Anda di halaman 1dari 11

A.

PENDAHULUAN

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan upaya


Perlindungan oleh negara kepada setiap warga negara, khususnya terhadap
perempuan dan anak. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah
salah satu upaya negara untuk menegakkan amanat konstitusi yang menegaskan
jaminan hak setiap warga negara untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk diskriminasi. Penegasan hak ini sejalan dengan falsafah Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selain itu Indonesia telah berkomitmen untuk menghapuskan segala


bentuk diskriminasi terhadap perempuan, anak, dan orang dengan disabilitas
melalui pengesahan Konvensi- International tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskiriminasi terhadap Perempuan, Konvensi International Menentang
Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Pemerintah juga mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU


PKS) dapat dimasukkan ke dalam target RUU yang harus diselesaikan bersama
dengan DPR periode 2014-2019. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko
menegaskan, semangat di antara kementerian dan lembaga pemerintahan sudah
sama dalam mengupayakan pengesahan RUU PKS ini.
B. ISI

1. Latar Belakang RUU PKS

Tidak adanya payung hukum yang kuat membuat korban atau saksi dalam
kasus kekerasan seksual enggan melapor. Selain karena khawatir akan adanya
intimidasi dari pelaku, korban justru terviktimisasi. Korban malah dituduh sebagai
penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual. Mulai dari, cara
berpakaiannya, bahasa tubuhnya, status perkawinannya, pekerjaannya atau karena
keadaan, waktu dan lokasi tertentu.

Atau pun jika korban melapor, tidak semua jenis kekerasan seksual
dikenali oleh hukum Indonesia. KUHP hanya mengatur kekerasan seksual dalam
konteks perkosaan yang rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan
pada korban. Meski ada undang-undang lain, namun hal itu hanya bisa digunakan
dalam ruang lingkup terbatas, seperti korban KDRT, kekerasan anak atau
perdagangan orang. Padahal ada banyak jenis kekerasan seksual, seperti
pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, pemaksaan
sterilisasi, penyiksaan hingga perbudakan seksual.

Oleh karena itu lembaga penegak hukum harus membuat unit dan
prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain
itu, penegak hukum harus mengubah cara pandang masyarakat tentang moralitas
dan kekerasan seksual, yang cenderung ikut menyalahkan korban.

Dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini dapat dikatakan sebagai


pembaruan hukum dalam mengatasi berbagai persoalan tersebut. Ini terjadi secara
menyeluruh, mulai dari pencegahan terjadinya kekerasan seksual, bentuk
kekerasan seksual, hak-hak korban, hukum acara peradilan kekerasan seksual,
pembuktian, penghapusan dan pemidanaan kekerasan seksual.
Selain itu yang terpenting dilakukan adalah bagaimana RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual ini mampu membentuk sistem baru yang lebih melindungi
perempuan dari sisi penegakan hukum dan mendorong peran negara agar lebih
bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan
seksual di masa datang.

2. Sejarah RUU PKS


Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
belakangan ramai dibicarakan oleh masyarakat. RUU tersebut juga menimbulkan
reaksi antara kelompok yang menerima dan kelompok yang menolak. Satu
diantara kelompok yang menolak adalah Partai Keadilan Sejahtera. Dalam diskusi
publik Fraksi PKS DPR RI kontroversi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di
ruang rapat pleno Fraksi PKS, Lt. 3 gedung nusantara 1 DPR RI, Jl. Jenderal
Gatot Subroto Jakarta Pusat pada hari rabu (13/02/2019), Fraksi PKS
membeberkan kronologinya.
- 19 Mei 2016
Anggota komisi VIII FPKS DPR RI HM Iqbal Ramzi sebagai anggota Panitia
Kerja mengungkapkan kronologisnya, sejak pembuatan naskah akademik dan
draft RUU sampai rapat internal Komisi VIII menyepakati untuk pembahasan
tersebut usai Pemilu 2019. “19 Mei 2016 Baleg DPR RI menerima naskah
akademik dan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang
merupakan usulan anggota DPR yang ditanda tangani oleh 70 anggota,“ kata
HM Iqbal Ramzi memulai pemaparannya.
- 6 Juni 2016
Komnas Perempuan bersama Forum Pengadaan Pelayanan telah menyerahkan
draft RUU PKS kepada pimpinan DPR. Kemudian RUU PKS disepakati oleh
Baleg dan Pemerintah untuk masuk dalam daftar Prolegnas sebagai RUU
prioritas.
- 8 Juni 2016
Komnas Perempuan melaporkan perkembangan penyusunan draft RUU
kepada presiden Jokowi.
- 19 September 2016
Komnas Perempuan dan Forum Pengadaan Layanan menyerahkan draft RUU
PKS kepada Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI) dan
KPPRI diminta untuk mengawal dan pembahasan dan pengesahan RUU agar
segera menjadi Undang-Undang.
- 31 Januari 2017
Dalam sidang Baleg DPR RI, RUU PKS disetujui sebagai RUU usul anggota.
- 6 April 2017
Setelah disahkan dalam paripurna sebagai RUU inisiatif DPR, pimpinan DPR
mengirimkan surat draft RUU kepada pemerintah.pada rapat terakhir Baleg
DPR RI, RUU PKS ini akan diusulkan untuk kelak dibahas oleh Pansus
dengan Komisi III karena konten RUU PKS lintas bidang dan lintas
kemanusiaan.
- 31 Januari 2018
Panja ini telah melakukan lima kali Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
dengan Komnas Perempuan, pakar hukum, PB Muhammadiyah, Aliansi Cinta
Keluarga, Persatuan Wanita Kristen Indonesia, dan Wanita Hindu Dharma
Indonesia.
- 25 Oktober 2018
Panja mengundang pakar psikologi, pakar psikologi DR. Ikhsan Gumilar dan
DR. Bagus Priyono serta pakar kesehatan Dr. Dewi Inong Irana. “Rapat
internal Komisi VIII DPR RI terkait Panja RUU telah dilakukan rapat atau
pertemuan untuk membahas RUU PKS. Disepakati untuk masuk pembahasan
dan baru akan dibahas sesudah pemilu,” kata HM Iqbal Ramzi.
3. Kebijakan Pemerintah
Pemerintah mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU
PKS) dapat dimasukkan ke dalam target RUU yang harus diselesaikan bersama
dengan DPR periode 2014-2019. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko
menegaskan, semangat di antara kementerian dan lembaga pemerintahan sudah
sama dalam mengupayakan pengesahan RUU PKS ini.
“Saya sudah meminta kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk
memasukkan RUU PKS ini sebagai salah satu target yang harus diselesaikan
bersama dengan DPR. Selain itu, komunikasi dengan beberapa anggota DPR juga
sudah dilakukan,” ujar Moeldoko dalam rapat koordinasi dengan pejabat
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kemenkumham,
Kemendagri, dan Komnas Perempuan di Bina Graha, 16 September 2019.
Ia menambahkan, sinkronisasi terhadap Daftar Isian Masalah (DIM) juga
sudah diselesaikan sehingga pemerintah akan berusaha semaksimal mungkin
untuk menetapkan RUU ini menjadi Undang-undang dalam waktu yang singkat.
RUU PKS merupakan rancangan undang-undang yang diusulkan oleh
DPR kepada pemerintah untuk dibahas dan diselesaikan bersama dalam rangka
membangun peradaban baru yang memberikan perlindungan kepada para korban
kekerasan seksual. Selama ini, kasus-kasus kekerasan seksual seperti yang
dialami oleh Baiq Nuril yang sudah mendapatkan amnesti dari Presiden Joko
Widodo, sulit untuk diselesaikan dengan UU KUHP biasa.
KUHAP menetapkan 5 alat bukti yang dapat dijadikan materi dalam
sidang pengadilan pidana yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
dan keterangan terdakwa. RUU PKS kemudian memasukkan alat bukti tambahan
antara lain keterangan korban, surat keterangan psikolog dan/atau psikiater, rekam
medis, rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan, informasi elektronik,
dokumen, pemeriksaan rekening bank. Dengan adanya alat bukti tambahan ini,
korban mendapatkan peluang untuk mendapatkan keadilan sebagai pemenuhan
syarat pembuktian.
RUU ini juga memberikan bantuan pemulihan kepada korban sebelum dan
selama proses peradilan serta setelah proses peradilan, sehingga korban yang
mengalami kekerasan seksual dapat terhindar dari dampak yang serius dan
traumatik sepanjang hidup mereka. Selama ini, dalam banyak kasus, korban-
korban kekerasan seksual justru memilih melakukan bunuh diri.
Yang lebih penting dari itu, RUU PKS yang penting didorong
pengesahannya segera tersebut juga memberikan tindakan pencegahan sehingga
dapat menghilangkan atau mengurangi kesempatan terjadinya kekerasan seksual
dan memastikan tidak berulangnya tindak kekerasan seksual tersebut.
Azriana, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) mengatakan, kampanye negatif dalam bentuk penyesatan
informasi atas RUU ini sangat masif dilakukan. “Misalnya saja bahwa RUU ini
akan melanggengkan atau melegalkan praktik zina dan perilaku LGBT,” ujarnya.
Padahal, Komnas Perempuan tidak melihat adanya satu pasal pun di dalam RUU
PKS yang menyatakan zina diperbolehkan. Tuduhan dan informasi semacam itu
sangat tidak logis dan tidak berdasar.
Selain itu, RUU ini juga dituding justru akan meningkatkan penyebaran
penyakit HIV-AIDS di Indonesia. Padahal, RUU ini justru melindungi perempuan
terhadap otoritas tubuhnya dan sekaligus otonominya sebagai manusia dan
menjadi bagian dari penghargaan atas diri perempuan sebagai manusia.
Azriana juga menambahkan bahwa RUU PKS ini apabila segera
diundangkan, dapat mengubah praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan
seksual, sekaligus mengubah budaya kekerasan yang telah berurat akar selama
puluhan tahun dalam kesadaran masyarakat. “Ini akan mengubah peradaban,”
ujarnya.

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodawardhani


menambahkan, semangat RUU PKS ini adalah membangun dan mengubah
peradaban manusia. Oleh karena itu, melalui Kantor Staf Presiden ia akan
mengupayakan supaya kementerian yang terkait dengan RUU ini dapat
melakukan langkah paling maksimal dalam sisa waktu yang terbatas.

4. Akademisi – Praktisi RUU PKS


1) Pernyataan: Semangat yang diusung dalam RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual terkesan diskriminatif karena lebih dominan melindungi perempuan
dari kekerasan seksual, padahal salah satu asas pengaturannya adalah
nondiskriminasi. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengutamakan
perempuan dan mengabaikan laki-laki, dan pendampingan korban diutamakan
oleh perempuan, adalah tidak gender equality dan menganggap laki-laki
sebagai pelaku.
Tanggapan: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual senafas dengan semangat
negara dalam menerapkan pengarusutamaan gender sebagaimana diatur
dalam Instruksi Presiden RI Nomor 09 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang menjadi salah satu
kebijakan yang sangat penting untuk mewujudkan tujuan pembangunan
tersebut. Selain itu, diatur juga di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 08
Tahun 2008, mengenai tahapan, tata cara penyusunan pengendalian dan
evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan. Strategi PUG, merupakan suatu
cara mengintegrasikan kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi laki-laki dan
perempuan dalam siklus tahapan pembangunan yang dimulai dari
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, monitoring, serta evaluasinya.
2) Pernyataan: Soal “persetujuan” dalam definisi kekerasan seksual berarti
kebebasan kehendak, persetujuan seksual.
Tanggapan: Dalam hal definisi kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual soal “ada atau tidaknya persetujuan” (concent) yang
sebetulnya berbeda dengan konteks berdasarkan “suka sama suka”. Justru
Komnas Perempuan masih melihat hal yang dianggap “suka sama suka”
adalah pengabaian terhadap perempuan yang rentan menjadi korban
kekerasan. Situasi yang dianggap “suka sama suka” dapat disebabkan
perempuan tidak bisa menolak, tidak bisa berkata tidak, atau karena
mengalami ketakutan dan ancaman. Ada tidak adanya persetujuan yang
dimaksud adalah dalam arti sesuatu “yang tidak diinginkan”, atau “tidak
dikehendaki” dalam konteks kekerasan yaitu: “adanya tindakan sewenang-
wenang memperlakukan tubuh orang lain yang tidak diinginkan oleh orang
yang memiliki tubuh tersebut, tindakan yang ingin menguasai tubuh orang
lain, atau berlaku seenaknya terhadap tubuh orang lain, dan menganggap
tubuh orang lain sebagai obyek, yang dalam hal ini banyak terjadi pada
perempuan.”
5. Peran KPPPA
“Upaya meluruskan informasi tidak boleh berhenti karena kelompok yang kontra
juga tidak pernah berhenti melakukan kampanye negatif untuk membingkai
pemikiran masyarakat melalui berbagai cara”
Jakarta (ANTARA) – Pemahaman yang salah tentang Rancangan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan Seksual perlu diluruskan, kata Deputi
Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, Vennetia R. Dannes.
“Terkait pandangan kalangan yang menentang, menjadi tanggung jawab kita
bersama untuk meluruskan dan menyampaikan yang benar,” kata dia dalam
Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di
Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sama sekali bukan hasil
pemikiran yang berhaluan Barat, seperti liberal, mendukung perzinaan, seks
bebas, penyimpangan seksual, prostitusi, aborsi, dan konotasi negatif lainnya.
Ia juga mengatakan bahwa tidak ada maksud sedikit pun dari RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual untuk menghancurkan kehidupan berkeluarga di Indonesia,
sebagaimana dituduhkan kelompok-kelompok yang menentang.
“Sebaliknya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan kilas balik dari
data dan fakta kekerasan seksual yang masih marak dan tinggi di Indonesia,”
tuturnya.
Menurut Vennetia, semua tudingan yang provokatif dan negatif tersebut perlu
diimbangi dengan penyebaran informasi muatan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual yang sebenarnya untuk meningkat pemahaman positif yang menciptakan
ketenangan di masyarakat.
“Upaya meluruskan informasi tidak boleh berhenti karena kelompok yang kontra
juga tidak pernah berhenti melakukan kampanye negatif untuk membingkai
pemikiran masyarakat melalui berbagai cara,” katanya.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dari Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Ali Khasan mengatakan kekerasan seksual di Indonesia, terutama
terhadap perempuan dan anak, sudah mencemaskan karena kasusnya cenderung
meningkat.
“Karena itu, perlu payung hukum yang bersifat ‘lex specialis’ melalui RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual,” katanya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengadakan
Sosialisasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dengan
menghadirkan tiga narasumber.
Ketiga narasumber itu, komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap
Perempuan Sri Nurherwati, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Profesor Topo Santoso, dan pengasuh Pondok Pesantren Dar Al-Tauhid
Arjawinangun Cirebon K.H. Husein Muhammad.
C. PENUTUP
RUU ini telah diusulkan sejak 2016 melalui Komisi Perempuan ke Badan
Legislasi Nasional DPR RI. Lalu dilanjutkan koordinasi antar kementerian pada
2017, kemudian pembentukan panita kerja (panja) pada 2018. Pembahasannya
sempat tertunda beberapa waktu lalu saat terjadi pro-kontra, namun kini
dilanjutkan.

Maka dari itu dengan RUU PKS ini kita lebih diberi ruang untuk mengedukasi
masyarakat mengenai kekerasan seksual, selain itu akan lebih mudah pula untuk
menciptakan program-program anti kekerasan seksual dan sistem keamanan yang
terpadu untuk kita semua. Anak-anak sekolah juga akan lebih paham mengenai
pentingnya untuk menjaga diri karena terdapat pula agenda untuk memasukkan
materi penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.

Alasan lain mengapa RUU PKS ini muncul ialah karena pengaturan dalam KUHP
tentang kekerasan sangatlah terbatas. Inilah yang akan menjawab pernyataan
kelompok yang mengaku bahwa kita tidak membutuhkan RUU PKS karena sudah
memiliki undang-undang lain dan KUHP yang mengatur tentang kekerasan
maupun hubungan seksual. Pengaturan yang ada dalam KUHP secara garis besar
mengatakan bahwa bentuk kekerasan seksual hanyalah perkosaan dan
pencabulan, padahal masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan seksual di luar
itu. Pengaturan yang ada pun belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak
korban. Melalui RUU PKS-lah detail definisi kekerasan seksual yang kurang
lengkap pada KUHP disempurnakan.
D. DAFTAR PUSTAKA

http://ksp.go.id/pemerintah-dorong-ruu-pks-masuk-dalam-target-uu-yang-harus-
diselesaikan-bersama-dpr/index.html

https://law.ui.ac.id/v3/kpppa-pemahaman-salah-tentang-ruu-pks-perlu-diluruskan/

https://www.kompasiana.com/

https://beritagar.id/

https://www.dpr.go.id/

Lestarimoerdijat.com2019/09/28/latarbelakanguu-PKS

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.dpr.go.id/do
ksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-
3029.pdf&ved=2ahUKEwjNzZ6lnbLmAhXXyDgGHYnxDc4QFjAAegQIAxAB&us
g=AOvVaw3rLmTiAJnXqo-NjAxLMnPU

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.komnaspere
mpuan.go.id/file/pdf_file/2018/Tulisan%2520Tulisan/Miskonsepsi%2520terhadap%2
520RUU%2520Penghapusan%2520Kekerasan%2520Seksual_Tulisan%2520Mariana
%2520Amiruddin.pdf&ved=2ahUKEwjNzZ6lnbLmAhXXyDgGHYnxDc4QFjADeg
QIBBAB&usg=AOvVaw39V5yC3A1_7VbPbF1Vx9T6

Anda mungkin juga menyukai