gendernya sebagai seorang perempuan.1 Kelompok transpuan adalah kelompok yang rentan
mendapatkan viktimisasi. Adapun pengertian Viktimisasi yaitu merupakan proses dimana seseorang
menjadi korban tindak kejahatan. Viktimisasi adalah suatu proses penimbulan korban yang dapat
disebabkan oleh berbagai hal, misalnya viktimisasi yang disebabkan oleh kriminal kekerasan dan
hal lainnya. Viktimisasi merupakan suatu kajian dari viktimologi, yang dimana viktimisasi itu
J. E. Sahetapy berpendapat bahwa viktimisasi adalah sebagai penderitaan, baik secara fisik
maupun psikis atau mental berkaitan dengan perbuatan pihak lain. Perbuatan yang dilakukan oleh
perorangan, suatu kelompok tertentu, suatu komunitas tertenyt, bahkan juga pihak pemerintah,
sehingga korban bukan saja perorangan, melainkan kelompok orang atau komunitas tertentu atau
sebagian rakyat yang menderita, bukan saja secara fisik melainkan inklusif yakni meliputi dalam
arti finansial, ekonomi, sosial, agama dalam arti psikis secara luas.
1 Carroll, J. L. (2019). Sexuality now:Embracing diversity (6th ed). Boston, MA: Cengage Learning.
UPAYA PERLINDUNGAN TERHADAP KAUM TRANSPUAN BERDASARKAN
VIKTIMOLOGI KRITIS
Viktimologi kritis sebagai suatu perspektif yang menekankan bahwa terjadinya viktimisasi bukan
hanya terjadi dari peran korban, tapi juga faktor lain diluar korban yakni struktur sosial.Pada sub
bab sebelumya telah dijelaskan bagaimana bentuk viktimisasi dan reviktimisasi yang dialami oleh
kaum transpuan, maka fungsi viktimilogi kritis juga menampung kebutuhan dan aspirasi kaum
konstitusinya, memiliki kewajiban untuk melindungi HAM bagi setiap warga negaranya. Hal ini
ditegaskan pada Pasal 28C UUD 1945 yang memberikan jaminan bagi setiap orang untuk
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Amanat konstitusionalisme dalam
Pasal 28C ini ditegaskan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(HAM). Kedua norma ini berkaitan dengan Hal ini senada dengan Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) yang dikeluarkan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 16 December 1966 dan mulai berlaku pada tanggal 3
Januari 1976. Hak ekosob meliputi hak atas pendidikan, hak atas perumahan, hak atas standar
hidup yang layak, hak kesehatan, hak atas lingkungan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan budaya.
Pasal 38 UU HAM yang memuat jaminan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Tetapi
kaum transpuan seringkali mengalami kesulitan akibat diskriminasi seperti yang dialami
responden NF, CT, dan UT. Responden CT merupakan seorang Sarjana yang diproyeksikan
perempuan menyebabkan dirinya tidak mendapatkan pekerjaan. Solusi terkait hal ini adalah
dengan mewajibkan setiap lembag yang membutuhkan tenaga kerja agar tidak
Adanya diskriminasi untuk mendapatkan pekerjaan juga terjadi secara terstruktur, yakni
adanya regulasi yang memuat diskriminasi terhadap transpuan. Regulasi tersebut diantaranya
adalah Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER-048 /A/JA/12/2011 Tentang
Pengadaan Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia. Peraturan tersebut menyebutkan
persyaratan khusus bagi Pelamar Calon Pegawai Negeri Sipil, yaitu pelamar tidak cacat mental
termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender) yang sangat diskriminatif.
Adapun peraturan diskriminatif akses pekerjaan bagi transpuan adalah Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) Nomor 23/K/KPI/02/2016 yang secara tegas melarang program siaran mengenai
“pria yang kewanitaan”. Untuk mengatasi hal ini, langkah yang dilakukan adalah mereformulasi
aturan yang diskriminatif tersebut karena bertentangan dengan UU HAM dan Pasal 28C UUD
1945.
Selain kebutuhan akan pekerjaan, negara juga harus mewujudkan amanat konstitusionalisme
yang terkandung dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tentang jaminan untuk setiap orang untuk
mendapatkan hidup yangsejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kenyataannya, ini tidak berlaku bagi kaum transpuan seperti yang dituturkan oleh ibu Shinta,
Pengurus Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Hal karena biasanya para transpuan tidak memiliki
KTP dan BPJS, dan atau bila mereka memiliki KTP maupun BPJS, maka mereka masih
diidentifikasi identitas awal mereka. Solusi dalam hal ini adalah dengan mereformulasi regulasi
administrasi kependudukan agar lebih akomodatif bagi para transpuan, yang nantinya diharapkan
mereka bisa mendapatkan layanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selanjutnya
adalah menyediakan layanan kesehatan khusus untuk transpuan, baik kesehatan fisik dan mental.
Mengingat transpuan rentan untuk melakukan bunuh diri akibat diskriminasi dan ketiadaan
Kelompok transpuan yang kerap mendapatkan kekerasan verbal seperti yang dialami ZA
yang berasal dari kota Semarang dan CT yang berasal dari Sleman, Yogyakarta. Akar masalah ini
karena stigma negatif yang berakar dari konstruksi sosial yang cenderung menganggungkan
maskulinitas, pandangan agama tertentu yang menegasikan transpuan, dan pandangan lain yang
Upaya mampu dilakukan apabila ditinjau dari viktimologi kritis adalah menghapus stigma
negatif yang menjadi akar kekerasan verbal dengan melakukan edukasi terhadap masyarakat
bahwa transpuan bukanlah suatu kelainan, melibatkan agamawan untuk akomodatif untuk
mencegah masyarakat melakukan kekerasan verbal, dan lainnya. Misalnya adalah dengan
mereformulasi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pedoman
disebutkan, Orang Dengan Masalah Kejiwaan dimana kaum transpuan dikategorikan sebagai
yang dialami kelompok heteroseksual. Hal ini yang dialami oleh ST dan FR. Upaya perlindungan
untuk mencegah hal ini adalah dengan melakukan edukasi dan sosialisasi yang tidak hanya
melainkan juga kepada kelompok transpuan. Selanjutnya adalah menegakan disiplin internal
terhadap anggota Kepolisian yang kerapkali tidak menindaklanjuti laporan transpuan sebagai
korban kekerasan seksual. Setelah melakukan edukasi dan penegakan disiplin agar pencegahan
dan proses penyidikan kekerasan bisa menghasilkan keputusan yang adil, juga memberikan
melakukan upaya hukum untuk mendapatkan hak-haknya. Contoh konkret adalah kerjasama
LBH Yogyakarta dan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Pendampingan hukum ini diperlukan
karena sebagai kelompok yang rentan menjadi korban, kelompok transpuan membutuhkan
pendampingan hukum agar mereka memahami haknya, sekaligus dapat membantu mereka untuk
DAFTAR PUSTAKA
Pamela Davies, Peter Francis, and Victor Jupp, Victimisation:Theory, Research and Policy
J. E. Sahetapy, Teori Kriminologi (Suatu Pengantar), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1982)
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pedoman Penggolongan