Abstrak
Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan isu yang sangat kompleks, multi
sebab sehingga penanganan yang dilakukan tidak hanya dapat ditangani oleh pemerintah atau
pihak yang berwajib tetapi juga hukum, gereja dan masyarakat. Untuk itu, penelitian ini
bertujuan untuk memberikan gambaran pentingnya peran pelayanan diakonia sebagai strategi
dalam menangani masalah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dibungkam oleh
ketidakadilan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif
kualitatif. Data-data dikumpulkan melalui studi kepustakaan serta dianalisa secara mendalam dan
diuraikan secara deskriptif. Hasilnya adalah pelayanan diakonia dengan metode AI merupakan
cara yang efektif untuk menangani masalah kekerasan seksual terhadap perempuan yang
dibungkam oleh ketidakadilan.
PENDAHULUAN
Berbicara tentang kekerasan seksual tentunya bukanlah suatu permasalahan yang jarang
ditemui pada lapisan masyarakat, Bahkan kekerasan seksual telah menjadi perhatian dunia
dewasa ini. Mengingat kekerasan seksual selalu saja mengalami peningkatan yang tidak hanya
terjadi pada orang dewasa tetapi juga remaja bahkan anak-anak. Terkhusus pada masa pandemic
covid-19 yang dimulai dari 2019 hingga sekarang, yang semakin merajalela ditenga-tengah dunia
khususnya di Indonesia. Hal tersebut sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Akibatnya berbagai aturan yang dikeluarkan pemerintahan untuk menekan penyebaran covid-19
mulai dari lock down, PPKM hingga aturan 5M saat melakukan aktivitas. Namun tidak dapat
dipungkiri masalah lain selalu timbul oleh pandemi ini yang juga mengarah pada ke berbagai
bentuk kejahatan, terlebih mengarah kepada kekerasan seksual.
Menurut catatan tahunan (CATAHU) komnas hukum melampirkan terdapat 2.775.042
kasus mulai dari tahun 2010-2020, kasus kekerasan seksual ini dialami oleh anak-anak, remaja
dan orang tua. hal ini mempelihatkan setiap tahunnya kasus kekerasan seksual secara terus
meneris mengalami peningkatan. bahkan kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan
seiring dengan kondisi covid-19 yang semakin marak. Terlihat dari CATAHU Komnas
Perempuan yang menerima kenaikan pengaduan langsung yaitu sebesar 2.389 kasus
dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus sebelum covid-19 terjadi. Sehingga dapat
dikatakan terdapat peningkatan pengaduan 970 kasus di tahun 2020 hingga saat ini.1
Beranjak dari hal demikian, Bagaimanakah kekerasan seksual dalam prespektif hukum,
pemerintah, gereja dan masyarakat?, bagaimanakah eksistensi pelayanan diakonia ditengah
permasalahan kekerasan seksual?, Dan strategi pelayanan diakonia apa yang dilakukan ditengah-
tengah masyarakat yang mengalami kekerasan seksual?. Pokok-pokok pikiran tersebut akan di
uraikan dalam paparan selanjutnya.
METODE PENELITIAN
1
Komnas perempuan, Perempuan dalam himpitan pandemi : lonjakan kekerasan seksual, kekerasan siber,
perkawinan anak dan keterbatasan penanganan ditengah covid-19 (Jakarta: komnas perempuan, 2021).
teologis penulis terdapat peristiwa tentang pelecehan yang diangkat dari beberapa tokoh dalam
Alkitab yang ditafsir ulang.
Perspektif Hukum
2
veryanto Sitohang dkk., “Pendampingan Terhadap Korban Kekerasan Sesual” (Seminar, Sekolah Tinggi Diakones
HKBP Balige, 2021).
Dalam kehidupan sosial perempuan mempunyai posisi yang khas didalam masyarakat
dan negara-negara di dunia. Hal ini terlihat dari kontribusi yang diberikan perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan yang dapat dirasakan hampir seluruh lingkup kehidupan sehari-
hari. Namun, meskipun demikian mereka seakan-akan menderita dalam setiap keadaan dan
menjadi kelompok dalam posisi yang seringkali merasakan kekerasan dan ketidakadilan.
Memang dalam status sosial perempuan sudah memperoleh status yang cukup mulia, akan
tetapi mereka masih harus diberikan kemampuan dan hak yang lebih dalam bidang hukum,
sosial, politik, dan ekonomi.3
Sebanarnya, merespon isu mengenai ketimpangan hak terhadap perempuan sudah banyak
dilakukan oleh badan negara-negara di dunia. Salah satu contohnya adalah melalui The
Convention on the Elimination of All Froms (CEDAW) Atau Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Konvensi Wanita). Melalui konvensi ini, pemerintah
Indonesia ingin meratifikasi CEDAW melalui UU No.7 Tahun 1984 tentang pengesahan
konvesi mengenai penghapusan terhadap segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, yang
disusun sesuai kebutuhan zaman dan didorong oleh kondisi sosial dan kultural di Indonesia
yang telah mengubah segala bentuk relasi laki-laki dan perempuan. Akan tetapi merespon
hak-hak perempuan tentunya tidak cukup hanya satu pokok seperti CEDAW, melainkan juga
harus dilihat dari peraturan yang dibuat dalam negara sendiri yaitu peraturan perundang-
undangan.
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3
dan Pasal 4 menegaskan adanya hak asasi manusia (termasuk perempuan di dalamnya) untuk
tidak disiksa dan tidak mendapat perlakuan yang diskriminatif dan mendapatkan hak sama di
hadapan hukum.4 Hal ini memperlihatkan hak perempuan dalam berbagai sektor secara garis
besar terbagi menjadi 5 yaitu :
3
Yulia Asmara Triputra, “Penguatan Hak-hak Perempuan (Sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia Dalam
Konstitusi),” jurnal Equitable 2, no. 1,2017,hlm 9.
4
Desti Murdijana dkk., Risalah Kebijakan Kekerasan Seksual : Stigma Yang Menghambat Akses pada Pelayanan
(Jakarta: Komnas Perempuan, 2019).
4. Hak dalam perkawinan dan keluarga
5. Hak dalam kehidupan publik dan politik
Artinya hukum yang belaku dalam negara Indonesia sangat jelas menolak segala jenis
diskriminasi terhadap perempuan. Dan luasnya hak-hak perempuan tersebut menyatakan
bahwa hak perempuan berhadapan dengan hukum. Hal tersebut terlihat dalam Buku Saku
Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum tertuang secara implisit
hak-hak perempuan, antara lain:
Berbagai hak perempuan yang diperhadapkan dengan hukum tersebut menjadi prinsip
untuk menangani segala bentuk ketidakadilan yang dirasakan perempuan terkhususnya dalam
permasalahan kekerasan seksual. Oleh sebab itu, atas tinjauan umum inilah diharapkan dapat
memberikan gambaran secara umum mengenai bagaimana seharusnya hukum menanggapi
permasalahan kekerasan seksual. Sehubungan dengan hak-hak hukum bagi perempuan,
penanganannya tidaklah hanya diperankan oleh hukum saja. Namun dalam hal ini, pemerintah
yang merupakan pemengang kekuasaan, pengendali sekaligus pembimbing masyarakat juga
harus berperan. Dengan hal demikian bagaimanakah kekerasan seksual dalam perspekstif
pemerintah?.
5
pasal 1 angka 1, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili Perempuan
Berhadapan Dengan Hukum.
Perspektif Pemerintah
Pemerintah dalam arti luas adalah semua aktivitas yang terorganisasi yang bersumber
pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, rakyat, atau penduduk
dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Itu artinya pemerintah memiliki
kewenangan dan kekuasaan untuk mencegah segala bentuk permasalahan dan menciptakan
kesejahteraan. Menurut sosiolog thoenes menyatakan bahwa suatu bentuk masyarakat yang
mempunyai sistem penjaminan atau pemeliharaan oleh pemerintah secara demokratis,
menjamin kesejahteraan sosial kolektif bagi semua anggotanya. kesejahteraan kolektif
meliputi kesempatan kerja, upah kerja, daya beli, daya komsumsi, kepastian sosial, kehidupan
budaya dan semangat kewarganegaraan.6
6
A Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja (Teologi dalam Perspektif Reformasi) (Jakarta: BPK.Gunung Mulia,
2017).
tersebut dilakukan melalui sosialisasi, pengadaan rumah aman (atau sejenisnya untuk tempat
para korban), pemberdayaan serta pembantuan penanganan secara hukum terhadap korban
yang dikerahkan oleh instansi-instansi social. Pelayanan sosial oleh pemerintah ditengah-
tengah masyarakat tersebut sebagai bukti kepedulian pemerintah akan kesejateraan warganya.
Perspektif Gereja
Berbagai konflik sosial indonesia yang berakhir dengan tindakan kekerasan, apapun
pemicunya, memperlihatkan bahwa kekerasan telah menjadi model untuk menyelesaikan
masalah. Salah satu contohnya adalah kekerasan seksual terhadap perempuan yang sering
sekali menjadi jalan pintas dalam menyelesai pertentangan yang terjadi bagi para perempuan.
Hal ini dapat dilihat dari permasalahan gender yang berujung kekerasan seksual,
permasalahan tradisi dan budaya yang juga berujung kekerasan seksual perempuan dan masih
banyak lagi. Ironisnya, Indonesia dikenal oleh dunia luar sebagai bangsa yang ramah.
Seharusnya, Indonesia menjadi negara yang bebas dari segala tindakan kekerasan, namun
nyatanya Indonesia adalah salah satu negara terbanyak dengan kasus kekerasan.
Pada tingkat berbangsa, gereja dalam hal ini perlu menjadi inkarnasional dengan
mengembangkan kesalehan yang terlibat dalam masalah-masalah kemanusian dan
lingkungan.7 Karena baik secara dogma ataupun dokumen peraturan gereja sangat menentang
berbagai kekerasan seksual terhadap perempuan. Kekerasan seksual bagi gereja merupakan
dosa besar yang melanggar ajaran Tuhan. Oleh sebab itulah, gereja dalam masalah kekerasan
seksual terhadap perempuan harus bersuara sebagaimana yang Tuhan Allah mengkehendaki
ia dalam dunia ini sebagai utusan untuk menyatakan misi keselamatan-Nya dalam berbagai
masalah-masalah kemanusia.
Ada dua pandangan yang mengharuskan gereja perlu bersuara terhadap isu kekerasan
seksual yang terjadi yaitu: pertama secara harafiah gereja merupakan persekutuan orang-orang
yang percaya akan kristus. Orang-orang percaya disebut sebagai jemaat. Jemaat dalam
persekutuan tersebut merupakan bagian dari masyarakat, dengan demikian tidak ada space
bagi gereja untuk tidak terlibat dengan permasalahan yang terjadi ditengah jemaat yang
merupakan bagian dari masyarakat. yang kedua, jika ditinjau dari panggilan gereja di dunia,
7
Supriantro, onesimus Dani, dan Daryatno, Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian Menjadi Gereja Bagi
Sesama (Jakarta: BPK.Gunung Mulia, 2009).
secara teologis Alkitabiah menyatakan: Gereja atau jemaat Kristen berada dalam dunia, tetapi
ia bukan dari dunia. artinya gereja dipanggil ditengah-tengah dunia untuk menyaksikan
hukum-hukum dan janji-janji Allah, melalui seluruh peri kehidupan dengan kata dan
perbuatan (1 Ptr. 2:9; Mat. 5:13-16), yang termuat dalam tritugas panggilan gereja.8
Gereja dalam tritugas panggilannya yaitu marturia, koinonia, diakonia harus dapat
menyuarakan ketidakadilan didunia mangenai isu-isu sosial yang terjadi, bukan hanya sebagai
pemberitaan injil maupun sebagai saksi akan kebenaran firman Tuhan, tetapi juga harus dapat
menyalurkan kebenaran akan firman Tuhan tersebut melalui tindakan atau perbuatan nyata,
namun dalam banyak cara. gereja-gereja dan komunitas-komunitas masih tinggal dalam
penyangkalan mengenai kekerasan, dan masih ada tekanan agar mereka yang terlibat turut
berpartisifasi dalam penyangkalan kekerasan yang terjadi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Hal ini terlihat jelas dalam pelayanan yang dilakukan oleh banyak Gereja yang
kehadiran sering mengecewakan berbagai pihak. Banyaknya gereja yang menetang kekerasan
seksual terhadap perrempuan, namun secara langsung gereja juga melakukan tindakan atau
perilaku yang sama terhadap perempuan. Seperti kasus seorang pendeta di Surabaya ditahan
polisi dengan tuduhan mencabuli jemaatnya selama enam tahun pada tanggal 8 maret 2020.9
Kasus ini hanya satu dari kian banyak kasus kekerasan seksual yang dilakukan pendeta.
Selain itu kehadiran gereja dalam masalah kekerasan seksual juga menjadi gambaran
gereja secara tidak langsung mengecewakan berbagai pihak. Hal terlihat jelas dari pelayanan
gereja terhadap korban kekerasan seksual yang sering menjadi permasalahan ditengah jemaat.
Gereja terhadap pelaku atau korban kekerasan seksual akan melakukan peringatan seperti
dikeluarkan dari gereja. Dalam situasi ini gereja dalam program pelayanan terhadap pihak
yang bersangkutan akan melakukan pendampingan atau mengembalakan, namun dalam
kenyataan program tersebut tidak terealisasi ditengah jemaat ataupun gereja, dan secara tidak
langsung gereja menutup mata akan permasalahan tersebut. untuk itulah gereja sebagai
institusi moral harus tanggap terhadap situasi aktual khususnya perilaku amoral yang marak di
kalangan masyarakat.
Perspektif Masyarakat
8
Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja (Teologi dalam Perspektif Reformasi).
9
Rachmawati, “Gunakan kuasa, pendeta di surabaya cabuli jemaatnya,” Kompas.com, 2020.
Kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan masalah sosial yang sangat
komplek dan multi sebab, hampir semua perempuan rentan menjadi korban tidak memandang
usia, ras, budaya, status sosial dan ekonomi. Masalah ini selain menjadi bencana sosial bagi
hukum, pemerintah dan gereja tetapi juga bagi masyarakat. Menurut Paul B. Horton dan
Chester L. Hunt, masyarakat adalah kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama
dalam waktu yang relatif lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan
yang sama, serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok tersebut.
Berhubungan hal tersebut, membuktikan bahwa masyarakat dalam komunitas
memiliki suatu sistem komunitas yang sangat berkaitan satu sama lain, sehingga dalam segala
bentuk-bentuk bencana sosial khususnya kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan
dalam masyarakat sangat muda dicerna atau diamati oleh masyarakat karena fakta sosial ini
berwujud nyata dalam lingkungan masyarakat sehingga tidak membutuhkan diskusi dan
analisa yang dalam, namun selama berabad-abad, masyarakat telah mengembangkan
mekanisme untuk mengatasi peristiwa-peristiwa yang menyakitkan, karena Kondisi tersebut
sering sekali ditinjau masyarakat dari dimensi persepsi.
persepsi masyarakat terkait bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
menunjukkan persepsi yang dominan adalah terkait siapa korban kekerasan masih
menunjukkan bias terhadap fakta kekerasan yang terjadi, masyarakat masih mempersepsikan
bahwa korban adalah orang lain, itu artinya bahwa masyarakat masih menempatkan persoalan
kekerasan terhadap perempuan berada diluar lingkaran hidupnya. Walaupun seharusnya data
dan peristiwa kekerasan yang dipublikasikan cukup menjadi informasi bagi masyarakat untuk
mengetahui profil korban kekerasan, namun keyakinan masyarakat terhadap nilai-nilai gender
telah mengaburkan pengalaman kekerasan yang dialami dan dilihat oleh masyarakat, terkait
dengan persepsi siapa korban.
Oleh sebab itulah, dalam mengatasi kekerasan seksual masyarakat lebih sering
memilih pola penaganan yang berujung pada musyawarah. Seperti kasus pemerkosaan yang
dilakukan oleh orangtua terhadap 2 anak remaja di Desa Losung aek, Kec. Simangumban
pada tahun 2021, yang berujung pada pengusiran korban dari permukiman warga, karena
dianggap meresahkan kehidupan warga setempat. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak
masyarakat memiliki presepsi yang salah terhadap masalah kekerasan seksual yang terjadi di
lingkungannya. Dengan demikian pengetahuan melalui pendidikan kritis harus mulai
dipikirkan sehingga masyarakat lebih jujur mengungkapkan fakta sosial dan tidak terus
menerus berada pada kesadaran semu atau naïf.
10
Jan. S Aritonang dan Asteria T Aritonang, Mereka Juga Citra Allah (Hakikat dan Sejarah Diakonia Termasuk bagi
yang Berkeadaan dan Berkebutuhan Khusus) (Jakarta: BPK.Gunung Mulia, 2017). hlm 11.
mereka perderitaan itu secara sukarela. Inilah yang Tuhan Yesus inginkan untuk ditelani oleh
semua orang yang percaya kepadanya.
Diakonia bukanlah gerakan yang insidentil; dilakukan saat sesuatu terjadi, namun
menjadi bagian dari panggilan dan pelayanan gereja setiap saat. Meskipun dalam pandemi ini
hanya dapat melakukan diakonia karitatif sebagai wujud respon nyata gereja dan
mayarakat, tindakan seperti itu sangat berharga. Namun untuk jangka panjang, gereja harus
membangun jaringan di dalam dan di luar gereja; baik dilakukan langsung ataupun
diwakilkan kepada institusi tertentu. Gereja tidak boleh menganggap pelayanan diakonia
sebagai beban yang akan menghabiskan anggaran gereja. Jika memang karitatif menjadi
fokus, maka itulah yang terjadi. Gereja-gereja harus membuka diri dan bersinergi
dengan agama lain dalam menyikapi kekerasan seksual terutama mereka yang rentan terhadap
perempuan akibat struktur yang menindas, artinya pelayanan diakonia harus dapat
menyuarakan keadilan melalui tindakan gereja. Oleh karena itu, eksistensi pelayanan diakonia
merupakan salah satu tindakan iman untuk menolong orang-orang yang membutuhkan
pertolongan tanpa memandang darimanakah orang-orang yang membutuhkan pertolongan itu
berasal.
11
George Hormat, Menciptakan Kenyataan Baru (Kupang, Nusa Tenggara Tmur: PIKUL, 2011).
1. hubungan tahap dream dan tahap sebelumnya, yaitu bagaimana topik afirmatif, impian
kelompok FGD dan peta inti positif melandasi proses penemuan impian pada
pertemuan puncak ini.
2. rangkaian proses fase dream, bagaimana peta impian, vision statement dan value
statement akan dihasilkan.
3. bagaimana hasil-hasil dalam fase ini digunakan sebagai landasan bagi fase design.
Tentu saja unsur kemasyarakatan memiliki nilai dan vizi kolektif yang dapat
dikembangkan diantaranya
1. korban sebagai patokan pertama dari permasalahan yang terjadi, yang memberikan
informasi dan keputusan sebagai mana keputusannya.
2. Pelaku sebagai informan kedua yang juga tidak jauh penting dalam proses
penyelesaian masalah
3. Keluarga sebagai suatu pendukung yang lebih dekat dengan korban dan pelaku yang
sedikit banyaknya dapat mendorong proses penyelesaian masalah
4. Masyarakat, memiliki nilai yang cukup berpengaruh dalam permasalahan yang terjadi,
karena pada dasarnya masyarakat memiliki aturan yang disepakati oleh masyarakat
dalam suatu wilayah.
5. Aparat kepolisian, merupakan tempat pengaduan ketidakadilan sekaligus penyelidik
dari suatu kasus kekerasan
6. Hukum merupakan patokan yang mengatur segala persolan yang terjadi sesuatu aturan
negara yang termuat dalam Undang-undang
7. Pemerintah/ dinas sosial/ pekerja sosial, yang mengusahankan penanganan secara
signifikan
8. Gereja dan pelayan, indicator palayanan yang mengembangkan eksistensi kehadiran
Allah dalam setiap proses, dan penyadaran akan keadilan dan kesejahteraan.
3. Design: Membangun Misi dan Strategi Tujuan
Tahap design adalah menentukan misi organisasi atau komunitas dan strategi untuk
mewujudkan impian-impian tentang pemenuhan hak dasar yang telah dinyatakan di
dalam vision statement. Dalam tahap ini setiap unsur kemasyarakat dengan nilai yang
dimiliki menjaddi suatu misi yang dipakai untuk mencapai tujuan
1. Korban sebagai informan yang membantu dalam proses penyelesaian masalah dan
penentu keputusan pada dirinya artinya dalam setiap usaha yang dilakukan keputusan
tetap ada pada diri seorang korban yang mengalami.
2. Pelaku sebagai informan yang tidak kalah penting, sebagai pendukung dalam setiap
proses penanganan permasalahan yang terjadi
3. Keluarga pemberi dukungan kepada korban yang mengalami kekerasan ditengah
keterpurukannya, bagi pelaku, keluarga manjadi pengawas atau memantau atas apa
yang dilakukan pelaku. Selain itu keluarga juga menjadi mediator yang dipakai untuk
memaksimalkan keputusan yang di ambil karena, pada dasarnya korban maupun
pelaku lebih terbuka terhadap keluarganya
4. Masyarakat, keterlibatan masyarakat dalam menangani permasalah kekerasan seksual
tentu bias mendukung proses penyelesaian masalah, selain sebagai mediator untuk
mengamankan amukan masyarakat, masyarakat juga terlibat dalam pemecahan
masalah dengan norma dan nilai yang berlaku.
5. Aparat kepolisian berperan sebagai penanganan yang pertama untuk mengamankan
permasalahan yang terjadi.
6. Hukum berperan sebagai pemutus hukum sesuai dengan yang berlaku secara adil tanpa
menitipberatkan salah satu hak-hak yang dimiliki kedua bela pihak.
7. Pemerintah/dinas sosial/ pekerja sosial, tentu peran dari ketiga komponen ini lebih
kepada pelayana sosial yang tidak hanya berperan sebagai dalam penanganan tetapi
juga bagaimana proses kesejahteraan korban secara holistik, yang mengembangkan
dan memberdayakan setiap pihak.
8. Gereja/ pelayan, menengahi segala proses penanganan yang terjadi karena, yang pasti
ada ketimpangan pada setiap sektor yang berusahan menyelesaikan masalah
4. Destiny (Delivery) Action Plan
Seluruh Komunitas Rangkaian pelaksanaan fase discovery, dream dan design dalam
Pertemuan Puncak AI telah menghasilkan peta inti positif, pernyataan visi, asas,
pernyataan misi (elemen sukses) dan strategi (Perubahan Penting). Dengan segala visi,
misi dan strategi yang dilakukan korban kekerasan seksual mendapat keadilan sesuai
kepeutusan yang tidak menitikberatkan dirinya sebagai korban dari kekerasan
Hal yang sungguh menarik masalah kekerasan seksual terhadap perempuan adalah
pembuktian bahwa Appreciative Inquiry tidak saja berhasil mendorong ditemukannya impian
yang ”paling memanggil” dan karena itu terus mendorong pribadi atau komunitas untuk
mewujudkan keadilan. Metode ini juga memiliki daya untuk menengakkan keadilan dan
proseinal dari suatu sektor yang ikut serta dalam penaganan. Dalam upaya mengejar impian yang
dihasilkan visioning dan perencanaan sebelumnya, sejumlah impian dan rencana tindakan baru
muncul.
Refleksi teologis
Saat ini kekerasan seksual terhadap perempuan makin menikat, baik yang terjadi dalam
rumah maupun diluar rumah. Perempuan rentan terhadap kekerasan (fisik, psikis, ekonomi dan
seksual) karena dipandang lebih rendah (kurang berkuasa) sehingga gampang ditindas oleh
mereka yang punya kuasa, dalam hal ini laki-laki. Selain itu persepsi yang salah mengenai
kerberadaan perempuan dalam suatu tradisi kebudayaan juga membuat perempuan mengalami
kekerasan. Budaya yang tidak hanya memengaruhi laki-laki tetapi juga perempuan. Hampir
semua perempuan percaya bahwa posisi mereka memang dibawah laki-laki dan oleh Karena itu
mereka harus tunduk kepada laki-laki.
Dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan, perempuan sering
sekali mengalami reviktimisasi yang artinya korban disalahkan atas kekerasan seksual yang
dialaminya. Hal ini sering terjadi dengan berbagai alas an, salah satunya karna pakaian, tubuh
dan lain sebagainya. Akan tetapi perlu diketahui alasan sedemikian bukanlah hal yang baru
dalam kehidupan masyarakat saat ini, melainkan sudadh terjadi sejak dulu, termasuk Zaman
Alkitab. Sehungan dengan hal tersebut, beberapa kasus kekerasan seksual yang terdapat didalam
alkitab, yang dikaitkan dengan beberapa kisah kekerasan seksual terhaddap perempuan yang
pembungkaman yang dilakukan
Kisah Dina, Tamar dan Gundik, berubah menjadi kisah bapaknya, kisah saudara laki-laki,
kisah suami dan kisah sang pemerkosanny, yang lebih memeperhatikan kehormatan keluarga da
tamu daripada kehormatan kaum perempuan. Kebungkaman Dina,Tamar dan Gundik juga
menunjukkan bentuk kekerasan yang lain, sehingga bias dikatakan behwa pada akhirnya
mengalami double kekerasan dari pemerkosaan dan kelaurganya sendiri. Kekerasan seksual
adalah sebuah kominkasi antara pribadi yang penuh kuasa. Melalui tindakan pemerkosaan,
pemerkosa hendak mengatakan bahwa korban hanyalah objek yang dapat dirusak dan
dibungkam. Kepercayaan diri korban dihancurkan sehingga korban merasa tidak berdaya, tidak
berharga, malu dan merasa bersalah (berdosa). Maka dari itulah perempuan-perempuan korban
kekerasan perlu ditolong untuk untuk menyuarakan penderitaan dan kemarahan mereka.
Tradisi kebudayaan yang dikisah dalam alkitab ini menceritakan bagaimana proses
ketidakadilan terus menerus terjadi ditengah-tengah kehidupan manusia. Akan tetapi perlu
diketahui setelah kedatangan Tuhan Yesus Kristus telah mematahkan presepsi tersebut. Yesus
dalam pelayanannya ditengah dunia mengambarkan ketidksetujuan dari segala aturan yang buat
tradisi kebudayaan. Hal ini terlihat jelas ketika Yesus membela perempuan yang tubuhnya
12
Alkitab (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1988).
hendak dihancurkan oleh orang-orang dengan tuduhan perzinahan. Perempuan dan tubuhnya
dimerdekakan sebagai pribadi yang merdeka (Yoh. 8:1-11).
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
1, pasal1 angka. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman
mengadili Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, t.t.
Aritonang, Jan. S, dan Asteria T Aritonang. Mereka Juga Citra Allah (Hakikat dan Sejarah
Diakonia Termasuk bagi yang Berkeadaan dan Berkebutuhan Khusus). Jakarta:
BPK.Gunung Mulia, 2017.
Asmara Triputra, Yulia. “Penguatan Hak-hak Perempuan (Sebagai Bagian dari Hak Asasi
Manusia Dalam Konstitusi).” jurnal Equitable 2, no. 1 (2017): 9.
Hormat, George. Menciptakan Kenyataan Baru. Kupang, Nusa Tenggara Tmur: PIKUL, 2011.
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1988.
Murdijana, Desti, Siti Nurwati Hodijah, Ema Mukarramah, Shanti Ayu Prawitasari, Dea
Prameswari, dan Raisa Nur Sugiri. Risalah Kebijakan Kekerasan Seksual : Stigma Yang
Menghambat Akses pada Pelayanan. Jakarta: Komnas Perempuan, 2019.
Noordegraaf, A. Orientasi Diakonia Gereja (Teologi dalam Perspektif Reformasi). Jakarta:
BPK.Gunung Mulia, 2017.
perempuan, Komnas. Perempuan dalam himpitan pandemi : lonjakan kekerasan seksual,
kekerasan siber, perkawinan anak dan keterbatasan penanganan ditengah covid-19.
Jakarta: komnas perempuan, 2021.
Rachmawati. “Gunakan kuasa, pendeta di surabaya cabuli jemaatnya.” Kompas.com. 2020.
Sitohang, veryanto, Irma Simajuntak, Rammen Sinaga, Lamria Sinaga, dan Eleven Sihotang.
“Pendampingan Terhadap Korban Kekerasan Sesual.” Dipresentasikan pada Seminar,
Sekolah Tinggi Diakones HKBP Balige, 2021.
Supriantro, onesimus Dani, dan Daryatno. Merentang Sejarah, Memaknai Kemandirian Menjadi
Gereja Bagi Sesama. Jakarta: BPK.Gunung Mulia, 2009.