Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS POLEMIK PENGESAHAN RUU TINDAK PIDANA

KEKERASAN SEKSUAL (TPKS)

Disusun oleh:

1. Muhammad Dafa Khairulloh (E0020305)

2. Nadya Priscilla Wibowo (E0020327)

3. Tesalonika Firnanda (E0020424)

4. Tiara Vicky Merliana (E0020429)

5. Irene Intan Cahyaning Tyas (E0020461)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2022
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 3

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................. 3

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4

C. Tujuan ............................................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 5

A. Polemik Pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) ...................... 5

B. Urgensi Pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) ....................... 7

C. Politik Hukum dalam Pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) . 8

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 10

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 12

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa adanya
pengakuan terhadap prinsip persamaan bagi seluruh warga negara tanpa terkecuali.
Setiap warga negara berhak untuk mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, kedudukan, maupun
golongan. Dengan adanya pengakuan persamaan hak warga negara, maka tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dengan diakuinya prinsip persamaan di
hadapan hukum dan pemerintahan di dalam Undang-Undang Dasar menunjukan bahwa
para pendiri negara Indonesia sadar betul mengenai arti pentingnya perlidungan
terhadap hak asasi manusia.
Secara yuridis, di tingkat internasional dan nasional, perangkat hukum dan
undang-undang Indonesia mengakui prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Namun pada tataran penyelenggaraan negara, terjadi diskriminasi dan ketidakadilan
terhadap perempuan. Nalon Kurniawan dalam buku hariannya menjelaskan bahwa
perempuan masih tertinggal dan terpinggirkan dalam bidang ekonomi, pendidikan,
kesehatan, pekerjaan, serta politik. Salah satu penyebabnya adalah tumbuhnya budaya
patriarki di kalangan penduduk asli Indonesia. Dalam masyarakat dengan budaya
patriarki, laki-laki lebih berperan dalam memegang kekuasaan, yang secara otomatis
dapat mengurangi peran dan keberadaan perempuan. Menurut prinsip persamaan hak
yang sama di segala bidang, laki-laki dan perempuan.
Latar belakang lahirnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah karena
meningkatnya jumlah korban kejahatan kekerasan seksual di Indonesia, namun sejauh
ini belum ada kerangka hukum untuk memerangi kejahatan tersebut. Namun
persoalannya, banyak kontroversi yang terjadi selama ini, RUU penghapusan kekerasan
seksual belum juga disahkan.
Sebagai pendahuluan, bersumber dari media, Komite Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga menyayangkan sikap DPR yang
menghapus RUU PKS dari daftar Prolegnas 2020 (Mashabi, 2020). Penarikan RUU

3
PKS tersebut diminta oleh Badan Legislasi (Baleg) karena beberapa ketentuan pidana
dalam RUU PKS terkait dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP). Oleh karena itu, mereka harus mengesahkan RKUHP terlebih dahulu
sebelum mengesahkan RUU PKS (Gusman, 2020). Dari media, sepintas dijelaskan
bahwa peran pemerintah sangat penting dalam menunda pengesahan RUU tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana polemik pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual


(TPKS)?
2. Apa urgensi pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)?
3. Bagaimana politik hukum dalam pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (TPKS)?
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui polemik pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan


Seksual (TPKS)
2. Untuk mengetahui urgensi pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan
Seksual (TPKS)
3. Untuk mengetahui politik hukum dalam pembentukan RUU Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (TPKS)

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Polemik Pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

RUU TPKS mempunyai perjalanan yang cukup panjang. Ia lahir akibat


perkara kekerasan seksual terhadap perempuan yang kian hari kian menigkat. Gagasan
ini pula datang karena banyaknya pengaduan kekerasanseksual yang tidak tertangani
dengan baik dikarenakan tidak adanya payung hukum yang dapat memahami &
mempunyai substansi yang tepat terkait kekerasan seksual. Tingginya angka
kekerasan seksual terhadap perempuan & anak pada beberapa tahun terakhir seperti
fenomena puncak gunung es. Berdasarkan data Komnas Perempuan, pada kurun waktu
10 tahuan (2001 -2011) sedikitnya terdapat 35 perempuan & anak perempuan yang
menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya.
Melihat angka kekerasan yang semakin mengkhawatirkan, kalangan
masyarakat, penyintas kekerasan seksual & Komnas Perempuan menggagas RUU
ini yang sudah dihimpun berdasarkan pengaduan & data tahunan yang dimiliki
Komnas Perempuan miliki. Dimulai pada tahun 2012 setelah melalui berbagai
proses, RUU PKS berhasil masuk sebagai salah satu program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Prioritas DPR dalam tahun 2016. Tetapi sayangnya sampai pertengahan
tahun 2021 RUU PKS masih mangkrak & belum benar-benar disahkan oleh DPR.
Tetapi RUU ini sebenarnya sudah kembali mendapat respon positif menurut DPR
sesudah warga menurut berbagai aliansi melakukan aksi damai menuntut disahkannya
RUU ini dalam 2018 lalu. Ada ribuan orang turut ke jalan saat itu yang membuahkan
janji dari pihak DPR untuk mengesahkannya sesudah pemilu 2019. Namun sampai
tahun 2020 , RUU ini dicabut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020,
& akan kembali masuk Prolegnas dalam tahun 2021 seperti yg disampaikan oleh
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad1

1
Fauziah, Puji. 2020. Sempat Dicabut Karena Pembahasannya Sulit, RUU PKS Akhirnya Masuk Prolegnas
Prioritas. https://depok.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-09599297/sempat-dicabut-karena-pembahasannya-sulit-
ruu-pks-akhirnya-masuk-prolegnas-prioritas

5
Secara pengertian kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan
merendahkan, menghina, menyerang, & atau perbuatan lainnya terhadap tubuh,
hasrat seksual seseorang, & atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan
dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu
memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa
& atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau
kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya,
& atau politik, pengertian yang diambil menurut rancangan undang-undang
penghapusan kekerasan seksual. Selanjutnya, terdapat pasal yang juga menjelaskan
penghapusan kekerasan seksual. Masih dalam RUU, disebutkan bahwa penghapusan
kekerasan seksual merupakan segala upaya untuk mencegah terjadi kekerasan
seksual, menangani, melindungi & memulihkan korban, menindak pelaku &
mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual (RUU TPKS).
Secara singkat, RUU memang berfokus dalam bagaimana agar kekerasan
seksual itu hilang dari Indonesia, dengan berkurangnya kasus juga berfokus
bagaimana penyintas kekerasan seksual kembali pulih secara fisik & psikis. Selain
itu, hal yang perlu difahami terdapat hak korban. Pengertian hak korban dijelaskan
dalam pasal 1 RUU PKS yaitu hak atas penanganan, perlindungan, & pemulihan
yang didapatkan, digunakan & dinikmati oleh korban, dengan tujuan mengubah
kondisi korban yang lebih baik, bermartabat & sejahtera, yang berpusat dalam
kebutuhan & kepentingan korban yang multidimensi, berkelanjutan, & partisipatif.
Ditambahkan memang membuat penyintas untuk ‘bersuara’ adalah bukan hal
yang sederhana. Dalam sebuah media online, disebutkan bahwa Komisioner Komnas
Perempuan Siti Aminah menilai sikap para korban menguak kisahnya melalui sosial
media tidak lain lantaran akses keadilan terhambat & “sistem hukum yang tidak
berpihak pada korban & membangun pencerahan publik, termasuk terhadap yang masih
berpikir kekerasan seksual adalah kesalahan korban.” Cakupan tindak pidana kekerasan
seksual diatur pada Pasal 11 sampai Pasal 20. Pasal 11 ayat (1) menyatakan kekerasan
seksual terdiri dari: pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi;
pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan
pelacuran;perbudakan seksual; & penyiksaan seksual. Sementara itu, Pasal 11 Ayat (2)
menyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi
peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja,

6
publik, termasuk yang terjadi dalam situasi konflik, bencana alam & situasi khusus
lainnya.2

Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak (PPPA)


mendorong Rancangan Undang-Undang mengenai Penghapusan Kekerasan Seksual
(RUU PKS) dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas
2021.3 Hal ini sebagai penyegar namun yang penting juga menjadi penting adalah
bagaimana perlindungan bagi korban selama RUU ini belum resmi disahkan
pemerintah.

B. Urgensi Pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)

Secara keseluruhan, peraturan yang berlaku di Indonesia masih memandang


kekerasan seksual sebagai pelanggaran terhadap ketentraman dan ketertiban
masyarakat. Hal tersebut menimbulkan suatu persepsi bahwa kekerasan seksual hanya
dianggap sebagai suatu kekerasan apabila telah meresahkan masyarakat secara luas,
sehingga tidak berfokus pada penderitaan yang dialami korban. Di Indonesia sudah
terdapat puluhan hingga ratusan bahkan ribuan kasus kekerasan seksual sudah terjadi
pada orang dewasa, bahkan sudah merambah ke usia remaja, anak-anak, bahkan balita.
Dari banyaknya kasus tersebut hanya sedikit yang mampu terselesaikan dengan
advokasi yang baik, sedangkan sebagian besarnya tidak.

Hal tersebut terbukti dari beberapa kasus yang sempat terjadi dan
menghebohkan media, salah satunya kasus Agni yaitu kasus pemerkosaan terhadap
Agni yang merupakan mahasiswi UGM yang sedang menjalani KKN di Pulau Seram
pada tahun 2017. Kasus tersebut baru selesai secara kekeluargaan setelah hampir 2
(dua) tahun. Jalan tersebut ditempuh karena dirasa lebih mampu memenuhi hak-hak
Agni sebagai korban dan menghindari potensi-potensi kriminalisasi terhadap Agni.
Kasus serupa juga terjadi dalam kasus Baiq Nuril yang merupakan seorang guru
honorer di salah satu sekolah di Mataram mengalami pelecehan seksual yang dilakukan
kepala sekolah kepadanya melalui telepon. Dalam penyelesaian kasusnya, Baiq Nuril

2
Rizal, J. G. 2020. Marak Kasus Kekerasan Seksual, Apa Isi dan Polemik RUU PKS?.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/07/144300365/marak-kasus-kekerasan-seksual-apa-isi-dan-
polemik-ruu-pks-?page=all
3
Purnamasari, D. M. 2020. Kementerian PPPA Dorong RUU PKS Masuk Prolegnas 2021dan Disahkan.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/24/11033051/kementerian-pppa-dorong-ruu-pks-masuk-prolegnas-
2021-dan-disahkan?page=all

7
memilih untuk melawan dengan merekam bukti percakapan telepon dimana ia
mengalami kasus pelecehan seksual tersebut, tetapi ia justru dilaporkan oleh kepala
sekolah dengan dugaan penyebaran konten kesusilaan. Kasus-kasus seperti ini yang
menjadi salah satu urgensi pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,
karena RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak semata-mata mengatur terkait
ancaman pidana, tetapi juga hal lain yang mendukung dan melindungi korban selama
menjalani proses hukum.

Dilihat dari sudut pandang pentingnya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,
perlu untuk dilihat secara jelas alasan pendorong pengesahan RUU Tindak Pidana
Kekerasan Seksual, yaitu4:

1. Angka kekerasan seksual yang terus meningkat;


2. Kasus kekerasan seksual masih banyak merugikan perempuan;
3. Tidak terciptanya efek jera bagi pelaku pasca kejadian;
4. Penegakan terhadap kasus kekerasan seksual sering tidak berperspektif pada
korban;
5. Kurangnya instrumen hukum yang mampu menyelesaikan dengan maksimal
setiap kasus kekerasan seksual yang terjadi.

C. Politik Hukum dalam Pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual


(TPKS)

Indonesia merupakan negara hukum, dimana setiap warga negaranya wajib


untuk untuk pada peraturan dan hukum yang ada. Sehingga, setiap perbuatan yang
diperbuat maka akan dipertanggung jawabkan berdasarkan pada hukum yang sedang
berlaku di masyarakat.
Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum yang berlaku sekaligus pilihan
tentang hukum yang akkan dicabut untuk mencapai tujuan negara seperti yang
tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

4
Aryani, A. S. R. 2021. Analisis Polemik Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Jurnal
Muslimah dan Studi Gender, Vol. 1, No. 1, hal. 10-14.

8
1945.5 Dalam mencapai cita-cita bangsa tersebut tentunya harus juga berdasarkan nilai-
nilai pancasila.
Konfigurasi politik pengesahan RUU TPKS ini berawal pada tahun 2016,
Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL), secara resmi telah
menyerahkan naskah akademik RUU TPKS kepada Ketua Komite III DPD RI. Para
anggota DPR RI dari berbagai fraksi telah memberikan janji untuk mendorong RUU
TPKS tersebut dalam Program Legislasi Nasional Prioritas. Hal in juga berdasarkan
pada adanya seruan dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri. Dalam rapat
Badan Legilasi internal DPR RI, pada akhirya menghasilkan kesepakatan untuk
memasukkan RUU TPKS tersebut dalam Program Legislasi Nasional Prioritas yang
sah ditandatangani 70 anggota DPR.
Pada tahun 2020 masyarakat masih menanti pengesahan payung hukum atas
penghapusan kekerasan seksual. Hingga bulan Maret 2020, DPR mencabut RUU TPKS
dari daftar Prolegnas. Komisi VII DPR RI mengatakan penghapusan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual dari daftar Prolegnas ialah karena RUU ini terlalu sulit
dan tidak sempat untuk diselesaikan dan dalam hal ini lebih mendahulukan RKUHP.6
Hal ini berdampak pada Komnaas Perempuan yang menyatakan bahwa pembahasan
dari RUU Pengapusan Kekerasan Seksual bukanlah perkara sulit akan tetapi perkara
pada kemauan. Darri sini dapat diambil kesimpulan bahwa anggota DPR belum
memprioritaskan pembentukan payung hukum terhadap kejahatan seksual. Penyebab
berlarutnya pembahasan RUU ini ialah juga adanya konfigurasi dari pada fraksi.
Terdapat perbedaan pandangan menimbulkan pedebatan antar fraksi. Hal ini
merupakan merupakan proses dan interaksi politik antara legislatif dan eksekutif. Pada
tahun 2021, RUU TPKS kembali dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas dengan
membawa harapan bahwa RUU TPKS agar segera untuk disahkan sehingga terdapat
payung hukum dalam mengusut tuntas kejahatan seksual.

5
Adiwibowo, Miko. 2019. Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Daerah.
https://jdih.bengkuluprov.go.id/berita/detail/22-artikel-politik-hukum-dalam-pembentukan-peraturan-
daerah.html.
6
Sari, H. P. 2020. Alasan DPR Tarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/02/15141751/alasan-dpr-tarik-ruu-pks-dari-prolegnas-prioritas-2020.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kekerasan seksual merupakan segala perbuatan yang menghina, menyerang,


merendahkan, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan
atau fungsi rekproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang
menyebabkan seseorang tersebut tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan atau gender yang berakibat pada
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan
politik. Latar belakang pembentukan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini adalah
karena semakin maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia namun belum ada
payung hukum untuk menangani secara tegas kejahatan tersebut sampai saat ini.
Urgensi mengenai kekerasan seksual di Indonesia sudah terlihat jelas mulai dari sudut
korban, pelaku dan peluang yang mana adalah keadaan yang tercipta menyudut pada
perlunya keseriusan untuk mengatasi kasus kekerasan seksual. Isu pengeluaran RUU
Tindak Pidana Kekerasan Seksual dari Prolegnas 2020 menjadi perbincangan di
Indonesia, hal tersebut jika dilihat dari fakta seakan tidak membenarkan jika RUU yang
diharapkan untuk mengisi kekosongan hukum terkait kekerasan seksual malah
dikesampingkan. Maka pembahasan mengenai urgensi pembentukan RUU Tindak
Pidana Kekerasan Seksual ini sangat tepat, mengingat undang-undang yang bersifat lex
specialis dan dibuat khusus untuk mengakomodasi kekerasan seksual ini
diupayakan untuk ada.

B. Saran
Dengan demikian diharapkan agar RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
dapat menjadi undang-undang yang mampu menghadirkan rasa aman dan keadilan
serta kepastian hukum, pencegahan kekerasan seksual, serta perlindungan, penanganan,
dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual. Selain itu, negara harus hadir untuk
memberdayakan ekonomi korban, sebagai dampak dari perlawanan balik korban.
Solusi ini harus ada dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk memutus

10
ikatan relasi kuasa yang sering dimanfaatkan pelaku untuk melakukan kekerasan
seksual. Pendanaan dapat dikelola dari victim trust fund agar korban berani bersuara
dan melaporkan perbuatan pelaku, tanpa ketakutan akan masa depan ekonomi yang
suram. Selain itu, terkait akses hukum diharapkan agar adil dan memastikan
perlindungan terhadap korban serta membuka akses terhadap hukum seluas-luasnya,
maka pengecualian terhadap kewajiban penyidik, penuntut umum, dan hakim memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan keahlian tentang penanganan korban yang
berperspektif korban dan hak asasi manusia maupun telah mengikuti pelatihan terkait
penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual berlaku juga pengecualiannya
bagi pendamping hukum yaitu advokat dan paralegal.

11
DAFTAR PUSTAKA

Adiwibowo, Miko. 2019. Politik Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Daerah.


https://jdih.bengkuluprov.go.id/berita/detail/22-artikel-politik-hukum-dalam-
pembentukan-peraturan-daerah.html.
Aryani, A. S. R. 2021. Analisis Polemik Pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(TPKS). Jurnal Muslimah dan Studi Gender, Vol. 1, No. 1, hal. 10-14.

Fauziah, Puji. 2020. Sempat Dicabut Karena Pembahasannya Sulit, RUU PKS Akhirnya
Masuk Prolegnas Prioritas. https://depok.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-
09599297/sempat-dicabut-karena-pembahasannya-sulit-ruu-pks-akhirnya-masuk-
prolegnas-prioritas
Purnamasari, D. M. 2020. Kementerian PPPA Dorong RUU PKS Masuk Prolegnas
2021dan Disahkan.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/24/11033051/kementerian-pppa-dorong-
ruu-pks-masuk-prolegnas-2021-dan-disahkan?page=all
Rahmi, A. 2018. Urgensi Perlindungan bagi Korban Kekerasan Seksual dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu Berkeadilan Gender. Jurnal Mercatoria. Vol. 11, No 1.
Rizal, J. G. 2020. Marak Kasus Kekerasan Seksual, Apa Isi dan Polemik RUU PKS?.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/07/144300365/marak-kasus-kekerasan-
seksual-apa-isi-dan-polemik-ruu-pks-?page=all
Sari, H. P. 2020. Alasan DPR Tarik RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020.
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/02/15141751/alasan-dpr-tarik-ruu-pks-
dari-prolegnas-prioritas-2020.

12

Anda mungkin juga menyukai