Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Mahaesa.1 Adapun ikatan lahir batin yang di maksud ialah adanya rasa saling
cinta diantara pasangan yang akan melangsungkan perkawinan. Dalam pasal 6 ayat l Undang-
Undang Nomor l tahun l974 menyebutkan bahwa perkawinan di dasarkan atas persetujuan kedua
mempelai.2 Artinya bahwa perkawinan tidak boleh dilangsungkan secara paksa oleh pihak
manapun karena perkawinan merupakan sesuatu yang sakral. Kawin paksa merupakan sebuah
tindakan kekerasan terhadap perempuan yang mengatasnamakan tradisi dan tindakan ini tidak
dapat dibenarkan dan bertentangan dengan hukum (Unlawfull). Tradisi pemaksaan perkawinan
atau yang biasa di sebut kawin paksa ini hampir terjadi diseluruh belahan dunia tanpa terkecuali
negara Indonesia. Bagian dari wilayah Indonesia yang masih mempertahankan tradisi
perkawinan paksa yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya di Desa Dameka, Sumba
Tengah, Kecamatan Katiku Tana Selatan.

Salah satu pemaksaan perkawinan atau kawin paksa yang terjadi dan menuai banyak
kecaman yaitu terjadi di Sumba, Nusa Tenggara Timur, dengan beredarnya video pada tanggal 6
desember 2019 menjadi polemik dimasyarakat. Dalam video tersebut memperlihatkan
sekelompok pria memboyong dengan cara memaksa perempuan untuk dikawinkan secara paksa
meskipun ada upaya perlawanan dari perempuan untuk memberontak. Hal tersebut menjadi
tontonan umum dan dianggap sebagai sebuah tradisi masyarakat Sumba. Isu kawin paksa di
Sumba Tengah menarik perhatian banyak media nasional. Bahkan, Kementerian Gender dan
Kesejahteraan Anak telah meminta Polres NTT menangkap pelaku kawin paksa. Artinya,
persoalan kawin paksa merupakan persoalan serius yang memerlukan perhatian masyarakat,
budayawan dan juga aparat setempat. Sementara menurut antropolog dari Universitas Mandira

1
Lihat Pasal 1 Undang-Undang Tomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara No. 1 tahun
1974, Tambahan Lembaran Negara Nomor.3019, LL SETNEG: 26 HLM)
2
Lihat Pasal 6 ayatr 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara No. 1
tahun 1974, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019, LL SETNEG: 26 HLM)
Kupang Pater Gregorius Neibasu, praktek kawin paksa yang terjadi di Sumba Tengah, desa
Dameka hanyalah tindakan pragmatis yang terjadi karena kondisi dan iklim sesaat3.

Di dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada pasal 28G ayat l menyatakan ‘‘setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat untuk atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi4.’’
Unsur pertama dari rumusan pasal 28G ayat 1 konstitusi Negara Republik Indonesia l945
jelas bahwa setiap orang baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak untuk melindungi atau
mendapat perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda yang berada
disetiap orang yang berada di penguasaannya. Artinya bahwa negara memberikan perlindungan
bagi setiap orang tanpa membedakan jenis kelamin atau gender. Unsur kedua dari rumusan pasal
pasal 28G ayat l yaitu berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Dari rumusan kedua pasal 28G ayat 1 konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dengan tegas memberikan penekanan yaitu untuk berbuat atau tidak berbuat sesutatu yang
merupakan hak asasi. Artinya bahwa setiap orang memiliki kehendak bebas (free will) dalam
menentukan jalan hidup masing-masing. Sesuai dengan bunyi pasal 28G ayat 1 konstitusi Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jika dikaitkan dengan pemaksaan perkawinan maka hal tersebut
sangat bertentangan dengan asas kemanusiaan yang berkaitan dengan jenis kelamin. Bunyi pasal
28G ayat l konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun l945 sangat jelas mendukung dan
menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia terlebih khusus terhadap perempuan korban
diskriminasi berbasis budaya yang sudah seharusnya setiap warga negara menyadari bahwa
perbuatan pemaksaan perkawinan bukanlah sebuah tradisi atau budaya melainkan pelanggaran
pada hak asasi manusia berbasis gender.

Pasal 28 G ayat l konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun l945 bahkan menjamin hak
atas rasa aman yang meliputi hak-hak yang dapat dilindungi secara fisik maupu psikologis. Hak
atas perlidungan rasa aman yang di maksud adalah perlindungan diri pribadi, keluarga,

Https:/www.Kompasiana.com/oscarumbu/5efc629ed541df54c661b9f2/Kawin Tangkap dalam Pusaran


Budaya Patriarki, dikunjungi pada 12 november 2020, pukul 10.50 wita.
4
Lihat Pasal 28 G Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Lembaran
Negara Nomor. 14, Tanggal 13-02-2006)
kehormatan, martabat dan hak miliknya termasuk pengakuan didepan hukum sebagai manusia
pribadi. Hak untuk merasa aman dan terlindungi dari ancaman untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu adalah bagian dari hak untuk merasa aman. 5 Pasal 28 G ayat 1 konstitusi
Negara Republik Indonesia Tahun l945 merupakan perwujudan dari konsep negara hukum
menempatkan ide perlindungan hak asasi perempuan sebagai elemen penting. Mengingat urgensi
perlindungan hak asasi manusia, maka seharusnya konstitusi memuat ketentuan hak asasi
manusia bagi negara untuk menjamin hak-hak warga negaranya. Salah satu perubahan penting
dalam revisi konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun l945 adalah pengaturan hak warga
negara yang berkaitan dengan hak dasariahnya agar lebih komprehensif di bandingkan konstitusi
1945 (pra-amandemen) yang mengatur secara umum dan singkat6.

Terkait kasus “kawin paksa”, Komnas Perempuan menyebut bahwa perilaku tersebut
merupakan tindak kekerasan seksual, yaitu kawin paksa. Dalam tindakan kawin paksa, Komnas
Perempuan mengakui bahwa perempuan korban dirampas hak konstitusionalnya, terutama hak
untuk merasa aman dan tidak harus melakukan sesuatu yang merupakan hak dasarnya (pasal
28G, ayat 2 pasal ini). 1) , dalam pasal 10 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa “perkawinan yang sah hanya dapat dilangsungkan dengan
persetujuan sukarela calon suami-istri yang bersangkutan, menurut ketentuan undang-undang” .
Persyaratan tentang kehendak bebas calon pasangan diatur dalam Pasal 6(1) Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

Komitmen negara untuk memastikan bahwa perempuan dapat menikah dengan


persetujuannya juga merupakan bagian dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW), standar yang telah diratifikasi oleh UU No. 7 Tahun 1984.
Sebagai perbuatan melawan hukum, berdasarkan Pasal 332 ayat 2 Di bawah KUHP, pelaku
kawin paksa dapat dihukum hingga 9 tahun penjara. Sedangkan untuk tindak pidana perampasan
kemerdekaan, menurut pasal 333, pembuatnya diancam 12 tahun penjara. Komnas Perempuan

Rhona K.M. Smith, et al., Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 2008, h. 265.
6
Dalam pembahasan UUD 1945, terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya hak-hak warga negara
dimasukkan dalam pasal-pasal UUD. Dalam Rapat BPUPKI terdapat dua kutub yaitu Soepomo-Soekarno
(menolak hak warga negara masuk dalam pasal-pasal UUD). Baca: Saafroedin Bahar, dkk (penyunting)
Risalah Sidang BPUPKI –PPKI, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995 h. 162, 178-181,
193-300.
mengakui bahwa kawin paksa berakar pada diskriminasi gender terhadap perempuan. Dalam
masyarakat patriarkal yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat, persetujuan
perempuan untuk menikah seringkali diabaikan. Perempuan dipandang sebagai objek persaingan,
dimana proses “menangkap” dan “menyelamatkan” merupakan pertarungan simbol-simbol
maskulin di kedua sisi. Seolah-olah seorang perempuan yang tidak dibebaskan tidak memiliki
daya tawar, tetapi harus menikah pada awalnya yang tidak diinginkannya. Situasi ini dapat
membuat perempuan korban terjebak dalam lingkaran kekerasan dalam rumah tangga, baik
secara fisik, psikologis maupun seksual. 7.

2.1 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengambil rumusan masalah yaitu
Bagaimanakah analisis Pasal 28 G ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
Undang-Undang Terkait Lainnya Terhadap Praktek Kawin Paksa di Desa Dameka, Kecamatan
Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.

3.1 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan Pasal 28G ayat 1 UUD 1945
dan undang-undang lain yang terkait dengan praktik kawin paksa di desa Dameka kecamatan
Katiku Tana Selatan, China Sumba. , Nusa Tenggara Timur.

1.4 Kegunaan Dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan manfaat yaitu:

1) Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi mahasiswa ilmu
hukum, akademisi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya yang ingin melakukan
penelitian mengenai kawin paksa di Sumba.
2) Secara praktis, dari hasil Penelitian ini dapat memberikan wawasan bagi masyarakat
Sumba bahwa tradisi kawin paksa merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia
khususnya bagi perempuan yang menjadi korban.

Komnas Perempuan, Hentikan Praktek Kekerasan Terhadap Perempuan Yang Mengatasnamakan


Tradisi, Siaran Pers Komnas Perempuan atas Praktek Kawin Tangkap di Sumba, Jakarta, 24 Juli 2020, h. 1.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Analisis Yuridis
Pengertian analisis secara umum merupakan suatu aktivitas yang terbentuk dari
sekumpulan kegiatan seperti mengumpulkan, membandingkan, memilih sesuatu untuk
diklasifikasikan kembali sesuai ciri tertentu dan selanjutnya dicari keterkaitannya lalu
diinterpretasikan maknanya. Pengertian analisis juga bisa di definisikan sebagai usaha untuk
mengamati sesuatu secara cermat dengan menguraikan bagian-bagian bentuknya atau Menyusun
bagian tersebut untuk dikaji lebih lanjut.8

Sedangkan pengertian analisis seperti yang didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa
Indonesia antara lain seperti berikut.9

a) Penyelidikan pada sebuah kejadian yang sedang terjadi (peristiwa, keadaan, masalah dan
sebagainya)
b) Kegiatan mengumpulkan suatu inti atas berbagai bagiannya dan mengkaji bagian itu
sendiri serta relasi antarbagian dalam mendapatkan pengertian yang benar dan
pemahaman arti secara menyeluruh.
c) Pemecahan permasalahan yang dimulai dengan asumsi akan kebenarannya.
d) Penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya.

Sedangkan pengertian yuridis menurut kamus besar bahasa indonesia menjelaskan


pengertian yuridis adalah menurut hukum dan secara hukum. Dengan demikian pengertian
analisis yuridis adalah sebuah proses mengamati persoalan dan masalah yang terjadi
berdasarkan peraturan hukum atau berdasarkan hukum.

2.2. Undang-undang Terkait Lainnya Dalam Menganalisis Praktek Kawin Paksa di Desa
Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
Adapun Penulis akan menganalisis Kawin Paksa yang terjadi di Desa Dameka, Kecamatan
Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur berdasarkan Pasal 28 G ayat (l)
konstitusi 1945 (UUD 1945), Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
8
R.A Dwi Ayu Puspitasari, Analisa Informasi Akademik (SISFO) dan Jaringan Di Universitas Bina
Darma, Skripsi, Universitas Bina Darma, 19 maret 2023, h. 13.
9
Ibid. h. 15.
Hak Asasi Manusia, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1999 tentang
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau biasa disebut
dengan CEDAW, Pasal 332 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 333
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi antara lain seperti berikut:

a) Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa; setiap orang berhak atas perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.10
b) Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan
bahwa; perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami
dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.11
c) UU l Tahun l974 Tentang perkawinan.12
d) UU Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan atau CEDAW13
e) Pasal 332 ayat (2) KUHP menyatakan bahwa; Dengan hukuman penjara selama-lamanya
Sembilan tahun, Barangsiapa melarikan perempuan dengan tipu muslihat, kekerasan, atau
dengan ancaman kekerasan dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dengan
nikah maupun tidak dengan nikah.14
f) Pasal 333 KUHP menyatakan bahwa; Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum
merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang
demikian, diancam pidana penjara paling lama delapan tahun.15

2.3. Pengertian Hak Asasi Manusia


Ditinjau secara harafiah kata hak artinya wewenang melakukan sesuatu dan tidak
melakukan apa-apa. Sedangkan kata dasar berarti landasan, landasan dan landasan, menjadi
landasan pemikiran dan pendapat. Kata dasar berarti sesuatu yang dasar atau mendasar. Istilah
10
Lihat Pasal 28 G ayat (1) Undang-undang Dasar 1945
11
Lihat Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
12
Lihat Pasal 13 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
13
Lihat pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
14
Lihat pasal 332 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana
15
Lihat pasal 333 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah “Droit de l’homme” dalam bahasa Perancis
atau Human Rights dalam bahasa Inggris yang berarti “hak asasi manusia”. Selain itu, pengertian
teoretis tentang HAM adalah hak-hak yang melekat pada manusia sebagai individu ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa, atau hak-hak dasar sebagai anugerah dari Tuhan. Artinya hak asasi
manusia adalah hak asasi manusia yang sesuai dengan keberadaan manusia dan tidak dapat
dipisahkan dari kodrat manusia karena hak asasi manusia itu mulia dan suci.16

Menurut Burhanuddin Lopa, konsep hak asasi manusia dikutip dalam definisi Jan
Materson, namun ditambah dengan kalimat “tidak dapat hidup sebagai manusia” seharusnya
berarti “tidak mungkin hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab”. Alasan
ditambahkannya istilah tanggung jawab adalah karena selain manusia memiliki hak, manusia
juga harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dilakukannya.17

DefinisiHAM diatur oleh UU HAM No. 39 Tahun 1999 sebagai berikut: Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang berkaitan dengan hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan karunia-Nya yang harus dihormati dan didukung, serta
dinikmati oleh bangsa, hukum, pemerintah dan setiap orang yang dibela demi kehormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia.18

Di bidang hak asasi manusia, ada banyak teori yang dipakai sebagai acuan dalam melihat
hak setiap individu yaitu sebagai berikut:19

a) Teori Hukum Kodrat

Hukum kodrat atau teori hukum kodrat berasal dari Yunani dan Roma kuno yang
dipelopori oleh Grotius. Teori ini berpendapat bahwa semua individu secara inheren

16
Serlika Aprita dan Yonani Hasyim, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mitra Wacana Media, Jakarta,
2020, h. 5.
17
Ibid h. 6
18
Lihat Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang Hak asasi Manusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165
19
Firdaus Arifin, Hak Asasi Manusia, Teori, Perkembangan dan Praktek, Thafa Media, Yogyakarta, 2019,
h. 8
dianugerahi hak untuk hidup, kebebasan, dan properti yang menjadi miliknya dan tidak dapat
dialihkan atau dicabut oleh negara kecuali dengan persetujuan. Menurut para pendukung
hukum kodrat atau hukum kodrat, hak asasi manusia adalah hak yang langsung diberikan
oleh Tuhan, Sang Pencipta, dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat hidup sebagai
manusia.

b) Teori Positivisme
Menurut pandangan atau pendapat positivis, mereka berpendapat bahwa keberadaan dan
isi hak hanya dapat disimpulkan dari hukum negara dengan metode empiris.20
c) Teori Anti-Utilitarian
Teori ini adalah milik Dworki dan Nozick sebagai lawan dari teori utilitariasme. Teori
utilitarianisme beranggapan bahwa Preferensi kesejahteraan mayoritas minoritas atau
individu yang preferensinya tidak terwakili oleh mayoritas di suatu negara akan
diabaikan. Teori memprioritas semua hak dan kewajiban warga negara agar setara di
hadapan hukum.21
d) Realisme Hukum
Penganut realisme yang sah adalah Karl liewellyn dan Rosco pound. Menurut teori ini
bahwa tuntutan pemenuhan hak asasi manusia berasal dari pertukaran nilai luhur yamg
berorientasi kebijakan untuk melindungi harkat dan martabat manusia. Nilai-nilai itu
dimanifestasikan oleh tuntutan-tuntutan yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan seperti
rasa hormat, kekuatan, pencerahan, kesehatan, kebahagiaan, kompetensi, kasih sayang,
dan kejujuran. Semua nilai tersebut mendukung dan disahkan oleh nilai-nilai luhur harkat
dan martabat manusia. Tujuan pendekatan yang syarat nilai dan berorientasi pada
kebijakan ini adalah menawarkan resep untuk komunitas global yang nilai-nilainya dibagi
melalui prinsip-prinsip demokrasi. Fakta bahwa ajaran ini mengedepankan nilai-nilai
universal berdasarkan martabat manusia melalui konsensus bersama.22
e) Marxisme
Dalam teori Marxis, hakikat individu adalah entitas sosial yang menggunakan
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhannya, dan dalam masyarakat kapitalis,
pemenuhan kebutuhan manusia dilakukan melalui alat-alat produksi yang dikuasai oleh
20
Ibid. h. 11.
21
Ibid h. 14.
22
Ibid h. 15.
kelas penguasa. Singkatnya, hak asasi dari marxisme adalah instrumen atau alat untuk
mencapai tujuan tertentu. Begitu tujuan tersebut tercapai, alat itu tidak diperlukan lagi
karena hak tidak mempunyai nilai yang transedental atau abadi; hak itu bersifat
positivistik dalam arti dari hak-hak yang dianggap di dalamnya sangat bergantung
sepenuhnya pada negara.23

2.4. Pengertian Perkawinan


1. Pengertian perkawinan menurut pendapat beberapa sarjana antara lain seperti berikut
ini:24
a) Menurut Subekti, perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk tujuan jangka panjang.
b) Menurut Ali Afandi, perkawinan adalah kesepakatan keluarga.
c) Menurut Paul Scholten, perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang
wanita dengan seorang pria untuk hidup bersama selama-lamanya, yang diakui
oleh negara.
d) Menurut Wirjono Prodjodikoro, perkawinan adalah hidup bersama antara seorang
pria dan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam
peraturan perkawinan.
e) Menurut Soediman Kartohadiprojo, perkawinan adalah ikatan yang tetap antara
seorang pria dengan seorang wanita.
f) Menurut K. Wantjik Saleh, perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara
seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri.

Dari pengertian perkawinan menurut pendapat beberapa sarjana diatas, maka penulis
menyimpulkan perkawinan adalah hubungan antara seorang seorang laki-laki dan perempuan
untuk tujuan membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang harmonis berlandaskan cinta kasih.

2. Adapun pengertian perkawinan yang tertulis dalam UU No. 1 tahun 1974 menyatakan
bahwa; perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.25
23
Ibid. h. 16.
24
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Prenadamedia Group, Jakarta, h. 34.
25
Lihat Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pada faktanya, jenis-jenis Pernikahan dapat dilihat dari dua segi, yaitu apabila ditinjau dari
segi jumlah suami atau istri dan dilihat dari segi asal suami.

a) Dilihat dari jumlah suami atau istri, maka bentuk perkawinan terdiri atas:26
1) Perkawinan Monogami adalah perkawinan antara Satu laki-laki dan satu
perempuan. Jadi perkawinan jenis tidak membolehkan seorang laki-laki
mengambil istri lebih dari satu.
2) Perkawinan Poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari
satu wanita untuk dijadikan istri. Jenis perkawinan ini memboleh pria mengambil
istri lebih dari satu dengan beberapa alasan yang mendasar dan masuk akal.

Perkawinan Poligami dibagi menjadi dua bagian antara lain seperti berikut ini:

a. Perkawinan Poligami adalah pernikahan yang dilakukan antara satu pria


dan lebih dari satu wanita.
b. Perkawinan Poliandri adalah pernikahan yang dilakukan antara seorang
perempuan dengan lebih dari satu orang laki-laki. Perkawinan semacam
ini sering terjadi pada orang Eskimo, orang markesas di Oceania, orang
filipina di pulau palawan dan sebagainya.

b) b) Dilihat dari asal usul suami terdiri atas:27


1) Perkawinan Eksogami adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang
berbeda suku dan ras. Misalnya perkawinan antara laki-laki Eropa dengan
perempuan Indonesia.
2) Perkawinan Endogami adalah pernikahan antara pria dan wanita dari suku dan ras
yang sama. Misalnya perkawinan antara laki-laki Sumba Timur dengan perempuan
Sumba Timur.
3) Perkawinan Homogami adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan dalam
kelas sosial yang sama. Misalnya antara pria kaya dan wanita kaya.
26
Ibid, h. 34
27
Ibid. h. 35.
4) Perkawinan Heterogami adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan dari
kelas sosial yang berbeda. Misalnya, pernikahan antara pria aristokrat dan wanita
biasa bukanlah darah bangsawan.

2.5. Pengertian Kawin Paksa

Sebelum membahas tentang kawin paksa, maka alangkah lebih baik membahas
pengertian kata perkata dari kata kawin dan paksa. Kata kawin berarti pertalian antara pria dan
wanita membangun bahtera rumah tangga. Sedangkan pengertian kata paksa menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah tidak rela. Jadi pengertian kawin paksa adalah perkawinan yang
dilakukan karna paksaan.28 Dari pengertian Kawin Paksa tersebut diatas maka penulis
memberikan pengertian kawin paksa adalah tindakan perkawinan yang dilakukan atas dasar
paksaan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dengan berbagai cara untuk menjadikan
seorang Wanita sebagai istrinya walaupun perempuan tersebut menolak.

Kawin paksa yang ditemukan dalam kajian kekerasan erhadap perempuan perbasis
budaya oleh Komnas perempuan menemukan jenis-jenis kawin paksa antara lain sebagai berikut:

a) Kawin Sambung
Kawin sambung adalah pernikahan dirayakan antara seorang Pria dan wanita masih
menjalin hubungan kekerabatan sedarah, baik itu saudara dekat atau sepupu pertama atau
sepupu pertama atau kerabat jauh dan/atau kelas dan status terkait sosial. Kawin sambung
dibagi menjadi dua bagian yaitu kawin sambung darah dan kawin sambung kelas sosial.
Perkawinan sedarah bertujuan agar warisan tidak berpindah ke keluarga atau klan lain
dan untuk mempererat hubungan antar keluarga. Sedangkan kwin sambung kelas sosial
bertujuan mempertahankan kelas atau status sosial dari keluarga bangsawan atau status
sosial ekonomi di masyarakat.29
b) Kawin Lari
Kawin lari adalah perkawinan yang dilakukan karna tidak adanya persetujuan baik dari
pihak keluarga laki-laki maupun pihak keluarga perempuan.30

28
Is Addurofiq, Praktek Kawin Paksa dan Faktor Penyebabnya, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang, 23 maret 2023, h. 11
29
Komnas Perempuan, Pemaksaan Perkawinan, Kajian Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Budaya,
23maret 2023 h. 3
30
Ibid. h. 6
c) Perkawinan Cina Buta
Perkawinan cina buta adalah perkawinan yang terjadi ketika pasangan Suami dan istri
bercerai karena tiga perceraian berniat untuk rujuk kembali tetapi syaratnya mereka harus
menikah dengan orang lain terlebih dahulu kemudian baru dapat menjadi suami istri
kembali atau dapat rujuk kembali sebagai suami istri.31
d) Kawin Grebek/Kawin Tangkap atau Maghrib
Kawin grebek/tangkap atau maghrib adalah perkawinan akibat perbuatan antara laki-laki
dan perempuan sedang berdua-duaan pada suatu tempat waktu yang dilarang oleh hukum
adat yang berlaku dalam suatu masyarakat budaya.32
e) Kawin Karena Hamil dan Melakukan Hubungan Seksual
Kawin karna kehamilan dan persetubuhan adalah perkawinan yang terjadi karena seorang
wanita hamil sebelum perkawinan yang sah menurut adat dan agama. 33
f) Perkawinan Dini.
Perkawinan dini adalah perkawinan dilakukan karna perempuan sudah dianggap layak
menikah karna telah mengalami proses menstruasi. Proses menstruasi ini dianggap
sebagai tanda bahwa perempuan telah dewasa walaupun masih dalam tergolong usia
muda belia.34

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Adapun Jenis penelitian ini bersifat empiris normatif, yaitu suatu jenis penelitian hukum
sosiologis dan dapat juga disebut penelitian lapangan, yaitu penelitian tentang ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku dan apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Dengan kata
lain, yaitu suatu kajian yang dilakukan terhadap suatu keadaan nyata atau keadaan nyata yang
terjadi di masyarakat dengan tujuan untuk mengetahui dan menemukan fakta dan data yang
31
Ibid h. 9
32
Ibid. h. 10
33
Ibid. h. 11
34
Ibid. h. 12
diperlukan, setelah mengumpulkan data yang diperlukan, yang kemudian mengarah pada
identifikasi masalah yang pada akhirnya mengarah pada masalah. resolusi.35

3.2. Pendekatan Penelitian


Dalam penelitian hukum, ada berbagai Jenis pendekatan, dengan metode penelitian akan
dengan mudah peneliti mendapatkan informasi terkait isu hukum yang sedang digali
kebenarannya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Statutory Approach, yaitu
pendekatan dengan menelaah peraturan perundang-undangan atau peraturan yang relevan dengan
persoalan hukum yang sedang dikaji. Masalah hukum saat ini di teliti adalah bentuk perbuatan
melanggar hukum terhadap perempuan terkait kawin paksa yang terjadi di Desa Dameka,
Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.

Melalui Metode regulasi diterapkan analisis berbagai aturan hak-hak yang menjadi pokok
kajian ini, selanjutnya memakai pendekatan sosiologi hukum (Sociology Approach) yaitu
pendekatan dengan mempelajari dan memahami efektivitas norma hukum dalam penerapannya
di masyarakat. Dalam pendekatan sosiologi hukum (Sociology Approach) dilakukan pengamatan
secara langsung dan wawancara agar dapat memahami fakta-fakta hukum serta mengetahui
bagaimana praktek kawin paksa di Desa Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba
Tengah, Nusa Tenggara Timur.

3.3. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data yang diperoleh dari
studi eksperimental yaitu penelitian yang dilakukan langsung di dalam masyarakat, sedangkan
data sekunder dalam penelitian hukum termasuk data yang diperoleh kepustakaan (Library
Recearh) atau penelaan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan atau regulasi yang
berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang biasanya disebut sebagai bahan hukum.

Adapun jenis Data dari penelitian ini:

a) Data Primer

35
Ibid, h. 16
Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber primer,
yaitu pihak-pihak yang menjadi subyek penelitian ini. Data primer untuk penelitian ini
adalah data yang dihasilkan dari proses wawancara secara langsung Korban, Pelaku,
Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Ketua
Sinode Gereja Kristen Sumba.

b) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi dokumen dan mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat, meliputi dokumen hukum tingkat pertama, dokumen
hukum tingkat kedua dan dokumen hukum sekolah tinggi.36

1) Dokumen hukum utama, yaitu teks dari norma hukum dan dokumen yang mengikat
secara hukum dikembangkan dan diterbitkan secara resmi oleh pembuat undang-
undang negara. Dokumen hukum meliputi: UUD 1945 Pasal 28G ayat 1, Pasal 10
ayat 2 UU HAM No.39 Tahun 1999, UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Penghapusan
UU No.7 Tahun 1984 tentang segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Pasal
332, paragraf 2, perempuan melarikan diri dan Pasal 333 tentang perampasan
kemerdekaan KUHP. Bahan hukum sekuder, yaitu bahan yang berupa publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. 37 Bahan pustaka
yang terdiri atas buku-buku teks, yang membicarakan suatu dan/atau beberapa
masalah hukum, seperti skripsi, tesis, disertasi hukum, jurnal-jurnal hukum, buku-
buku hukum yang berhubungan dengan materi penelitian serta dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya.
2) Dokumen hukum tersier, yaitu dokumen hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan tentang dokumen hukum primer dan dokumen hukum sekunder, antara
lain kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia. 38

3.4. Metode Pengumpulan Data


Pada penelitian ini dalam mengumpulkan data menggunakan dua cara:

36
Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Semarang, 2004, h. 23.
37
Peter Mahmud Marzuki, Op, Cit, h. 141.
38
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 2000, h. 52.
1) Penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang didasarkan pada sumber bacaan seperti
hukum, buku, penelitian ilmiah, artikel ilmiah, media massa, dan jurnal hukum yang erat
kaitannya dengan penelitian dokumen dalam makalah ini. Kajian ini menggunakan
dokumen hukum primer dan dokumen hukum sekunder yang berkaitan dengan analisis
Pasal 28G ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-undang lain
yang relevan terhadap praktek pergaulan paksa di Desa Dameka, Kecamatan Katiku Tana
Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.
2) Penelitian lapangan, termasuk melakukan penelitian lapangan secara langsung atau
wawancara tatap muka untuk mencari dan menemukan informasi yang relevan dengan
analisis Pasal 28G ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan undang-
undang terkait lainnya yang melarang kawin paksa praktik. di Desa Dameka, Kecamatan
Katiku Tana Selatan, Sumba Center, Nusa Tenggara Timur. 39

3.5. Metode Pengolahan Data


Data yang diperoleh dari berbagai sumber kemudian diolah melalui proses sebagai berikut:

Kajian ini menggunakan metode pengolahan dokumen hukum dengan metode


penyuntingan, yaitu dengan melakukan pengecekan ulang terhadap dokumen hukum yang
diperoleh, terutama mengenai kelengkapan dan kejelasan dokumen hukum, makna, kecukupan
dan kesesuaiannya dengan standar atau prinsip yang berlaku.40

Setelah itu, tahap selanjutnya adalah pengkodean, yaitu memberikan catatan atau simbol
(sandi) yang menunjukkan jenis, sumber dokumen hukum, apakah sastra, undang-undang atau
dokumen, dan urutan masalah yang dirumuskan.

Kemudian yang terakhir adalah dengan melakukan sistematisisasi terhadap dokumen hukum
(sistematisasi), yaitu susunan dokumen hukum secara berurutan menurut kerangka sistematika
pembahasan menurut urutan persoalan.41

39
Bambang waluyo, Penelitian Hukum dalam praktek, sinar grafika, Jakarta, 2008, h. 57
40
Saifullah, Konsep Dasar Metode Penelitian Dalam Proposal Skripsi, Proposal Skripsi Fakultas Syariah
UIN, 2004, h. 96
41
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, h.126.
3.6. Metode Analisis Data
Analisisadalah cara menyederhanakan kata menjadi bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan. Analisis penelitian ini didasarkan pada data primer dan sekunder. Selanjutnya
data yang diperoleh dari penelitian tersebut akan disajikan secara deskriptif yaitu analisis praktik
kawin paksa di Desa Dameka Kecamatan Katiku Tana Selatan Sumba Tengah Nusa Tenggara
Timur menurut Pasal 28G ayat 1 UUD 1945. Republik Indonesia dan undang-undang terkait
lainnya - Undang-undang.

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian


1. Letak georafis dan komposisi penduduk

Desa Dameka merupakan wilayah yang berada di Kecamatan Katiku Tana Selatan,
Kecamatan Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur dan merupakan desa dengan luas wilayah
terkecil 8,64 km2. Letak georafis wilayah Desa Dameka yaitu sebelah utara berbatasan dengan
wilayah Desa Wailawa, sebelah selatan berbatasan dengan hutan taman nasional, sebelah timur
berbatasan dengan wilayah Desa Wailawa, sebelah barat berbatasan dengan wilayah desa
waimanu. Jumlah penduduk Desa Dameka 1632 jiwa dengan kepadatan penduduk 188,89
jiwa/km2 dan jumlah kepala keluarga 423. Desa Dameka memiliki tiga dusun, tiga RW, 12 RT.
Mata pencaharian warga Desa Dameka lebih banyak petani, tingkat Pendidikan warga Desa
Demeka mulai dari yang tidak berpendidikan sampai yang berpendidikan sarjana. Masyarakat
Desa Dameka Menganut agama Katholik, Protestan, dan aliran kepercayaan marapu
(kepercayaan lokal masyarakat sumba) serta Desa Dameka memiliki fasilitas publik 1 Sekolah
Dasar (SD), 2 PAUD. 1 Gereja Prostestan, dan kemudahan pelayanan untuk ke rumah sakit dan
pelayanan publik lainnya tergolong mudah dijangkau.

4.2. Paparan Data


Setelah penulis melakukan penelitian di Desa Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan,
Kabupaten Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur penulis mengambil 6 orang
responden untuk di wawancara secara langsung terkait permasalahan kawin paksa yang termasuk
tiga pria dan tiga wanita yaitu ORH berumur 33 tahun sebagai korban yang mengalami kawin
paksa, JU berumur 28 tahun adalah salah satu pelaku yang membantu ,OPR berumur 37 tahun
adalah seorang seorang tokoh adat atau juru bicara adat (wunang), MBLP berumur 37 tahun
adalah seorang tokoh masyarakat desa Dameka yang berprofesi sebagai Kepala Desa, YDD
berumur 35 tahun yang bekerja LSM Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) serta menjabat
sebagai sekretaris pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak,
dan ML adalah seorang Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS)

4.2.1. Bagaimana Tanggapan orang Sumba Tengah di Desa Dameka Terhadap Praktek
Kawin Paksa
Tanggapan merupakan pemberian kesan, pendapat, pandangan, dan masukkan yang
terjadi sebuah persoalan atau masalah yang sedang terjadi demi mendapatkan sebuah solusi atau
pemecahan masalah yang sedang terjadi. Praktek kawin paksa yang terjadi di Desa Dameka,
Kabupaten Sumba Tengah, Kecamatan Katiku Tana Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur
adalah tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi atau budaya perkawinan secara paksa
dengan menangkap seorang perempuan yang diinginkan sudah biasa dilakukan dan sering terjadi
bukan hanya di Sumba Tengah melainkan terjadi di seluruh Sumba pada umumnya. Adapun
orang-orang yang memberikan interpretasi atau tanggapan atau pandangan mengenai kawin
paksa yang terjadi adalah sebagai berikut:
Berikut ini ORH adalah salah seorang korban akibat kawin paksa yang mengatasnamakan
tradisi atau budaya memberikan tanggapan perihal Kawin Paksa yang dialaminya sebagai
perbuatan asusila dan melawan hukum karna memaksa orang lain untuk menikahi seseorang
tanpa adanya saling mencintai dan persetujuan keluarga, serta persetujuan antara laki-laki dan
perempuan. Akibat dari kawin paksa dialami tersebut menyebabkan perempuan mengalami
kekerasan dan pelecehan seksual. Berikut ini adalah cerita singkat oleh korban yang mengalami
kekerasan akibat kawin paksa.
a) Pada tahun 2014 yang lalu Ketika umur masih 24 tahun dan saya adalah seorang muda
yang aktif melayani digereja. Pada suatu hari saya di hubungi lewa jalur telepon oleh
teman saya yang Bernama JU untuk menghadiri pertemuan pemuda digereja untuk
membahas kegiatan yang akan kami kerjakan bersama. Ketika saya sampai
dipersimpangan jalan tiba-tiba beberapa orang pria dating menangkap saya dan pelaku
utama yang bernama R berkata kepada saya bahwa Dia adalah calon suami yang akan
menikahi saya. Mendengar hal itu, saya langsung melakukan perlawanan sebisa mungkin
dan memberontak sekuat tenaga dan menangis minta tolong kepada teman-teman saya
yang berada di dekat situ. Akan tetapi tidak ada yang menolong saya dan R bersama
teman-temannya berhasil membawa saya ke rumahnya.
Setelah sampai di rumah R, saya dipercik air dan disambut dengan memakai adat
istiadat yang berlaku. Perasaan saya sangat sedih dan sakit hati karna perlakuan semacam
itu dan saya tidak berhenti menangis dan kedua orang tua saya tidak dapat membantu
saya karna mereka pasrah dengan keadaan yang menimpa saya. Saya depresi dan hampir
putus asa karena mengalami kejadian yang menyakitkan semacam itu. R dan keluarganya
menyekap saya selama satu bulan di rumahnya dan orang tua saya tidak dapat mengambil
saya dari tangan R dan keluarganya. Selama saya di rumah R, saya mengalami banyak
tekanan dan intimidasi serta pelecehan seksual yang saya terima membuat saya merasa
terpuruk dengan keadaan dan saya hanya bisa menangis serta berdoa agar bisa keluar dari
masalah yang menimpa saya. Pada suatu hari saya mendapatkan peluang untuk lari dari
rumah R dan saya bisa pulang dengan selamat di rumah kedua orang tua. Akan tetapi
mereka masih mencari saya dan beruntung masih ada paman saya yang baik hati
menolong saya dengan segala cara agar R dan keluarganya tidak mencari saya lagi.
Sampai saat ini Ketika saya mengingat kembali peristiwa kawin paksa yang menimpa
saya sungguh sangat membekas di hati saya dan masih menyimpan luka yang dalam
karena saya seolah olah tidak memiliki harga diri layaknya binatang buruan yang
ditangkap di padang belantara untuk di makan dagingnya. Sekarang saya aktif
menyuarakan stop kekerasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan tradisi atau
budaya padahal sangat merugikan orang lain karena saya tidak mau lagi ada perempuan-
perempuan lain yang menjadi korban kawin paksa akibat tradisi budaya yang merugikan
itu.42
Berkeluarga dan melanjutkan keturunan adalah bagian dari hak asasi manusia yang
dijamin oleh negara sehingga warga negara dapat menggunakannya tanpa dihalangi atau
dilarang. Padahal, perkawinan diakui sah apabila dirayakan menurut agama dan
kepercayaan masing-masing pihak yang melangsungkan perkawinan. Praktek kawin adat
di Desa Dameka, Kecamatan, Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara
Timur yaitu kawin paksa memang merupakan warisan adat masyarakat, namun pada
kenyataannya saat ini sering menyimpang dari adat sebagaimana mestinya, dan tanpa
persiapan yang memadai. Praktek Adat ini telah sesat, berujung pada pelanggaran HAM
karena menimbulkan pemaksaan, bahkan kekerasan internal. praktek tersebut. Jadi, dalam
konteks ini, bukan adat istiadat yang perlu diperjuangkan atau ditinggalkan, melainkan
adat istiadat yang sudah menyimpang dari seharusnya yang perlu diperjuangkan dengan
tegas karena merampas hak asasi manusia.43
Menurut penulis bahwa penyekapan yang dialami oleh korban bernama ORH akibat
kawin paksa merupakan sebuah kejahatan yang tidak manusiawi karena perbuatan
tersebut masuk dalam perbuatan asusila. Eksistensi tradisi kawin paksa pada masyarakat
di desa Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba tengah, Nusa tenggara timur
masih ada dan terus berlangsung hingga saat ini. Kawin paksa yang dialami perempuan
Sumba memiliki banyak lapisan, yaitu kekerasan fisik seperti penculikan, penangkapan,
penyekapan dan pemaksaan. Secara seksual, bagian tubuh tertentu dirasuki,

42
Wawancara Dengan Korban Kawin Paksa di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, 15
maret 2023.
43
Alexander Theodore Duka Tagukawi dan Komang Pradnyana Sudibya, Kawin Paksa Di Sumba Ditinjau
Dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia, Jurnal KertaNegara vol.9 Tahun 2021, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, H. 729.
disalahgunakan, dan dilanggar. Secara mental, perempuan korban kawin paksa merasa
terhina, tertekan, sakit hati, dan tidak memiliki harga diri. Secara sosial, perempuan yang
berusaha melarikan diri dan mendapatkan bantuan hukum dicap oleh masyarakat sebagai
perempuan kurus, sehingga menimbulkan kekerasan dan ketidakadilan terhadap
perempuan, menimbulkan rasa sakit bagi perempuan korban, kerusakan yang
berkepanjangan.
Masyarakat adat suku Sumba, desa Dameka, Nusa Tenggara Timur yang masih
patriarki mendukung pelaku yang dalam hal ini adalah Di pihak laki-laki yang dipaksa
melakukan kawin paksa, budaya ini tampaknya memandang perempuan sebagai makhluk
inferior dan rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan fisik dan seksual. Kekerasan
terkait kawin paksa menjadi bukti bahwa perempuan tidak bebas untuk menjalani
kehidupannya sendiri dan menentukan pilihan tentang masa depannya sendiri. Kawin
paksa telah terbukti menempatkan perempuan sebagai komoditas dan objek negosiasi,
bukan sebagai subjek yang sah seperti manusia yang pendapat dan keinginannya
didengarkan, dalam kerangka budaya Sumba yang dipraktikkan masyarakat berkali-kali.
Norma dalam praktik kawin paksa tumbuh subur dan bersembunyi di balik klaim budaya
untuk menghindari tindakan hukum yang melanggar hak asasi manusia yang dilakukan
dalam nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kesusilaan dalam perkawinan. Nuansa budaya
selalu dibenarkan dalam kekejaman, yaitu karena masyarakat lebih menganut adat
istiadat yang mereka anut daripada hukum negara.44
b) Berikut ini pelaku kawin paksa bernama JU memberikan tanggapan terhadap kawin
paksa sebagai perbuatan jahat yang tidak boleh dilakakukan oleh siapapun dengan
mengatasnamakan budaya karena kawin paksa sangat tidak manusia dan menginjak harga
diri seorang perempuan. Pada tahun 2014 saya masih berumur 19 tahun ikut serta
merencanakan untuk menangkap ORH dengan cara menghubungi ORH lewat telepon dan
menyuruh datang ke rumah saya agar bersama-sama ke gereja untuk mengikuti
pertemuan pemuda gereja. Pada hari kejadian saya menghubungi R yang adalah pelaku
utama yang akan menangkap ORH untuk dijadikan istrinya agar menunggu di
persimpangan jalan tempat ORH akan lewat sepulang gereja. R dan teman-temannya

44
Elanda Welhelmina Doko, I Made Suwetra, Diah Gayatri Sudibya, Tradisi Kawin Tangkap Suku Sumba
di Nusa Tenggara Timur, Jurnal Konstruksi Hukum vol. 2, No. 3, September 2021, Universitas
Warmadewa, Denpasar-Bali, h. 658.
menangkap ORH di persimpangan jalan dan membawa ORH ke rumahnya. Alasan JU
ikut serta melakukan penangkapan kepada korban yang bernama ORH yang pertama
adalah karena alasan tradisi atau budaya turun temurun yang boleh dilakukan asalkan
sesuai dengan adat istiadat berlaku dan alasan kedua adalah karena R adalah temannya
sehingga JU membantu untuk ikut serta dalam hal tersebut. Setelah saya mengetahui
bahwa perbuatan itu bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia, saya menyesal
karena telah ikut serta membantu melakukan perbuatan jahat semacam itu. Selama ini
saya dibodohi oleh tradisi buta yang tidak ada nilainya sama sekali bahkan sangat
merugikan perempuan. Setelah itu saya memutuskan untuk bergabung di Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) agar bersama-
sama menyuarakan stop kekerasan terhadap perempuan dengan mengatasnamakan tradisi
yang tidak menguntungkan sama sekali.45 Dari pengalaman yang diceritakan oleh JU
bahwa dirinya tidak lagi sepakat dengan praktek kawin paksa yang terjadi melainkan
harus dihilangkan.
c) Seorang Tokoh adat bernama OPR yang berprofesi sebagai juru bicara adat (wunang)
memberikan tanggapan terhadap praktek Kawin Paksa. Menurut Beliau bahwa banyak
orang yang menyamakan antara budaya kawin paksa dan kawin lari atau dalam bahasa
Sumba Tengah disebut palai ngindi. Bahwa kawin paksa yang jelas sangat merugikan
pihak perempuan karena pada dasarnya yang kebanyakan menjadi korban adalah
perempuan dan hal tersebut terjadi bukan karena adanya saling cinta antara laki-laki dan
perempuan melainkan karena paksaan sebelah pihak semata. Seringkali terjadi bahwa
kawin paksa dilakukan dengan cara menangkap perempuan yang telah menjadi target
untuk dinikahkan secara paksa. Perempuan yang menjadi target biasa di tangkap
dikeramaian atau ditempat umum lainnya sehingga menyebabkan pihak perempuan yang
menjadi korban merasa trauma, stress, dan malu yang sangat mendalam serta merasa
tidak memiliki harga diri. Berbeda halnya dengan kawin lari atau palai ngindi sebab
budaya adat kawin lari atau palai ngindi dilakukan karena adanya rasa saling cinta antara
pria dan wanita. Faktor penyebab sehingga terjadinya kawin lari yaitu tanpa persetujuan
orang tua salah satu pihak dan yang kedua karena perempuan hamil sebelum menikah

45
Wawancara Dengan Pelaku Kawin Paksa di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, 15
maret 2023.
atau sebelum adanya proses adat perkawinan sehingga pihak laki-laki berinisiatif
membawa lari seorang perempuan ke tempat kediamannya. Tahapan-tahapan yang perlu
di siapkan untuk membawa lari gadis yang dicintai sesuai dengan adat istiadat biasanya
perempuan meninggal sepucuk surat yang berisi alamat tempat dimana perempuan itu
lari, setelah pihak keluarga perempuan mengetahui maka proses selanjutnya adalah
mengutus seorang juru bicara adat (wunang) untuk pergi bernegosiasi dengan laki-laki
beserta keluarga laki-laki tersebut dan kemudian masuk pada proses tahapan adat untuk
melanjutkan perkawinan. Jadi menurut tokoh adat bahwa kawin paksa dan kawin lari
tidak ada hubungannya sama sekali sebab kawin paksa bertentangan dengan hukum yang
berlaku.46
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kawin paksa antara lain karena
ekonomi terikat dengan hutang, dengan kelas sosial, dengan pendidikan dan agama. Hal
ini terjadi karena adanya kesepakatan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan
atau atas dasar keinginan laki-laki tanpa sepengetahuan perempuan. Dengan adanya adat
kawin paksa, perempuan selalu berhati-hati saat keluar rumah untuk beberapa acara,
namun manfaatkan waktu tersebut untuk mengadakan pesta adat karena di sinilah
masyarakat berkumpul dan bertemu. Adapun tahapan penanganan masalah perkawinan
anak adalah tahap inkuiri, tahap akhir rasa malu, tahap permintaan, tahap penyaringan
adat, dan tahap religi.
Fase pencarian adalah ketika keluarga perempuan mencari putri yang diculik yang
berada di rumah laki-laki. Tahap akhir malu adalah tahap dimana pihak keluarga laki-laki
akan mengutus juru bicara adat (wunang) ke rumah pihak perempuan untuk
memberitahukan pihak keluarga perempuan bahwa anak perempuannya telah berada di
rumah pihak laki-laki dengan membawa kuda dan parang ditugaskan. keluarga gadis
sebagai tanda malu tertutup karena putri mereka telah diculik. Tahap masuk adalah masa
setelah perkenalan yang mempunyai arti meresmikan dan mengikat hubungan dengan
pihak lain, karena adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk saling bersepakat
menurut adat. Tahapan adat adalah ketika seorang laki-laki datang untuk mengantarkan
mahar atau mahar yang telah disepakati kedua belah pihak, yaitu pihak keluarga laki-laki

46
Wawancara Dengan Tokoh adat Terkait Masalah Kawin Paksa di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa
Tenggara Timur, 16 maret 2023.
melamar pihak keluarga perempuan, dan pihak laki-laki dan perempuan diikat menjadi
satu menurut adat.
Laki-laki membawa binatang, parang dan emas ke rumah perempuan, dan rumah
perempuan memberikan kain atau sarung. Hewan sebagai tanda kesepakatan jumlah
belis. Emas (Mamuli) adalah perhiasan khas wanita tradisional Sumba, berbentuk seperti
vagina wanita sebagai simbol kesuburan. Hewan yang disumbangkan berupa kuda,
kerbau, babi yang sangat berarti dan memiliki nilai budaya yang tinggi. Sarung adalah
kain tradisional khas masyarakat Sumba, diukir pada kain yang melambangkan sejumlah
simbol. Masa keagamaan merupakan masa dimana baik laki-laki maupun perempuan
telah berpindah agama, karena sebagian besar masyarakat Sumba masih memegang teguh
keyakinannya lokal.47
d) Tokoh Masyarakat Desa Dameka yang menjabat sebagai Kepala Desa bernama MBLP
memberikan tanggapan terkait kawin paksa yang dialami oleh seorang warga desanya
sendiri yang bernama ORH mengatakan bahwa kawin paksa adalah sebuah tidakan
kriminal atau kejahatan dibuat oleh seseorang atau kelompok terhadap seorang
perempuan dengan menggunakan alasan bahwa kawin paksa adalah sebuah tradisi turun
temurun. Menurut tokoh masyarakat yang adalah seorang Kepala Desa Dameka, kawin
paksa sangat menciderai hukum terutama hak perempuan untuk hidup sesuai dengan
keinginan dan pilihan hidup untuk menjalani perkawinan yang sesuai dengan kemauan
pribadi perempuan tersebut. Apabila kawin paksa terus dilakukan maka hal ini
menyebabkan perempuan lainnya mengalami ketakutan. Menurut Kepala Desa Dameka,
kawin paksa adalah budaya yang tidak memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan wajib
dihilangkan karena tidak menghargai perempuan sebagai pribadi yang wajib dihormati.
Harapan Kepala Desa Dameka terkait kawin paksa yang dialami oleh seorang warganya,
tidak akan dialami lagi oleh warga Desa Dameka lainnya dan apabila masih terulang lagi
peristiwa kawin paksa maka akan diproses sesuai hukum yang berlaku.48
Dalam upaya perlindungan, penghormatan, pemberdayaan dan pembinaan
masyarakat hukum adat, termuat dalam tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah atau
lebih khusus lagi pemerintah kabupaten/kota yang bertugas secara efektif
47
Elanda Welhelmina Doko, I Made Suwetra, Diah Gayatri Sudibya, Tradisi Kawin Tangkap Suku Sumba
di Nusa Tenggara Timur, Jurnal Konstruksi Hukum vol. 2, No. 3, September 2021, Universitas
Warmadewa, Denpasar-Bali, h. 659.
48
Wawancara Dengan Kepala Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur 20 September 2022.
memberdayakan masyarakat desa dan membangun budaya agar tetap berfungsi dalam
kehidupan masyarakat adat. konteks zaman. Melindungi dan menghormati masyarakat
adat sekaligus menghormati hak asasi setiap masyarakat adat juga dapat tercipta jika
peran pemerintah daerah adalah untuk memajukan kebijakan daerah tersebut.49
pemahaman bahwa hak-hak masyarakat hukum adat maupun hak asasi manusia juga
memiliki konsekuensi yang harus dipenuhi, bukan sekedar diakui, dihormati dan
dilindungi. Hal ini dilakukan karena pemerintah daerah menerbitkan kebijakan yang ada
dalam bentuk produk hukum daerah seperti peraturan daerah (PERDA) yang mengakui,
melindungi, menghormati dan memberdayakan masyarakat adat dan suku, khususnya
tentang perkawinan adat. Selanjutnya, ketika menilai keabsahan tindakan pemerintah,
ketentuan undang-undang dianggap sebagai aturan hukum tertulis. Peraturan Daerah
(PERDA) menjadi alat bagi pemerintah daerah untuk menentukan arah pembangunan dan
pemberdayaan masyarakat, sehingga penting dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan
yang ada di masyarakat. Kekuasaan menetapkan peraturan daerah juga merupakan wujud
kemandirian daerah dalam menjalankan tugas rumah tangganya. Pemerintah perlu
mencegah praktik perkawinan seperti kawin paksa agar tidak menyimpang dari adat yang
seharusnya terjadi dan juga memiliki dasar hukum dalam hal penanganan permasalahan
yang mirip dengan kasus kawin paksa. . . Dalam hal ini, pemerintah daerah memegang
peranan penting, dan dengan demikian pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan
masyarakat adat yang ada untuk merancang peraturan daerah yang menjadi dasar hukum
yang nyata untuk mencegah atau memulihkan segala penyalahgunaan. kawin paksa.
Karena hak konstitusional merupakan hak hukum, maka sudah pasti bagi seluruh
masyarakat Indonesia, masyarakat hukum adatnya harus mendapat kepastian hukum dari
pemerintah. 50
e) Menurut Sekretaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan
Anak (SOPAN) bernama YDD yang mendampingi para penyintas kawin paksa yang
terjadi di desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa tenggara timur mengatakan bahwa kawin
paksa adalah sebuah tindakan kejahatan yang tidak mendapatkan alasan pembenaran
dengan mengatasnamakan budaya apapun. Terkait pendampingan terhadap para
49
Alexander Theodore Duka Tagukawi dan Komang Pradnyana Sudibya, Kawin Paksa Di Sumba Ditinjau
Dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia, Jurnal KertaNegara vol.9 Tahun 2021, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, H. 727.
50
Ibid, h. 728.
penyintas yang mengalami kawin paksa, ada beberapa kasus yang didampingi dan
kemudian ada beberapa kasus yang sampai pada proses hukum atau sampai pada pihak
kepolisian, ada juga masalah kawin paksa yang sampai pada proses perkawinan bahkan
ada juga yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perkawinan dengan berbagai macam
keadaan. Para pihak yang melanjutkan perkawinan paksa mendapatkan intimidasi atau
tekanan dari keluarga dan pihak korban yang mengalami kawin paksa belum mampu
mengambil keputusan secara mandiri sehingga korban terpaksa melanjutkan perkawinan
dengan alasan takut hubungan kekluargaan terputus, didendam dan masih banyak hal lain
yang ditakutkan. Kemudian para korban yang tidak melanjutkan perkawinan adalah
mereka yang memiliki kemampuan diri dan membela diri serta didukung oleh keluarga
bahkan dukungan dari pihak luar yang peduli terhadap hal ini dan berjalan searah serta
bebas dari persoalan kawin paksa. Sedangkan kasus kawin paksa yang dilaporkan sampai
ke Polda NTT masih belum bisa di terima di mata masyarakat. Ada Sebagian masyarakat
yang mengatakan bahwa kawin paksa merupakan bagian dari pelestarian budaya dan
sebagian masyarakat lainnya mengatatakan bahwa kawin paksa bagian dari kekerasan
kemanusiaan dan bagian dari kekerasan terhadap perempuan serta masih banyak
perspektif terkait kawin paksa dan hal ini tidak mudah untuk diubah secara gampang.
Salah satu strategi dilakukan oleh LSM Solidaritas Perempuan dan Anak yaitu
melakukan edukasi tentang mencegah terjadinya kawin paksa dengan cara
mengumpulkan ide-ide dari tokoh adat. Setelah ide-ide dan pandangan dari tokoh adat
terkumpul maka Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak
(SOPAN) mengambil kesimpulan kawin paksa yang terjadi adalah murni sebuah
kejahatan di mata hukum. Yang paling penting menurut Sekretaris Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) adalah perspektif atau
pandangan suara dari para penyintas (korban) dan hal ini adalah peluang utama bagi
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak untuk
mendengarkan suara para korban kawin paksa dan menjadi kekuatan sehingga budaya
kawin paksa secara perlahan dapat dihilangkan, kemudian Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) menggalang kekuatan dari tokoh
agama dan akademisi.
Selain itu, dampak psikologi dari para korban berdasarkan pengamatan Lembaga
Swadaya Masyarakat Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) merasakan tekanan
batin serta Lembaga Swadaya Masyarakat Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN)
belum memiliki psikolog khusus untuk menangani para korban. Akan tetapi kemampuan
untuk mendampingi secara psikologi menggunakan kemampuan pribadi para anggota
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN).
Untuk para korban kawin paksa yang didampingi diberi nasehat, motivasi dan kekuatan
seadanya. Yang menjadi harapan besar bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Solidaritas Perempuan dan Anak adalah memiliki seorang psikolog yang mendampingi
korban kawin paksa. Untuk para korban yang melanjutkan perkawinan secara paksa juga
mengalami tekanan psikologi. Menurut penemuan dilapangan, ada salah satu perempuan
yang tidak disebutkan namanya oleh LSM Solidaritas Perempuan dan Anak bahwa
perempuan tersebut sampai tiga tahun baru bisa pulih dari dampak psikologi yang buruk
akibat kawin paksa yang dialami perempuan tersebut. Menurut penjelasan lebih lanjut
bahwa Wanita yang menjadi korban kawin paksa tetap melakukan hubungan suami istri,
bukan berarti bahwa perempuan tersebut keadaannya sudah membaik dan bahkan wanita
tersebut sudah memiliki anak serta tetap melakukan tugasnya sebagai seorang istri, tetapi
secara psikologi masih terganggu. Ada juga korban kawin paksa lainnya yang sudah
terbebas dari tekanan psikologi, tetapi Ketika mendengar lagi kasus kawin paksa yang
terjadi maka muncul kembali rasa takut bahkan sampai menangis bila mendengar kasus
kawin paksa dan hal itu bagian dari tekanan psikologi yang belum hilang sepenuhnya.
Begitu juga dengan korban yang tidak melanjutkan perkawinan secara paksa merasakan
hal yang sama dengan para korban yang melanjutkan perkawinan secara paksa.
Di dalam Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak
(SOPAN) sendiri ada seorang penyintas atau korban kawin paksa yang menjadi relawan
di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) dan
ada salah seorang mantan pelaku kawin paksa sehingga Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Solidaris Perempuan dan Anak mendapatkan kekuatan dari korban dan mantan
pelaku kawin paksa yang telah bergabung di dalam LSM Solidaritas Perempuan dan
Anak (SOPAN). Alasan lainnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas
Perempuan dan Anak menolak keras sebab mereka telah mendengarkan alasan kuat dari
pelaku dan korban yang telah diakomodir oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Solodaritas Perempuan dan Anak (SOPAN).
Menurut penjelasan lebih lanjut dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Solidaritas Perempuan dan Anak bahwa kawin paksa tidak memiliki nilai positifnya sama
sekali dan membuat masyarakat Indonesia pada umumnya merasa resah dan risih
walaupun budaya kawin paksa sudah terjadi dijaman para leluhur orang Sumba Tengah di
Desa Dameka, Nusa Tenggara Timur Menurut penuturan lebih lanjut kawin paksa
menurut masyarakat Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya sudah menjadi
kebiasaan yang berulang-ulang dilakukan. Menurut penjelasan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak bahwa perkawinan seharusnya
dilakukan seharusnya memakai tahapan-tahapan dengan cara ketuk pintu rumah
perempuan yang hendak dilamar, membawa sirih pinang sesuai adat istiadat orang
sumba, proses membayar mahar (Belis) sampai pada proses pindah marga. Akan tetapi
semakin kedepan proses perkawinan mengalami pergeseran nilai dan bahkan ada kawin
paksa yang korbannya diperkosa secara berligir dan pelakunya berjumlah 13 orang. Hal
itu dilakukan agar perempuan merasa malu untuk bertemu orang-orang di sekelilingnya.
Sedangkan korban kawin paksa jaman dulu tidak seperti kasus sekarang menurut
penjelasan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak dan
bahkan pelaku kawin paksa jaman dulu dikenai sanksi berupa bayar kanyala (hewan
denda), dan setelah bayar kanyala (hewan denda) maka pelaku bisa melanjutkan
perkawinan bahkan pelaku juga dapat membatalkan perkawinan.
Respon dari keluarga korban kawin paksa menurut pendapat Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) dibedakan menjadi
beberapa kelas antara lain pendidikan, ekonomi dan relasi sosial. Orang tua korban yang
tida memiliki kekuatan dan relasi sosialnya terbatas seperti orang-orang kecil memilih
untuk pasrah dan bagi orang tua korban yang tidak memiliki pengetahuan tentang hukum
beranggapan bahwa kawin paksa suatu budaya. Alasan lain dari orang tua korban antara
lain adanya ketakutan akan ancaman seperti dibunuh dan didendam serta takut anaknya
akan menjadi korban apabila orang tua membela anaknya dari tindakan kawin paksa yang
dilakukan oleh pelaku. Tetapi bagi orang tua korban yang strata sosial, pendidikan dan
pemahaman tentang hukumnya baik serta secara ekonomi baik dan pengetahuan sangat
baik maka ada upaya perlawanan serta melaporkan pada pihak yang berwajib.
Menurut kesaksian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan
Anak bahwa mereka pernah menyelamatkan korban kawin paksa dirumah pelaku
bersama aparat kepolisian dan mengembalikan korban kepada orang tuanya. Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) melakukan
edukasi kepada pelaku kawin paksa di tempat kediamannya dan pihak korban itu sendiri
mendukung langkah yang di tempuh oleh Lembaga Swadaya masyarakat (LSM)
Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) bersama aparat kepolisian. Ada juga yang
melakukan perkawinan karena paksaan pada bulan yang sama dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) bergerak melakukan
edukasi pada pasangan tersebut tetapi mereka tetap melanjutkan perkawinan walaupun
awalnya perempuan berteriak dan menjerit. Selanjutnya Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) Solidarita Perempuan dan Anak (SOPAN) akan membuat suatu komunitas
penyintas atau korban yang di dalamnya serta pelaku-pelaku lama kawin paksa. Orang
tua kandung dari salah satu anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Solidaritas
Perempuan dan Anak (SOPAN) mengajak tokoh-tokoh untuk mendengarkan perspektif
atau sudut pandang tokoh adat tentang kawin paksa. Beberapa tokoh adat berkomitmen
untuk tidak mengurus kawin paksa apabila ada seorang yang ingin melakukan proses adat
kawin paksa dan tokoh adat lainnya juga bersepakat. Adapun harapan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) agar pemerintah lebih
aktif sosialisasikan anti kawin paksa karena pemerintah mempunyai kekuatan dan lebih
didengar oleh masyarakat serta keluhan dari korban juga adalah salah satu kekuatan yang
dapat dipakai oleh pemerintah dalam upaya sosialisasi anti kawin paksa.51
f) Menurut Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS) bernama ML yang adalah seorang
pendeta memberikan tanggapan terhadap praktek kawin paksa sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama khususnya agama Kristen protestan karna
bertentangan dengan prinsip Alkitabiah dan kepercayaan agama Kristen itu sendiri.
Perihal penanganan kasus kawin paksa yang terjadi di Sumba Tengah, mengatakan
bahwa didalam Sinode Gereja Kristen Sumba ada sebuah Lembaga yang bernama
51
Wawancara Dengan Lembaga Swadaya Masyarakat Solidaritas Perempuan Dan Anak, 28 September
2022.
Woman Crisis Center (WCC) Pandulangu Angu Gereja Kristen Sumba (GKS) bertugas
melakukan pendampingan dan penanganan kasus-kasus korban kekerasan terhadap
perempuan, insiden kekerasan seksual dan lain-lain termasuk di dalamnya kasus kawin
paksa. Kasus kawin paksa yang selama ini di tangani oleh Woman Crisis Center (WCC)
Pandulangu Angu Gereja Kristen Sumba (GKS) adalah kasus yang terjadi di Sumba
Tengah dan menurut Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS) bahwa di Sinode
Gereja Kristen Sumba belum memiliki Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Akan tetapi di dalam Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS) ada sebelas orang yang
sudah mengikuti pelatihan paralegal dan diakui secara hukum tetapi tidak setara dengan
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) melainkan paralegal berada di bawah Lembaga
Bantuan Hukum (LBH). Dalam penanganan kasus kawin paksa, menurut Ketua Umum
Gereja Kristen Sumba (GKS), mereka tidak bekerja sendiri tetapi bekerja sama dengan
Badan Pemberdayaan Perempuan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Persekutuan
Perempuan Berpendidikan Teologia (PERUATI) dan bekerja bekerja sama dengan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN).
Dalam upaya-upaya yang dilakukan, menurut Ketua Umum Sinode Gereja Kristen
Sumba (GKS) telah mencoba melakukan inisiasi dengan pemerintah Sumba Tengah di
tahun 2020 yaitu pertemuan Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), tokoh adat, tokoh
agama, tokoh masyarakat dan pemerhati perempuan, dan setelah itu dibuatlah nota
kesepahaman (MOU).
Perihal kawin paksa bukan hanya menjadi perhatian Gereja karena kasus kawin paksa
telah viral di media sosial bahkan kasus tersebut diketahui oleh masyarakat dunia
sehingga pada bulan juli 2020 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Anak
mengunjungi kota Waingapu Sumba Timur dan melakukan pertemuan dengan empat
kabupaten di Sumba. Pertemuan yang dilakukan antara Mentri Pemberdayaan Perempuan
dan Anak serta pemerintah di empat kabupaten Sumba mendeklarasikan stop budaya
kawin paksa dan deklarasi tersebut dibuat di sekretariat kabupaten Sumba Timur. Dalam
penanganan kasus kawin paksa yang terjadi di Sumba Tengah menurut Ketua Umum
Sinode Gereja Sumba (GKS), ada beberapa kasus yang memang sampai pada proses
hukum, tetapi ada juga kasus kawin paksa lainnya yang memakai proses mediasi atau
diminta untuk berdamai dari pihak pelaku. Menurut Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba
(GKS) karena negara telah memiliki undang-undang untuk melindungi Perempuan dan
Anak, maka apapun alasannya tidak dapat berdamai atau mediasi karena kasus kawin
paksa merupakan masalah serius dan harus diproses secara hukum agar menimbulkan
efek jera pelaku kawin paksa serta para korban terlindungi atau dilindungi.
Selain itu menurut Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), yang dilakukan oleh
Lembaga Woman Crisis Center (WCC) adalah upaya sosialisasi dan penyadaran kepada
jemaat Gereja agar setiap orang sadar hukum sehingga jika terjadi lagi kasus kawin paksa
di kemudian hari maka pelaku tidak akan berpikir untuk melakukan proses damai tetapi
harus diproses secara hukum karena ada undang-undang yang mengatur. Menurut Ketua
Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), dampak negatif dari kawin paksa adalah
menyangkut hak asasi manusia yaitu para korban yang perlakukan secara tidak
manusiawi dan berhubungan dengan harkat serta martabat dan hak asasi masing-masing,
maka tentunya hal ini tidak boleh dibiarkan. Jika kawin paksa terus dibiarkan maka
Gereja Kristen Sumba(GKS) di nilai tidak memiliki sikap yang tegas terhadap masalah
kawin paksa.
Menurut Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS) yaitu pertama, menurut
pandangan masyarakat Sumba Tengah bahwa kawin paksa merupakan bagian dari
budaya walaupun melakukan perkawinan secara paksa tetapi di lakukan sesuai dengan
adat istiadat maka hal tersebut adalah wajar, padahal kawin paksa merupakan kejahatan
kemanusiaan menurut Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS). Hal yang tidak
dapat dibenarkan dalam masalah kawin paksa ialah adanya pemahaman terhadap budaya
perkawinan yang keliru. Proses perkawinan yang sesungguhnya apabila dilakukan
dengan cara yang bermartabat dan normal serta tidak dilakukan dengan cara paksaan dan
seharusnya memakai jalur adat istiadat yang baik dan benar jika ingin memperistri
seorang perempuan. Masalah kawin paksa yang terjadi merupakan pergeseran nilai yang
seharusnya bila melihat adat perkawinan orang Sumba yang normal yaitu dengan cara
memperkenalkan diri terlebih dahulu, proses masuk minta, dan masuk pada tahapan-
tahapan selanjutnya sampai pada proses perkawinan yang sah secara hukum. Dari sisi
positif bagi orang memuat masalah tersebut di media sosial, maka setiap orang yang
melihat masalah kawin paksa terbuka pemikiran dan pemahaman mereka tidak dapat
membenarkan alasan apapun. Dampak psikologi yang dialami oleh korban menurut
Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS) yaitu trauma dan ada tekanan yang
dilakukan oleh keluarga. Ada berbagai macam masalah kawin paksa yaitu seorang
perempuan ditangkap dijalan umum dan ada juga kasus kawin paksa karna persetujuan
keluarga. Para korban mengalami stres dan depresi serta para korban tidak hanya
membutuhkan penanganan hukum, tetapi para korban harus di pulihkan secara mental
agar stress, depresi, dan trauma hilang dari para korban akibat kawin paksa. Respon dari
keluarga korban ada berbagai macam yaitu apabila memiliki hubungan kekeluargaan
antara pihak pelaku dan korban maka dibiarkan begitu Tentu saja ada juga orang tua
korban yang tidak setuju karena anaknya. di paksa kawin serta antara pihak keluarga laki-
laki dan perempuan melakukan perdamaian. Respon dari pelaku dan keluarga pelaku
cenderung menghindar dan lari dari pertanggungjawaban sebagai pelaku dan keluarga
pelaku tidak dapat berbuat apa-apa bila anak mereka di tangkap serta di proses secara
hukum.
Strategi yang dilakukan oleh Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS) untuk mencegah
terjadinya kawin paksa dikemudian hari adalah melakukan pembinaan kepada
masyarakat, sosialisasi UU tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak
melakukan penyadaran hukum. Saran dan masukkan dari Ketua Umum Sinode Gereja
Kristen Sumba yang masih menjadi kekurangan dalam menangani kasus kawin paksa
adalah gereja belum memiliki Lembaga Bantuan Hukum Sendiri. Ketua Sinode Gereja
Kristen Sumba (GKS) telah bertemu dengan Rektor Universitas Kristen Wira Wacana
Sumba untuk sementara waktu bila terjadi masalah kawin paksa, para Dosen hukum di
Universitas Kristen Wira Wacana Sumba membantu menangani masalah kawin paksa.
Sinode Gereja Kristen Sumba juga membutuhkan psikolog agar mendampingi para
korban kawin paksa, akan tetapi untuk peran pastoral dapat dilakukan oleh pihak Sinode
Gereja Kristen Sumba (GKS).52

4.2.2. Analisis pasal 28 G ayat l UUD Tahun l945 dan Undang-Undang Terkait Lainnya
Terhadap Praktek Kawin Paksa di Desa Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan,
Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
a) Analisis pasal 28 G ayat l UUD Terhadap Praktek Kawin Paksa Di Sumba.

52
Wawancara dengan Ketua Umum Sinode Gereja Kristen Sumba, Nusa Tenggara Timur, 29 September
2022.
Berdasarkan Pasal 28 G ayat (l) UUD l945 maka penulis akan menganalisis kata
perkata seperti berikut;
1. Setiap orang
Kata “setiap orang” menurut hukum mengacu pada dua subjek yaitu orang
dan badan hukum. Akan tetapi dalam masalah kawin paksa kawin paksa, kata
“setiap orang” hanya digunakan untuk orang sebagai sebagai subjek hukum.
Kata “setiap orang” berarti semua orang manusia yang menjadi subjek hukum
baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, masalah kawin paksa
yang terjadi di Sumba Tengah, Desa Dameka seharusnya melindungi semua
orang baik laki-laki dan perempuan oleh karena perempuan merupakan salah
satu subjek hukum.
2. Perlindungan
Perlindungan merupakan langkah yang perbuat oleh pemerintah melalui
Lembaga penegakan hukum untuk menjaga setiap individu dari ketakutan atau
ancaman ketakutan. Artinya bahwa, setiap perempuan di Desa Dameka,
Sumba Tengah mendapat perlindungan yang sama dengan laki-laki bukan
sebaliknya mendapat perlakuan yang buruk yaitu memaksa melakukan
perkawinan.
3. Martabat
Martabat berarti derajat setiap orang yang di lindungi dan dihormati. Martabat
adalah anugerah dari Tuhan yang tidak boleh diabaikan oleh siapa pun. Akan
tetapi yang terjadi di Desa Dameka, Sumba Tengah menghilangkan derajat
perempuan dengan memaksa perempuan untuk melakukan perkawinan.
4. Rasa aman
Rasa aman merupakan situasi dan kondisi di mana setiap orang harus
memiliki keamanan sesuai dengan hukum yang berlaku dan lindungi oleh
hukum melalui aparat penegak hukum. Dalam masalah kawin paksa yang
terjadi di Desa Dameka, Sumba Tengah, tidak memberikan hak atas rasa
terhadap perempuan yang menjadi korban.

Praktek kawin paksa sebagaimana yang telah dipaparkan diatas tidak lepas dari
tatanan masyarakat yang menganut sistem patriarki di pulau Sumba khususnya di Desa
Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Hal ini
menempatkan para lelaki lebih mendominasi peran-peran penting dalam pengambilan
keputusan antar masyarakat. Dengan demikian, kawin paksa merupakan salah satu
dampak patriarki yang masih ada di masyarakat. Sumba Tengah di desa Dameka, Nusa
Tenggara Timur. Karenanya kebiasaan kawin paksa yang terjadi di desa Dameka, Sumba
Tengah, Nusa Tenggara Timur merupakan cara melangsungkan perkawinan dan
berdasarkan adat, merupakan perbuatan yang diperbolehkan dan sah dalam pelaksanaan
perkawinan paksa.53 Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang konstitusi negara
Indonesia, bahwa kawin paksa adalah sesuatu yang bertentang dengan hukum dan nilai-
nilai kemanusiaan karena merugikan salah satu pihak khususnya pihak perempuan.

Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu negara, dilaksanakan dalam


pemerintahan negara, salah satu fungsinya adalah untuk menjamin hak asasi manusia.
manusia dan kebebasan warga negaranya, Indonesia sebagai negara menyatakan bahwa ia
adalah negara hukum yang menjamin hak asasi manusia secara mutlak dalam
konstitusinya, termasuk dalam hal ini menjamin hak asasi perempuan.54 Salah satu pasal
dalam konstitusi yang menjamin hak perempuan dari segala bentuk tindakan kejahatan
berkedok tradisi atau budaya terdapat dalam pasal 28 G ayat l UUD Tahun 1945
menyatakan bahwa: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.

Hak utama yang terkandung dalam pasal 28 G ayat (l) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun l945 untuk menganalisis masalah kawin paksa yang
terjadi di desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur adalah hak atas
perlindungan diri pribadi, hak atas kehormatan, hak atas rasa aman, dan hak atas
perlindungan dari ancaman ketakutan. Perlindungan diri pribadi sebagaimana yang
tertulis dalam pasal 28 G ayat l Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
l945 bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk melindungi dirinya segala
53
Rambu Susanti Mila Maramba, et.al., Piti Maranggangu (Kawin Paksa) Dalam Perspektif Hukum, Jurnal
Justitia, Sinta 4, Vol. 7, No. 1, 2022, h. 52.
54
Erlina, Implementasi Hak Konstitusional Perempuan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 1, November 2012, h. 1.
bentuk perbuatan yang merugikan khususnya masalah kawin paksa yang terjadi di desa
Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur seolah-olah tidak bisa melindungi diri
dari perkawinan secara paksa, padahal secara konstitusional negara memberikan jaminan
perlindungan diri pribadi kepada setiap orang tidak terkecuali perempuan-perempuan di
Sumba yang hidup dalam budaya patriarki. Budaya patriarki terkait masalah kawin paksa
sangat merugikan pihak perempuan karena dipaksa kawin dengan seorang laki-laki yang
bukan pilihannya sehingga perlindungan diri pribadi seorang perempuan Sumba seolah-
olah tidak memiliki arti sama sekali karena budaya kawin paksa lebih dihormati sebagai
budaya turun temurun dan tradisi leluhur walaupun menyimpang dari konstitusi
Indonesia yang melindungi pribadi setiap perempuan.

Konstitusi Indonesia sebagai hukum tertinggi menghormati hak-hak setiap


perempuan sebagai warga negara. Hak atas kerhormatan yang termuat dalam pasal 28 G
ayat l Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah kualitas
seorang individu tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin melainkan. Akan tetapi pada
faktanya kehormatan itu tidak di hargai oleh praktek budaya kawin paksa yang masih
terjadi terjadi di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Praktek budaya
kawin paksa di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur mengesampingkan kehormatan
yang di jamin dalam konstitusi demi menjalankan tradisi kawin paksa yang lebih
menghormati tradisi atau budaya dari pada kehormatan seorang perempuan yang dijamin
dalam konstitusi Indonesia itu sendiri. Sesuatu hal dapat dikatakan budaya apabila
mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Jadi kawin paksa
yang terjadi di desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur tidak dapat di
katakan budaya karena tidak memiliki nilai positif yang bermanfaat.

Sebagaimana konstitusi menjamin hak atas martabat manusia dari segala aspek
kehidupan, maka setiap individu berkewajiban menghormati martabat semua orang baik
pria dan wanita. Martabat adalah hak setiap orang yang wajib dihargai dan dihormati oleh
setiap orang. Peristiwa kawin paksa yang di alami oleh perempuan di desa Dameka,
Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur adalah bentuk dari pelanggaran terhadap martabat
pribadi perempuan yang dilakukan oleh orang-orang yang masih memelihara budaya
patriarki khususnya kawin paksa sehingga perempuan Sumba yang menjadi korban kawin
paksa kehilangan martabatnya sebagai seorang individu karena mendapatkan perlakuan
yang buruk dari orang-orang yang masih mempertahankan budaya kawin paksa. Masalah
kawin paksa yang terjadi di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur pada
kenyataannya hanya bermanfaat bagi laki-laki dan berbahaya bagi perempuan yang
menjadi korban kawin paksa, sehingga hal tersebut menyebabkan perempuan kehilangan
martabat di hadapan umum dan terkesan merendahkan perempuan.

Walaupun perempuan berusaha untuk melindungi martabatnya dari praktek


budaya kawin paksa, hampir mustahil perempuan tersebut dapat meloloskan diri dari
praktek budaya kawin paksa, karena sudah sejak semula doktrin perkawinan secara paksa
adalah budaya atau tradisi turun temurun yang tidak dapat di hilangkan sehingga
walaupun perempuan berusaha melindungi martabatnya dari perlakuan buruk orang lain
yang mengatasnamakan tradisi atau budaya. Mengesampingkan martabat perempuan
yang di lakukan oleh orang-orang yang mengatasnamakan kawin paksa adalah sebuah
tradisi atau budaya turun temurun adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi
karena telah melanggar martabat seorang perempuan yang menjadi korban dari praktek
budaya patriarki tersebut. Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
adalah sebuah tanggung jawab negara yang di jamin dalam konstitusi Indonesia pasal 28
G ayat l UUD Setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dari ancaman ketakutan. Rasa
aman sebagaimana yang dimaksud dalam konstitusi Indonesia pasal 28 G ayat l UUD
adalah perihal masalah kawin paksa yang di alami oleh perempuan di desa Dameka,
Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur yaitu perlindungan dari ancaman ketakutan.
Ancaman ketakutan ini menyebabkan psikologi dari korban terutama perempuan berada
pada tekanan mental yang mendalam karena mengalami penangkapan, pengancaman, dan
pemaksaan untuk melakukan perkawinan paksa. Oleh sebab itu negara melalui konstitusi
yang termuat dalam pasal 28 G ayat l UUD memberikan perlindungan rasa kepada setiap
korban kawin paksa dan tidak boleh seorangpun dengan mengatasnamakan tradisi atau
budaya mengambil dan mengesampingkan jaminan rasa aman dari setiap perempuan
demi melestarikan budaya leluhur kawin paksa yang sama sekali tidak memiliki nilai
positif.
Setiap melakukan kegiatan sehari-hari, semua membutuhkan rasa aman dan
terbebas dari ketakutan seperti masalah kawin paksa yang terjadi di desa Dameka, Sumba
Tengah, Nusa Tenggara Timur jika keamanan yang dijamin dalam konstitusi pasal 28 G
ayat 1 UUD tidak terpelihara maka akan menimbulkan kejahatan. Kondisi atau
permasalahan mengenai kawin paksa yang terjadi di desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa
Tenggara Timur menuntut aparat penegak hukum agar selalu siap siaga berada di tengah
lingkungan masyarakat untuk melakukan pembenahan dalam tugasnya dan dapat
memberi layanan perlindungan kepada korban kawin paksa di Sumba. Kata aman dapat
memiliki empat arti yaitu; security yaitu perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis,
Prudence yaitu perasaan bebas dari kecemasan, Safety yaitu perasaan bebas dari segala
bahaya, Peace yaitu perasaan damai lahiriah dan batiniah. Dari keempat unsur rasa aman
di atas, maka sudah seharusnya perempuan di desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa
Tenggara Timur yang hidup dibawah budaya patriarki yang membolehkan kawin paksa
dilindungi dengan memberikan rasa aman sebagaimana negara memberikannya dalam
sebuah konstitusi yaitu pasal 28 G ayat 1.55

Berdasarkan norma konstitusi yang terdapat pada pasal 28 G ayat l, maka hak atas
rasa aman terkait masalah kawin paksa yang di alami oleh perempuan Sumba Tengah di
Desa Dameka, Nusa Tenggara Timur tentang perlindungan orang, integritas tubuh dan
properti. Dalam seri undang-undang yang dibentuk, banyak hal yang di atur tentang
pentingnya keselamatan dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, perlindungan dari penyiksaan, diskriminasi dan keamanan yang
terjamin para perempuan Sumba yang hidup dibawah budaya patriarki kawin paksa. Hak
atas perlindungan meliputi perlindungan tubuh, kehormatan, martabat, harta benda dan
diakui di hadapan hukum.56

Menghormati manusia sebagai makhluk yang mengemban tugas menjaga dan


memelihara alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dengan penuh tanggung jawab demi
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera merupakan pengakuan terhadap hak asasi
manusia. Hak Asasi Manusia sendiri merupakan hak dasar yang lahir sejak dalam

55
Diah Anggela Fitriana, Pemenuhan Hak Atas Rasa Aman Bagi Masyarakat Di Kota Wamena Pasca
Kerusuhan 23 September 2019, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Skripsi, 2020, H. 41
56
Ibid h. 42.
kandungan sebagai hak yang diperoleh sebagai makhluk dari Tuhan Yang Maha Esa dan
hak ini tidak dapat dicabut atau dicabut baik oleh perseorangan maupun oleh orang lain
atau kelompok.57 Penghormatan terhadap hak asasi manusia juga diwujudkan oleh negara
dalam bentuk norma hukum berupa konstitusi dalam Pasal 28G Ayat UUD yang
mengatur bahwa; Setiap orang berhak atas perlindungan dirinya, keluarganya,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada di bawah penguasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman yang mengancam untuk berbuat
atau tidak berbuat sesuatu. . Adanya pengakuan hak asasi manusia guna melindungi
harkat dan martabat manusia serta untuk dipertahankan dan diperkuat. Di sisi lain,
undang-undang juga memberikan batasan bagi seseorang untuk menggunakan hak asasi
manusia guna menghormati hak asasi manusia lainnya. 58

b) Analisis Pasal l0 ayat 2 Undang-Undang 39 Tahun l999 Tentang HAM Terhadap


Praktek Kawin Paksa yang terjadi di Desa Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan,
Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang paling mendasar yang dimiliki oleh setiap
manusia sebagai individu dan hak tersebut harus dihormati dan dilindungi oleh orang lain
dan Negara. Hak asasi manusia ini harus dilindungi oleh negara dengan ketentuan
undang-undang atau konstitusi atau undang-undang. Hal ini bertujuan untuk melindungi
dan menghormati individu sebagai manusia seutuhnya dan sebagai ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa. Adapun hak asasi manusia yang terkandung dalam Pasal l0 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun l999 Tentang HAM adalah sebagai berikut; perkawinan yang
sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang
bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 59 Dalam langkah
awal Dalam kehidupan bermasyarakat, laki-laki dan perempuan dapat membangun
hubungan layaknya rumah tangga, terutama melalui hubungan pernikahan. Perkawinan
selalu didasarkan pada suatu aturan, norma hukum yang berlaku, yang dalam hal ini
dapat berupa hukum agama, hukum kehidupan sosial atau hukum aktif.60
57
Alexander Theodore Duka Tagukawi dan Komang Pradnyana Sudibya, Praktek Kawin Paksa Si Sumba
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia, Jurnal Kerta Negara vol. 9 No. 9 Tahun 2021,
Universitas Udaya, Bali, H. 722
58
Ibid, h. 723
59
Ibid, h. 720
60
Ibid, h. 721
Dalam masalah terkait perkawinan secara paksa yang terjadi di Desa Dameka Sumba
Tengah, Nusa Tenggara Timur, penulis akan menganalisis permasalahan tersebut
berdasarkan ketentuan Pasal l0 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun l999 Tentang
HAM yang berbunyi; Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas
calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Perkawinan Dari perspektif hak asasi manusia, perkawinan adalah
perkawinan yang berlangsung atas kehendak bebas para pihak yang terlibat. Artinya
bahwa kehendak bebas dalam perkawinan sebagaimana di maksud dalam pasal l0 ayat 2
Undang-Undang Nomor 39 Tahun l999 Tentang HAM adalah Perkawinan tidak boleh
dilakukan dengan unsur pemaksaan dari salah satu pihak yang menginginkan
perkawinan. Masalah yang terjadi di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara
Timur mengenai perkawinan yang dilakukan secara paksa merupakan bentuk dari
penyimpangan terhadap Hak Asasi Manusia yang termuat dalam Pasal l0 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 khususnya mengenai kehendak dalam menentukan calon
suami dan calon istri.
Pernikahan merupakan langkah awal dalam membentuk suatu keluarga. Kebutuhan
untuk menikah adalah hak setiap orang untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan.
Kebutuhan akan akan hak berkeluarga ini dijamin dalam Pasal l0 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun l999 Tentang HAM yang menyatakan bahwa perkawinan yang sah
hanya dapat berlangsung sesuai dengan kehendak bebas calon suami dan calon istri yang
bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tradisi kawin
paksa merupakan salah satu hukum adat masyarakat di Desa Dameka, Sumba Tengah,
Nusa Tenggara Timur yang di wariskan secara turun temurun dan dilakukan sampai saat
ini. Secara historis, tradisi kawin paksa biasanya di lakukan oleh laki-laki dari keluarga
kaya, yang hendak meminang seorang perempuan untuk diambil nya sebagai istri.61
Tradisi perkawinan paksa di desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
menjadi suatu hal menarik untuk dikaji. Perkawinan adat yang disebut dengan istilah
kawin paksa di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timr merujuk pada sebuah
proses pernikahan di mana seorang pria memihak seorang wanita dengan cara yang

61
Laurensius Bembot, Donatus Sermada, Tradisi Kawin Paksa Di Sumba, NTT Perspektif Filsafat Moral
Emanuel Kant, SagaCity Jurnal Of Theology and Christian Education vol. 3 Nomor 1, Desember 2022, h.
71.
menculik. Hingga saat ini, pertanyaan apakah perkawinan semacam ini yang tercakup
dalam tradisi dan adat istiadat bisa menjadi pembenaran dalam melakukan praktek kawin
paksa seperti itu.62 Penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam kehidupan manusia
sangat luas dan melibatkan banyak bidang seperti filsafat, ekonomi, sosial budaya bahkan
aspek kehidupan yang berkaitan dengan perkawinan. Dalam UU Hak Asasi Manusia No.
39 Tahun 1999, Pasal 10(2) menjamin hak seseorang untuk menikah dan melanjutkan
keturunan, sebagaimana dinyatakan bahwa “perkawinan yang sah hanya dapat
berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan”. Sehingga setiap aspek kehidupan
manusia bahkan terkait dengan perkawinan pun dijamin sebagai bagian dari pada hak
asasi manusia namun juga dalam melaksanakan hak tersebut harus dibatasi untuk
menghormati hak asasi manusia lainnya.63
Kawin paksa menjadi sorotan banyak pihak, terutama dari perspektif hak asasi
manusia. Istilah kawin paksa dalam bahasa Sumba adalah Yappa Mawini (dialek Sumba
Tengah) yang artinya merebut istri. Istilah ini mengacu pada laki-laki yang berencana
melarikan diri dari mempelai perempuan dengan bantuan keluarga perempuan yang
mendukung perkawinan tersebut. Calon pengantin dijemput di tengah jalan dan dibawa
ke rumah calon suaminya. Dengan hewan seperti kuda yang diikat di depan rumah atau
barang berharga seperti emas yang disembunyikan di bawah bantal, merupakan tanda
umum dari seorang pria bahwa proses pernikahan sedang berlangsung. Di zaman
sekarang ini, praktik ini menjadi kontroversi karena dianggap sebagai pelanggaran hak
asasi manusia. Undang-Undang tentang Pengaturan dan Pembahasan Hak Asasi Manusia
adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatur tentang penetapan
perkawinan yang dianggap sah, yaitu kedua mempelai merayakan perkawinan menurut
kehendaknya, baik mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan.
Dari perspektif hukum hak asasi manusia, dengan jelas ditegaskan bahwa setiap
perbuatan yang menimbulkan paksaan dan ketakutan, baik fisik maupun mental, antara
lain merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam hal ini, tidak ada pengecualian
yang diberikan kepada orang lain yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
62
Alexander Theodore Duka Tagukawi dan Komang Pradnyana Sudibya, Praktek Kawin Paksa Di Sumba
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia, Jurnal Kertha Negara vol. 9 No. 9 Tahun 2021,
Universitas Udayana, Bali, h, 721.
63
Ibid, h. 723
Demikian pula, kawin paksa adalah tindakan merampas hak asasi perempuan melalui
paksaan dan kekerasan. Selain itu, terdapat tanda-tanda bahwa praktik kawin paksa dalam
budaya zaman sekarang telah bergeser dari praktik budaya murni dan tidak sesuai lagi
dengan tujuan dan pelaksanaannya yang semestinya. Seiring dengan pernyataan tertulis
dari masyarakat adat Marapu bahwa kawin paksa merupakan bentuk pelecehan adat.
Pernyataan ini juga didasarkan pada pemikir mulia bahwa perempuan (Mawinne)
dilambangkan dengan organ kewanitaan (Mamuli), menandakan pintu masuk ke dalam
rahim dan sifat kasih sayang perempuan. Lebih jauh lagi, perempuan dianggap sebagai
aktor yang cukup penting bagi pembangunan daerah. Dengan demikian, dalam bentuk
perkawinan apapun, kekerasan dan pemaksaan yang sering terjadi pada perempuan tidak
boleh dibiarkan.64

c) Analisis UU nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Terhadap Praktek Kawin


Paksa di Desa Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa
Tenggara Timur.
Berikut penulis akan menganalisis permasalahan kawin paksa yang terjadi di desa
Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur sesuai Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(Rumah Tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Tujuan perkawinan
adalah untuk membentuk keluarga dan generasi yang produktif. Makna pernikahan
adalah membentuk keluarga. Keluarga adalah unit sosial terkecil yang
diselenggarakan atas dasar perkawinan, dengan anggota utama laki-laki sebagai ayah
dan perempuan sebagai ibu plus anak. Dalam melakukan perkawinan ditentukan
syarat-syarat perkawinan. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa
Undang-Undang Perkawinan telah mengatur untuk meningkatkan kesetaraan antara
suami dan istri dalam menjalin hubungan perkawinan. 65

64
Ibid, h. 726
65
Rambu Susanti Mila Maramba, et.al., Piti Maranggangu (Kawin Paksa) Dalam Perspektif Hukum, Jurnal
Justitia, Sinta 4, Vol. 7, No. 1, 2022, h, 47.
Namun pada tataran penerapan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, kita harus
berhadapan dengan persoalan adat dan budaya masyarakat. Salah satunya adalah
budaya kawin paksa di Desa Dameka di Sumba Tengah, Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Perkawinan ini menggunakan sistem kekerabatan yang melibatkan beberapa
pihak, yaitu: Kabihu (klan) melahirkan seorang putri (Loka) dan kabihu (klan)
mengadopsi seorang putri (Doma). Menurut penelitian Guidora Julianta Kopon, hal
ini menunjukkan bahwa kawin paksa merupakan ciri budaya masyarakat Sumba yang
dilakukan atas persetujuan pihak Marapu. Marapu adalah nama sistem kepercayaan
lokal masyarakat Sumba dan Marapu adalah kepercayaan asli masyarakat Sumba.
Namun, menurut Irene Umbu Lolo, kawin paksa di Desa Dameka, Sumba Tengah,
Nusa Tenggara Timur identik dengan kekerasan seksual. Perbuatan ini dilakukan oleh
laki-laki terhadap perempuan dengan cara menangkap atau menculik di tempat
umum. Dengan menelaah fenomena kawin paksa, penulis akan menganalisis dari
sudut pandang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 66
Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, sebagai ius constitutum telah merumuskan norma hukum mengenai
perkawinan yang sah yakni:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agam dan kepercayaan.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Syarat


perkawinan ada dua macam, yaitu syarat materiil dan syarat formil. Persyaratan materiil
adalah syarat-syarat keberadaan dan yang melekat pada para pihak ketika memasuki
perkawinan. Persyaratan material tersebut disebut kondisi subyektif. Sedangkan syarat formil
adalah tata cara atau tata cara melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan
hukum, disebut juga syarat obyektif. Mengenai syarat-syarat materil yang ditentukan dalam
Pasal 2 UU No 1 Tahun 1974:67

66
Ibid, h, 48.
67
Ibid, h, 54.
1) Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang yang berlaku, maka pada prinsipnya
seseorang tidak boleh melangsungkan perkawinan jika agama dan kepercayaan
yang dianutnya melarang perkawinan tersebut.
2) Perkawinan harus dilakukan atas dasar persetujuan masing-masing calon
mempelai.
3) Perkawinan haruslah dilakukan setelah calon pengantin menjadi dewasa, yakni
sudah berumur 19 tahun bagi pria, dan 16 tahun bagi wanita. Dalam hal salah satu
atau kedua calon mempelai belum berumur 19 tahun (bagi pria) dan/atau 16 tahun
(bagi wanita), tetapi mereka memiliki cukup alasan untuk melangsungkan
perkawinan maka para calon mempelai yang belum cukup umur untuk kawin
tersebut dapat meminta dispensasi untuk dapat melangsungkan perkawinan,
dispensasi dapat diminta ke pengadilan yang berwenang atau ke pejabat lain yang
di tunjuk oleh kedua orang tua para pihak. Kedua hal tersebut terjadi sepanjang
agama dan kepercayaan masing-masing pihak tidak mengatur lain.
4) Jika salah satu atau kedua belah pihak menikah di bawah usia 21 tahun, maka
perkawinan tersebut harus mendapat persetujuan dari orang tua kedua belah pihak
yang berusia di bawah 21 tahun. Jika salah satu orang tua meninggal dunia atau
dalam hal wasiat tidak dapat diungkapkan, maka harus mendapat izin dari ayah
atau ibu yang masih hidup atau ayah atau ibu yang mampu melakukan wasiat.
Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak dapat menunjukkan
wasiatnya, maka seorang wali, pengasuh atau anggota keluarga dapat mengajukan
permohonan, asalkan masih hidup dan dalam keadaan mampu untuk menyatakan
wasiatnya.
5) Laki-laki hanya boleh menikah dengan satu istri, kecuali ada syarat, alasan dan
tata cara mengambil banyak istri (poligami).
6) Laki-laki hanya boleh menikah dengan satu perempuan. Pernikahan sesama jenis
dilarang oleh hukum.
7) Kecuali peraturan agama menentukan lain, seseorang tidak dapat menikah untuk
ketiga kalinya dengan pasangan yang sama. Dengan kata lain, jika seseorang telah
bercerai dan kemudian menikah lagi untuk kedua kalinya dengan orang yang
sama, dan kemudian bercerai lagi, dia tidak dapat menikah lagi dengan orang
yang sama untuk ketiga kalinya.
8) Wanita yang sudah menikah tidak dapat menikah lagi sebelum masa iddah habis.
9) Perkawinan tidak boleh dilakukan dengan pihak-pihak yang dilarang oleh
undang-undang.

Menurut Tan Karmelo dalam bukunya yang berjudul hukum orang dan keluarga, bahwa
syarat-syarat perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni
syarat substantif dan syarat ajektif.68

Persyaratan substantif adalah:

1) Perkawinan harus berdasarkan persetujuan (kesepakatan) calon pasangan (Pasal 6


Ayat 1)
2) Calon suami harus berumur 19 tahun penuh, calon istri harus berumur 16 tahun
penuh (Ayat 1 Pasal 7); Jika Anda berusia di bawah 21 tahun, Anda harus
mendapatkan izin dari kedua orang tua. Jika orang tua meninggal, wali
menerimanya, jika tidak ada wali, pengadilan setempat harus mengizinkan.
3) Calon istri tidak terikat hubungan perkawinan dengan pihak lain (Pasal 3, 9).
4) Adanya masa tunggu bagi seorang perempuan untuk mengakhiri perkawinan pada
saat ia bersiap menikah untuk kedua kalinya (pasal 11 jo Op. 9 tahun 1975).
5) Pasangan masa depan memiliki agama yang sama.

Persyaratan ajektif adalah sebagai berikut:

1) Kedua calon suami-istri atau kedua orang tua atau wakilnya memberitahukan kepada
pegawai pendaftaran secara lisan atau tertulis tentang tempat perkawinan.
2) Pemberitahuan paling lambat 10 hari kerja sebelum tanggal pernikahan.
3) Petugas pendaftaran menerima pemberitahuan untuk memeriksa semua dokumen yang
berkaitan dengan identitas calon pasangan.

68
Ibid, h, 56.
4) Mengumumkan waktu perkawinan di Kantor Pencatatan Nikah agar masyarakat
mengetahuinya. Biasanya dipasang di papan buletin kantor agar mudah dibaca. 5)
Perkawinan dilangsungkan dengan disaksikan oleh pejabat sipil dan 2 (dua) orang saksi.
5) Akta Nikah yang ditandatangani oleh calon suami istri, disusul saksi-saksi dan status
perdata. Akta nikah dibuat rangkap dua. Salinan pertama disimpan di catatan sipil, dan
salinan kedua disimpan di catatan pengadilan di wilayah catatan sipil. Kedua pasangan
menerima salinan akta nikah.

Jika kita mengacu pada ketentuan Pasal 2 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
serta dasar pemikiran syarat-syarat undang-undang tentang perkawinan, kita dapat melihat
beberapa hal, yaitu gugatan perkawinan itu. perkawinan yang sah dari sisi gugatan substantif
ditemukan bahwa;69 Persetujuan perkawinan semata-mata didasarkan pada persetujuan
lembaga adat dan bukan pada pribadi calon pasangan. Ketentuan Pasal 6 (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang pada hakekatnya merupakan ketentuan perkawinan
menurut Pasal 6 (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan perlindungan agar
kawin paksa dapat dilakukan. tidak terulang kembali di masyarakat. Ketentuan ini tepat
karena masalah perkawinan sebenarnya adalah urusan pribadi seseorang dalam kerangka hak
asasi manusia. Oleh karena itu, jika persoalan perkawinan ini lebih diserahkan kepada
kehendak masing-masing individu untuk menentukan pilihannya sendiri tentang siapa yang
akan menjadi pasangannya dalam keluarga tersebut. Pilihan ini harus benar-benar dilakukan
secara bebas tanpa ada paksaan dari mana pun.

Praktek kawin paksa Terlihat bahwa pihak laki-laki terlebih dahulu menangkap
(mengambil) mempelai wanita dan tinggal bersama pihak laki-laki, kemudian melakukan
prosesi adat melalui proses alternatif. Perempuan telah mengambil alih kekuasaan laki-laki
tanpa persetujuan baik mereka setuju untuk mengambilnya atau tidak, adat di Desa Dameka,
Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, hanya menggantikan tugas atas dasar hukum adat.
pengantin tetapi dari perangkat. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 2 UU No 1
Tahun 1974.

Kesepakatan para pihak dalam perkawinan merupakan hal yang utama karena menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, prinsip perkawinan adalah atas dasar kemauan sukarela
69
Ibid, h. 57.
(tidak terpaksa). Pernikahan adalah hak asasi manusia. Oleh karena itu, perkawinan harus
dilandasi oleh kerelaan masing-masing orang untuk menjadi suami istri, harus saling menerima
dan melengkapi, tanpa mengikat pihak manapun. Perkawinan yang tidak didasarkan pada
persetujuan kedua belah pihak yang merayakan perkawinan dapat dijadikan dasar pembatalan
perkawinan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 6 Ayat 1 UU Perkawinan yang mengatur bahwa
perkawinan harus atas persetujuan suami istri. Berdasarkan asas kehendak bebas para pihak
kemudian terjadi praktek kawin paksa di desa Dameka Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur
dari aspek hukum perkawinan. Perkawinan harus dibatalkan oleh para pihak jika syarat-syarat
tersebut tidak dipenuhi.

Umur calon mempelai istri rata-rata berusia 15 sampai 25 tahun, untuk usia dibawah 21
tahun, mempelai wanita telah mendapatkan persetujuan dari orang tua oleh karena sudah
mendapatkan persetujuan dari orang tua. Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
mensyaratkan adanya izin kedua orang tua/wali untuk melangsungkan perkawinan bagi yang
belum berusia 21 tahun. Ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak
yang masih dibawah umur. Sehingga perkawinan paksa yang dikenal dalam masyarakat adat
tidak diperkenankan lagi. Dengan adanya ketentuan pembatasan umur calon mempelai ini di
maksudkan agar calon mempelai suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan sudah
matang jiwa raganya sehingga dapat membina rumah tangga dengan sebaik-baiknya tanpa
berakhir dengan perceraian serta mendapat keturunan yang baik dan sehat. 70 Berdasarkan hal ini
jika dihubungkan dengan subjek piti maranggangu ditemukan bahwa calon mempelai wanita
berada dikisaran 20 tahun kebawah (15 sampai 19 tahun) sehingga syarat sah mempelai wanita
belum terpenuhi, pada sisi lain hukum adat memperoleh mempelai wanita apabila telah disetujui
oleh mempelai pria dan keluarganya. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan ketentuan Pasal 7
ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga ditemukan dilapangan
bahwasanya akibat praktek kawin paksa banyak terjadi perceraian dini. Oleh karena itu, belum
matangnya fisik dan psikis para mempelai.71

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa praktek kawin paksa di desa
Dameka Kabupaten Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur dari analisis hukum perkawinan

70
Ibid, h. 58.
71
Ibid, h. 59.
bertentangan secara hukum dimana dua di antaranya dilanggar dalam praktek kawin paksa. ,
yaitu:

a) Persetujuan perkawinan hanya berdasarkan persetujuan otoritas pabean dan bukan orang
dari calon pasangan.
b) Usia rata-rata kedua mempelai adalah 15-25 tahun, bagi yang berusia di bawah 21 tahun,
mempelai mendapat persetujuan dari orang tua kandungnya karena telah mendapat
pesanan dari lembaga adat. Ada dua syarat yang dilanggar, yaitu: Kedua syarat sah
perkawinan ini jika dilanggar dapat mengakibatkan batalnya perkawinan. Menurut
ketentuan Pasal 22 UU No 1 Tahun 1974: Pernikahan dapat dibatalkan jika para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk pernikahan. Dengan demikian,
alasan-alasan yang menghalangi perkawinan dan alasan-alasan yang membatalkan
perkawinan mempunyai muatan yang sama, yaitu para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam praktek kawin paksa, mengingat syarat-
syarat dasar perkawinan belum terpenuhi, maka kawin paksa itu dapat batal demi hukum
menurut ketentuan undang-undang.

d) Analisis Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Konvensi Mengenai Penghapusan


Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Woman (CEDAW).72 Terhadap Praktek Kawin Paksa di Desa Dameka,
Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.

Sejak berlakunya konvensi CEDAW Tanggal 24 Juli 1984 menjadi Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan. Sebelum pembentukan CEDAW, tidak ada dokumen komprehensif yang
membahas hak-hak dasar perempuan dalam kehidupan politik, budaya, ekonomi, sosial dan
keluarga. Hingga 18 Desember 1979, PBB mengadopsi Konvensi CEDAW atau “International
Bill of Rights” untuk perempuan melakukan walaupun sudah berpuluh-puluh tahun Konvensi
CEDAW disahkan, di dalam kehidupan bermasyarakat, wanita masih sering mendapatkan
perlakuan diskriminasi. Diskriminasi ini terjadi di mana saja termasuk di Desa Dameka, Sumba

72
Junita Fanny Nainggolan, Ramlan, Rahayu R. Harahap, Pemaksaan Perkawinan Berkedok Tradisi
Budaya: Bagaimana Implementasi CEDAW terhadap Hukum Nasional dalam Melindungi Hak-hak
Perempuan dalam Perkawinan?, Uit Possidetis: Jurnal of International Law, vol. 3, No. 1 tahun 2022,
Universitas Jambi, hal, 56.
Tengah, Nusa Tenggara Timur yang masih melakukan praktek kawin paksa. Secara harafiah,
pengertian diskriminasi adalah perlakuan bagi siapapun berdasarkan jenis kelamin, ras, dan
sebagainya. Hal tersebut dianggap sebagai penghambat pencapaian tujuan kesetaraan,
pembangunan dan perdamaian. Istilah diskriminasi yang disetujui dalam Pasal 1 Konvensi
CEDAW menetapkan bahwa istilah diskriminasi terhadap perempuan tidak berlaku untuk setiap
diskriminasi, pengucilan atau pembatasan berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai akibat
atau tujuan mengurangi atau menghilangkan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak
politik, ekonomi, hak sosial dan budaya. Dikatakan bahwa ini adalah pemisahan untuk
perempuan, sipil atau bukan, terlepas dari status perkawinan berdasarkan kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan.

Salah satu bentuk diskriminasi di Indonesia adalah yang terjadi di Desa Dameka, Sumba
Tengah, Nusa Tenggara Timur, dimana budaya patriarki masih berkembang di masyarakat.
Patriarki sendiri berasal dari kata patriarki yang berarti peran laki-laki sebagai penguasa tunggal,
pusat dan segala sesuatunya merupakan susunan susunan. Patriarki mendominasi masyarakat di
Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, menciptakan diskriminasi gender dan
ketidaksetaraan gender oleh perkawinan warga Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara
Timur, yang berdampak pada beberapa aspek aktivitas manusia. Dapat dikatakan bahwa laki-laki
berperan besar dalam masyarakat, sedangkan perempuan memiliki pengaruh atau kekuasaan
yang sangat kecil dalam lingkup masyarakat secara umum, termasuk sistem ekonomi, sosial,
politik bahkan perkawinan.73

Berbicara mengenai patriarki, salah satu problematikanya adalah masalah pernikahan.


Budaya patriarki belum bisa dipisahkan dari kehidupan perempuan sehingga masih banyak
perlakuan tidak adil terjadi perempuan. Pilihan untuk menikah dengan siapa saja berkaitan erat
dengan hak untuk menentukan nasib sendiri yang telah diakui dalam beberapa instrumen utama
internasional sebagai hak asasi manusia yang fundamental. Menurut Komnas Perempuan, kawin
paksa lebih menyasar perempuan karena posisinya yang tersubordinasi dalam masyarakat.
Penggunaan kekerasan dan/atau pemaksaan untuk menikah merupakan unsur pemaksaan dalam
perkawinan. Banyak faktor yang menyebabkan kawin paksa. Contohnya adalah kawin paksa adat
yang mengalami perubahan budaya, seperti yang terjadi di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa

73
Ibid, h. 57.
Tenggara Timur. Menurut data yang dihimpun Aprissa Taranau, Presiden Perhimpunan Nasional
Pendidikan Teologi Perempuan Sumba (PERUATI), setidaknya ada tujuh kasus kawin paksa
antara tahun 2016 hingga Juni 2020. Dalam kasus kawin paksa, Pulau Sumba mengandung unsur
intimidasi dan kekerasan terhadap perempuan karena calon mempelai wanita terlebih dahulu
diculik kemudian dipaksa menikah oleh laki-laki penculiknya. Pernikahan paksa juga dianggap
sebagai kekerasan berbasis gender. Komnas Perempuan menegaskan bahwa kekerasan terhadap
perempuan menyebabkan atau cenderung menyebabkan atau menyebabkan penderitaan fisik,
seksual, dan psikologis pada perempuan dewasa serta anak perempuan dan remaja perempuan.74

Dalam CEDAW disebutkan dalam Pasal 16 Konvensi CEDAW bahwa setiap orang
mempunyai hak yang sama untuk menikah. Pasal ini menetapkan bahwa Negara-negara Pihak
harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk menghapuskan diskriminasi terhadap
perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan hubungan perkawinan dan keluarga,
khususnya memastikan bahwa atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ditetapkan
pula bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk menikah dan bebas
memilih pasangan hidup sesuka hati. CEDAW, sebagai hukum internasional tentang hak-hak
perempuan, memuat perjanjian-perjanjian penting yang berkaitan dengan perlindungan dan
pemenuhan hak-hak perempuan di masyarakat maupun di sektor swasta. Ketika suatu negara
memutuskan untuk menerima CEDAW, negara tersebut berkomitmen untuk mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan. Upaya
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan diatur dalam konvensi CEDAW.
Perjanjian hak asasi manusia internasional ini menjamin hak semua individu. Salah satu hak
tersebut adalah hak untuk menikah dengan persetujuan penuh dan bebas dari kedua belah pihak.
Dalam contoh kawin paksa di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, yang
disamarkan dengan budaya, terlihat bahwa praktik budaya dan agama yang bertentangan menjadi
isu kontroversial.Kontroversi menimbulkan banyak keberatan tentang alasan penundaan tersebut.
perkembangan peraturan perundang-undangan yang berguna untuk menjaga kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan.75

Salah satu bentuk diskriminasi di Indonesia adalah budaya patriarki yang masih
berkembang di masyarakat. Budaya patriarki masih tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
74
Ibid, h. 60.
75
Ibid, h. 64.
perempuan, sehingga masih banyak terjadi perlakuan tidak adil terhadap mereka. Patriarki
sendiri berasal dari kata patriarki yang berarti peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, pusat
dan segala sesuatunya merupakan struktur tatanan. Budaya patriarki yang dipatuhi perempuan
seringkali dimulai dari rumah. Pemrosesan ini terjadi di tingkat rumah dan kemudian menyebar
ke domain publik. Laki-laki diberi keistimewaan khusus oleh budaya yang menjadikan mereka
pusat kekuasaan baik di tingkat keluarga maupun masyarakat, sedangkan perempuan hanyalah
perempuan. 76

Menurut Susanto, sejarah diskriminasi terhadap perempuan cukup panjang dan beragam
menurut ras, daerah, dan negara. Sejak awal, patriarki telah membentuk peradaban di mana laki-
laki dianggap superior dalam segala hal. Ini datang dalam bentuk stereotip, marginalisasi,
ketergantungan, kekerasan, dan beban kerja. Idenya adalah bahwa kondisi sosial yang
mendorong perilaku kekerasan seringkali mencerminkan ketimpangan sosial dan ekonomi.
Mengenai kekerasan terhadap perempuan, Hosking mengatakan berbagai studi tentang seksisme
telah menemukan hubungan antara tingkat kekerasan terhadap perempuan. Jacobson telah
mengidentifikasi sejumlah faktor sosial yang dapat memfasilitasi terjadinya kekerasan, termasuk
kekerasan terhadap perempuan:77

A. Sikap masyarakat yang permisif;


B. Melonggarkan kendali laki-laki atas pengambilan keputusan dan membatasi
kebebasan perempuan;
C. Organisasi peran laki-laki dan perempuan dalam status sosial dan sosial yang kaku;
D. Hubungan antara orang-orang yang merendahkan perempuan;
E. Lingkungan kumuh dan kepadatan penduduk;
F. Paparan kekerasan.

Konvensi CEDAW menempatkan hak gender perempuan dalam praktik hak asasi
manusia. Dasar Konvensi CEDAW adalah prinsip kesetaraan gender. Prinsip persamaan antara
laki-laki dan perempuan sebenarnya ada tidak hanya dalam arti persamaan yang secara formal
didefinisikan oleh undang-undang, tetapi juga dalam realitas dan hakekatnya, yaitu persamaan
hakiki. Pengenalan CEDAW tidak menciptakan pemisahan antara sektor publik dan swasta. Di

76
Ibid, h. 65.
77
Ibid, h. 66.
sisi lain, CEDAW memastikan bahwa pelaksanaan sistem hak asasi manusia yang komprehensif
harus secara simultan mencakup hak-hak dalam kehidupan semua umat manusia. Budaya, seperti
hukum, adalah konsep yang kompleks. Ini termasuk nilai-nilai, aspirasi, bahasa dan ideologi
masyarakat. Sebagai sebuah konsep, budaya historis dan sosiologis tertentu. Budaya memiliki
arti khusus yang perlu apresiasi khusus. Penilaian yang serius terhadap tatanan hukum
internasional atau nasional harus mempertimbangkan keragaman budaya dunia. Hukum dan
budaya bertemu di bidang-bidang seperti hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri
individu, definisi otonomi budaya dan perlindungan warisan budaya.78

Dalam kasus yang terjadi, perubahan signifikansi budaya mengganggu kelangsungan


pencapaian hasil peraturan yang ditetapkan. Dalam Pasal 5 Konvensi CEDAW dijelaskan bahwa
Negara harus mengambil semua tindakan yang tepat untuk meningkatkan perilaku sosial dan
budaya laki-laki dan perempuan. Juga diharapkan bahwa stereotip dan kebiasaan, dan semua
praktik lain yang didasarkan pada inferioritas atau superioritas gender, atau prasangka antara
laki-laki dan perempuan, akan dihilangkan. Berdasarkan isi Pasal 5 Konvensi CEDAW,
diharapkan Negara mematuhi ketentuan tersebut dan meningkatkan kesadaran publik terhadap
praktik budaya yang merugikan. Pemerintah juga harus membuat undang-undang yang tepat
untuk mengatasi praktik seperti kawin paksa di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara
Timur dan untuk mendukung perempuan yang menjadi korban dari praktik budaya berbahaya
ini. Oleh karena itu, prinsip-prinsip yang dianut oleh konvensi CEDAW, yaitu prinsip non-
diskriminasi dan prinsip persamaan, merupakan dua pilar hak asasi manusia yang diabadikan
dalam sebagian besar instrumen hak asasi manusia. Tidak ada definisi yang diterima secara luas
tentang istilah kesetaraan, secara umum diterima bahwa kesetaraan berarti non-diskriminasi.
Oleh karena itu, tindakan diskriminasi akan mengakibatkan pelanggaran terhadap persamaan hak
.79

e) Analisis Pasal 332 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Terhadap Praktek
Kawin Paksa di Desa Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara
Timur.

78
Ibid, h. 67.
79
Ibid, h. 68.
f) Fenomena kawin paksa adat di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
merupakan kejahatan yang tercakup dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), yaitu kawin paksa yang menimbulkan tindakan kekerasan yang menimbulkan
penderitaan korban baik kerugian psikis maupun fisik dan melawan kepositifan. . hukum
karena diatur dalam undang-undang. Pernikahan paksa dikatakan memiliki perbedaan
antara persyaratan hukum positif dan tradisi dan adat. Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah menyatakan bahwa kawin paksa adalah
tindakan kekerasan, yaitu kawin paksa. Siti Aminah mengatakan hal itu melanggar hukum
karena memang korban dalam hal ini perempuan telah dirampas kebebasannya. Perbuatan
kawin paksa atas nama adat di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, dari
segi hukum pidana, tentu merupakan tindak pidana berdasarkan Pasal 332 ayat 2.
Sedangkan Pasal 332 Ayat 2 KUHP mengatur bahwa; “Dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun, barang siapa melarikan diri dari seorang wanita dengan cara tipu
muslihat, kekerasan, atau ancaman kekerasan dengan maksud menikahi atau tidak
menikahi wanita itu.” Dalam pasal 332 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), unsur utamanya adalah kekerasan atau ancaman kekerasan. Kawin paksa yang
terjadi di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur yaitu kekerasan yang
dilakukan oleh pelaku dengan cara penangkapan, intimidasi dan intimidasi serta pelecehan
seksual terhadap unsur Pasal 332 ayat 2, dilakukan dan dapat dipidana. terjerat hukuman.

f)Analisis Pasal 333Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Terhadap Praktek Kawin
Paksa di Desa Dameka, Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara
Timur.

Pasal 333 KUHP menyatakan bahwa; “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian,
diancam pidana penjara paling lama delapan tahun.”80 Sifat melawan hukum dengan merampas
kemerdekaan perempuan di desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur dengan cara
mengambil perempuan secara paksa untuk dinikahkan adalah unsur yang terdapat dalam Pasal
333 KUHP. Merampas kemerdekaan seseorang adalah sebuah bentuk kejahatan dan pelanggaran.
Kawin paksa sendiri dilakukan dengan cara yang tidak manusiawi. Biasanya perempuan korban

80
Pasal 333 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
kawin paksa diculik oleh sekelompok laki-laki dari tempat-tempat umum seperti pasar, rumah,
dll. Akan sulit bagi seorang wanita untuk diculik melawan kekuatan fisik sekelompok pria.
Begitu pula keluarga korban yang tidak bisa membela diri. Resistensi keluarga yang rendah
karena terjebak dalam situasi yang mendorong mereka untuk menerima pernikahan anak
perempuan yang telah diculik oleh laki-laki. Kebebasan perempuan jika dipaksakan akan hilang
dalam perkawinan, karena mereka akan hidup dalam kendali laki-laki dan harus menerima
keadaan. Dalam kasus penculikan, perempuan korban kawin paksa akan diperlakukan secara
kejam. Mereka akan diseret, ditangkap, dan dipaksa masuk ke kediaman pelaku. Perempuan
korban kawin paksa sering mengalami kekerasan fisik berupa kontak seksual dari para
penculiknya. Bahkan setelah kembali ke rumah laki-laki, perempuan yang dipaksa menikah akan
langsung ditempatkan sekamar dengan pelaku dan ditekan untuk segera melamar. Dalam
beberapa kasus, pelaku memperkosa korban sehingga korban terpaksa menerima permintaannya.
Praktik ini menempatkan perempuan sebagai objek negosiasi atau ketamakan daripada sebagai
subjek independen. Korban juga dirugikan secara seksual, fisik, psikologis, sosial dan spiritual.81

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan dan analisis mengenai praktek kawin paksa yang terjadi di desa
Dameka, kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur maka penulis memberikan
kesimpulan dalam skripsi ini mengenai permasalahan kawin paksa yang terjadi.
Kawin paksa merupakan sebuah tradisi perkawinan yang memaksakan seorang
perempuan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan maksud mengawini
perempuan untuk dijadikan istri yang masih dilakukan oleh masyarakat di Desa Dameka,
Kecamatan Katiku Tana Selatan, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Tradisi ini pada
mulanya dilakukan atas dasar kesepakatan antara keluarga laki-laki dan perempuan melalui
81
Herman etc.al, Adat Kawin Tangkap (Perkawinan Paksa) Sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual,
Halu Oleo Legal Research Vol. 5, No. 1 , April 2023, H, 2.
prosedur adat yang efektif. Beberapa kasus kawin paksa baru-baru ini menunjukkan bahwa
pentingnya tradisi ini semakin berkurang. Akan tetapi, menikah dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh Negara
sehingga warga negara dapat menggunakannya tanpa dihalangi atau dilarang. Padahal,
perkawinan diakui sah oleh negara apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan
masing-masing pihak yang melangsungkan perkawinan.
kawin paksa yang terjadi di Desa Dameka, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur
merupakan bentuk kejahatan dan penyimpangan karena hal tersebut merendahkan martabat
seorang perempuan sehingga perlu mendapatkan perhatian serius oleh semua kalangan
seperti pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Akademisi, dan para tokoh agama
terutama para aparat penegak hukum untuk menindak setiap para pelaku kawin paksa
sehingga mendapatkan efek jera agar setiap perbuatan kawin paksa dengan
mengatasnamakan tradisi atau budaya tidak lagi dilakukan.

5.2. Saran
Dari semua pembahasan secara menyeluruh tentang kawin paksa yang terjadi di Desa
Dameka, Sumba Tengah Nusa Tenggara Timur, maka penulis memberikan masukkan berupa
saran yang bermanfaat agar mudah dipahami dan dimengerti.
Perkawinan seharusnya dilakukan berdasarkan undang-undang yang berlaku dan adat
istiadat serta tradisi selama proses perkawinan itu tidak merugikan pihak perempuan.
Perkawin yang baik dan benar adalah perkawinan yang berdasarkan saling cinta antara pria
dan wanita ingin yang menikah serta pentingnya keterlibatan kedua pihak orang tua
mempelai untuk merestui perkawinan sehingga terciptanya keluarga yang harmonis dan
damai.

Anda mungkin juga menyukai