Anda di halaman 1dari 11

UPAYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TAWURAN ANTAR PELAJAR

Adjie Akbar
202220251024
I. Pendahuluan
a. Latar Belakang;
Setiap tahun tingkat kenakalan remaja menunjukan peningkatan, hal ini merupakan
masalah yang selalu terjadi hampir disetiap negara. Menurut Kartini Kartono (2011 : 6) kenakalan
remaja (Juvenile delinquency) ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak
muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial.
Menurut Jensen (dalam Sarlito, 2012) membagi kenakalan remaja menjadi empat jenis
yaitu;1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan,
perampokkan, pembunuhan, dan lain-lain.2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi:
perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.3. Kenakalan sosialyang tidak
menimbulkaan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat.4. Kenakalan yang
melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos,
mengingkari status orang tua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka,
dan sebagainya.
Tentunya hal ini didasari beberapa factor yang paling mendasar adalah lingkungan.
Lingkungan keluarga merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter
remaja keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan, dan
di dalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Pentingnya peran keluarga dalam
proses perkembangan sosial anak, karena itu baik-buruknya struktur dalam keluarga memberikan
pengaruh terhadap perkembangan anak. Keluarga yang baik akan memberikan pengaaruh yang
positif terhadap perkembangan anak dan sebaliknya keluarga yang jelek akan memberikan
pengeruh negatif. Sejak kecil anak menghabiskan banyak waktunya di dalam lingkungan keluarga,
maka besar kemungkinan penyebab delinkuen timbul dari keluarga.
Banyak remaja yang ketika di tengah lingkungan keluarga dan kerabat sendiri merasa tidak
berarti, hanyut dan tidak mempunyai status sosial yang bermartabat, merasa terkungkung dan tidak
bisa berkembang, ditengah gangnya anak-anak ini dapat menemukan kompensasi bagi segala
kekurangannya. Selain lingkungan keluarga, sekolah merupakan tempat kedua yang dominan
dimana terjadinya pertumbuhan remaja, sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah
lingkungan keluarga bagi anak remaja Menurut penelitian, bila dibandingkan dengan anak yang
tidak nakal, pada umumnya anak nakal tampak terbelakang dalam pendidikan sekolahnya. Secara
kuantitatif anak nakal tercatat sekitar 18% tak bersekolah, terlambat sekolah sekitar 54%, dan
secara kualitatif anak nakal sering membolos, kurang kesungguahan belajar, lebih berani
mencontek, dan sebagainya. Terdapat keceenderungan yang khas bahwa anak nakal kurang ingin
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dibanding dengan anak yang tidak nakal.
Kebanyakan anak nakal ingin cepat bekerja dan mendapatkan nafkah.
Masa remaja juga merupakan masa di mana perubahan cepat terjadi dalam segala bidang
pada tubuh dari luar maupun dalam, perubahan perasaan, kecerdasan dan sikap sosial. Dalam
perubahan sikap sosial, remaja-remaja tersebut sudah tidak lagi mengenal yang namanya norma-
norma di dalam masyarakat yang keberadaannya merupakan sebagai pedoman, acuan dan patokan
dalam hidup bermasyarakat yang akan selalu disesuaikan dengan kebutuhan hidup yang selalu
berubah.1 Pada masa tersebut juga merupakan masa goncangan karena banyak perubahan yang
terjadi dan tidak stabilnya emosi yang sering kali menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang
dimana oleh orang lain dinilai sebagai perbuatan nakal. 2 Masa remaja merupakan masa peralihan
dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek atau fungsi
untuk memasuki masa dewasa. Berdasarkan World Health Organization (WHO), masa remaja
berlangsung antara usia 10-20 tahun yang terdiri dari masa remaja awal (10-14 tahun), masa remaja
tengah (14-17 tahun) dan masa remaja akhir (17-20 tahun).3
Berdasarkan dalam penjelasan yang sudah di uraikan, dapat dikatakan rata-rata usia remaja
tersebut termasuk dalam kategori seorang pelajar. Yang dimana pengertian Pelajar sendiri adalah
orang-orang yang ikut serta dalam proses belajar. Dalam dunia pelajar sendiri banyak sekali
penyimpangan atau kenalan yang di lakukan oleh pelajar, misalkan seperti perbuatan tawuran antar
pelajar yang dimana pelajar-pelajar itu saling menyerang. Tawuran pelajar merupakan salah satu

1
Wahyu Sasongko. 2013. Dasar Dasar Ilmu Hukum. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
hlm. 11
2
Nandang Sambas. 2013. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrument Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya. Yogyakarta: Graha Ilmu. hlm. 3.
3
Sarlito Wirawan Sarwono. 1994. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. hlm. 9.
perbuatan anak yang dapat dikategorikan sebagai kenakalan remaja atau juvenile deliquency yang
dikemukakan oleh Alder. Tawuran pelajar menurut Kamus Besar Bahas Indonesia atau KBBI
berasal dari kata “tawur” dan “pelajar”.4 Tawur adalah perkelahian beramai-ramai, perkelahian
massal, perkelahian yang tiba-tiba terjadi antara kedua pihak yang berselisih. Sedangkan tawuran
pelajar adalah perkelahian yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut
dilakukan oleh orang yang sedang belajar. Saat ini tawuran antar pelajar bukan saja merupakan
masalah yang di pandang sebelah mata saja, karena tawuran memberikan efek buruk bukan saja
kepada para pelajar yang terlibat namun masyarakat sekitar ikut menjadi imbasnya dari sisi
ekonomi, sosial, maupun budaya.
Tawuran antar pelajar tidak dapat dianggap remeh, karena jika tidak ada penanganan secara
serius oleh pihak terkait akan berdampak negatif terhadap kondisi pelajar, lingkungan sekolah dan
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya kepastian dalam penegakan hukum yang
dilakukan aparatur penegak hukum untuk menindaklanjuti hukuman apa yang diberikan untuk
pelaku tawuran antar pelajar tersebut sehingga ada efek jera dan kedepannya nanti tidak terjadi
lagi tawuran antar pelajar
b. Rumusan Masalah.
1. Bagaimana upaya penegakan hokum terhadap pelaku tawuran antar pelajar?
2. Apakah factor yang menghambat dalam upaya penegakan hokum terhadap
tawuran antar pelajar?
II. Fakta-fakta.
1. Jumlah kasus tawuran antar pelajar 2022 di Indonesia

Tabel 1. Jumlah kasus tawuran antar pelajar 2022 di Indonesia

4
Tawuran pelajar berasal dari kata “tawur” dan “pelajar”. Tawur adalah perkelahian
beramairamai, perkelahian massal, perkelahian yang tiba-tiba terjadi antara kedua pihak yang
berselisih. Kamus Besar Bahas Indonesia atau KBBI.
Sumber: website databoks
Tabel diatas merupakan jumlah kasus per provinsi tahun 2022 yang menunjukan bahwa
kasus terbanyak berada diwilayah Jawa Barat sebanyaj 37 kasus dan yang terkecil di Jawa
Tengah sebanyak 10 kasus.
2. Grafik Jumlah Kasus Tawuran Antar Pelajar
Gambar 1. Grafik Jumlah Kasus Tawuran Antar Pelajar

Sumber: website KPAI (www.bankdata.kpai.go.id)


Data dari website pemerintah yang terdapat pada grafik diatas dijelaskan bahwa dari tahun
2011-2016 menunjukan bahwa anak pelaku tawuran pada tahun 2011 sebanyak 64 kasus, pada
2012 sebanyak 82 kasus, untuk tahun 2013 sebanyak 71 kasus, Kemudian pada tahun 2014
sebanyak 46 kasus, dan pada tahun 2015 ebanyak 126 kasus serta ditahun 2016 sebanyak 41 kasus.
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menyatakan berdasarkan Pantauan data Komisi Nasional
Perlindungan Anak, telah terjadi 147 kasus tawuran antar pelajar sepanjang tahun 2012 yang
mengakibatkan 82 orang pelajar tersebut meninggal secara sia-sia.

III. Pembahasan/Analisis.
Berdasarkan data diatas, saat ini kondisi pelajar sangat mengkhawatirkan karena
banyaknya penyimpangan yang mengakibatkan adanya pelangaran hukum. Oleh karena itu, perlu
adanya penanganan mulai dari upaya penanggulangan tawuran antar pelajar sampai dengan
penegakan hukum terhadap pelaku antar pelajar tersebut. Kasus di atas adalah bukti dari efek buruk
yang di timbulkan dari tawuran tidak hanya merugikan sendiri bagi pelaku ternyata tawuran dapat
merugikan semua pihak.
1. Upaya penegakan hokum terhadap pelaku tawuran antar pelajar

Menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai
usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai suatu tertentu
yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-
nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah:5
a. Tahap Formulasi
Pengaturan terkait dengan sanksi pidana yang di jatuhkan bagi pelaku tawuran. antar
pelajar sendiri, sebenarnya belum ada peraturan perundang-undangan yang secara jelas
yang mengatur tentang aksi tawuran serta sanksi di berikan kepada pelaku tawuran antar
pelajar tersebut. Aksi tawuran sendiri masih diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang terdapat dalam Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan
dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Pengaturan lain yang di berikan kepada pelaku
tawuran antar pelajar di atur di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, apabila pelaku tawuran masih dalam kategori usia anak.

5
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1993. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : Alumni. hlm. 14.
Tehadap anak yang berhadapan dengan hukum diatur di dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
b. Tahap Aplikasi

Tahap aplikasi yang di lakukan oleh aparat kepolisian sebagai bentuk penegakan
hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar dapat di lakukan melalui beberapa
upaya, diantaranya yaitu:
a). Melalui Upaya Penal (Represif)

Upaya Represif merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala
tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitikberatkan
pada upaya pemidanaan dengan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang
merupakan ancaman bagi pelakunya. Penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan
dan seterusnya merupakan bagian-bagian dari politik kriminil.8 Fungsionalisasi
hukum pidana adalah suatu usaha untuk menaggulangi kejahatan melalui
penegakan hukum pidana yang rasional untuk memenuhi rasa keadilan dan daya
guna.
b). Melalui Upaya Non penal (preventif)
Upaya penegakan hukum secara non penal ini lebih menitikberatkan pada
asas kekeluargaan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana
pidana atau hukum pidana, yaitu seperti penyelesaian perkara pidana melalui upaya
mediasi. Upaya non penal juga merupakan penegakan hukum yang sebenarnya
dilakukan (actual enforcement).
actual enforcement yaitu suatu tindakan yang paling standar yang
dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terutama aparat kepolisian. Karena actual
enforcement merupakan upaya penanggulangan terhadap tindakan kejahatan
dengan menggunakan hukum pidana itu hanya sebatas yang bisa dilakukan itu
saja. Sehingga di rasa cocok diterapkan dalam penegakan hukum pidana bagi pelaku
tawuran antar pelajar. Kepolisian sebagai aparat penegak hukum pertama yang
menangani pelaku, lebih mengedepankan pendekatan persuasif dibanding pendekatan
yudiris dalam menyelesaikan perkara-perkara tawuran pelajar. Penyelesaian perkara
tawuran pelajar secara umum diselesaikan secara mediasi antar sekolah atau
kelompok yang terlibat atau pembinaan terhaap pelajar yang terlibat. Jika ada
yang melakukan tindak pidana ringan, terhadapnya lebih diutamakan restorative
justice atau upaya damai kepada korban tindak pidana ringan tersebut.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak dalam Pasal 1 angka 6 memberikan definisi restorative justice atau
keadilan restoratif yaitu sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Kewajiban untuk
mengutamakan keadilan restoratif juga diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak yang berisi sistem
peradilan anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif

Berdasarkan ide restorative justiceatau keadilan restoratif tersebut,


lahirlah sebuah alternatif lain yang digunakan dalam sistem peradilan pidana
yaitu mengupayakan adanya mediasi penal. Pendekatan melalui jalur alternatif
ini, pada mulanya termasuk dalam wilayah hukum keperdataan, namun dalam
perkembangannya dapat pula digunakan oleh hukum pidana, hal ini sebagaimana
diatur dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-6 Tahun 1995 dalam Dokumen
A/CO NF.169/6 menjelaskan dalam perkara-perkara pidana yang mengandung
unsur fraud dan white-collar crimeatau apabila terdakwanya korporasi, maka
pengadilan seharusnya tidak menjatuhkan pidana, tetapi mencapai suatu hasil
yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh dan mengurangi
kemungkinan terjadinya pengulangan. Penegakan hukum di dalam sistem peradilan
pidana memerlukan adanya terobosan baru untuk mengupayakan adanya mediasi
penal. Latar belakang ide-ide “penal reform” itu antara lain ide perlindungan korban,
ide harmonisasi, ide restorative justice, ide mengatasi kekakuan/formalitas dalam
sistem yang berlaku, ide menghindari efek negatif dari sistem peradilan pidana
dan sistem pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternatif
lain dari pidana penjara (alternative to imprisonment/alter-native to custody). Latar
belakang pragmatisme antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan
perkara (“the problems of court case overload”)dan untuk penyederhanaan proses
peradilan.

2. Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum

Meskipun sudah banyak upaya yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum
untuk menanggulangi tawuran, ternyata masih belum berjalan secara maksimal. Hal ini
dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum, baik
faktor penghambat maupun faktor pendukung dari berbagai pihak atau instansi terkait yang
mempengaruhi semakin tingginya angka tawuran yang terjadi. Teori yang digunakan
dalam membahas faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap pelaku
tawuran adalah teori hukum yang dijabarkan oleh Soerjono Soekanto mengenai
penghambat upaya penegakan hukum, yaitu:
1. Faktor penegak hukum, Penegak hukum merupakan pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).
Seorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan
(role occupant). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,
sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Ada beberapa halangan yang mungkin
dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak
hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:
a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan
siapa dia berinteraksi.
b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali
untuk membuat proyeksi.
d. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama
kebutuhan material.
e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
2. Faktor hukumnya sendiri
Hukum yang di dalam hal ini dibatasi pada undang-undang. Terdapat beberapa asas
dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut
mempunyai dampak positif. Artinya, agar undang- undang tersebut mencapai tujuannya
secara efektif di dalam kehidupan masyarakat. Undang-Undang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan ideologi negara, dan undang-undang dibuat haruslah menurut
ketentuan yang mengatur kewenangan pembuatan undangundang sebagaimana diatur
dalam Konstitusi negara, serta undang-undang dibuat haruslah sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi masyarakat di mana undang-undang tersebut diberlakukan.

Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang


tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak yang positif. Asas-asas
tersebut antara lain yaitu:
a. Undang-undang tidak berlaku surut.
b. Undang-undang yng dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi.
c. mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula. d) Undang-undang yang bersifat
khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum, apabila
pembuatnya sama.
d. Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-undang yan
berlaku terdahulu.
e. Undang-undang tidak dapat diganggu guat.
f. Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestaian
ataupun pembaharuan (inovasi).
3. Faktor sarana dan Prasarana atau Fasilitas.
Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana
atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang
cukup dan seharusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin
penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.
Khususnya untuk sarana atau fasilitas tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai
berikut:
a. Yang tidak ada, diadakan yang baru dan benar.
b. Yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan.
c. Yang kurang, ditambah.
d. Yang macet, dilancarkan.
e. Yang mundur atau merosot, dimajukan atau ditingkatkan

4. Faktor kebudayaan
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi- konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang
berperan dalam hukum adalah sebagai berikut:
a. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
b. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
c. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme

Bagaimana hukum yang ada bisa masuk ke dalam dan menyatu dengan kebudayaan yang ada,
sehingga semuanya berjalan dengan baik. Secara garis besar bekerjanya hukum dalam masyarakat
akan ditentukan oleh beberapa faktor utama. Faktor-faktor tersebut dapat: ]
a. Bersifat yuridis normatif (menyangkut pembuatan peraturan perundang- undangan).
b. Penegakannya (para pihak dan peranan pemerintah).
c. Serta faktor yang bersifat yuridis sosiologis (menyangkut pertimbangan ekonomis serta
kultur hukum pelaku bisnis)

IV. Kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka pada bagian
penutup ini dikemukakan beberapa kesimpulan terkait dengan hasil peneletian dan pembahasan
tentang upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar pelajar tawuran merupakan suatu
bentuk tindak pidana, karena pada umumnya tawuran melanggar Pasal 170, 351, 355, 358 KUHP
yang merupakan bentuk kejahatan, dan Pasal 489 KUHP yang merupakan pelanggaran.
dan faktor-faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap para pelaku tawuran antar
pelajar. Faktor-faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku tawuran antar
pelajar di wilayah hukum kota Bandar Lampung terdiri dari 4 (empat) faktor yakni:
1. Faktor Penegak Hukum
2. Faktor Hukum
3. Faktor Sarana & Prasarana
4. Faktor Budaya

V. Prediksi
Prediksi hukuman terkait tawuran pelajar diatur Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa
(6/12/2022) lalu turut mengatur ancaman sanksi bagi pelaku perkelahian kelompok atau
tauran. Aturan itu tertuang dalam Pasal 472 KUHP tentang Penyerangan dan Perkelahian
secara Berkelompok. Dalam Pasal 472 huruf a disebutkan setiap orang yang turut serta
dalam penyerangan atau perkelahian yang melibatkan beberapa orang, selain tanggung
jawab masing-masing terhadap tindak pidana yang khusus dilakukan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan. Selain itu, pelaku juga dikenakan pidana denda
paling banyak kategori III (Rp 50.000.000) jika penyerangan atau perkelahian tersebut
mengakibatkan luka berat. "Pidana penjara paling lama 4 tahun, jika penyerangan atau
perkelahian tersebut mengakibatkan matinya orang," demikian isi Pasal 472 huruf b
KUHP.

VI. Rekomendasi
1. Perlunya peran aktif orangtua untuk membina anak, serta masyarakat dalam mengawasi
tingkah laku pelajar
2. adanya sarana pembekalan akhlak sejak dini (SD) karena pihak sekolah serta Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangerang Selatan sudah memaksimalkan waktu serta
pembinaan kepada pelajar pada jam sekolah.
3. Perlunya Sosialisasi tentang Sadar Hukum kepada Pelajar agar terhindar dari kenakalan
remaja, salah satunya Tawuran.
4. Lebih mengawasi pelajar dalam menggunakan Sosial Media / bijak bersosial media.

Anda mungkin juga menyukai