Anda di halaman 1dari 5

Cahya Adi S.

151170109

Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Dilihat Dari Prespektif Radikal

Pada akhir tahun 2018 isu pengesahan RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual (PKS)
terus disuaran untuk di sahkan oleh Komisi VIII DPR RI, sejatinya RUU ini sudah diajuakan
sejak awal tahun 2017 namun RUU ini belum juga mendapatkan prioritas utama sebagai RUU
yang harus disahkan. Menurut Ludwina Inge Nurtjahyo seorang doesn Hukum UI
mengunkapkan jika sejak tahun 1990an Inonesia belum mempunyai UU yang mengatur khusus
tentang kekerasan terhadap perempuan. Mungkin ada beberapa UU yang sudah mengatur tentang
kekerasan yang dialami perempuan tetapi pengimplementasian dari UU tersebut belumlah
maksimal. Masyarakat Indonesia seakan masih belum mengerti tentang apa pentingnya
perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, kurangnya edukasi dan sosialisasi dari
pemerintah juga menjadi faktor yang mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia terhadapa
urgensi pengesahan RUU PKS. Tersendatanya pengesahan RUU PKS ini dikarenakan banyak
pihak yang salah menafsirkan apa isi dari RUU PKS, seperti Isu LGBT yang akan legal jika
RUU ini disahkan, ada juga yang berpendapat bahwa jika RUU PKS sudah disahkan maka zina
akan diangap legal secara hukum, atau yang lebih parah masyarakat Indonesia khususnya laki-
laki sudah merasa nyaman dengan budaya Partriarki yang sudah terkontruksi dalam masyarakat
kita, perempuan juga tidak berani menyuarakan hak mereka karena takut akan dihakimi
masyarakat, kesalahpahaman dan faktor-faktor yang lain tadi harus segera di luruskan agar para
korban kekerasan seksual merasa terlindungi di dalam Undang-undang yang jelas, oleh karena
itu penting untuk di menjadi prioritas utama anggota DPR komisi VIII untsegera mengesahkan
RUU PKS. Karena sejatinya semua orang pantas mendapatkan perlakuan yang sama dimata
hukum tanpa terkecuali.

Urgensi Pengesahan

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terdiri dari 16 BAB dan 184 pasal yang memiliki
okus untuk melindungi korban kekerasan seksual. Peristiwa kekerasan seksual sering terjadi
terhadap perempuan yang menurut Komnas Perempuan mengatakan bahwa satu dari 3
perempuan mengalami kekerasan seksual yang rata-rata disebabkan oleh pria baik dari keluarga
mapun dari orang terdekat bahkan dari masyarakat umum. Perisiwa kekerasan seksual yang
terjadi pada wanita ini seringkali korban tidak berani untuk melaporkan atau melawan balik, para
korban cenderung memilih untuk diam karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat
umum. Bahkan sering kali bukannya korban dilindungi justru sebaliknya korban dijadikan
penyebab pelecehan seksual tejadi. Perempuan dituduh sebagai penyebab kekerasan bisa terjadi
dengan alasan kekrasan seksual terjadi karena bagaimana korban (perempuan) mengenakan
pakaian, bahasa tubuh, lingkungan dimana ia tinggal atau waktu dan lokasi pelecehan seksual
terjadi. Kesalahan yang kerap terjadi pula adalah dimana korban danggap membiarkan kekerasan
seksual itu terjadi, ketika korban tidak melawan atau korban secara terpaksa terus menerus mau
dilecehkan oleh pelaku, padahal korban hanya takut ancaman dari pelaku atau mendapatkan
stima negatif masyarakat lingkunan ia berada. Nalar absurd ini sudah terkonstruksi dalam sistem
partraki yang melekat pada masyarakat di Indonesia. Masyarakat Indonesia menggapa bahwa
korban kekerasan seksual menjadi aib, atau yang lebih kasar menjadi pembawa sial bagi keluarga
korban. Bahkan sering kali bukanya korban dirangkul untuk memmulihkan fisik dan metal,
keluarga dan lingkungan justru mengucilkan korban kekerasan seksual atau kasus lebih parah
adalah korban kekerasan seksual dikawinkan paksa dengan pelaku. Selain itu bungkamnya
korban untuk melapor kepada pihak berwajib untuk disebabkan oleh takutnya korba kepada
pelaku jika pelaku melakukan balas dendam atas pelaporan tersebut. Sedangkan pada tingkat
penegakan hukum para penegak hukum sering kali memakai moralitas yang terkonstruksi oleh
sistem partiarki, yanga mana malah menghilangkan empati kepada korban kekerasan seksual.
Para penegak hukum sering kali menanyai pertanyaan-pertanyaan tidak penting perihal baju apa
yang korban pakai pada saat terjadi kekerasan seksual, hal ini memnunjukan bahwa peneak
hukum yan seharusnya meneakan atau melinduni korban justru secara tidak lansung menhakimi
korban. Arugumen-arumen diatas menenjukan bahwa tdakadanya upaya baik yang dilakukan
oleh masyarakat atau penegak hukum untuk melindungi korban kekersan seksual.

Namun walaupun RUU penghapusan kekerasan seksual ini mempunyai tujuan baik untuk
melindungi korba kekerasan seksual namun ada saja pihak yang kontra atau menolak RUU PKS
ini. Hal ini disebabkan oleh pemahaman yang berbeda atau miskonsepsi dalam memaknai setiap
pasal yang berada di dialam RUU ini. Hal itu terjadi karena dialektika tentang kekerasan seksual
pada masyarakat masihlah rendah sehingga menimbulkan kesalah pahaman, bias, dan konflik
tentang RUU PKS ini. Seharusnya DPR memfasilitasi masyarakat untuk memahami tentang
RUU penghapusan kekerasan seksual agar semua masyarakat tidak mensalahpahami setiap diksi
yang ada dalam RUU PKS ini. Kecenderungan kesalahpahaman dalam RUU PKS ini terletak
pada kata “persetujuan” yang terletak pada BAB V tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
pasal 16 yang berbunyi :

“Setiap orang dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau
menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk
melakukan hubungan seksual, diancam pidana perkosaan.”

Para penegak moral “Moralis” beranggapan bahwa pasal 16 ini rentan disalah gunakan
untuk dalil dari seks bebas, atau kegiatan prostitusi menjadi legal. Yang dimaksud dengan
persetujuan disini adalah bukan “suka sama suka” karena dengan dalil suka sama suka pun dapat
disebabkan oleh takutnya korban mendapat ancaman dari pelaku. Selain pemahaman dalam
diksi-diksi pasal RUU penghapusan kekersan seksual. Para “Moralis” menggapa tidak
dimasukkannya pasal prostitusi juga menjadikan RUU PKS ini menjadi celah bagi para pelaku
prostitusi untuk melealkan aksinya. Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri sudah
terrulis jelas tentang pindak pidana dari tindakan prostitusi seperti dalam pasa 296 yang
berbubyi:

“Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja
mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu
rupiah”.

Selain pasal diatas pada pasal 506 juga telah mengatur tentang pelaku dari penyedia jasa
prostitusi yang berbunyi:

“Barang siapa sebagai mucikari (souteneur) mengambil keuntungan dari pelacuran


perempuan, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”

Dalam kedua pasal itu telah diatur tentang masalah prostitusi. Yang sebenarnya tidak
perlu dipersoalkan lagi. Karena dari tujuan awal RUU ini dibuat hanya untuk melindungi korban
kekerasan seksual. Selain itu menurut para moralis beranggapan bahwa LGBT mendapatkan
afirmasi atau membenarkan perilaku LGBT, karena menurut mereka dalam naskah akademis
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan jelas memasukan Kekersan Seksual berdasarkan
Orientasi Yang Berbeda. Yang dimaksud disini adalah fakta yang ada dilapangan, yang mana
pengaduan kekerasan seksual oleh perempuan dengan orientasi seksual sejenis mendapatkan
kekerasan yang sama dengan seserang yang memilki orientasi seksual dengan lawan jenis. Jadi
bukan pembenaran LGBT melainkan hanya menyajikan fakta yang berada di lapangan.
Seharusnya permasalahan miskonsepsi itu bisa dihindarkan jiak ada dialektika tentang RUU ini
kepada masyarakat Indonesia.

Urgensi pengesahan RUU ini menjadi sangat penting karena dari argumen-argumen
diatas perempuan di Indonesia menjadi korban marjinalisasai dari sistem partriaki. Selain itu
hukum yang mengatur tentang kekrasan belum dibuat secara benar, yang dimaksud disini adalah
dimana diksi-diksi pada pasal kejahatan seksual masih sangatlah abu-abu, dimana dalam konteks
perkosaan, penafsiran diksi perkosaan masih sangatlah sempit belum mencakup semua tindakan
kekerasaan seksual yang dialami oleh perempuan maupun laki-laki. Urgensi pengsahan dari
RUU PKS ini dari argumen diatas harus segera disahkan karena perempuan rentan terkena
pelecehan seksual, kekersan seksual. Seperti pada kasus BQ yang mana penyintas kekerasan
sekual malah dikenai pasal UU ITE karena pencemaran nama baik, atau kasus kekerasan seksual
yang dialami mahasiswi di suatu kampus di Jogja yang mana belum ada pasal yang dapat
mengakomodir kekersan seksual yang telah dialaminya. Sejatinya banyak kekerasan seksual
yang terjadi terhadap perempuan di Indonesia namun karena berbagai faktor seperti lingkungan
yang tidak mendukung, takutnya korban ketika melapor, dan yang paling penting adalah belum
adanya payung hukum yang melindungi korban kekerasan secara jelas di Indonesia. Tentu kita
sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai pancasila terutama sila ke-5 yaitu keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia maka kita harus mendukung penuh agar RUU Oks ini segera disahkan,
agar korban dan penyintas lain seperti YY, BN, atau penyintas-penyintas lain diluar sana dapat
mendapatkan kepastian hukum dan dapat menjadi UU yang melindungi penyintas.
Daftar Pustaka
Jurnal
DPR RI. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan
Seksual. Februari 2017.

Internet
Afifurrochman Sya'rani “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: Mengapa Dipermasalahkan?”
diakses melalui https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13864/ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-
mengapa-dipermasalahkan.html pada tanggal 20 Mei 2019

Chaterine, Rahel Narda. 2019. “RUU PKS Membutuhkan Ruang Dialog ” diakses
,melalui https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/ruu-pks-membutuhkan-ruang-dialog

DPR. 2016. “Draft Rancangan Undang-Undang tentang Pengnhapusan Kekerasan Seksual”


diakses melalui http://www.dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20161111-040327-4431.pdf tanggal
20 Mei 2019

Felicia, Nadia. 2018 “Shera Rindra: Dari Korban Jadi Penyintas” https://womantalk.com/news-
update/articles/shera-rindra-dari-korban-jadi-penyintas-A7e5n tanggal 20 Mei 2019

Prabowo, Haris. 2019. “Komisi VIII Akui Hati-hati Gunakan Diksi dan Definisi di RUU PKS”
diakses melalui  https://tirto.id/komisi-viii-akui-hati-hati-gunakan-diksi-dan-definisi-di-ruu-pks-
deyf. 

Primastika, Widia. 2019. “RUU PKS Dianggap RUU Pro-Zina, Masuk Akalkah ?” diakses
melalui https://tirto.id/ruu-pks-dianggap-ruu-pro-zina-masuk-akalkah-dfqE. pada tanggal 20 Mei
2019

Anda mungkin juga menyukai