Anda di halaman 1dari 4

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS atau RUU P-KS) adalah
rancangan undang-undang di Indonesia mengenai kekerasan seksual. RUU ini diusulkan pada tanggal 26
Januari 2016. RUU ini mencakup mulai dari pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban
hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum.

Perancang dan pengusung RUU ini adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL). Ketua Komnas Perempuan, Azriana, menyampaikan
dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada tanggal 7 September 2015 bahwa setidaknya ada 15
macam kekerasan seksual yang dialami perempuan di Indonesia, yaitu tindak perkosaan, intimidasi
bernuansa seksual (termasuk ancaman atau percobaan perkosaan), pelecehan seksual, eksploitasi
seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, kontrasepsi/sterilisasi
paksa, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, dan kontrol seksual termasuk aturan
diskriminatif beralasan moralitas dan agama. 13 di antaranya belum diatur dalam undang-undang.
Menurut Komnas Perempuan, hukum pidana Indonesia mengenai pemerkosaan terbatas pada penetrasi
penis ke vagina, prosedur pembuktiannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terkesan
masih membebani korban, pelecehan seksual hanya diatur dalam pasal tentang perlakuan tidak
menyenangkan, dan UU Hukum Pidana maupun UU Kesehatan menekankan pada larangan aborsi tanpa
melihat konteks pemaksaan aborsi sehingga perempuan dipidanakan dalam tindak aborsi. Komnas
Perempuan menilai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus masuk dalam daftar program legislasi
nasional (Prolegnas) Tambahan 2015-2019. Gisella Tani Pratiwi dari Yayasan Pulih dalam FPL
mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual terjadi di ranah privat, sementara menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, harus ada saksi mata dan bukti sehingga banyak proses hukum kasus kekerasan
seksual yang tidak bisa dilanjutkan. Selain itu, masyarakat masih menyalahkan korban ataupun
membenarkan perilaku kejahatan seksual. Venny Siregar dari LBH APIK mengatakan bahwa "ketika
proses hukum berjalan ya proses hukum saja yang dilihat. Tapi bagaimana korban mendapatkan trauma
seumur hidup itu tidak mendapatkan jaminan, restitusi (ganti rugi) tidak ada kompensasi tidak ada, ini
yang diperjuangkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan seksual." FPL mendorong agar RUU
Penghapusan kekerasan Seksual masuk dalam Prolegnas DPR 2016.

RUU ini diusulkan pada tanggal 26 Januari 2016. Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik
RUU PKS ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) pada 13 Mei 2016.[6] RUU PKS
dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2016 pada 6 Juni 2016. RUU ini ditarik dari Prolegnas Prioritas
2020 pada tanggal 2 Juli 2020. Usulan penarikan ini sebelumnya diajukan oleh Komisi VIII. Wakil Ketua
Komisi VIII Marwan Dasopang mengatakan, pembahasan RUU PKS saat ini sulit dilakukan karena
terbentur mengenai definisi kekerasan seksual dan aturan pemidanaan. Menurut anggota Komisi VIII
dari fraksi PDI Perjuangan Diah Pitaloka, keputusan mengeluarkan RUU ini dari Prolegnas bukan
pernyataan Komisi VIII, karena tidak ada rapat untuk memutuskan itu, dan itu merupakan pernyataan
pribadi Marwan Dasopang. Menurut Diah, meski dikeluarkan dari Prolegnas 2020, RUU PKS akan masuk
Prolegnas 2021 yang akan dibahas oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg).
ISI

RUU PKS tidak hanya mengatur tentang hukum acara dan sanksi pidana mengenai kekerasan seksual,
tetapi lebih banyak mengatur tentang manfaat bagi korban kekerasan seksual. Menurut Direktur
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Veny Octarini Siregar, RUU PKS mencakup mulai dari pencegahan,
pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses
hukum. RUU PKS termasuk dalam undang-undang khusus atau lex specialis. Sistem peradilannya akan
dibuat seperti peradilan anak. Korban dapat memilih untuk bertemu atau tidak bertemu dengan pelaku,
dan korban ditempatkan di ruangan khusus dalam persidangan. RUU ini juga mengatur peran
masyarakat, seperti tindakan yang dilakukan oleh RT atau RW. RUU ini membebankan pelaku untuk
membayar restitusi yang bukan sebagai ganti rugi terhadap korban, tetapi untuk menanggung biaya
pemulihan korban. Ada sembilan bentuk kekerasan seksual yang dijelaskan dalam RUU ini, yaitu
pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan,
pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pembudakan seksual dan penyiksaan seksual.

REAKSI DPR DAN NETIZEN

Ketua Indonesian Feminist Lawyer Clubs (IFLC) Nur Setia Alam Prawiranegara mengatakan pembahasan
RUU ini terhambat "karena RUU ini bukan menghasilkan uang banyak. Beda dengan RUU pemilu yang
mungkin perputaran uangnya jelas." Selain itu, Anggota DPR Komisi VIII Rahayu Saraswati
Djojohadikusumo mengakui belum adanya kesepahaman tentang RUU PKS antara legislator dan
pengusung RUU PKS. Menurut Saras, sebagian pihak menganggap RUU PKS adalah peraturan yang
membenarkan adanya lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT),[11] serta ada pula yang
menganggap bahwa RUU ini adalah titipan asing, meskipun perancang dan pengusung RUU ini adalah
Komnas Perempuan dan FPL yang tidak lain adalah para pendamping korban kekerasan di Indonesia.

Sebuah petisi di Change.org untuk mendesak DPR dan pemerintah untuk membahas RUU PKS telah
ditandatangani oleh lebih dari 50 ribu netizen pada tanggal 6 Mei 2016. Pada tanggal 8 Desember 2018,
masyarakat dari berbagai aliansi melakukan pawai akbar yang menuntut pemerintah segera
mengesahkan RUU PKS. Tagar #sahkanruupks sempat menjadi kiriman terpopuler di Twitter. Pemimpin
Redaksi Jurnal Perempuan, Anita Dhewy, mengganggap pengesahan RUU PKS sudah mendesak,
terutama setelah korban-korban pelecehan seksual di Indonesia berani bersuara setelah munculnya
gerakan Me Too. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengatakan bahwa masih banyak
hal yang harus dipertimbangkan DPR, seperti hal pemeriksaan yang harus dikoordinasikan dengan polisi,
penggunaan judul “Penghapusan Kekerasan Seksual” yang dapat memunculkan beragam tafsir,
penggunaaan kata hasrat seksual yang bisa diartikan sebagai hasrat antara sesama jenis. Menurutnya,
aturan yang ada saat ini sudah cukup untuk menangani tindakan kekerasan seksual.

Dalam serangkaian unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada bulan September 2019 oleh
mahasiswa, pelajar, dan jurnalis Indonesia, salah satu tuntutan demonstran adalah segera mengesahkan
RUU PKS. Selama unjuk rasa undang-undang sapu jagat Indonesia pada Juli 2020, pendemo juga
menuntut pengesahan RUU PKS.
Dapus

^ a b Hidayat Adhiningrat P (10 Desember 2018). "Masih Ada Anggota DPR yang Percaya RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual Titipan Asing". Gatra. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Tashandra, Nabilla (7 September 2015). "Komnas Perempuan: 13 Kekerasan Seksual Belum Diatur
dalam UU". Kompas. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Linggasari, Yohannie (8 November 2015). "Komnas Perempuan Dorong RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual". CNN Indonesia. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Lestari, Sri (26 November 2015). ""Jangan salahkan perempuan korban kekerasan seksual"". BBC
Indonesia. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ a b Primastika, Widia (8 Desember 2018). "Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Harus


Segera Disahkan". Tirto. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Widianto, Satrio (13 Mei 2016). "Komnas Perempuan Serahkan Naskah Akademik RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual". Pikiran Rakyat. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Ihsanuddin (6 Juni 2016). "RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Masuk Prolegnas Prioritas 2016".
Kompas. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Sari, Haryanti Puspa (2 Juli 2020). Erdianto, Kristian, ed. "16 RUU Resmi Ditarik dari Prolegnas Prioritas,
Salah Satunya RUU PKS". Kompas. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Mazrieva, Eva (5 Juli 2020). "Mengapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Tak Jadi Prioritas 2020?".
VOA Indonesia. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Gabrillin, Abba (24 November 2017). "Apa Saja yang Diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual?". Kompas. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ a b "Sembilan Jenis Pelecehan Seksual yang Diajukan di RUU PKS". CNN Indonesia. 19 November 2018.
Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Fikrie, Muammar (6 Mei 2016). "Beramai-ramai mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual". Beritagar.id. Diakses tanggal 22 Agustus 2020.

^ Yasmin, Puti. "Ini 7 Tuntutan Mahasiswa yang Demo di Depan DPR". detiknews. Diakses tanggal 2019-
09-26.
^ "7 Tuntutan Ribuan Mahasiswa dalam Aksi #GejayanMemanggil". merdeka.com. Diakses tanggal 2019-
09-26.

^ "Gelombang Penolakan RUU Omnibus Law Disuarakan Mahasiswa Maluku Utara". Radio Republik
Indonesia. 16 July 2020. Diakses tanggal 11 September 2020.

^ "GMNI Tolak RUU Omnibuslaw". BeritaKotaAmbon.com. 3 September 2020. Diakses tanggal 11


September 2020.

Anda mungkin juga menyukai