Anda di halaman 1dari 5

ANALISI GENDER DI ERA 2022

Analisis gender adalah sebuah alat analisis untuk memahami realitas sosial. Sebagai teori,
tugas utama analisis gender adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi dan praktik
hubungan baru antara kaum laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan
sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural), yang tidak dapat dilihat jika kita
menggunakan alat analisis sosial lainnya, seperti analisis kelas, analisis kultural, dan analisis
diskursus. Jadi, analisis gender merupakan kacamata baru untuk menambah dan melengkapi
analisis sosial yang telah ada.
Di seluruh dunia perempuan secara terus menerus mengalami perlakuan diskriminasi,
eksploitasi, dan kekerasan yang berbasis gender, bahkan untuk alasan-alasan yang tidak masuk
akal. Sebagai manusia, perempuan mendambakan perlakuan yang adil dari sesama manusia serta
terbebaskan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan oleh siapa pun, dimana pun,
dan atas alasan apa pun. Demi mencapai kondisi yang didambakan itu, kelompok pembela
perempuan menyerukan dalam berbagai pertemuan internasional untuk segera menyusun
instrumen Hak Asasi Manusia sebagai landasan bagi upaya penegakan dan perlindungan dan
pemajuan hak asasi perempuan.
Karena kesadaran masyarakat dunia sudah semakin tinggi dalam upaya perlindungan hak
asasi manusia, sebagai hasilnya, muncul sejumlah konvensi mengenai pembelaan terhadap hak-
hak asasi perempuan. Di antaranya, Konvensi tentang Pengupahan yang Sama bagi Perempuan
dan Laki-laki untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (1951), Konvensi tentang Hak Politik
Perempuan (1953), Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan yang Menikah (1957),
Konvensi Anti Diskriminasi Dalam Pendidikan (1960), Konvensi tentang Persetujuan
Perkawinan, Umur Minimum bagi Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan (1962), dan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1979). Terakhir dalam
Konferensi HAM PBB di Wina tahun 1993 ditegaskan bahwa Hak Asasi Perempuan adalah Hak
Asasi Manusia (Women‘s Rights are Human Rights). Artinya, perempuan dan laki-laki diakui
setara sebagai manusia, keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Keduanya
mempunyai nilai kemanusiaan yang sama.
Dengan jaminan instrumen Hak Asasi Manusia ini, perempuan mampu dengan bebas
melangkah dalam konteks penegakan hak-hak anak yang belakangan ini menjadi perhatian dan
tuntutan komunitas internasional. Selain itu, persoalan anak juga terkait dengan perempuan.
Bukan hanya karena anak itu lahir dari rahim perempuan, yang membesarkan dan mengasuhnya
hingga dewasa, tetapi juga karena banyaknya kasus-kasus diskriminasi atau pelanggaran
terhadap perempuan melibatkan sang anak. Artinya, pengurangan atau penafian hak-hak
perempuan membawa akibat pada pengurangan atau penafian hak-hak anak. Bahkan, sang anak
menjadi korban yang lebih besar dibandingkan orang dewasa. Apalagi kalau anak itu adalah anak
perempuan.
Bentuk lain dari ketidakadilan gender adalah kekerasan (violence). Perlakuan kekerasan
terhadap perempuan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori; kekerasan di ranah domestik
dan kekerasan di ranah publik. Intensitas kekerasan pada perempuan Indonesia dinilai sangat
tinggi. Perhatikan saja laporan resmi pemerintah, dalam hal ini laporan dari Kantor Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan KOMNAS PEREMPUAN, demikian pula laporan tahunan
sejumlah LSM pemerhati perempuan, seperti LBH APIK, KAPAL Perempuan, Solidaritas
Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, Mitra Perempuan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang
Darmawati mengatakan, hingga saat ini implementasi kesetaraan gender masih belum ditemukan
di Indonesia khususnya di bidang pekerjaan. Dia memparkan berdasarkan data dari BPS pada
Agustus 2021 menunjukkan bahwa jumlah pekerja menurut lapangan pekerjaan utama sektor
pertambangan dan penggalian bagi perempuan masih tertinggal jauh dari laki-laki dimana jumlah
pekerja perempuan hanya sekitar 578.000 sementara laki-laki 996.000. "Hingga saat ini
kesetaraan gender masih belum ditemukan di Indonesia khususnya di bidang pekerjaan. Padahal
berdasarkan pada kenyataannya di Indonesia dari segi jumlah, perempuan mengisi hampir
setengah jumlah bangsa dan kesetaraan gender merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang
sudah sepatutnya diprioritaskan dalam setiap sektor pekerjaan," ujarnya dalam diskusi media
virtual bertema Perempuan-Perempuan di Dunia Tambang, Senin (18/4/2022).

Tidak hanya tertinggal dari segi jumlah, pada kenyataannya diskriminasi kesetaraan
gender dari segi upah pada sektor pertambangan dan penggalian juga masih ditemui. "Tercatat
juga bahwa rata-rata upah pekerja perempuan di sektor ini hanya sekitar Rp 3 juta, sementara
untuk laki-laki sekitar Rp 3,7 juta," bebernya. Dia menilai, ketegangan dan kerentanan
kesetaraan gender khususnya bagi perempuan terjadi tidak disebabkan karena dirinya yang
menganggap lemah, melainkan karena konstruksi sosial terus berkembang di Indonesia yang
sangat kental dengan budaya patriarki. "Hal ini menyebabkan perempuan menjadi tertinggal dan
mengalami diskriminasi dalam berbagai sektor pembangunan," ungkapnya.

Apalagi, lanjut dia, perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus, baik secara


fisiologi seperti menstruasi, hamil dan menyusui, sehingga diperlukan strategi khusus dan
spesifik demi memenuhi kebutuhan tersebut. Dia juga menilai, kebutuhan-kebutuhan tersebut
yang menjadi hambatan apabila perempuan ingin memiliki profesi tertentu terutama di bidang
teknologi, engineering ataupun di bidang industri pertambangan yang masih dianggap sebagai
pekerjaan laki-laki. "Padahal kita tidak boleh memberikan label gender pada pekerjaan apapun,
menjadi tugas kita semua untuk memastikan semua sektor dan seluruh bidang pekerjaan menjadi
ramah bagi perempuan sekalian," pungkasnya.

CATAHU (Catatan Tahunan) 2022 merekam isu-isu khusus yang muncul dari kasus-
kasus yang ditangani Komnas Perempuan. Di antaranya, pertama, KBG terhadap perempuan
oleh pejabat publik, ASN, tenaga medis, anggota TNI, dan anggota Polri. Kekerasan berbasis
gender terhadap perempuan yang dilakukan oleh kelompok yang seharusnya jadi pelindung,
tauladan dan pihak yang dihormati ini sekitar 9% dari jumlah total pelaku.

Pejabat publik, aparatur sipil negara (ASN), tenaga medis, anggota TNI dan Anggota


Polri menjadi sorotan karena memiliki kekhasan terkait kekuasaan berlapis baik kekuasaan
patriarkis termasuk relasi kekeluargaan, ekonomi maupun kekuasaan jabatan dan pengaruh yang
dimiliki oleh pelaku. Terjadi impunitas, korban tidak mendapatkan dukungan penyelesaian kasus
pada sistem peradilan pidana, kebenaran kekerasan yang dialaminya disangkal yang
mengakibatkan korban bungkam dan meminta mutasi ke kota lain.

Kedua, kasus-kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap perempuan


berhadapan dengan hukum (PBH) yang diidentifikasi telah mengalami penyiksaan, perlakuan
atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dalam
proses pemeriksaan. Bentuk penyiksaan seksual seperti penelanjangan, pemerkosaan, kekerasan
verbal termasuk pelecehan seksual dan kekerasan fisik.
Pelaksanaan Qanun Jinayat juga memberlakukan salah satu jenis penghukuman yang
tidak manusiawi. Sebanyak 23 PBH yang dinyatakan melakukan pelanggaran Qanun Jinayat,
hampir sebagian besar didakwa dengan pasal mengenai
zina, khalwat, ikhtilat (bermesraan) dan 11 PBH mendapatkan hukum 100 kali cambuk dengan
tuduhan berzina, 9 PBH dicambuk antara 17-20 dengan tuduhan ikhtilat, dan 2 orang
ditambahkan 3 tahun penjara karena dianggap melakukan prostitusi. Tercatat pula pidana mati
sebagai puncak tertinggi diskriminasi dan kekerasan berbasis gender terhadap
perempuan yang penantian panjang eksekusi mati menjadi penyiksaan tersendiri.

Ketiga, kekerasan terhadap PPHAM pada 2021 memperlihatkan pendamping korban


KBG merupakan yang paling rentan mengalami serangan. Para pendamping pada lembaga
layanan berbasis pemerintah seperti UPTD dan P2TP2A mulai melaporkan serangan yang
berkaitan dengan kerja-kerja HAM.

Keempat, konflik di Papua dan pandemi Covid-19 yang telah mengakibatkan


menurunnya kualitas hidup perempuan Papua. Angka kekerasan terhadap perempuan Papua
dengan HIV/AIDS di Provinsi Papua dan Papua Barat tercatat tinggi pada masa pandemi Covid-
19, situasi mereka juga nyaris tak terpantau.  Situasi disabilitas mental, yang salah satunya
disebabkan KdRT, juga masih mengalami tantangan. Minimnya layanan terintegrasi antara isu
HIV/AIDS dan kekerasan terhadap perempuan atau disabilitas mental dan kekerasan terhadap
perempuan menjadi salah satu penyebab. 

Dalam hal penanganan dan penyelesaian kasus, Komnas Perempuan mencatat hanya


sedikit informasi yang tersedia atau sekitar 15% dari total kasus yang dicatatkan oleh lembaga
layanan dan Komnas Perempuan. Upaya penyelesaian lebih banyak secara hukum (12%)
dibandingkan dengan cara non hukum (3%). Bahkan banyak kasus tidak ada informasi
penyelesaiannya (85%).
Ada berbagai hal jadi kendala dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan berbasis gender
terhadap perempuan, termasuk dalam substansi hukum yang terlihat dari penggunaan basis
hukum dan pasalnya. Persoalan keterbatasan infrastruktur yang dibutuhkan untuk penyelesaian
kasus, termasuk SDM, fasilitas dan anggaran berulang-ulang dikeluhkan oleh lembaga layanan
untuk dapat menjalankan layanan secara optimal.
Peningkatan jumlah kasus yang diterima oleh Komnas Perempuan (16 kasus/hari) yang
tidak dibarengi dengan sumber daya kelembagaan yang memadai menjadikan penyelesaian kasus
tidak optimal. Di tengah peningkatan pelaporan kasus KBG terhadap perempuan yang juga
semakin kompleks, daya penanganan kasus yang sangat terbatas ini dikuatirkan akan
menyebabkan stagnansi dalam hal kapasitas penanganan kasus.
Komnas Perempuan mencatat kemajuan kebijakan tahun 2021, di antaranya (a) adanya
rintisan inisiatif perumus kebijakan di sektor tata kelola pemerintahan, sumber daya manusia,
dan pendidikan terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan baik
oleh pemerintahan daerah maupun pemerintah pusat; (b) adanya upaya pemenuhan hak atas
administrasi kependudukan (adminduk) yang nondiskriminatif bagi seluruh WNI tanpa kecuali
termasuk transgender, kelompok disabilitas, dan masyarakat adat wilayah terpencil oleh
Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil), didukung
pula Layanan Call Center SAPA 129 KemenPPPA untuk akses bagi korban atau pelapor dalam
pengaduan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak.
Sedangkan aspek kemunduran di antaranya tercatat adanya rancangan kebijakan di
tingkat undang-undang yang menghadapi tantangan kompleks untuk dapat dibahas dan disahkan
di setiap tahapan pembentukan undang-undang, mispersepsi dan ketidakpahaman publik, akses
publik terhadap proses pembahasan dan dokumen rujukan, serta komitmen perumus kebijakan
terkait prioritas rancangan kebijakan terkait urgensi perlindungan kelompok rentan. Juga masih
terus tertundanya pembentukan perundang-undnagan yang berdampak terhadap perempuan
dan berpihak pada kelompok rentan yaitu RUU PPRT, RUU TPKS, RUU Masyarakat Adat dan
RUU tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender.

Anda mungkin juga menyukai