Analisis gender adalah sebuah alat analisis untuk memahami realitas sosial. Sebagai teori,
tugas utama analisis gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktik
hubungan baru antara kaum laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan
sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dapat dilihat jika kita
menggunakan alat analisis sosial lainnya, seperti analisis kelas, analisis kultural, dan analisis
diskursus. Jadi, analisis gender merupakan kacamata baru untuk menambah dan melengkapi
analisis sosial yang telah ada.
Di seluruh dunia perempuan secara terus menerus mengalami perlakuan diskriminasi,
eksploitasi, dan kekerasan yang berbasis gender, bahkan untuk alasan-alasan yang tidak masuk
akal. Sebagai manusia, perempuan mendambakan perlakuan yang adil dari sesama manusia serta
terbebaskan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan oleh siapa pun, dimana pun,
dan atas alasan apa pun. Demi mencapai kondisi yang didambakan itu, kelompok pembela
perempuan menyerukan dalam berbagai pertemuan internasional untuk segera menyusun
instrumen Hak Asasi Manusia sebagai landasan bagi upaya penegakan dan perlindungan dan
pemajuan hak asasi perempuan.
Karena kesadaran masyarakat dunia sudah semakin tinggi dalam upaya perlindungan hak
asasi manusia, sebagai hasilnya, muncul sejumlah konvensi mengenai pembelaan terhadap hak-
hak asasi perempuan. Di antaranya, Konvensi tentang Pengupahan yang Sama bagi Perempuan
dan Laki-laki untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (1951), Konvensi tentang Hak Politik
Perempuan (1953), Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan yang Menikah (1957),
Konvensi Anti Diskriminasi Dalam Pendidikan (1960), Konvensi tentang Persetujuan
Perkawinan, Umur Minimum bagi Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan (1962), dan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1979). Terakhir dalam
Konferensi HAM PBB di Wina tahun 1993 ditegaskan bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak
Asasi Manusia (Women‘s Rights are Human Rights). Artinya, perempuan dan laki-laki diakui
setara sebagai manusia, keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Keduanya
mempunyai nilai kemanusiaan yang sama.
Dengan jaminan instrumen Hak Asasi Manusia ini, perempuan mampu dengan bebas
melangkah dalam konteks penegakan hak-hak anak yang belakangan ini menjadi perhatian dan
tuntutan komunitas internasional. Selain itu, persoalan anak juga terkait dengan perempuan.
Bukan hanya karena anak itu lahir dari rahim perempuan, yang membesarkan dan mengasuhnya
hingga dewasa, tetapi juga karena banyaknya kasus-kasus diskriminasi atau pelanggaran
terhadap perempuan melibatkan sang anak. Artinya, pengurangan atau penafian hak-hak
perempuan membawa akibat pada pengurangan atau penafian hak-hak anak. Bahkan, sang anak
menjadi korban yang lebih besar dibandingkan orang dewasa. Apalagi kalau anak itu adalah anak
perempuan.
Bentuk lain dari ketidakadilan gender adalah kekerasan (violence). Perlakuan kekerasan
terhadap perempuan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori; kekerasan di ranah domestik
dan kekerasan di ranah publik. Intensitas kekerasan pada perempuan Indonesia dinilai sangat
tinggi. Perhatikan saja laporan resmi pemerintah, dalam hal ini laporan dari Kantor Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan KOMNAS PEREMPUAN, demikian pula laporan tahunan
sejumlah LSM pemerhati perempuan, seperti LBH APIK, KAPAL Perempuan, Solidaritas
Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Mitra Perempuan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang
Darmawati mengatakan, hingga saat ini implementasi kesetaraan gender masih belum ditemukan
di Indonesia khususnya di bidang pekerjaan. Dia memparkan berdasarkan data dari BPS pada
Agustus 2021 menunjukkan bahwa jumlah pekerja menurut lapangan pekerjaan utama sektor
pertambangan dan penggalian bagi perempuan masih tertinggal jauh dari laki-laki dimana jumlah
pekerja perempuan hanya sekitar 578.000 sementara laki-laki 996.000. "Hingga saat ini
kesetaraan gender masih belum ditemukan di Indonesia khususnya di bidang pekerjaan. Padahal
berdasarkan pada kenyataannya di Indonesia dari segi jumlah, perempuan mengisi hampir
setengah jumlah bangsa dan kesetaraan gender merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang
sudah sepatutnya diprioritaskan dalam setiap sektor pekerjaan," ujarnya dalam diskusi media
virtual bertema Perempuan-Perempuan di Dunia Tambang, Senin (18/4/2022).
Tidak hanya tertinggal dari segi jumlah, pada kenyataannya diskriminasi kesetaraan
gender dari segi upah pada sektor pertambangan dan penggalian juga masih ditemui. "Tercatat
juga bahwa rata-rata upah pekerja perempuan di sektor ini hanya sekitar Rp 3 juta, sementara
untuk laki-laki sekitar Rp 3,7 juta," bebernya. Dia menilai, ketegangan dan kerentanan
kesetaraan gender khususnya bagi perempuan terjadi tidak disebabkan karena dirinya yang
menganggap lemah, melainkan karena konstruksi sosial terus berkembang di Indonesia yang
sangat kental dengan budaya patriarki. "Hal ini menyebabkan perempuan menjadi tertinggal dan
mengalami diskriminasi dalam berbagai sektor pembangunan," ungkapnya.
CATAHU (Catatan Tahunan) 2022 merekam isu-isu khusus yang muncul dari kasus-
kasus yang ditangani Komnas Perempuan. Di antaranya, pertama, KBG terhadap perempuan
oleh pejabat publik, ASN, tenaga medis, anggota TNI, dan anggota Polri. Kekerasan berbasis
gender terhadap perempuan yang dilakukan oleh kelompok yang seharusnya jadi pelindung,
tauladan dan pihak yang dihormati ini sekitar 9% dari jumlah total pelaku.