Anda di halaman 1dari 22

Kebijakan Perlindungan

Perempuan dan Anak


Sri Wahyuningsih, SH.,MPd., Dosen Fakultas Hukum Universita Brawijaya
& Direktur WCC Dian Mutiara Malang. Makalah pada Webinar Pelatihan
Pendampingan Perempuanan Anak Korban Kekerasan
Diselenggarakan Oleh Fatayat NU Jawa Timur, 1 November 2020
Pendahuluan
• Setiap manusia merupakan ciptaan Allah SWT, dikaruniai keyakinan, akal budi dan budi Nurani, harkat dan martabat
yang sama, dan hendaknya bergaul yang satu dengan yang lain secara kekeluargaan, inilah yang disebut sebagai Hak
Asasi manusia.
• Sejak kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 dan disahkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, pada pasal 27 ayat (1)
dinyatakan bahwa: “Segala warga negara (menurut hemat saya laki-laki maupun perempuan) bersamaan kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
• Pada saat seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, maka menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019.Pada pasal 30 dinyatakan bahwa:” Suami isteri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyaraat”. Pasal 31
menyatakan, ayat (1). Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup Bersama dalam masyarakat. Ayat (2). Masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Ayat (3). Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
• Dalam dictum Menimbang butir (b) dari UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang telah dirubah dengan
UU No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 17 Tahun 2016, menyatakan bahwa “Anak adalah amanah dan karunia Tuhan YME,
yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
• Jadi baik laki-laki, perempuan maupun anak memiliki Hak Asasi Manusia.
Kebijakan Pemerintah dituangkan ke dalam
Peraturan Perundang-undangan
• Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), istilah kebijakan
berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis dan dasar
rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, kepemimpinan, serta cara
bertindak.
• Kebijakan Pemerintah NKRI dituangkan dalam per-atur-an Perundang-
undangan. Sebagai atur-an, juga disebut sebagai hukum.
• Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi prosedur dan
substansi yang telah ditetapkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Peraturan Pembentukan Perundang-undangan.
Kebijakan perlindungan perempuan korban
kekerasan menjadi kolaboratif tahun2002
• Kebijakan perlindungan perempuan korban kekerasan harus menjamin perempuan korban
mendapat layanan terpadu dari Pemerintah sehingga pelaku kekerasan dapat diminta
pertanggungjawabannya termasuk untuk tidak mengulangi lagi karena jera dan dapat
menimbulkan kejeraan pula pada masyarakat.
• SK Bersama 3 (tiga) Menteri Meneg PPPA, Menkes dan Mensos dan Kapolri, 2002 Kerjasama
Pelayanan Terpadu Korban. Sejak saat itu lahirlah P2TP2A di setiap pemerintahan Kabupaten
dan Kota dan juga lahirnya UPPA di setiap Kepolisian Kabupaten di Kota seluruh Indonesia.
• Seharusnya dapat diikuti dengan instrumen yang dibutuhkan yaitu instrument hukum;
psikososial dan medicolegal, namun hal itu tidak serta merta terwujud, mengingat
kompleksnya komponen masing-masing. Diperlukan waktu 15 (lima belas) tahun untuk
dapat sinergi dan kolaborasi sebagaimana ditentukan dalam Perpres No. 59 Tahun 2017
Tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/ SDG`s). Ini menjadi tantangan dan
peluang buat kita semua untuk dapat mewujudkannya.
Layanan Terpadu butuh Instrumen Terpadu
• Instrumen terpadu terdiri dari instrument Hukum, instrument medicolegal
dan instrument psikososial.
• Instrumen hukum mencakup tiga komponen Hukum yaitu: Substansi Hukum;
Struktur Hukum dan Kultur Hukum.
• Instrumen Medikolegal mencakup hasil pemeriksaan medis, pada kasus KS
adalah Visum et Repertum dan Visum et Repertum Psikiatrikum yang dapat
dipakai sebagai alat bukti di proses litigasi (peradilan).
• Instrumen Psikososial mencakup hasil pemeriksaan psikologis terkait dengan
aspek social/kultur/budaya, untuk melakukan pemulihan kejiwaan termasuk
mengupayakan budaya yang lebih menjamin hak asasi perempuan untuk
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Rencana Instrumen Terpadu
Struktur Mediko
Hukum legal

Substansi Kasus Tuntas,


Keadilan Terwujud
Hukum

Kultur Psiko
Hukum Sosial

: Pelaku KtP : Korban KtP


Tantangan dan Peluang pada Instrumen
Hukum, Komponan Substansi Hukum
• A. Komponen Substansi Hukum
• Problematik (tantangan) pada substansi hukum, meliputi:
• Problim saat pembentukan sesuai UU No. 12 Tahun 2011, proses pengajuan, pembahasan dan
pengesahannya. Contoh RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual (PKS).
• Problem pada substansi hukum secara tekstual, salah satu contoh bunyi pasal 27 ayat (1) UU
ITE: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
• Problem pada implementasi substansi hukum, contoh pada kasus Baiq Nuril: Hakim PN Mataram
menyatakan Baiq Nutil tidak terbukti melanggar pasal 27 ayat (1) UU ITE, Baiq Nuril bebas dari
tuntutan. Jadi problemnya: dapat terjadi perbedaan pemaknaan rumusan secara tekstual
untuk diterapkan pada kasus secara kontekstual, yang dapat berakibat fatal bagi korban.
Tantangan harus menjadi peluang (1)
• Pada persidangan di MA menurut Erasmus Napitupulu mengungkapkan bahwa pada persidangan
terungkap fakta bukan ibu Baiq Nuril yang menyebarkan rekaman pelecehan seksualterhadap atasannya,
melainkan teman kerjanya. Akhirnya Baiq Nuril mengajukan grasi dan dikabulkan oleh Presiden.
• Peluang yang dapat dilakukan publik, termasuk kita, diantaranya adalah:
• 1. Karena proses peradilan memakan waktu 5 (lima) tahun, tentu kita dapat menghitung kerugian moril
dan materiil yang dialami nya, maka seharusnya kita dapat menuntut kerugian tersebut kepada Kepala
Sekolah SMA 7 Mataram.
• 2. Untuk pembelajaran kepada masyarakat, rekan kerja Baiq Nuril perlu diberi teguran keras oleh
Pemerintah agar tidak mengulangi karena ulahnya sudah menjadikan Baiq Nuril mengalami penderitaan
yang luar biasa.
• 3. Setelah kasus ini ada usulan merubah UU ITE, mari kita kaji Bersama, karena menurut hemat saya UU
ITE sudah cukup mampu untuk menjadi paying hukum di era 4.0. menurut hemat saya justru Aparat
Penegak Hukum yang perlu mendapat pemahaman yang lebih mendalam tentangb perspektif kesetaraan
dan keadilan gender, sehingga dapat lebih memahami bahka KBGO adalah kejahatan kemanusiaan. Dst.
Substansi Hukum
• Regulasi perundang-undangan tentang perlindungan perempuan:
• 1. UUD 1945, pasal 27 ayat (1).
Substansi Hukum • 2. UU No.7 Th. 1984 Tentang Pengesahan Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All
Forms of Discriminatioan Againt Women).
Pihak Berwenang Produk
• 3. UU No.23 Th. 2004 Tentang Penghapusan KDRT.
DPRRI & Presiden UU
• 4. UU No. 21 Th. 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
DPRD Prov. & Gubernur Perda Prov. Perdagangan Orang.
DPRD Kab. & Bupati Perda Kab. • 5. UU No. 31 Th. 2014 Tentang Perubahan atas UU No. 13 Th. 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
DPRD Kota & Walikota Perda Kota
• 6. Peraturan Pemerintah No.4 Th. 2006 Tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban KDRT.
• 7. Peraturan Kapolri No. 10 Th 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit UPPA).
• 8. Peraturan Kapolri No. 10 Th 2007 Tentang Pembentukan Ruang
Pelayanan Khusus (RPK) dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau
Korban Tindak Pidana.
• 9. Surat Edaran Jaksa Agung No. SE-007/A/JA/11/2011 Tentang
Penanganan Perkara Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan.
• 10. Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Th 2017 Tentang Pedoman
Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Tantangan dan Peluang pada Instrumen
Hukum, Komponan Struktur Hukum
• B. Struktur Hukum
• Aparat Penegak Hukum (APH), problematik (tantangan) dalam praktek menunjukkan:
• 1. Korban KS (KBG/KBGO) mayoritas adalah perempuan dan anak, hal ini menuntut peningkatan
pengetahuan, pemahaman, dan komitmen dari para penegak hukum untuk lebih berperspektif gender dan
anak. Praktek di lapang antara lain menunjukkan kalua ada perempuan yang mengadukan/melaporkan
adanya KS/KBG/KBGO ada yang mendapat tanggapana; a). Anda kan pacarnya, masak dalam pacarana
terjadi kekerasan, bukankah kalian saling mencinta dan menyayangi? b). Makanya jangan keluar malam,
apalagi berpakaian semacam itu! c). Siapa saksi yang melihat terjadinya kekerasan itu? Dan masih banyak
pertanyaan2 yang menunjukkan kurang perspektif gender dan anak dari oknum2 APH.
• 2. Proses hukum yang terjal, berliku dan panjang sesuai pengalaman BN, sering menjadikan perempuan
korban KS/KBG/KBGO enggan melapor, sehingga kita sebut fenomena gunung es, namun kapan ini harus
diakhiri??? Jadi kalau sudah ada perempuan yang melapor seharusnya diperlakukan yang wajar sesuai
dengan ketentuan UU, sehingga akan bercerita kepada teman yang lain dan mendorong makin banyaknya
korban KS yang berani melapor ke UPPA. DLL.
• 3. Proses litigasi di Kejaksaan dan Pengadilan Negeri. Kasus BN salah satu pengalaman pahit.
Tantangan harus menjadi peluang (2)
• Peluang yang harus kita lakukan pada komponen Struktur Hukum, diantaranya:
• 1. Mempelajari substansi hukum material (perundangan-undangan) lengkap dengan Hukum
Acaranya, baik perdata maupun pidana. Untuk kasus-kasus KS maka Hukum Acara Pidana dapat
dipelajari dan dipahami dari KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) dan hukum
acara khusus yang dimuat dalam Regulasi Perundang-undangan, antara lain UU Perlindungan
Anak, UU PKDRT, UU Pemberantasan TPPO, UU ITE dll.
• 2. Malakukan sinergi kolaborasi sesuai pasal 15 Perpres 59/2017 untuk bersama-
sama ,endampingi perempuan dan anak korban KS/KBG/KBGO dengan melibatkan berbagai
komponen, seperti yang terjadi pada kasus BN, diantaranya LBH, WCC, BKBH Fakultas Hukum
atau Lambaga Pencegahan, Penanganan dan Pemulihan di tingkat Universitas, serta
memberitahukan dengan sebuah Legal Opinion kepada Wakil Rakyat di wilayah setempat,
bahwa ada warga negara Indonesia yang sedang menuntut keadilan dari seorang warga negara
Indonesia yang lain, dengan kejahatan kemanisiian berupa Kekerasan Seksual atau Kekerasan
Berbasis Gender dan /atau Kekerasan Berbasis Gender online. DLL.
Struktur Hukum

Struktur Hukum • Dasar Hukum : Kitab Undang –


APH Prosedur Undang Hukum Acara Pidana
Polisi Pengaduan, KUHAP
penyelidikan, • Ketentuan proses peradilan
penyidikan
Jaksa Penyidikan
dalam regulasi perundang-
undangan yang baru.
Hakim Peradilan
Tantangan dan Peluang pada Instrumen
Hukum: Komponen Kultur Hukum
• C. Problematik (tantangan) pada Kultur atau Budaya Hukum.
• Menurut Friedman budaya hukum ada dua macam, yaitu budaya hukum eksternal
yang melibatkan masyarakat luas secara umum, dan budaya hukum internal yaitu
budaya yang dikembangkan oleh para penegak hukum. Keduanya saling
mempengaruhi. Jika masyarakat tidak terbiasa memberi suap maka apparat
penegak hukum juga tidak akan terbiasa meminta suap. Pada sisi sebaliknya, jika
aparat penegak hukum terbiasa menolak suap, maka masyarakat juga tidak akan
berani memulai berinisiatif memberi suap. Jika budaya hukum eksternal sehat
maka budaya hukum ibternal juga akan sehat.
• Aparat penegak hukum adalah produk dari masyarakatnya sendiri.
• Fakta di lapang menunjukkan budaya hukum yang sangat tidak sehat, sehingga
budaya hukum aparat penegak hukum juga tidak sehat.
Tantangan harus menjadi peluang (3)
• Tantangan tidak sehatnya Aparat Penegak Hukum dewasa ini makin mencolok: oknum Polisi, kasus Jaksa
Pinangki, Kasus Hakim menerima suap, masih banyak diberitakan di media masa dan maupun medsos.
• Peluang kita rasanya sangat kecil, namun kita harus mencoba dan mengadvokasi masyarakat untuk
menumbuhkan budaya hukum yang sehat. Kita mulai dari kita dan mengajak teman-teman kita.
• Mulai dari tingkat pengaduan di UPPA Kepolisian setempat, kita sebagai relawan pendamping harus
sudah mulai sinergi dan kolaborasi dengan berbagai pihak, a.l. yaitu: PPT; P2TP2A; WCC; LBH; Ormas
Perempuan (Fatayat/Muslimat; Aisyiah dll.) dengan anggota DPRRI/DPRD yang peduli dengan
perempuan dan anak korban kekerasan; untuk mengawal Perempuan dan Anak korban kekerasan dan
keluarganya. Juga berlanjut ke Kejaksaan dan Pengadilan.
• Sebagai relawan pendamping kita harus banyak membaca perundang-undangan, banyak mengikuti hasil
maupun kasus yang di persidangan sehingga memiliki banyak pengalaman.
• Membangun jaringan ke public apabila mengalamikejanggalan-kejanggalan, sehingga dapat bertanya
kepada APH atau berkonsultasi dengan Akademisi, dan Profesional dan wartawan, agar mendapat
pencerahan dan dukungan yang mungkin kita perlukan.
Kultur/Budaya Hukum

Kultur Hukum

Intern Ektern
Kultur APH Kultur
Masyarakat
Medikolegal
• Medikolegal adalah ilmu terapan yang memiliki dua aspek, yaitu kedokteran dan ilmu hukum.
Tim Dokter indepanden tidak bisa dipanggil untuk mengevaluasi klaim, cedera, riwayat medis
dan protocol Riwayat pasien. Dari sana, para ahli media memberikan laporan berdasarkan
fakta tentang penyebab dan tingkat keparahan cedera seseorang serta efek jangka pendek
dan jangka Panjang dari cedera tersebut pada kehidupan orang tersebut ke depannya.
• Pada kasus KS/KBG/KBGO maka pada proses peradilan untuk mengetahui penyebab dan
tingkat keparahan cedera pada perempuan korban KS, Hakim memerlukan Visum et
Rapertum (Dokter Umum dan/atau Spesialis Kandungan) dan Visum et Repertum Psikiatrikum
(Psikiatri/Dokter Spesialis Kejiwaan) dari dokter-dokter independen tersebut. Visum-visum
tersebut dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan untuk meyakinkan Hakim tentang
kekerasan/kejahatan seksual yang terjadi. Permintaan untuk melakukan VeR dan VeRP harus
dari Penyidik Kepolisian dimana perempuan korban KS mengadukan kasusnya. Hasil VeR dan
VeRP juga diserahkan Dokter/RS kepada pihak Penyidik Kepolisian setempat.
Medikolegal
Struktur Ilmu
Hukum Mediko Kedokteran
legal
Psikososial
• Perempuan dan anak korban KS biasanya mengalami kebingungan, ketakutan, takut dimarahi orang tua, malu
dengan teman, marah kepada pelaku namun tak berdaya, menyalahkan diri sendiri, putus asa, stress maupun
depresi bahkan ada pula yang berfikir dan ada yang mencoba bunuh diri. Kondisi semacam ini seringkali
dialami sendiri, dan hanya sedikit korban yang kemudian mencari orang yang dipercaya untuk bercerita atau
mencari Lembaga yang dapat membantu mengatasi kesulitannya. Kalau tidak segera mendapat dampingan,
perempuan dan anak korban KS dapat mengalami perubahan akibat KS tersebut yang dapat meliputi
perubahan cara berpikir (kognitif), cara mengekspreikan perasaan (emosional) dan cara berinteraksi dengan
orang lain di sekitarnya (social). Kondisi semacam ini menurut ilmu psikologi sangat mirip seperti tanda-
tanda Orang Dengan Skisofrenia (ODS) yang memerlukan pemulihan yang bersifat psikososial yang terdiri
atas remediasi kognitif dan psikoedukasi.
• Perempuan dan anak korban KS, memerlukan tahapan dan upaya pemulihan trauma untuk pulih dari dampak
KS yang dialaminya.
• Mitos dan stigma masyarakat, menjadi budaya hukum eksternal yang juga berpengaruh terhadap budaya
hukum internal pada perempuan dan anak korban KS.
• Hal-hal semacam ini perlu diketahui oleh Aparat Penegak Hukum sebagai pihak yang akan menciptakan
budaya internal yang sangat berpengaruh terhadap pemulihan korban.
Psikososial

Psiko
Kultur Sosial
Hukum Psikologi
Instrumen Terpadu Perempuan Korban KS
• Apabila kita “jumlahkan” maka Instrumen Terpadu menjadi
konsekwensi logis yang harus merupakan tindak lanjut dari kebijakan
Layanan Terpadu dalam SK Bersama Tiga Menteri: Meneg PPPA
(sekarang MenPPPA), Menkes dan Mensos Bersama Kapolri pada tahun
2002.
• Sinergi kolaborasi tidak terbatas pada keterpaduan jenis layanan dan
jenis instrument yang digunakan untuk penangnan perempuan dan
anak korban KS/KBG/KBGO, namun juga untuk mengembangkan
budaya hukum internak dan eksternal yang sehat, untuk mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender sebagaimana diamanatkan oleh Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan atau SDG`s.
Instrumen Terpadu untuk Layanan Terpadu
Ilmu
Struktur Kedokteran
Hukum
Mediko Mempertanggung
legal Mendapat
jawabkan KS
Keadilan,
Sesuai vonis
Pemulihan dan
hakim
Substansi
Hukum

Restitusi (Korban
Trafiking) Dan Jera
Psiko
Melakukan KS lagi
Kultur Sosial
Hukum Psikologi
Rekomendasi
• SETIAP MANUSIA DILAHIRKAN MERDEKA, MEMILIKI HARKAT DAN
MARTABAT, AKAL BUDI DAN BUDI NURANI YANG SAMA

SEBAGAI BANGSA YANG BERFALSAFAH PANCASILA DAN BERDASAR UUD


1945, MENYATAKAN BAHWA KS/KBG/KBGO ADALAH KEJAHATAN
KEMANUSIAN, YANG HARUS DIHENTIKAN DI BUMI INDONESIA

SELAMAT BERJUANG SEMOGA KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER


TERWUJUD DI NUSANTARA TERCINTA

Anda mungkin juga menyukai