Anda di halaman 1dari 14

RUU PKS dan Kesetaraan Gender dalam Perspektif Marxisme

Oleh: Bayu Kurniawan (130601161400610

Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

Abstrak

“Di tahun 2019 ini, masyarakat Indonesia sedang ramai bermunculan diskusi dan literasi
mengenai pelecehan seksual, kesetaraan gender, LGBT, hak asasi manusia, dan RUU PKS.
Diskusi-diskusi ini bermunculan baik dalam ranah privat maupun publik, baik dari forum
daring, maupun forum luring. Paper ini membahas mengenai polemik RUU PKS yang dinilai
oleh beberapa kalangan (terutama agamis) mampu memperbanyak perilaku zina. Adapun
yang mendukung RUU ini sebagai upaya pemberantasan ketidakadilan, pelecehan, dan
pemerkosaan terhadap perempuan. Dengan menggunakan perspektif marxisme, isu ini akan
dikaitkan dengan kelas sosial dan kultur patriarki yang dibentuk dan dipertahankan oleh
budaya kapitalisme.”

Kata Kunci: RUU PKS, pelecehan seksual, marxisme, kesetaraan gender, kapitalisme

___________________________________________________________________________

Pendahuluan

Dewasa ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan keluarnya Rancangan Undang-Undang


Penghapusan Kekerasan seksual (RUU PKS). Banyak desakan atas pengesahan RUU tersebut
pada tahun 2018 lalu, apalagi setelah kasus Agni (Mahasiswa UGM yang diperkosa saat
melakukan KKN atau Kuliah Kerja Lapangan) muncul ke publik. banyak kalangan aktivis
dan publik yang menuntut keadilan bagi kasus Agni. Komisi Nasional Anti-Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) salah satu yang paling gencar dalam mewujudkan
pengesahan terhada RUU PKS ini.

RUU PKS dibentuk oleh Komnas Perempuan karena mereka sadar Indonesia sedang
mengalami darurat kekerasan seksual. Data Komnas Perempuan mengatakan antara tahun
2013-2017 telah terjadi 28.019 kaus kekerasan seksual yang diaami oleh perempuan dan
anak-anak. Komnas Perempuan juga mencatat setiap 2 jam teraat 3 perempuan di Indonesia
menjadi korban kekerasan seksual.1

Disisi lain, pemerintah semakin giat berupaya untuk meningkatkan Indeks Kesenjangan
Gender atau Gender Inequality Indeks (GII) yang setiap tahun dirilis Badan Pembangunan
Program Pembangunan PBB (UNDP). Upaya untuk meningkatkan indeks ini dilakukan
pemerintah dengan berbagai cara, misalnya dengan meningkatkan jaminan kesehatan pada
para ibu, memberikan peluang yang sama dalam segala sektor pekerjaan bagi perempuan,
kebebasan berpolitik dan berpendapat bagi perempuan dan lain sebagainya.

Dua hal ini, RUU PKS dan upaya pemerintah dalam meningkatkan indeks kesenjangan
gender, memberikan gambaran betapa meleknya masyarakat Indonesia terhadap ketimpangan
gender dan kekerasan terhadap peremuan di Indonesia. Ini merupakan sebuah progres yang
positif. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, bagaimana hal ini bisa terjadi?

Nyatanya Indonesia memang belum lepas dari belenggu pola pikir patriakal atau pola pikir
diskriminatif terhadap perempuan. Menurut World Bank dalam Laporan Women, Busniness
and The Law 2019, Indonesia berada di peringkat 141 dengan skor 64,38.2Angka ini bisa
dikatakan kecil dan menyatakan Indonesia yang belum sadar secara penuh terhadap hak-hak
perempuan sebagai manusia dan warga negara.

Sejarah Perjuangan Perempuan

Sebelum kita membahas mengenai gerakan perempuan di Indonesia, kita bahas dulu
mengenai ideologi feminisme yang menjadi hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Feminisme
menjadi primadona dalam gerakan hak asasi manusia, khususnya perempuan. Feminisme
merupakan gerakan kaum perempuan untuk memperoleh kesetaraan dan kebebasan dari
penindasan laki-laki serta aturan-aturan yang mereka buat. Istilah ini dipopulerkan oleh
Charles Fourier, seorang sosialis Perancis yang banyak mempengaruhi perkembangan

1
Lihat, Shafira Amalia, “Komnas Perempuan Desak DPR Adakan Dialog Soal RUU PKS”,
https://magdalene.co/story/komnas-perempuan-desak-dpr-adakan-dialog-soal-ruu-pks (Diakses pada tanggal
18 maret 2019, pukul 20.15)

2
Lihat, World Bank Group, “Women, Business And The Law”,
https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/31327/WBL2019.pdf (diakses pada tanggal
18 Maret 2019, pukul 20.30)
gerakan feminisme di seluruh dunia. Pendefinisian feminisme kemudian menjadi sulit karena
kaum feminis tidak ingin memberikan definisi yang pasti dan seragam dengan berbagai
alasan.

Gerakan ini muncul pertama kali di Eropa pada abad ke-17 dalam bentuk protes dari kaum
perempua terhadap gereja. pada masa itu, gereja merupaka institusi tertinggi yang menguasai
hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. pada dasarnya kekuasaan gereja yang besar dan
aturan-aturannya yang bersifat mutlak memang dianggap sewengang-wenang dan
menyusahkan masyarakat pada umumnya. Akan tetapi, kaum perempuan sebagai kelompok
minoritas bahkan menerima perlakuan yang lebih tidak menyenangkan lagi karena mereka
dianggap sebagai mahkluk golongan kedua. Salah satu tokoh feminisme yang paling awal
adalah seorang wanita bangsawan perancis bernama Simone de Beavoir yang menyuarakan
aspirasinnya melalui karya sastra.

Kemudian feminisme mulai dikenal di Indonesia melalui karya R.A. Kartini. Beliau berpikir
bahwa kaum perempuan harus diberikan hak untuk menempuh pendidika seperti halnya
kaum laki-laki. Memang benar perjuangan perempuan sudah terjadi jauh sebelum R.A.
Kartini melahirkan karya-karyanya. Bahkan, perannya sebagai pejuang perempuan dikritisi
oleh banyak kalangan, karena perannya yang diangga terlalu kecil. Akan tetapi yang menjadi
sorot utama perjuangan perempuan yang sampai pada publik adalah karya R.A. Kartini.

Gerakan feminisme di Indonesia tidak seheboh dengan Amerika. Berbagai peristiwa besar
seperti demonstrasi menuntut persamaa hak dengan laki-laki tidak pernah terjadi di
Indonesia. Hal ini terjadi lantaran budaya Indonesia yang sangat di dominasi oleh ajaran
agama Islam. Selain itu, perbedaan tingkat pendidikan merupakan sebab ain kenapa gerakan
feminisme di Indonesia tidak sedinamis di negara lain.

Runtuhnya Orde Baru yang telah menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang bertahan
selama 32 tahun telah membawa implikasi dan krisis yang bersifat multidimensi. Berbagai
belenggu yang menyangkut kebebasan berorganisasi, berpendapat dalam setiap aspek
kelembagaan baik formal maupun non formal telah membuka pintu derasnya arus demokrasi
dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Demokrasi yang datang ditengah hiruk pikuknya globalisasi telah memunculkan berbagai
problematika yang kompleks. Problematika yang mendasar dan paling dirasakan masyarakat
banyak adalah keterpurukan ekonomi yang menciptakan beban berat yang membawa
implikasi antara lain adalah tingginya angka pengangguran (36 juta jiwa) yang
mengakibatkan munculnya anak jalanan/vandalisme dan kriminalitas, peningkatan biaya
hidup, kecemburuan ekonomi yang mengakibatkan isu sara yang mengancurkan tatanan fisik
dan moral masyarakat, krisis kepercayaan terhadap penguasa, dsb. Dalam era reformasi,
munculnya berbagai organisasi wanita yang membangkitkan kembali para reformis wanita
seperti tahun 1930-an yang tidak saja membela kaumnya sendiri, melainkan juga membela
dan memikirkan nasib masyarakat marjinal, berbagai organisasi LSM yang membela rakyat
kecil antara lain Wardah Hafiz, kelompok perempuan yang menamakan Suara Ibu Peduli
yang membela hak anak, Ratna Sarumpaet yang memperjuangkan demokrasi dan hak buruh
perempuan lewat organisasi Teaternya, Nursyahbani Kacasungkana yang membela wanita
dari obyek kekerasan dan kejahatan melalui supremasi hukum, tidak ketinggalan Ibu Aisyah
Amini yang telah berkiprah dalam dunia politik sejak lama, serta masih banyak lagi tokoh
wanita Islam lainnya yang berkiprah dalam organisasi wanita.

Permasalahan perempuan masa kini masih menunjukkan sebagian gambaran permasalahan


masa lalu yang belum terselesaikan. Seperti telah dikemukakan di atas, masalah kini semakin
kompleks, berbagai permasalahan yang muncul merupakan senyawa dari masalah
lokal/internal dan global/eksternal.

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh PAP pada tahun 1999, terdapat delapan
prioritas masalah perempuan Indonesia.3

No Persoalan Frekuensi Persen


1 Jumlah perempuan dalamm posisi pengambil 96 92,3
keputusan sedikit
2 Perempuan korban kekerasan/pelecehan seksual 91 87,5
kurang mendapat perlindungan hukum
3 Upah pekerja perempuan lebih rendah dari upah 82 78,8
laki-laki.
4 Pelecehan seksual terhadap perempuan terjadi di 79 76
lingkungan pekerjaan

3
Yayasan Jurnal Perempuan YjP, Aspirasi Perempuan anggota Parlemen terhadap pemberdayaan politik
perempuan, International IDEA Institute for Democracy and Electoral Assistence, Yayasan Jurnal Perempuan ,
1999, Hal 23
5 Perempuan cenderung dijadikan obyek seksual di 78 76
media massa
6 Tidak adanya perlindungan hukum terhadap 78 75
pembantu rumah tangga perempuan
7 Terjadinya eksploitasi terhadap perempuan 78 75
melalui pengiriman TKW ke luar negara

Munculnya berbagai permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa hambatan sebagai


berikut : Pertama, kondisi politik. Perempuan belum terwakili secara proporsional dalam
posisi politik strategis. Jumlah wanita yang menduduki jabatan eselon I dan II departemen
hanya 5,5% atau 843 atau 15.332 orang.4 Hal ini dapat disebabkan oleh sosialisasi keluarga
yang menanamkan bahwa pendidikan politik itu keras, jahat, dunia laki-laki, penuh
persaingan tidak sehat, tidak tepat bagi perempuan. Aktif dalam pendidikan politik perlu
kesediaan waktu tanpa batas. Kedua, kondisi sosial – ekonomi. Masalah utama yang dihadapi
adalah kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah. Saat kini perempuan Indonesia
memiliki peran ganda, disatu sisi sebagai ibu rumah tangga dan disisi lainnya sebagai wanita
karier yang ternyata belum diimbangi oleh perubahan infrastrukrur dan tata nilai-nilai religius
yang memadai. Arus peran ganda ini merupakan konsekuensi logis dari hadirnya
industrialisasi dan urbanisasi serta kondisi ekonomi negara yang ada dalam krisis
berkepanjangan. Dalam transformasi menuju era masyarakat industri dan kondisi krisis
tersebut, wanita dipaksa menanggung beban keluarga, menjadi tenaga pekerja. Rendahnya
tingkat pendidikan secara umum yang dimanifestasikan ke dalam ketrampilan buruh dapat
menyebabkan buruh wanita masuk ke dalam kelompok vulnerable (kelompok rentan) dan
akan masuk kedalam lingkungan kerja yang memiliki predikat 3D, yaitu dirty (kotor),
dangerous (berbahaya) dan difficult (kesukaran). Pelecehan seksual dan kriminalitas di
kawasan industri menunjukkan frekuensi sangat tinggi. Kompas Agustus 2000 menunjukkan
bahwa rata-rata angka aborsi di Indonesia telah menunjukkan 2 juta /tahun yang lebih tinggi
dari rata-rata di dunia 1,7 juta/tahun. Obyek penelitian ini dilakukan disekitar Jakarta
(Jabotabek). Demikian pula wanita perdesaan, ia mempunyai peran sama dengan pria yang
tidak selalu menyandarkan dirinya pada pria. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

4
Ibid, hal. 24
Kementrian Pemberdayaan Perempuan menujukkan bahwa 60% perempuan Indonesia harus
menghidupi diri sendiri dan keluarganya (Kompas 4 juli 2000). Selain itu kondisi umum
keterlibatan perempuan dalam pembangunan tidak menghasilkan manfaat bagi perempuan
sendiri. Sukses besar peran perempuan dalam menurunkan angka kelahiran 6,2% pada tahun
1970-an menjadi 3,2% pada tahun 80-an ternyata tidak diikuti oleh berubahnya status
kesehatan perempuan. Ketiga, masalah yang berkaitan dengan aspek ideologis dan
psikologis. Masalah ini terutama dihadapi oleh wanita yang berkiprah di bidang politik, yang
meliputi peran tradisional, kurangnya kepercayaan, peran media massa. Peran tradisional
perempuan dalam dunia politik menuntut perubahan pola emosi, cara memandang sesuatu
serta berfikir sebagai proses dalam memutuskan sesuatu hal. Pola pendiktean yang
berlangsung lama dalam lingkup tradisional perlu diubah, hal ini dapat mematikan potensi
kreatif dan memperlemah kekuatan intelektual. Sebenarnya membuat keputusan bukanlah
karakter khusus gender, melainkan kemanusiaan pada umumnya, atau dengan kata lain
seorang manusia memegang kekuasaan adalah alami, dan seorang perempuan memegang
kekuasaan adalah alami juga, atau seharusnya demikian. Kurang kepercayaan diri merupakan
alasan utama perempuan tidak terwakili dalam organisasi politik. Perempuan memiliki
potensi sebagai juru kampanye, pengorganisir pendukung mobilisasi, tapi takut berkompetisi
memperebutkan kedudukan atau posisi dalam parlemen (misalnya). Ia masih dihinggapi
budaya takut berkompetisi. Reformasi yang datang seiring dengan arus globalisasi yang
diakui menguntungkan kebebasan pers telah dimanipulasi dengan beredarnya publikasi
melalui media cetak dan elektronik seperti : televisi dengan sinetron dan iklan, internet
dengan situs tertentu, penerbitan majalah, surat kabar yang mengarah ke pornografi dengan
menampilkan wanita dengan pose yang seronok yang menawarkan gaya hidup yang
konsumtif dan pada akhirnya akan merusak lingkungan secara luas.5

Marx dan Feminisme

Mengadopsi dari pemikiran Karl Marx dalam karyanya bersama Engels di dalam Manifesto
Komunis (1893) “penindas dan yang tertindas, seantiasa ada dalam pertetangan satu dengan
yang lain ... masyarakat borjuis modern yang timbul dari reruntuhan feodal ... menciptakan

5
Sri Hidayati Djoeffan, “Gerakan Feminisme-Feminisme di Indonesia “, Jurnal Mimbar. No. 3, July 2001, hal.
290-293
kelas-kelas baru”.6 Dalam hal ini, masyarakat industri menciptakan kelas-kelas baru di dalam
masyarakat. Kelas baru ini bisa ditafsirkan dalam berbagai konsep, misalnya terciptanya
kelas penindas yang diduduki oleh laki-laki dan kelas tertindas yang diduduki oleh
perempuan. Dalam hal ini, ketidakadilan gender terjadi tidak semata-mata karena kultur
patriarki yang melekat pada masyarakat, namun kapitalisme industri juga memperkukuh
kesenjangan tersebut.

Dari jejak sejarah, hubungan antar kelas dan gender merupakan salah satu isu besar yang
terus diperdebatkan di masa awal feminisme gelombang kedua pada akhir tahun 1960.7Marx
dengan teorinya tentang ekspoitasi kelas sebagai pusat pemahaman masyarakat, disebut
sebagai kecenderungan yang “reduksionis’ dan tidak memperhitungkan dengan cukup aspek
penindasan perempuan. Hal ini terjadi lantaran Marx (setidaknya para feminis marxis)
percaya bahwa perempuan borjuis tidak mengalami penindasan seperti yang dialami
perempuan proletar. Heather A. Brown menganggap Marxisme sebagai teori yang progresif
karena senantiasa dapat dicari ruang untuk mengkritik dan mempertajamnya.8

Pembahasan

RUU PKS menjadi polemik di segala penjuru masyarakat Indonesia. Ada yang pro dan
kontra terhadap isi dari RUU PKS. Saya tidak akan membahas mengenai isi RUU PKS, yang
sejatinya berisi mengenai aturan perlindungan bagi perempuan dari pelecehan dan
pemerkosaan. RUU PKS menjadi perdebata hebat di berbagai kalangan di Indonesia lantaran
kultur masyarakat Indonesia yang patriarkis konservatif cenderung bertolak belakang dengan
pemikiran RUU PKS yang progresif.

Penulis menilai, penolakan-penolakan ini terjadi lantaran banyak perspektif masyarakat yang
berpikir bahwa RUU ini hanya akan memberi ruang bagi masyarakat untuk melakukan
perzinaan. Selain itu, latar belakang masyarakat Indonesia yang patriarkis di perkukuh oleh
kondisi Indonesia yang saat ini sedang memasuki masa-masa industri. Industri memang

6
Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifest Partai Komunis (Jakarta: Yayasan Pembaruan, 2003), hal. 50
7
Pembahasan mengenai sejarah perkembangan feminisme gelombang kedua yang terbagi menjadi tiga babak
dapat dilihat secara lengkap dalam Nancy Fraser, Fortues of Feminism, From State-Managed Capitalism to
Neoliberal Crisis, (London: Veerso, 2013)
8 Lise Vogel, Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory (Brill. Koninklijke Brill NV

incorporates the imprints Brill, Global Oriental, Hotei Publishing, IDC Publishers and Martinus Nijhoff
Publishers, 2013), hlm 218.
memberikan peluang bagi perempuan untuk mendapatkan ruang pekerjaan yang sama dengan
laki-laki. Namun, pandangan bahwa perempuan lebih cocok dengan pekerjaan tertentu malah
memerbesar jarak kesenjangan itu. Banyak perempuan yang kemudian diberikan posisi yang
menurut pandangan maskulin “pantas” untuk seorang perempuan. Pantas dalam artian,
perempuan harus diletakan dalam pekerjaan yang tidak membutuhkan otot, melainkan
kecantikan tubuhnya atau keberfungsiannya sebagai perempuan yang bekerja di sektor
domestik atau rumah tangga.

Karl Marx membagi masyarakat industri dalam dua kelas yang berbeda, kelas atas dan
bawah, borjuis dan prolektar, atau kita sebut saja penindas dan tertindas. 9Perempuan berada
dalam kategori yang tertindas dan laki-laki berada pada kategori penindas. J.J Bachofen
berpendapat bahwa evolusi keluarga melalui empat tahapan, yaitu sebagai berikut:

1. Tahapan promiskuitas: di mana manusia hidup serupa dengan binatang berkelompok


yang melakukan hubungan seksual tanpa ada ikatan.

2. Tahap Mathriarchate: Lambat laun manusia sadar akan hubungan ibu dan anak, tetapi
tidak dengan ayahnya. Hal ini dikarenakan laki-laki selalu pergi berburu dan perempua
menjaga anak-anaknya sehingga anak jauh lebih intens berhubungan dengan ibunya.

3. Tahap Patriarcha: saat tahap ini, ayah mulai menjadi kepala keluarga. Perubahan
sistem ini karena laki-laki merasa tidak puas dengan situasi keadaan sosial yang menjadikan
wanita sebagai kepala keluarga. Sehingga para pria mengambil calon istrinya dari kelompol-
kelompok yang lain dan dibawanya ke kelompoknya sendiri serta menetap di sana.

4. Tahap Parenta: Pada tahapan yang terakhir, patriarkal lambat laun hilang dan
berubah menjadi susunan kekerabatan yang disebt Bachofen sebagai susunan parental. Pada
tingkat terahir ini perkawinan tidak selalu dari luar kelompoktetapi juga dari dalam kelompok
yang sama.10

Masalah utama dalam hal ini adalah, tahap patriakal selalu melekat pada masyarakat karena
tahap ini diperkuat dengan munculnya agama-agama yang kemudian membiaskan konsep
patriarki tersebut.

9
Karl Marx, Op.Cit., 50.
10
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1980), hal. 38
Konsep pola pikir patriarki ini menciptakan stereotipe dan labeling tentang perempuan yang
lemah, harus dilindungi, yang hanya mengurusi “dapur, sumur, kasur” atau pekerjaan
domestik. Menciptakan kelas superior dan inferior. Label ini jelas merugikan perempuan
yang mulai merasa dirinya harus progresif dan mendapatkan hak-haknya sebagai perempuan.
Agama dan revolusi industri memperkukuh kesenjangan sosial ini dengan mengatakan bahwa
hanya laki-laki lah yang cocok jadi pemimpin dan memimpin. Banyak laki-laki akhirya
menjadi kepala dari keluarganya, kepala perusahaan, menjadi pemimpin atas komunitasnya.
Mereka mengeksploitasi perempuan dengan menjadikan mereka sebagai bawahan, simpanan,
pembantu, budak. Pemingitan (tradisi jawa) dalam adat perkawinan juga menjadi satu dari
beberapa akibat budaya patriaki yang tidak adil. Perempuan tidak diberikan andil dalam
memberikan keputusan atas siapa jodohnya kelak.

RUU PKS dapat dikatakan sebagai bentuk perjuangan dan dukungan masyarakat Indonesia
terhadap perempuan Indonesia yang mengalami pemerkosaan dan pelecehan seksual.
Sebenarnya RUU PKS bertujuan untuk menutup jarak dalam undang-undang yang lainnya.
Pada UU lainnya, pelecehan dikonsepkan sebagai penetrasi alat kelamin laki-laki dengan
perempuan yang padahal tidak sesederhana itu karena kita mengenal pelecehan dalam bentuk
verbal. Kemudian RUU ini memperluasjangkauan konsepnya dengan menghadirkan konse-
konsepbaru seperti pernikahan paksa, eksploitasi seksual, perbudakan, pelecehan, sterilisasi
paksa dan banyak lagi. RUU ini juga tidak hanya mengatur tentang hukuman, namun
tindakan pencegahan dan rehabilitasi bagi korban. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana
menjelaskan perspektif yang ada dalam RUU PKS kepada para wakil rakya di badan
legislatif. Hal ini sulit dilakukan lantaran kultur patriarkis yang masih lekat di masyarakat.
Banyak yang berpendaat, RUU ini dari perspektif agama memiliki peluang untuk
meningkatkan dan melegalkan perzinaan. Perspektif ini menilai RUU ini hanya mencari celah
untuk berbuat dosa.

Menurut Fourier, kemelaratan dan pengisapan kaum buruh (dalam hal ini perempuan) serta
krisis-krisis ekonomi merupakan akibat organisasi pekerjaan dan pertukaran dalam
masyarakat yang salah. Jadi, organisasi itulah yang harus direformasi.11Merujuk pada
pernyataan Fourier, maka dalam kasus ini jika lembaga masih belum mampu memahami
konteks dari RUU PKS berarti lembaga tersebut lah yang salah dan memiliki pola pikir yang
tidak adil dan konservatif sehingga harus secepatnya diperbaiki.

11
Frans Magnis- Suseno, Pemikiran Karl Marx (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 1999), hal. 29
Kapitalisme menciptakan pembagian upah atau gaji secara tidak adil. Karena sejatinya setiap
perusahaan akan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya sehingga sebisa mungkin
menyewa tenaga manusia semurah-murahnya. Seperti kata Engels, dalam bukunya yang
berjudul The Condition of the Working class in England (1845), bahwa adalah kapitalisme itu
sendiri, dengan dorongannya menciptakan keuntunganlah, yang membuat tenaga kerja murah
(perempuan dan anak) menarik bagi para pemilik modal.12

Engels juga memberikan tiga kontribusi teoritis dalam memahami kondisi perempuan,
sebagaimana yang ia temukan kemudian, dalam bentuk yang embrionik. Ketiga kontribusi
teoritis tersebut ialah pertama, Engels mengenali secara implisit bahwa tidak ada individu
maupun keluarga yang eksis sebagai abstraksi yang ahistoris sehingga ia menyatakan bahwa
persoalan keluarga dan penindasan terhadap perempuan harus dikonseptualisasikan dalam
kerangka yang spesifik dari mode produksi dan kelas-kelas sosial yang ada di dalam
masyarakat.

Artinya, kekerasan yang sering terjadi pada keluarga adalah dampak dari diterapkannya
konsep kapitalisme sampai pada pola kehidupan di keluarga. Engels berpikir bahwa konsep
kapitalis dimana meletakan laki-laki sebagai pemimpin dan pengatur lajur perusahaan
sedangkan perempuan sebagai tenaga bantuan atau tenaga penghibur sesaat terbawa sampai
ranah keluarga dan mencitakan ketidakharmonisan dan ketidakadilan ini. Laki-laki mulai
menguasai segala bentuk putusan semenjak ia percaya dirinya bak nahkoda dalam kapal layar
dan perempuan bak awak kapal yang membantu urusan perumahtanggaan.

Kedua,Engels mempertimbangkan struktur dan determinasi upah sehingga ia berhasil


memberikan gambaran besar dari teori mengenai hubungan antara upah dan keluarga kelas
pekerja. Upah atau penghasilan selalu terbagi dari yang besar ke yang terkecil secara berurut
untuk posisi yang paling atas ke yang bawah. Artinya pemimpin selalu mendapat upah yang
paling besar karena dia pikir dirinya lah pemilik modal, sedangkan yang posisinya paling
bawah mendapat upah rendah karena bukan penguasa modal. Hal ini mengakibatkan banyak
perempuan yang menjadi buruh mendapatkan upah kecil dibandingkan para laki-laki yang
mendapatkan kesempatan jauh lebih tinggi untuk menempati posisi atas. Hal ini pernah
menjadi pemicu dari terjadinya demonstrasi besar-besaran penuntutan hak-hak para buruh
dan kenaikan gaji yang sering kita namai sebagai hari buruh.

12
Lise Vogel, Op.Cit. 45-46
Ketiga, Engels memfokuskan perhatiannya pada keseluruhan reproduksi dari kelas pekerja,
atau secara spesifik, hubungan antara populasi dan kapitalisme sehingga ia kemudian
menghubungkan fenomena surplus populasi dengan proses yang sama yang mengatur soal
upah dan panjangnya jam kerja.13

Engels juga spesifik dalam pembahasannya mengenai penindasan perempuan dalam bukunya,
The Origin of The Famiy, Private Property and The State. Menurutnya, perempuan tertindas
sebagai perempuan karena laki-laki memiliki klaim terhadap kekayaan dan kendali rumah
tangga, kemudian membuat perempuan menjadi “budak” dari hasrat ragawi laki-laki serta
sekedar menjadi alat reproduksi atau produksi keturunanya. Di sini laki-laki adalah
representasi dari borjuis dan perempuat sebagai representasi dari proletar. Sistem masyarakat
berubah dari matrilineal menjadi patrilineal.14Engels juga menyarankan agar para istri bisa
terbeba dari belenggu patriarki, mereka harus mandiri dan tidak bergantung pada laki-laki.

Feminis Marxis kemudian muncul untuk mendesak perempuan untuk memauki industri
publik dan menekankan terciptanya sosialisasi pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak.
Feminis marxis memberikan perhatian utama kepada kemandirian dan kesejahteraan ekonomi
perempuan dan memfokuskan diri pada persilangan antara pengalaman perempuan sebagai
pekerja dan posisinya di keluarga. Sistem patriarki ini akan tetap eksis dan bertahan jika
masih terdapat dukungan dari beberapa kalangan seperti negara (dengan undang-undang yang
diskriminatif dan kesempatan kerja yang diatur secara tidak adil), keluarga (dengan
pembagian kerja secara gender dan kesempatan memperoleh pendidikan), dan wanita itu
sendiri (masih merasa lebih lemah dari pada laki-laki)

Kesimpulan

RUU PKS diperdebatkan oleh dua kubu yang saling bertentangan. Yang mendukung RUU ini
ingin para perempuan dilindungi hak-haknya sebagaimana laki-laki. Yang menolak takut
kalau RUU ini akan jadi pintu gerbang menuju perzinaan. Pola pikir tersebut menunjukan
secara jelas perspektif ketidakadilan yang dimiliki oleh kubu yang menolak.

13
Ibid, hlm. 49-51
14
Lihat, Friedrich Engels, Origin of the Family, Private Property, and The State (Hottingen-Zurich, 1884), Hal.
17-44
Pola pikir seperti itu tidak serta merta muncul dan menyebar. Evolusi keluarga pada sistem
kekerabatan manusia berawal dari kondisi promiskuitas, kemudian matriarki, patriarki, dan
parental. Pada kondisi bentuk keluarga patriarki, muncul berbagai kepercayaan yang
memperkuat dominasi budaya patriarkal. Kepercayaan ini mengukuhkan tabu, perspektif, dan
konsep mengenai laki-laki dan perempuan.

Kemudian, berubahnya moda produktifitas menjadi industrial menciptakan jarak kesenjangan


yang lebar. Masyarakat patriarki dalam masyarakat industri percaya bahwa laki-laki lebih
pantas untuk menjalankan perusahaan sebagai seorang pemimpin. Pendapat ini lahir dari pola
pikir maskulin karena ada prinsip bahwa laki-laki seorang pemimpin. Kemudian, mereka
menempatkan perempuan pada posisi yang menurut mereka “pantas” untuk seorang
perempuan. Pantas dalam artian sesuai dengan “kodrat” seorang perempuan yang lemah,
manja, dan bergantung. Perspektif in kemudian menciptakan kelas-kelas antara masing-
masing gender atau sex manusia. Merujuk pada pembagian kelas Karl Marx, laki-laki
dimasukan dalam kelas borjuis karena mereka menguasai modal (dalam keluarga mereka
dianggap sebagai penguasa dari harta benda di rumah), memimpin lajur perkembangan,
mendapat segala akses yang tidak dapat dimiliki oleh perempuan. Sedangkan perempuan
masuk dalam kelas prolektar dimana mereka menjadi pekerja di atas tanah si pemilik modal
(dalam keluarga ini perempuan dianggap sebagai pekerja yang mengurusi urusan domestik),
budak dari moda perkembangan industri, pekerja dengan upah rendahan. Atau bisa kita
katakan kelas penindas adalah laki-laki dan yang tertindas adalah perempuan.

Penciptaan kelas oleh masyarakat industri ini mengakibatkan eksploitasi kelas borjuis
terhadap prolektar, atau dalam kasus ini laki-laki terhadap perempuan. Eksploitasi tersebut
tidak hanya berupa penguasaan moda produksi oleh laki-laki, tapi prinsip dan ideologi dalam
keluarga. Perempuan mengikuti apapun yang laki-laki katakan, bagaimana ia memimpin, apa
yang dia ucapkan. Perempuan hanya budak yang harus mengikuti tuannya. Mereka dibatasi
kebebasan dalam menilai apakah mereka benar atau salah. Eksploitasi juga terlihat dalam,
misalnya, pekerjaan. Beberapa pekerjaan diidentikan cocok untuk laki-laki dan sisanya cocok
untuk perempuan. Ironisnya yang menjadi dasar kecocokan untuk perempuan adalah fisiknya
dalam pekerjaan. Patriarki bepikir bahwa wajah seorang wanita cocok untuk dipajang demi
menarik perhatian konsumen pada produk mereka. kemudian, wanita hanya diberikan upah
minim karena laki-laki berpikir sama seperti kaum borjuis lainnya, meraup keuntungan
sebanyak-banyaknya.
Pelecehan seksual adalah satu hal dari akibat pola pikir patriarki. Undang-undang di
Indonesia hanya melihat perempuan sebagai penggoda dan penikmat dari kejahatan seksual
laki-laki. Sampai saat ini jika terjadi kasus pelecehan seksual, perempuan selalu yang menjadi
korban aturan yang ada. Jarang sekali pelaku dimasukan penjara lantaran penegak hukum
percaya wanita itu menikmatinya dan menjadi kesalahan para wanita yang mengundang nafsu
para lelaki. Menurut, Nicolas Groth, dalam bukuya yang berjudul Men Who Rape,
pemerkosaan terjadi karena dorongan amarah (anger) dan kekuasaa (power), bukan karena
sexual desire.15 Seks merupakan perilaku yang didorng oleh berbagai macam motif psikologi
dibaliknya. Hasrat seksual hanya salah satu motif, dan pada kasus pemerkosaan hal ini buka
jadi penyebab utama. Pemerkosaan dan pelecehan lebih merupaka ekspresi jijik, marah,
memandang redah, ketimbang nafsu belaka.

Pendapat mengenai perempuan yang menarik nafsu dari laki-laki bukanlah alasan sebenarya.
Seorang pelaku pelecehan dan pemerkosaan tidak butuh hal tersebut. Cukup dengan didorong
oleh amarah, kebencian, contempt, dalam dirinya untuk melakukan aksinya. Pendapat ini
cukup menguatkan apa yang saya sebutkan pada tulisan-tulisa diatas mengenai laki-laki yang
mendominasi perempuan. Laki-laki berpikir bahwa dirinya merupakan penguasa moda dan
sumber daya. Ia menguasai segala macam hal yang seharusnya secara hakikatnya perempuan
miliki. Ini merupakan pola pikir patriarki.

RUU PKS menjadi satu dari sekian hal perjuangan para perempuan untuk mematahkan tabu
bahwa perempuan adalah golongan kelas rendah, golongan kelas dua, seperti halnya kaum
buruh pada masyarakat industri. Penolakan dalam hal itu dikritisi sebagai bentuk upaya
pengukuhan kultur patriarki dan menunjukan bahwa mereka yang menolak adalah manusia
yang tidak adil, serakah, dan tidak dapat dipercaya.

Referensi

Buku
Engels, Friedrich. 1884. Origin of the Family, Private Property, and The State. Hottingen-
Zurich.

15
Lihat Nicholas Groth, Men Who Rape: The Psychology of The Offender (New York: Plenum Press, 1979), hlm.
13
Groth, A. Nicholas. 1979. Men Who Rape: The Psychology of The Offender. New York:
Plenum Press.

Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Marx, Karl dan Friedrich Engels. 2003. Manifest Partai Komunis. Jakarta: Yayasan
Pembaruan.

Suseno, Frans Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.

Vogel, Lise. 2013. Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory. IDC
Publishers and Martinus Nijhoff Publishers.

Jurnal

Yayasan Jurnal Perempuan YjP. 1999. Aspirasi Perempuan anggota Parlemen terhadap
pemberdayaan politik perempuan. International IDEA Institute for Democracy and Electoral
Assistence. Yayasan Jurnal Perempuan.

Sri Hidayati Djoeffan. 2001. Gerakan Feminisme-Feminisme di Indonesia. Jurnal Mimbar.


No. 3. 284-300

Artikel Online
Shafira, Amalia. “Komnas Perempuan Desak DPR Adakan Dialog Soal RUU PKS”,
https://magdalene.co/story/komnas-perempuan-desak-dpr-adakan-dialog-soal-ruu-pks
(Diakses pada tanggal 18 maret 2019, pukul 20.15)

World Bank Group, “Women, Business And The Law”,


https://openknowledge.worldbank.org/bitstream/handle/10986/31327/WBL2019.pdf (diakses
pada tanggal 18 Maret 2019, pukul 20.30)

Anda mungkin juga menyukai