknya. Tiap penyimpangan dari standar kelompok.
2.3 Definisi Kesehatan Reproduksi Remaja
Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak
diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan
dan Pembangunan (International Conference on Population and Development,
ICPD), di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Hal penting dalam konferensi tersebut
adalah

disepakatinya

perubahan paradigma

dalam pengelolaan

masalah

kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan


penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi
serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi (Dokumen Kebijakan dan Strategi
Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia, 2005).
Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser ke arah yang
lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi lakilaki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya,
kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan
kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki dalam kaitannya dengan
kesehatan reproduksi (Dokumen Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan
Reproduksi di Indonesia, 2005).
IPCD (International Conference On Population and Development) Kairo 1994
mendefinisikan kesehatan reproduksi sebagai keadaan sehat yang menyeluruh,
meliputi aspek fisik, mental dan sosial, bukan sekedar tidak hanya penyakit atau
gangguan di segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya,
proses reproduksi itu sendiri. Kesehatan reproduksi menyiratkan bahwa setiap
orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan dan
mereka memiliki kemampuan untuk berproduksi, serta memiliki kebebasan untuk
menetapkan kapan dan seberapa sering mereka ingin bereproduksi. Sedangkan
badan kesehatan dunia, WHO mengidentifikasikan kesehatan reproduksi adalah

keadaan yang memungkinkan proses reproduksi dapat tercapai secara sehat baik
fisik, mental, maupun sosial bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelainan
(Paradina, 2009).
Kesehatan reproduksi remaja penting sekali bagi kesehatan reproduksi dan
masuk sebagai komponen-komponen kesehatan reproduksi karena (Dan, 2009):
a. Masa remaja (usia 10-19 tahun) adalah masa yang khusus dan penting, karena
merupakan periode pematangan organ reproduksi manusia. Masa remaja
disebut juga masa pubertas, merupakan masa transisi yang unik ditandai
dengan berbagai perubahan fisik, emosi dan psikis.
b. Pada masa remaja terjadi perubahan organobiologik yang cepat dan tidak
seimbang dengan perubahan mental emosional ( kejiwaan). Keadaan ini dapat
membat remaja bingung. Oleh karena itu perlu pengertian, bimbingan dan
dukungan dari lingkungan di sekitarnya sehingga remaja dapat tumbuh dan
berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat baik jasmani, mental
maupun psikososial.
c. Dalam lingkungan sosial tertentu, sering terjadi perbedaan perlakuan terhadap
remaja laki-laki dan perempuan. Bagi laki-laki, masa remaja merupakan saat
diperolehnya kebebasan sementara pada remaja merupakan saat dimulainya
segala bentuk pembatasan. Agar masalah kesehatan remaja dapat ditangani
dengan tuntas, diperlukan kesetaraan perlakuan terhadap remaja laki-laki dan
perempuan.
2.4 Hak-hak Reproduksi
Hak reproduksi merupakan bagian dari hak azasi manusia yang melekat
pada manusia sejak lahir dan dilindungi keberadaannya. Sehingga pengekangan
terhadap hak reproduksi berarti pengekangan terhadap hak asasi manusia. Hak
reproduksi secara umum diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh individu baik
laki-laki maupun perempuan yang berkaitan dengan keadaan reproduksinya
(Widyastuti & Rahmawati, 2009).
Berdasarkan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan
(ICPD) di Kairo 1994, ditentukan ada 12 hak-hak reproduksi, yaitu (Widyastuti &
Rahmawati, 2009):

1) Hak Untuk Hidup (Hak Untuk Dilindungi Dari Kematian Karena Kehamilan
dan Proses Melahirkan)
Setiap perempuan yang hamil dan akan melahirkan berhak untuk
mendapatkan perlindungan dalam arti mendapatkanpelayanan kesehatan yang
baik sehingga terhindar dari kemungkinan kematian dalam proses kehamilan
danmelahirkan tersebut. Contoh: Pada saat melahirkan seorang perempuan
mempunyai hak untuk mengambil keputusan bagi dirinya secara cepat terutama
jika proses kelahiran tersebut berisiko untuk terjadinya komplikasi atau
bahkan kematian. Keluarga tidak boleh menghalangi dengan berbagai alasan.
2) Hak Atas Kebebasan Dan Keamanan Berkaitan Dengan Kehidupan
Reproduksi
Hak ini terkait dengan adanya kebebasan berpikir dan menentukan sendiri
kehidupan reproduksi yang dimiliki oleh seseorang. Contoh: Dalam konteks
adanya hak tersebut, maka seseorang harus dijamin keamanannya agar tidak
terjadi pemaksaaan atau pengucilan atau munculnya ketakutan dalam diri
individu karena memiliki hak kebebasan tersebut.
3) Hak Untuk Bebas Dari Segala Bentuk Diskriminasi Dalam Kehidupan
Berkeluarga Dan Kehidupan Reproduksi
Setiap orang tidak boleh mendapatkan perlakuan diskriminatif berkaitan
dengan

kesehatan

reproduksi karena

ras, jenis

kelamin,

kondisi sosial

ekonomi, keyakinan/agamanya dan kebangsaannya. Contoh: Orang tidak mampu


harus mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas (bukan
sekedar atau asal-asalan) yang tentu saja sesuai dengan kondisi yang
melingkupinya.
Demikian pula seseorang tidak boleh mendapatkan perlakuan yang berbeda
dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi hanya karena yang
bersangkutan memiliki keyakinan berbeda dalam kehidupan reproduksi. Misalnya
seseorang tidak mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan secara benar,
hanya karena yang bersangkutan tidak ber-KB atau pernah menyampaikan suatu
aspirasi yang berbeda dengan masyarakat sekitar. Pelayanan juga tidak

boleh membedakan apakah seseorang tersebut perempuan atau laki-laki. Hal ini
disebut dengan diskriminasi gender.
4) Hak Atas Kerahasiaan Pribadi Dengan Kehidupan Reproduksinya Terkait
dengan Informasi Pendidikan dan Pelayanan
Setiap individu harus dijamin kerahasiaan kehidupan kesehatan reproduksinya
terkait

dengan

informasi pendidikan

dan

pelayanan

misalnya

informasi

tentang kehidupan seksual, masa menstruasi dan lain sebagainya. Contoh: Petugas
atau seseorang yang memiliki informasi tentang kehidupan reproduksi seseorang
tidak boleh membocorkan atau dengan sengaja memberikan informasi yang
dimilikinya kepada orang lain. Jika informasi dibutuhkan sebagai data untuk
penunjang pelaksanaan program, misalnya data tentang prosentase pemakaian alat
kontrasepsi

masih

tetap

dimungkinkan informasi

tersebut

dipublikasikan

sepanjang tidak mencantumkan indentitas yang bersangkutan.


5) Hak Untuk Kebebasan Berfikir Tentang Kesehatan Reproduksi
Setiap remaja berhak untuk berpikir atau mengungkapkan pikirannya tentang
kehidupan yang diyakininya. Perbedaan yang ada harus diakui dan tidak boleh
menyebabkan terjadinya kerugian atas diri yang bersangkutan. Orang lain dapat
saja berupaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut namun tidak dengan
pemaksaan

akan

tetapi dengan

melakukan

upaya

advokasi

dan

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Contoh: seseorang dapat saja


mempunyai pikiran bahwa banyak anak menguntungkan bagi dirinya dan
keluarganya. Bila ini terjadi maka orang tersebut tidak boleh serta
merta dikucilkan atau dijauhi dalam pergaulan. Upaya merubah pikiran atau
keyakinan tersebut boleh dilakukan sepanjang dilakukan sendiri oleh yang
bersangkutan

setelah mempertimbangkan

berbagai

hal

sebagai

dampak

dari advokasi dan KIE yang dilakukan petugas.


6) Hak Mendapatkan Informasi Dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi
Setiap remaja berhak mendapatkan informasi dan pendidikan yang jelas dan
benar tentang berbagai aspek terkait dengan masalah kesehatan reproduksi.
Contoh: seorang remaja harus mendapatkan informasi danpendidikan kesehatan
reproduksi.

7) Hak Membangun Dan Merencanakan Keluarga


Setiap individu dijamin haknya: kapan, dimana, dengan siapa, serta bagaimana
ia akan membangun keluarganya. Tentu saja kesemuanya ini tidak terlepas dari
norma agama, sosial dan budaya yang berlaku (ingat tentang adanya kewajiban
yang menyertai adanya hak reproduksi). Contoh: Seseorang akan menikah dalam
usia yang masih muda, maka petugas tidak bisa memaksa orang tersebut untuk
membatalkan pernikahannya. Yang bisa diupayakan adalah memberitahu orang
tersebut tentang peraturan yang berlaku di Indonesia tentang batas usia terendah
untuk menikah dan yang penting adalah memberitahu tentang dampak negatif dari
menikah dan hamil pada usia muda.
8) Hak Untuk Menentukan Jumlah Anak Dan Jarak Kelahiran
Setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang dimilikinya serta
jarak kelahiran yang diinginkan. Contoh: Dalam konteks program KB,
pemerintah, masyarakat, dan lingkungan tidak boleh melakukan pemaksaan
jikaseseorang ingin memiliki anak dalam jumlah besar. Yang harus dilakukan
adalah memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya mengenai
dampak negatif dari memiliki anak jumlah besar dan dampak positif dari memiliki
jumlah anak sedikit. Jikapun klien berkeputusan untuk memiliki anak sedikit, hal
tersebut harus merupakan keputusan klien itu sendiri.
9) Hak Mendapatkan Pelayanan Dan Perlindungan Kesehatan Reproduksi
Setiap remaja memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan
kehidupan reproduksinya termasuk perlindungan dari resiko kematian akibat
proses reproduksi. Contoh: seorang remaja yang mengalami kehamilan yang tidak
diinginkan harus tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik agar proses
kehamilan dan kelahirannya dapat berjalan dengan baik.
10) Hak Mendapatkan Manfaat Dari Kemajuan Ilmu Pengetahuan Yang Terkait
Dengan Kesehatan Reproduksi
Setiap remaja berhak mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan terkait dengan kesehatanreproduksi, serta mendapatkan informasi
yang

sejelas- jelasnya

dan

sebenar-benarnya

dan

kemudahan

akses

untukmendapatkan pelayanan informasi tentang Kesehatan Reproduksi Remaja.

10

Contoh: Jika petugas mengetahui tentang Kesehatan Reproduksi Remaja, maka


petugas berkewajiban untuk memberi informasi kepada remaja, karena mungkin
pengetahuan tersebut adalah hal yang paling baru untuk remaja.
11) Hak Atas Kebebasan Berkumpul Dan Berpartisipasi Dalam Politik Yang
Berkaitan Dengan Kesehatan Reproduksi
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat atauaspirasinya baik
melalui pernyataan pribadi atau pernyataanmelalui suatu kelompok atau partai
politik

yang

berkaitandengan

kehidupan

reproduksi.

Contoh:

seseorang

berhak menyuarakan penentangan atau persetujuan terhadap aborsi baik sebagai


individu maupun bersama dengan kelompok. Yang perlu diingatkan adalah dalam
menyampaikan pendapat

atau

aspirasi

tersebut

harus

memperhatikan

azas demokrasi dan dalam arti tidak boleh memaksakan kehendak dan menghargai
pendapat orang lain serta taat kepada hukum dan peraturan peraturan yang
berlaku.
12) Hak Untuk Bebas Dari Penganiayaan Dan Perlakuan Buruk Termasuk
Perlindungan Dari Perkosaan,Kekerasaan, Penyiksaan Dan Pelecehan Seksual
Remaja laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan perlindungan dari
kemungkinan berbagai perlakuan buruk di atas karena akan sangat berpengaruh
pada kehidupan reproduksi. Contoh: Perkosaan terhadap remaja putri misalnya
dapat berdampak pada munculnya kehamilan yang tidak diinginkan oleh yang
bersangkutan maupun oleh keluarga dan lingkungannya. Penganiayaan atau
tindakan kekekerasan lainnya dapat berdampak pada trauma fisik maupun psikis
yang kemudian dapat saja berpengaruh pada kehidupan reproduksinya.
2.5 Kebijakan dan Solusi Permasalahan Kesehatan Reproduksi Remaja
Pada bulan September 1994 di Kairo, 184 negara berkumpul untuk
merencanakan suatu kesetaraan antara kehidupan manusia dan sumber daya yang
ada. Untuk pertama kalinya, perjanjian internasional mengenai kependudukan
memfokuskan kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan sebagai tema sentral.
Konferensi Internasional ini menyetujui bahwa secara umum akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan sampai tahun 2015
(USAID, 2014).

11

Tantangan yang dihadapi para pembuat kebijakan, pelaksana-pelaksana


program serta para advokator adalah mengajak pemerintah, lembaga donor dan
kelompok-kelompok perempuan serta organisasi nonpemerintah lainnya untuk
menjamin bahwa perjanjian yang telah dibuat tersebut di Kairo secara penuh
dapat diterapkan di masing-masing negara (USAID, 2014).
Konvensi Internasional lain yang memuat tentang kesehatan reproduksi serta
diadopsi oleh banyak negara di dunia di antaranya adalah Tujuan Pembangunan
Milenium /Milenium Development Goals. MDGs ini memuat pada tujuan ketiga
(goal

3) adalah

kesepakatan

untuk

mendorong

kesetaraan

gender

dan

pemberdayaan perempuan termasuk upaya tentang peningkatan kesehatan


reproduksi. Pada tujuan keenam (goal 6) diuraikan bahwa salah satu
kesepakatan indikator keberhasilan pembangunan suatu negara dengan mengukur
tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang HIV pada wanita berusia 15 24
tahun. Selain itu jenis kontrasepsi yang dipakai wanita menikah pada usia 15 49
tahun juga merupakan salah satu indikatornya (USAID, 2014).
UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mencantumkan tentang
Kesehatan Reproduksi pada Bagian Keenam pasal 71 sampai dengan pasal 77.
Pada pasal 71 ayat 3 mengamanatkan bahwa kesehatan reproduksi dilaksanakan
melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Setiap orang
(termasuk remaja) berhak memperoleh informasi, edukasi, dan konseling
mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan
(pasal 72). Oleh sebab itu Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana
informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan
terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana (pasal 73). Setiap pelayanan
kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau
rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan
sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi
perempuan (pasal 74). Setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali yang
memenuhi syarat tertentu (pasal 75 dan 76). Pemerintah wajib melindungi dan
mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak

12

bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan


peraturan perundang-undangan (pasal 77) (USAID, 2014).
Banyak pula kebijakan regional yang memperhatikan upaya kesehatan
reproduksi remaja terutama kesehatan reproduksi wanita seperti Pendidikan
Kesehatan seksual dan reproduksi (Sri Lanka), Young Inspirers (India), Youth
Advisory Centre (Malaysia), Development and Family Life Education for Youth
(Filipina) (USAID, 2014).
Adapun kebijakan dan solusi tentang masalah kesehatan reproduksi remaja,
yaitu sebagai berikut (Isnawan, 2014):
1.

Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan yang telah dikeluarkan


baik berdasarkan kesepakatan Internasional maupun oleh Pemerintah Nasional
terkait Kesehatan Reproduksi Remaja.

2.

Pada bulan September 1994 di Kairo, 184 negara berkumpul untuk


merencanakan suatu kesetaraan antara kehidupan manusia dan sumber daya
yang ada. Konferensi Internasional ini menyetujui bahwa secara umum akses
terhadap pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan sampai
tahun 2015.

3.

Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan


(ICPD) tahun 1994 mengartikan pendekatan untuk memperoleh hak-hak akan
kesehatan reproduksi remaja secara luas. Hasil-hasil ICPD secara khusus
menunjukkan perlunya para orang tua dan orang dewasa lainnya untuk, sesuai
dengan kapasitasnya, melakukan bimbingan mengenai hal ini kepada remaja
untuk mengetahui hak-hak mereka terhadap informasi dan pelayanan KRR.

4.

Konvensi Internasional lain yang memuat tentang kesehatan reproduksi


serta diadopsi oleh banyak negara di dunia di antaranya adalah Tujuan
Pembangunan Milenium /Milenium Development Goals. MDGs ini memuat
pada tujuan ketiga (goal 3) adalah kesepakatan untuk mendorong kesetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan termasuk upaya tentang peningkatan
kesehatan reproduksi. Pada tujuan keenam (goal 6) diuraikan bahwa salah satu
kesepakatan indikator keberhasilan pembangunan suatu negara dengan
mengukur tingkat pengetahuan yang komprehensif tentang HIV pada wanita

13

berusia 15 24 tahun. Selain itu jenis kontrasepsi yang dipakai wanita


menikah pada usia 15 49 tahun juga merupakan salah satu indikatornya.
5.

UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mencantumkan tentang


Kesehatan Reproduksi pada Bagian Keenam pasal 71 sampai dengan pasal 77.
Pada pasal 71 ayat 3 mengamanatkan bahwa kesehatan reproduksi
dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Setiap orang (termasuk remaja) berhak memperoleh informasi, edukasi, dan
konseling

mengenai

kesehatan

reproduksi

dipertanggungjawabkan (pasal 72).

yang

benar

dan

dapat

Oleh sebab itu Pemerintah wajib

menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan


reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk
keluarga berencana (pasal 73). Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang
bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi
dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan
aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan (pasal 74). Setiap
orang dilarang melakukan aborsi kecuali yang memenuhi syarat tertentu (pasal
75 dan 76). Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari
aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundangundangan (pasal 77)
6.

UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan BAB VII yaitu tentang


Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja, Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat.
Bagian ke satu adalah kesehatan ibu, bayi dan anak dan pada bagian kedua
adalah kesehatan remaja.
Pasal 136 berbunyi:
1)

Upaya

pemeliharaan

kesehatan

remaja

harus

ditujukan

untuk

mempersiapkan menjadi orag dewasa yang sehat dan produktif, baik social
2)

maupun ekonomi.
Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) termasuk untuk reproduksi remaja dilakukan agar terbebas dari
berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan
menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.

14

3)

Upaya pemeliharaan kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.

Pasal 137:
1)

Pemerintah berkewajiban menjamin agar remaja dapat memperoleh


edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja agar mampu

2)

hidup sehat dan bertanggung jawab.


Ketentuan mengenai kewajiban pemerintah dalam menjamin agar
remaja memperoleh edukasi, informasi dan layanan mengenai kesehatan
sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

7.

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini BKKBN melalui Peraturan Presiden


Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009 menyatakan bahwa salah satu arah
RPJM adalah meningkatkan kualitas kesehatan reproduksi remaja.

8.

Pertemuan ke 20 parlemen se-Asia Pasifik di Almaty, Kazakhstan pada


tanggal 28-29 September 2004 yang membahas isu kependudukan dan
pembangunan telah menghasilkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan
Deklarasi Almaty. Isu-isu terkait didalam deklarasi ke 20 Almaty antara lain
mengangkat soal isu kesehatan reproduksi dan STI/HIV/AIDS. Beberapa
komitmennya adalah:
a. Mendukung pengingkatan dan mengawasi persamaan akses dalam
memenuhi kualitas pelayanan kesehatan reproduksi untuk semua kalangan
termasuk kepada remaja.
b. Menghimbau kepada semua mitra pelaksanaan pembangunan, untuk
segera bertindak dan melakukan kerjasama dan upaya konkrit untuk
mencegah

penyebaran

lebih

luas

dari

penyakit

STI/HIV/IADS,

memberikan perhatian khusus kepada remaja dan anak muda.


Adapun solusi dan strategi yang ditawarkan dan kedepannya bisa
diterapkan untuk permasalahan kesehatan reproduksi remaja adalah sebagai
berikut:
1.

Menciptakan kebijakan yang melibatkan remaja baik sebagai


partisipan aktif maupun pasif. Tahap awal penentuan kebijakan dalam
15

penanggulangan kesehatan reproduksi remaja adalah mengerti dunia remaja


itu sendiri. Pemerintah seharusnya mengadakan survei dan penelitian tentang
kondisi kesehatan reproduksi remaja di Indonesia. Penelitian sebaiknya
dilakukan menyeluruh di semua wilayah Indonesia dan tidak boleh hanya
memilih beberapa daerah sebagai cluster sampling. Setiap daerah memiliki
pola hidup dan kebudayaan yang berbeda serta tingkat perkembangan yang
berbeda sehingga secara tidak langsung pengaruh globalisasi dan arus
informasi terhadap kesehatan reproduksi berbeda pula. Sebagai contoh kota
Jakarta mungkin masih lebih baik dibandingkan kota Malang karena informasi
yang diterima berbeda.
2.

Menyusun suatu Undang-undang dan peraturan pemerintah yang


didalamnya membahas kesehatan reproduksi. Isi kebijakan sebaiknya tidak
hanya hukuman atau denda bagi pelanggar kesehatan reproduksi tetapi akan
lebih baik bila didalamnya ditekankan pada strategi promotif dan preventif
terhadap masalah kesehatan reproduksi yang ada.

3.

Pelayanan-pelayanan kesehatan bagi remaja sebaiknya tidak hanya


mengenai aspek medis kesehatan reproduksi, tetapi hendaknya juga
menyangkut hubungan personal dan menyangkut nilai-nilai moral melalui
Pendidik sebaya (Peer Educator).

4.

Menggalang

kerja

sama

dengan

semua

stakeholder

baik

pemerintah, swasta, LSM, organisasi profesi serta organisasi kemasyarakatan


berdasarkan prinsip kemitraan dalam penyelenggaraan program dan
pembinaan remaja.
5.

Sebaiknya pemerintah tidak fokus pada pemberian pendidikan seks


saja namun lebih kepada pemberian pendidikan kesehatan reproduksi.
Pendidikan seks merupakan bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi
sehingga lingkup pendidikan kesehatan reproduksi lebih luas. Pendidikan
kesehatan reproduksi mencakup seluruh proses yang berkaitan dengan sistem
reproduksi dan aspek-aspek yang mempengaruhinya, mulai dari aspek tumbuh
kembang hingga hak-hak reproduksi. Sedangkan pendidikan seks lebih
difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan seks.

16

6.

Melakukan kampanye Kesehatan Reproduksi Remaja dengan Film


Film/Video Komunitas. Strategi ini kedepannya perlu ditingkatkan mengingat
hasil yang didapatkan cukup efektif karena remaja cenderung akan lebih
merespon dan tertarik untuk belajar tentang kesehatan reproduksi nya melalui
media film dan video.

7.

Pemberian pengetahuan dasar kesehatan reproduksi kepada remaja


agar mereka mempunyai kesehatan reproduksi yang baik. Pengetahuan yang
diberikan antara lain terkait:
a. Tumbuh kembang remaja meliputi perubahan fisik/psikis pada remaja,
masa subur, anemia dan kesehatan reproduksi
b. Kehamilan dan melahirkan: usia ideal untuk hamil, bahaya hamil pada
usia muda, berbagai aspek kehamilan tak diinginkan (KTD) dan abortus
c. Pendidikan seks bagi remaja: pengertian seks, perilaku seksual, akibat
pendidikan seks dan keragaman seks
d. Penyakit menular seksual dan HIV/AIDS
e. Kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya
f. Bahaya narkoba dan miras pada kesehatan reproduksi
g. Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual
h. Kemampuan berkomunikasi: memperkuat kepercayaan diri dan bagaimana
bersifat asertif
i. Hak-hak reproduksi dan gender

8.

Memperbaiki komunikasi antar orangtua dan anak. Empowering


keluarga untuk meningkatkan ketahanan non fisik menghadapi arus globalisasi
dengan cara memperkuat sistem agama, nilai dan norma di dalam keluarga
merupakan alternatif utama. Keluarga bertugas mempertebal iman remaja dan
pemuda dengan meningkatkan pemahaman nilai-nilai agama, norma, budi

pekerti dan sopan santun.


9.
Dari pihak pemerintah

juga

diharapkan

adanya

kegiatan

berwawasan nasional misalnya memperketat sensor arus informasi dan budaya


asing, menunjang pembentukan sarana bagi pengembangan remaja dan lainlain.

17

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa peran pemerintah, orangtua,


Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), institusi pendidikan serta masyarakat sangat
diperlukan dalam memahami, mencegah serta cara mengatasi masalah seksualitas
dan seputar kasus reproduksi remaja. Karena kompleksnya permasalahan
kesehatan reproduksi remaja itu sendiri, sangatlah urgent bagi pemerintah untuk
segera bertindak. Sehingga harapannya, permasalahan kesehatan reproduksi
remaja tidak berlarut-larut dan segera terpenuhi sehingga tercipta generasi penerus
bangsa yang unggul baik dari segi fisik maupun mental.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masalah kesehatan remaja mencakup aspek fisik biologis dan mental, sosial.
Perubahan fisik yang pesat dan perubahan endokrin/ hormonal yang sangat
dramatik merupakan pemicu masalah kesehatan. Tingkat pengetahuan remaja di

18

Indonesia tentang kesehatan reproduksi masih rendah, khususnya dalam hal caracara melindungi diri terhadap risiko kesehatan reproduksi, seperti pencegahan
KTD, IMS, dan HIV dan AIDS. Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja
(SKRRI) tahun 2002-2003 yang dilakukan oleh BPS memperlihatkan bahwa
tingkat pengetahuan dasar penduduk usia 15-24 tahun tentang ciri-ciri pubertas
sudah cukup baik, namun dalam hal pengetahuan tentang masa subur, risiko
kehamilan, dan anemia relatif masih rendah.
Permasalahan remaja seringkali berakar dari kurangnya informasi dan
pemahaman serta kesadaran untuk mencapai sehat secara reproduksi. Di sisi lain,
remaja sendiri mengalami perubahan fisik yang cepat. Harus ada keyakinan
bersama bahwa membangun generasi penerus yang berkualitas perlu dimulai
sejak anak, bahkan sejak dalam kandungan.
Selain itu, kebijakan dan solusi agar masalah masalah yang ada terkait
kesehatan reproduksi remaja juga telah dibuat dan ditawarkan. Hal ini demi
meminimalisir masalah yang ada terkait hal tersebut. Dengan kebijakan lama yang
mungkin masih gagal dan diganti kebijakan baru yang telah berpandang pada
evaluasi kebijakan sebelumnya, pastilah dalam mengatasi permasalahan kesehatan
reproduksi remaja akan lebih mudah.
Peran pemerintah, orangtua, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), institusi
pendidikan serta masyarakat sangat diperlukan dalam memahami, mencegah serta
cara mengatasi masalah seksualitas dan seputar kasus reproduksi remaja. Karena
kompleksnya permasalahan kesehatan reproduksi remaja itu sendiri, sangatlah
urgen bagi pemerintah untuk segera bertindak. Maka dari itu dengan solusi yang
telah ditawarkan dalam pembahasan diharapkan masalah yang terjadi akan segera
dapat diatasi.
3.2 Saran
1.

Bagi Remaja
a. Setiap remaja di Indonesia harus mengetahui tentang seluk beluk
kesehatan reproduksi remaja agar pemerintah juga lebih mudah dalam
mengatasi permasalahan yang ada.

19

b. Mungkin sebagai mahasiswa perlu membantu pemerintah dalam


melakukan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi remaja, mungkin
lebih mudahnya melalui kegiatan organisasi atau ketika para mahasiswa
melakukan KKN.
2.

Bagi Pemerintah
a. Pemerintah sebagai implementor kebijakan harus segera mengevaluasi
kebijakan yang sekiranya kurang tepat dalam mengatasi permasalahan
kesehatan reproduksi remaja agar dapat segera dibuat kebijakan baru yang
sesuai.
b. Pengawasan dari pemerintah juga perlu ditingkatkan. Adanya sosialisasi
yang terkonsep berbeda agar para remaja lebih tertarik untuk
mendengarkan penjelasan yang dalam hal ini mengenai kesehatan mereka.

20

Anda mungkin juga menyukai