Anda di halaman 1dari 13

Zulfiqar Bhisma Putra Rozi, ‘PERKEMBANGAN DELIK ZINA DALAM

YURISPRUDENSI HUKUM PIDANA’ [2019] FH UB 286


“Yurisprudensi tersebut di tiap-tiap daerahnya berbeda, sebab putusan-putusan
hakim mengacu kepada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat pada saat itu.
Nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tiap daerah tentunya tidak sama sehingga
menghasilkan putusan pengadilan yang berbeda-beda”. Pp.3

Dasarnya ialah kepada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun


2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”1 Pp.4

Putusan Mahkamah Agung No. 195/K/Kr/1979 tertanggal 19 Oktober 1979,


terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana adat bali yaitu Lokika
Sanggraha menghamili wanita yang bukan istrinya dan tidak bersedia
mengawininya.

Serta, Putusan PN Gianyar No. 23/Pid/Sum/1976 jo putusan PT Denpasar No.


14/Ptd/1977 jo putusan MA No. 195K/Kr/1978 dimana pria yang melakukan
Lokika Sanggraha diberikan sanksi karena pelakuan kesusilannya merupakan
kelakuan yang tidak patut untuk dilakukan dan harus diberi sanksi, sekalipun
KUHP tidak mengaturnya.

Criminal policy (politik criminal) adalah tindakan dari badan-badan resmi, yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma pokok dari Masyarakat.

KUHP Indonesia yang berlaku adalah warisan dari WvS Belanda yang mana
didalamnya memuat nilai-nilai yang dianut budaya bangsa Belanda.
Dan sebagaimana yang diketahui masyarakat pada umunya, di Belanda
hubungan hukum dengan standar moral dapat dikatakan agak renggang, sehingga
penetapan tindak pidana kesusilaan tidak didasarkan pada perbuatan yang
dilakukan, melainkan didasarkan kepada akibat dari perbuatan yang dilakukan.
Pp292

Untuk sang legislator:

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya


merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)dan
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir dari kebijakan kriminal ialah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan Masyarakat. Pp293

1
Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009
Nilai-nilai yang ada pada masyarakat tersebut adalah salah satu faktor
pembentuk hukum, karena salah satu dari sumber hukum materiil adalah yang
bersumber dari perasaan hukum Masyarakat Pp294

FORNICATION VS ZINA

Perbuatan zina dengan kategori ini (sama-sama lajang) yang mana bukanlah
zina sebagaimana yang ada di dalam Pasal 284 KUHP berdampak negatif,
karena para pelakunya menjadi tidak menghormati nilai-nilai yang ada pada
perkawinan Pp294

KONSEP VOLKGEIST DAN LEGAL PLURALISM

Hukum adalah bagian dari kehidupan masyarakat sosial, karena hukum harus
memperhatikan aspek-aspek kehidupan, antara lain Politik, Ekonomi, Sosial,
Budaya, Religi. Hukum itu merupakan fenomena dalam kehidupan manusia. Aliran
ini mempercayai adanya nilai-nilai dalam masyarakat yang tidak bisa diabaikan dan
hukum wajib mencerminkan jiwa bangsa atau Volkgeist. Hukum tidak bisa
lepas kaitannya dengan masyarakat. Hukum harus berkembang dan tidak
boleh statis Pp297

INDONESIA VS NEGARA BARAT

Indonesia adalah Negara dengan adat ketimurannya yang kental, dan Indonesia
tidak bisa dipersamakan dengan Negara-negara Eropa lainnya yang mana
memang melegalkan perbuatan tersebut, karena di Negara Eropa perbuatan
tersebut dianggap sebagai perbuatan yang tidak ada korban (persetubuhan
dengan status lajang) dan juga bukan merupakan suatu kejahatan.Daftar
PustakaBuku:Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta,
2013.Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2005. Pp300

L.S. Widayati , ‘Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi


Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta’ [2009] JURNAL
HUKUM No. 3 Vol. 16 July 311
“Sexual intercourse between men and women out of marital relationship indicates
the current crisis of morality among people”, “the effort to overcome such deviation
through criminalization policy cannot be delayed any longer” Pp.311

“Pasal 284 KUHP, baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan
peluang kepada persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan perempuan yang
masingmasing tidak terikat pernikahan dengan orang lain. Ketentuan tersebut, oleh
sebagian masyarakat dinilai bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat istiadat,
dan kesusilaan.” Pp.312

“Rumusan pasal 284 KUHP… Revisi terhadap pasal perzinaan tersebut, terutama
mengenai pelaku perzinaan atau dengan kata lain kriminalisasi terhadap kegiatan
seks (hubungan seks) yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masing-
masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain, menjadi bahan
perdebatan antara pihak yang pro dan yang kontra.” Pp.312

Mahkamah Konstitusi. 2017. Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor.


46/PUU-XIV/2016. Jakarta.
MAHKAMAH KONSTITUSI JUDGEMENT REGARDING THE EXPANSION OF
ARTICLE 284

“Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”

MAHKAMAH KONSTITUSI DISSENTING OPINION

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dapat
dipahami bahwa Negara Indonesia merupakan “negara hukum yang berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa yang senantiasa menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya, serta mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang”.
Konsepsi ini menegaskan bahwa peraturan perundangundangan di Indonesia harus
senantiasa sejalan dan sama sekali tidak boleh bertentangan dengan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai agama serta living law yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Pp. 455

TENTANG ZINA

Bahwa dalam buku berjudul “Perzinaan” tulisan Dr. Neng Djubaedah, menyatakan
bahwasanya konsep zina yang dianut dalam KUHP merupakan cara pandang dan
cara pikir orang barat (Belanda), maka hal demikian akan sangat berbeda dengan
cara pandang orang Islam (dan budaya Timur) yang mendasarkan pemikirannya dan
pandangannya kepada hukum Islam. Penjajah Belanda, selalu berusaha tidak
memberlakukan hukum Islam melalui teori receptie, teori belah bambu, dengan
menganakemaskan hukum (pidana) Adat dan menyingkirkan atau menghapuskan
hukum (pidana Islam). Pp. 34

HAK NORMATIF ANAK DAN EFEKTIVITAS KRIMINALISASI ‘criminalization


policy’
Perluasan cakupan zina, dalam pandangan kami akan mengancam perlindungan
normatif anak karena berpotensi mengkriminalisasi anak yang tertatar aktivitas
seksual. Peningkatan jumlah anak tertatar seksual yang oleh banyak orang tua
dianggap itu sex bebas di kalangan anak adalah gejala kegagalan sistemik
pendidikan nasional, dalam ruang formal maupun informal. Kegagalan ini tidak boleh
dibebani di pundak anak, melainkan menjadi tanggung jawab orang dewasa
khususnya pendidik dan pemuka agama. Dalam konteks ini pula mungkin kita
penting merefleksikan kembali tujuan dan efektivitas hukum. Pp. 168

EFEK SOSIALISASI DAN IMPLIMENTASI HUKUM DALAM KONTEKS SOSIAL

Pencampuradukkan ini akan berpotensi juga mengkriminalkan anak-anak


perempuan yang sudah menjadi korban eksploitasi seksual karena kondisi
kemiskinannya. Permohonan mengubah zina menjadi delik biasa dan bukan delik
aduan, dalam pandangan kami juga bertentangan dengan tujuan untuk menjaga
institusi perkawinan dan ketahanan keluarga. Tidak jarang perempuan memutuskan
untuk tidak melaporkan zina yang dilakukan oleh suaminya, atau sebaliknya karena
mereka tidak mau perkawinannya terhenti dan juga tidak mau anak-anaknya
mengetahui apa yang terjadi, apalagi kemudian menanggung stigma sebagai anak
narapidana akibat zina, jadi ini yang mungkin kita perlu juga memikirkannya
bersama ke depan. Pp. 169

National Commision on Violence Against Women, ‘Pandangan Komnas


Perempuan Atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-XIV/2016’ (2017) <https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-
detail/pandangan-komnas-perempuan-atas-putusan-mahkamah-
konstitusi-nomor-46-puu-xiv-2016> accessed 13 November 2023
OFFICIAL LINE OF THE NATCOM

“Komnas Perempuan sebagai salah satu Pihak Terkait dalam Permohonan Uji Materi
mengapresiasi Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut”

NATCOM APPRECIATION OF MK’S CRIMINALIZATION POLICY

Putusan Mahkamah Konstitusi telah mencegah potensi terjadinya kriminalisasi


terhadap orang-orang yang karena satu dan lain hal perkawinannya tidak bisa
dicatatkan (baik karena aksesnya terhadap pencatatan perkawinan yang sulit,
maupun karena perkawinannya tidak akui oleh negara), anak/remaja yang terpapar
aktifitas seksual karena kelemahan sistem pendidikan, dan utamanya adalah
perempuan korban kekerasan seksual.
NATOM APPRECIATION OF MK AS CONSTITUTIONAL UPHOLDER

Dalam pandangan Komnas Perempuan Mahkamah Konstitusi telah memainkan


perannya dalam memberikan komitmen tanggung jawab perlindungan bagi jaminan
hak-konstitusional warga negara, dan seyogyanya hal tersebut juga menjadi
komitmen para penyelenggara negara. Saat ini Rancangan Perubahan KUHP
sedang di susun oleh Pemerintah dan DPR RI, termasuk terhadap pasal-pasal yang
terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ini. Untuk itu Komnas Perempuan
mengingatkan Pemerintah dan DPR RI agar perubahan pasal-pasal yang terkait
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat mengikuti kaidah-kaidah hukum
yang telah disarankan Mahkamah Konstitusi.

Rossa Ilma Silfiah, ‘KONTRIBUSI HUKUM ISLAM DALAM


MEMBANGUN HUKUM NASIONAL BERWAWASAN MULTIKULTURAL’
[2020] ARENA HUKUM Vol. 3 No. 1 77
Kepatuhan masyarakat kepada hukum agama sangat mendominasi tata kehidupan
individu maupun sosial, sehingga keberadaan hukum agama telah membaur, terjadi
akulturasi secara antropologis dengan budaya yang berkembang di masyarakat adat
Pp.78

Perkembangan masyarakat yang semakin maju dengan berbagai kecanggihan


teknologi telah mengubah tujuan dan fungsi hukum menjadi alat yang merekayasa
kehidupan sosial (law as a tool of social engineering) dengan maksud untuk
mencapai kondisi sosial yang kondusif. Pp.79

Indonesia memperjuangkan Ideologi Pancasila untuk dijadikan ground norm yang


selalu melandasi terbentuknya peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pancasila sebagai ideologi bangsa, menjadikan Tuhan Yang Maha Esa sebagai spirit
dalam berbangsa dan bernegara. Pp.79

Masuknya agama Islam (yang mengandung ajaran tentang hukum) ke Indonesia


sangat berpengaruh terhadap kesadaran hukum masyarakat adat. Pp.79

MY OWN ANALYSIS BELOW!! This is connected to, but not sourced from
Silfiah

the Islamist agenda can be justified through Eugene Ehrlich’s living law theory.
Ehrlich theorizes that laws are not made but rather grows organically from societal
customs and should therefore reflect the real needs and ideals of the people. This is
especially relevant in Indonesia, where Muslims are the super-majority, whose
custom laws are recognized by Article 18B of the constitution. Through this article,
customary laws (i.e. ‘peraturan daerah’) legally exist through the system of
federalization. This enables state legislatures to pass syariah laws, so far as the
constitution remits (e.g. a law in Padang mandating Muslim dress code in schools)2.
Furthermore, autonomous regions such as Banda Aceh have recognized
jurisprudence to implement full syariah law3. According to Jawahir Thontow, the legal
and empirical realities of the 1945 constitution advocates not only for the existence
but expansion of syariah law in the Republic of Indonesia4. Thence, there is a
theoretical basis to argue that syariah law should be codified by the creation of
offences in the penal code.

bagaimana konstitusi mengatur pluralitas hukum di Indonesia; how the


constitution balances and remits legal plurality in Indonesia

There are three types of laws in Indonesia: customary law, Islamic law and Dutch
civil law.

Ketiga sistem hukum tersebut, dalam pengertiannya yang dinamis akan menjadi
bahan baku bagi terbentuknya sistem hukum di Indonesia, sehingga sistem hukum
nasional yang dicita-citakan bangsa Indonesia akan sesuai dengan jiwa bangsa
(volkgeist) Indonesia yaitu Pancasila Pp.82

Discrepancies between customary law and islamic law: Di Aceh, Jambi,


Minangkabau, Riau, Bengkulu, Palembang, dan Lampung ada kepercayaan bahwa
adat akan bisa dilaksanakan secara aman kalau tata cara dan tujuan adat tersebut
dilindungi dan tidak bertentangan dengan agama Islam Pp.82

Nabi Muhammad SAW acapkali menetapkan adat-adat Arab yang sudah


berkembang secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Penetapan ini dalam
hadith disebut dengan sunnah taqririyah. Artinya, selama tidak bertentangan
dengan syari’at Islam, Nabi SAW lebih mengakomodasi ‘urf yang ada di Arab. Akan
tetapi, tidak semua ‘urf ini seketika dapat diterima atau dihapuskan. ‘Urf sebagai
salah satu sumber hukum Islam juga disebut adat. Menurut istilah ushul, ‘urf adalah
kebiasaan mayoritas orang dalam kata kata dan perbuatan. Pp.87

Rationale behind Islamic law: Keberlakuan secara sosiologis, yakni apabila


kaidah-kaidah hukum tersebut benar-benar diterima oleh masyarakat, sebagaimana
teori Anerkennungs-theorie, yang beranggapan bahwa sesuatu itu disebut hukum
bukan karena telah diundangkan secara resmi, tetapi karena memang senyatanya
diakui berlaku oleh warga masyarakat (faktisitas hukum). Ini sejalan dengan teori
Receptie yang dikembangkan oleh Snouck Horgronje. Pp86

See: Anne Griffith, ‘The Commission on Folk Law and Legal Pluralism’

Legal pluralism and culture

2
Kabupaten Padang Paraiman. 2005. Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-III/2005
3
Jawahir Thontowi, ‘Hak Konstitusional Perda Syariat Islam’ (2006) XVI Edn. JSYH 220, 225-227
4
Jawahir Thontowi, ‘Hak Konstitusional Perda Syariat Islam’ (2006) XVI Edn. JSYH 220, 225-227
Iklim intelektual suatu komunitas antara lain terwujud melalui bahasa yang
digunakan. Dari sinilah bahasa muncul sebagai faktor penting dalam berhukum.
Sudah seharusnya orang memerhatikan kaitan penting antara bahasa dan hukum
dalam suatu komunitas hukum tertentu. Misalnya, bahasa Inggris dan common law
Inggris memiliki keterkaitan yang kuat (the common law and the english languange
have a strong affinity for each other). Pp89

Pemberlakuan hukum barat dirasa sangat sulit untuk diterapkan menjadi hukum
nasional, karena memang hukum Eropa berlatar belakang budaya yang sangat
berbeda dengan budaya bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia menyadari betapa
pentingnya membangun sistem hukum dengan modal sosial dan kultural yang
dimiliki bangsa sendiri. Pp90

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 vis-à-vis legal pluralism

Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 semakin rinci lagi menegaskan, bahwa negara
melindungi dan menjamin kebebasan menjalankan agama dan beribadah sesuai
dengan ajaran agamanya masing-masing. Pasal ini yang kemudian menjadi dasar
bagi Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang memberi kekuasaan kepada hakim sebagai organ
pengadilan untuk tidak menolak mengadili perkara apabila tidak tercantum ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan. Hakim wajib mencari aturan hukum tidak
tertulis dan keputusan tersebut harus dapat dipertanggujawabkan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, untuk diri sendiri, juga untuk masyarakat bangsa maupun negara.
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tersebut merupakan pernyataan konstitusi langsung
yang memberikan kebebasan menjalankan agama bagi setiap pemeluknya,
sekaligus menaati hukum agamanya masing-masing.

Article 18B Clause 2 of the 1945 Constitution

Konstitusi menyebutkan secara eksplisit bahwa keberadaan hukum adat, juga telah
dilindungi dan dihormati keberadaannya, sebagaimana disebutkan pada Pasal 18B
Ayat 2 UUD 1945. Pp.94

MD Wangsa, ‘URGENSI PERUBAHAN SIFAT TINDAK PIDANA


PERZINAAN DI INDONESIA DARI TINDAK PIDANA ADUAN MENJADI
TINDAK PIDANA BIASA’ FH UWG 23, 26-27
AUTHOR’S ABSTRACT

“ [The] Criminal Code is the Dutch legal product based on the individualism and
liberalism values which are contrary to the laws and cultures of Indonesian people”,
“the necessity of changing the characteristics of adultery criminal act in the Indonesia
Criminal Code into ordinary criminal act [instead of a special offence]” pp23

ARTICLE 284 AS A SPECIAL OFFENCE (DELICT)

Untuk tindak pidana perzinaan ini KUHP menempatkannya sebagai tindak pidana
aduan (delik aduan). Pengaturan ini membuka ruang dan kesempatan yang seluas-
luasnya bagi merebaknya tindak pidana perzinaan dalam berbagai bentuk dan
variasinya

IUS CONSTITUENDUM

tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 284 tersebut ideal sebagai sebuah produk
hukum yang menjamin tegaknya keamanan dan ketentraman dalam kehidupan
masyarakat sebagaimana tujuan hukum yang di cita-citakan (ius constituendum).
Pp.24

TENTANG SKENARIO HUKUM DELIK ADUAN ABSOLUT VS DELIK BIASA

Ketiga kasus yang telah diputus diatas merupakan kasus tindak pidana perzinaan
yang diadukan oleh suami/istri nya masing-masing, apabila perbuatan tersebut tidak
diadukan meskipun secara jelas perbuatan tersebut memenuhi unsur tindak pidana
perzinaan maka pelaku zina tersebut tidak dapat diproses secara hukum. Artinya
apabila tindak pidana perzinaan yang berlaku sekarang ataupun yang sedang dalam
rancangan masih menggunakan delik aduan, maka perbuatan zina masih akan terus
terjadi. Pp.25

TENTANG INCEST (DILUAR JANGKAUAN PASAL 284)

Laki-laki dan perempuan yang mengadakan hubungan setubuh sama-sama belum


menikah, suka sama suka, tetapi pada dasarnya hubungan setubuh itu sangat
terlarang oleh karena terdapat ketentuan pelarangan perkawinan sedarah (incest),
misalnya hubungan setubuh antara saudara sekandung, antara ibu dan anak, antara
anak dan bapak; Pp.25

PANDANGAN MASYARAKAT
Masyarakat memandang semua jenis perbuatan zina, baik yang terikat ataupun
yang tidak terikat dengan perkawinan, apalagi perzinaan yang terjadi karena adanya
larangan perkawinan sedarah semuanya adalah kejahatan (rech delicten); Pp.25

pengertian kejahatan menurut hukum pidana berbeda dengan pengertian kejahatan


menurut masyarakat. Pp.26

KASUS ARIEL NOAH

kasus video porno Ariel-Cut Tari yang tidak diproses karena perzinaannya, tetapi
Ariel diputus dengan Pasal Pornografi dan UU ITE.

RESPONSIBILITY OF THE LEGISLATURE VIS-À-VIS PENAL POLICY

pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal


(criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana sehingga termasuk
bagian dari kebijakan hukum pidana (penal policy). Pp.27

CELAH/LOOPHOLES IN ARTICLE 284 vis-à-vis SOCIAL ENGINEERING

Selain karena masuknya budaya luar, ada faktor lain yang membuat masyarakat
banyak melakukan perbuatan terlarang seperti berhubungan badan yang bukan
muhrimnya (zina). Faktor tersebut ialah tidak adanya aturan hukum yang pasti
terhadap pelaku zina, hal tersebut tercermin dalam Pasal 284 KUHP tentang zina.
Dimana pasal tersebut terdapat celah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk dapat menghindari sanksi atau hukuman pidana Pp.27

ARTICLE 284 AND LEGAL POSITIVISM ACCORDING TO ISLAMIC VIEW

Tidak ada satu agamapun (agama samawi) yang membolehkan perbuatan zina.
Dalam islam zina merupakan perbuatan yang tercela yang dilarang oleh Allah.
Sebagai negara yang mayoritas islam dan berdasarkan ketentuan konstitusi yakni
Pancasila sila pertama berbunyi ketuhanan yang maha esa. Maka sejatinya hukum
positif kita harus mempertimbangkan agama dan Pancasila sebagai dasar
pembentukannya. Pp.28

ASAS-ASAS UU BARU (lawmaking guidelines)

Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan (P3) mengandung asas-asas, yaitu asas pengayoman, asas
kemanusiaan, asas kebangsaan, asas kekeluargaan, asas kenusantaraan, asas
bhinneka tunggal ika, asas keadilan, asas kesamaan kedudukan dan pemerintahan,
asas ketertiban dan kepastian hukum, asas keseimbangan, keserasian dan
keselarasan. Pp.32

Muhammad Rizal , Sapto Hermawan, Farchana Haryumeinanda and


Yella H.C. Oktiviasti, ‘Constitutionality of Indigenous Law Communities in
the Perspective of Sociological Jurisprudence Theory’ (2022) JURNAL
JURISPRUDENCE Vol. 11 No. 2 286, 288-290
“Eugen Ehrlich (1862-1922) was an Austrian leader in the sociological jurisprudence
school, he presented the concept of living law and did not necessarily reject the
presence of state law (Susilowati, 2000). According to Eugen Ehrlich, positive law
will have efficient force if it contains the rules that live in society. The main source
and form of law is custom (Shomad & Thalib, 2020). The gravity of the law is not
found in the law itself, but grows in society.” Pp.288

Eugen Ehrlich's Sociological Jurisprudence teaching begins with the rule of law from
custom or custom very much agrees with Savigny. Friedrizh Carl Von Savigny, the
main thinker of the history of law who is known for the concept of the soul
of the nation (volksgeist) as a source of law, according to him, law is not made but
law lives and develops with society. Savigny urges that the law is in accordance with
the history of its development, attached to the social life of the community, such as
the language used, the applicable manners, and so on. The existence of each law is
different in both the place and time of its enactment; the law must be seen as the
embodiment of the soul of a nation. Pp.288

INDIGENOUS LAW RECOGNITION AFTER SUHARTO’S NEW ORDER:


DECENTRALIZATION OF GOVERNMENT IN THE REFORMATION ERA

The issue of injustice to indigenous peoples is still common today. Judging from
history, the existence of indigenous peoples during the New Order (1966-1998) was
not recognized, let alone their rights. The government’s policy at that time neglected
the rights of indigenous peoples over their natural resources and territories. After
that, during the Reformation period with the second phase of the amendment to the
1945 Constitution of the Republic of Indonesia, indigenous peoples had begun to be
recognized in the constitution, which stated: Muhammad Rizal, et.al 289 “The state
recognizes and respects customary law community units and their traditional rights
as long as they are still alive and in accordance with the development of society and
the principles of the Unitary State of the Republic of Indonesia, which are regulated
by law.”
“The state recognizes and respects customary law community units and their
traditional rights as long as they are still alive and in accordance with the
development of society and the principles of the Unitary State of the Republic of
Indonesia, which are regulated by law.”

Supported in several policies under it such as Law no. 32 of 2009 concerning


Environmental Protection and Management, and several laws related to the field of
natural resources, such as Law No. 19 of 2004 concerning Amendments to Law no.
41 of 1999 concerning Forestry and Law no. 18 of 2004 concerning Plantations
Pp.288

SEE ALSO: UU No. 18 Tahun 2001 (Otonomi Daerah Istimewa Aceh)

EUGENE EHRLIC VIS-À-VIS INVISIBLE PROPERTY RIGHTS


The importance of policies to protect indigenous peoples and customary law. Some
of the policy principles regarding indigenous peoples’ rights are Public Land, Public
Forest, Private Land, and Private Forest. This principle is the basis for the policy on
the rights of indigenous peoples between granting rights and recognizing rights, This
principle embodies the principles for the policy of indigenous peoples’ rights to land,
natural resources, including other invisible property rights of indigenous peoples
(Sugiswati, 2012). These principles need to be clarified so that policies do not
overlap which result in cases of unilateral taking of confiscation of customary
lands, territories, water, and other natural resources. In addition to protecting, local
wisdom and diversity are constructed with policy norms related to the existence of
indigenous peoples in the region. Policies that refer to norms that are pro to
customary law communities, pro to justice and pro to local wisdom. Ehrlich
emphasized the consideration of the diversity of social institutions with coercive
normative power. His views are extremely useful and reflect the growing interaction
between legal and social institutions (Sugiswati, 2012). The law must aim to create
maximum suitability and harmony to meet the needs and interests of the community.
Pp.289

THE WEAKNESS OF THE JUDICIARY AND THE NEED TO REINFORCE THE


JUDICIARY WITH TOOLS FROM THE CONSTITUTION

Borrowing Hamilto’s opinion (Laksono et al., 2016), The judiciary is a branch of


power that is (functionally) the weakest and most vulnerable, even to be able to
execute a decision, the judiciary must be supported and assisted by other branches
of power, namely: executive and legislative powers, because the executive has a tool
in the form of a sword (weapon), while the legislature determines the budgeting/state
finances. This is on the contrary, with the judicial branch only authorized at the level
of deciding cases. Pp.292-293

Syahrul, Mukhtaruddin ‘STUDI KOMPARATIF TINDAK PIDANA


PERZINAHAN DALAM QANUN ACEH DAN KUH PIDANA DI
INDONESIA’ [2022] Indonesian Journal of Multidisciplinary Islamic
Studies Vol. 4 No. 2 95,
PENALTY OF ZINA VIA QANUN
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat pelaku
zina dijatuhkan ‘Uqubat Hudud cambuk seratus kali bagi pezina yang sudah
menikah (muhsan) dan belum menikah (ghairu muhsan).

PASAL 18 AYAT 6 UUD ttg PERDA dan otonomi daerah


Provinsi Aceh merupakan salah satu bagian dari NKRI yang diberi otonomi
daerah oleh pemerintah pusat dengan sebutan Daerah Istimewa Aceh melalui
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kemudian ditegaskan lagi melalui UU No. 18 Tahun
2001 (Otonomi Daerah Istimewa Aceh) dan disimpulkan dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang mendirikan Qanun Jinayat.
Pp.96

Qanun Jinayat didasarkan pada hudud yaitu hukuman yang telah ditentukan bentuk
dan tingkatannya oleh Allah SWT Pp.98

DUALISME HUKUM DAN RANAH KUHP DAN QANUN JINAYAT

Dualisme hukum menjadikan Aceh sebagai provinsi yang menjalankan dua sistem
hukum pidana yaitu Qanun Aceh dan KUHPidana secara legal dan sah.Kedua
sistem hukum ini tentunya memiliki ranah masing-masing. Namun, dalam
pelaksanaannya terdapat benturan dalam proses penyelesaian hukum. Misalnya,
pada ranah Qanun Jinayatdan KUHPidana dalam kasus perzinahan yang kerap
terjadi di kalangan masyarakat Aceh saat ini.Larangan zina di Indonesia hanya
berlaku bagi pasangan yang salah satu atau keduanya terikat dalam sebuah
pernikahan.Hukum pidana yang tertuang dalam KUH Pidana tidak melarang adanya
perzinahan yang terjadi pada orang yang berlawanan jenis dan tidak terikat dalam
suatu pernikahan.Tindak pidana perzinahan tergolong ke dalam delik aduan yang
hanya dapat diproses apabila ada pihak yang mengadukan kasus tersebut
(Merpaung, 1996: 43). Sedangkan di dalam Qanun Jinayattidak dikenal istilah aduan
dalam jarimah zina.Siapapun yang melakukan zina, maka tetap harus dihukum
sesuai dengan ketentuan syari’at Islam walaupun tidak diawali dengan unsur aduan.
Pp.97

Perbedaan ini menyebabkan ketidakcocokan di satu sisi, tetapi juga menjadi pengisi
bagi kekosongan hukum pidana nasional di sisi yang lain Pp.98

ZINA IN ISLAMIC LAW

Zina secara etimologi berasal dari kata zina-yazni-zinan yang artinya berbuat
zina, pelacuran dan perbuatan terlarang.Secara harfiah zina berarti fahisyah yaitu
perbuatan keji atau dalam bahasa Belanda disebut dengan overspel.Zina secara
terminologi adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya
ikatan perkawinan yang sah, serta dilakukan dengan sadar tanpa adanya unsur
syubhat Pp.99
HUKUM JINAYAT

Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat Pada Qanun Aceh Nomor
6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat pasal 33 ayat (1-3) telah jelas ditegaskan
bahwa setiap orang yang sengaja melakukan jarimah zina, diancam dengan ‘Uqubat
Hudud cambuk 100 kali. Pp.106

Anda mungkin juga menyukai