PENDAHULUAN
Tidak adanya payung hukum yang kuat membuat korban atau saksi dalam
kasus kekerasan seksual enggan melapor. Selain karena khawatir akan adanya
intimidasi dari pelaku, korban justru terviktimisasi. Korban malah dituduh sebagai
penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual. Mulai dari, cara
berpakaiannya, bahasa tubuhnya, status perkawinannya, pekerjaannya atau karena
keadaan, waktu dan lokasi tertentu.
Atau pun jika korban melapor, tidak semua jenis kekerasan seksual
dikenali oleh hukum Indonesia. KUHP hanya mengatur kekerasan seksual dalam
konteks perkosaan yang rumusannya tidak mampu memberikan perlindungan
pada korban. Meski ada undang-undang lain, namun hal itu hanya bisa digunakan
dalam ruang lingkup terbatas, seperti korban KDRT, kekerasan anak atau
perdagangan orang. Padahal ada banyak jenis kekerasan seksual, seperti
pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, eksploitasi seksual, pemaksaan
sterilisasi, penyiksaan hingga perbudakan seksual.
Oleh karena itu lembaga penegak hukum harus membuat unit dan
prosedur khusus untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Selain
itu, penegak hukum harus mengubah cara pandang masyarakat tentang moralitas
dan kekerasan seksual, yang cenderung ikut menyalahkan korban.
Maka dari itu dengan RUU PKS ini kita lebih diberi ruang untuk mengedukasi
masyarakat mengenai kekerasan seksual, selain itu akan lebih mudah pula untuk
menciptakan program-program anti kekerasan seksual dan sistem keamanan yang
terpadu untuk kita semua. Anak-anak sekolah juga akan lebih paham mengenai
pentingnya untuk menjaga diri karena terdapat pula agenda untuk memasukkan
materi penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Alasan lain mengapa RUU PKS ini muncul ialah karena pengaturan dalam KUHP
tentang kekerasan sangatlah terbatas. Inilah yang akan menjawab pernyataan
kelompok yang mengaku bahwa kita tidak membutuhkan RUU PKS karena sudah
memiliki undang-undang lain dan KUHP yang mengatur tentang kekerasan
maupun hubungan seksual. Pengaturan yang ada dalam KUHP secara garis besar
mengatakan bahwa bentuk kekerasan seksual hanyalah perkosaan dan
pencabulan, padahal masih banyak lagi bentuk-bentuk kekerasan seksual di luar
itu. Pengaturan yang ada pun belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak
korban. Melalui RUU PKS-lah detail definisi kekerasan seksual yang kurang
lengkap pada KUHP disempurnakan.
D. DAFTAR PUSTAKA
http://ksp.go.id/pemerintah-dorong-ruu-pks-masuk-dalam-target-uu-yang-harus-
diselesaikan-bersama-dpr/index.html
https://law.ui.ac.id/v3/kpppa-pemahaman-salah-tentang-ruu-pks-perlu-diluruskan/
https://www.kompasiana.com/
https://beritagar.id/
https://www.dpr.go.id/
Lestarimoerdijat.com2019/09/28/latarbelakanguu-PKS
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.dpr.go.id/do
ksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-
3029.pdf&ved=2ahUKEwjNzZ6lnbLmAhXXyDgGHYnxDc4QFjAAegQIAxAB&us
g=AOvVaw3rLmTiAJnXqo-NjAxLMnPU
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.komnaspere
mpuan.go.id/file/pdf_file/2018/Tulisan%2520Tulisan/Miskonsepsi%2520terhadap%2
520RUU%2520Penghapusan%2520Kekerasan%2520Seksual_Tulisan%2520Mariana
%2520Amiruddin.pdf&ved=2ahUKEwjNzZ6lnbLmAhXXyDgGHYnxDc4QFjADeg
QIBBAB&usg=AOvVaw39V5yC3A1_7VbPbF1Vx9T6