(A CASE STUDY)
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Kata fobia atau phobia sudah tidak asing lagi terdengar. Pada umumnya, fobia
diketahui sebagai suatu bentuk ketakutan akan sesuatu yang bersifat irasional. Artinya,
hal yang ditakutkan sebenarnya bukanlah selalu sesuatu yang benar-benar menakutkan
untuk banyak orang atau fenomena yang berlebihan (nasional.sindonews.com, 2015;
informasitips.com, 2016). Terdapat banyak fobia yang diderita orang, salah satunya
adalah fobia pada ketinggian atau yang dikenal juga dengan sebutan acrophobia. Orang
yang mengalami fobia ketinggian akan menghindari berada pada tempat-tempat dengan
ketinggian tertentu. Bila berada pada tempat ketinggian, umumnya mereka merasakan
ketegangan yang luar biasa, mual, pusing, berkeringat dingin, detak jantung berdebar
dengan cepat, dan merasakan sesak napas.
Menurut ilmuwan University College London, fobia pada ketinggian dapat terjadi
karena dipengaruhi oleh otak. Otak dengan peka menentukan posisi tubuh ketika sedang
berada pada ketinggian yang mengakibatkan orang tersebuat bereaksi ketakutan pada
saat berada pada tempat yang tinggi (informasitips.com, 2016). Rasa takut yang
berlebihan dapat merugikan diri sendiri. Ketakutan terhadap ketinggian dapat
mempersulit diri saat ingin melakukan hal-hal yang berhubungan dengan ketinggian dan
hal ini pun dapat membahayakan diri sendiri saat harus berada pada tempat-tempat yang
tinggi (brilionet.com, 2016).
Terdapat berbagai informasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fobia
ketinggian, antara lain: peristiwa yang traumatis; pola asuh yang salah; ataupun
memiliki keyakinan yang salah (nasional.sindonews.com, 2015; informasitips.com,
2016). Selain itu sudah banyak terdengar pula informasi mengenai cara-cara mengatasi
fobia pada ketinggian, antara lain: melakukan relaksasi; memberikan sugesti positif;
yakin tidak akan terjadi apa-apa; sering latihan dan membiasakan diri berada di tempat
yang tinggi; membayangkan hal yang indah di tempat yang tinggi; melihat aksi yang
menyenangkan di ketinggian; memotivasi diri sendiri; dan menghindari kopi
(brilionet.com, 2016).
Informasi tersebut di atas adalah hal-hal yang beredar secara umum di masyarakat.
Namun hal tersebut tidak semuanya benar bisa dilakukan oleh orang awam tanpa
bantuan tenaga ahli psikolog. Berdasarkan teori-teori dalam psikoterapi atau terapi
psikologi terdapat berbagai pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi fobia
termasuk salah satunya fobia terhadap ketinggian. Salah satu penelitian mengenai
penanganan terhadap fobia yaitu yang berjudul Teknik Desensitisasi Sistematik untuk
Mengurangi Fobia Mahasiswa oleh Firosad, dkk. (2016). Penelitian tersebut bertujuan
untuk mendeskripsikan kondisi fobia dan menguji efektifitas teknik desensitisasi
sistematik untuk mengurangi kondisi fobia pada mahasiswa. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa teknik desensitisasi sistematik efektif mengurangi fobia
pada subyek penelitiannya.
Penelitian serupa berjudul Penerapan CBT pada Penderita Fobia Spesifik oleh
Melianawati (2014), menunjukkan hasil bahwa CBT (teknik kognitf dan teknik coping
desensitization) dapat menurunkan intensitas kondisi fobia individu dewasa awal denga
kecenderungan neurotik.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan permasalahan yaitu
bagaimanakah cara penanganan psikologis yang efektif untuk mengatasi gangguan
Acrophobia atau fobia terhadap ketinggian pada orang dewasa. Tujuan dari penelitian
ini adalah memberikan intervensi psikologis yang tepat bagi penderita Acrophobia.
Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan
bagi khasanah keilmuan pada bidang psikologi klinis, terutama pengembangan
intervensi untuk kasus fobia serta dapat memberikan manfaat bagi subyek, yaitu
mengetahui penyebab terjadinya fobia ketinggian yang dialaminya serta terjadinya
pengurangan atau berhentinya fobia ketinggian sehingga subyek dapat menjalankan
aktivitas-aktivitasnya dengan lebih baik. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi kepada masyarakat umum bahwa fobia terhadap ketinggian
dapat diatasi dengan intervensi psikologi yang tepat.
METODE
Metode penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus (case study) yang
merupakan penelitian intensif mengenai individu (Nevid, dkk, 2005). Menurut Morgan
& Morgan dalam Nevid, dkk (2005), studi kasus yang akan dilakukan adalah jenis
desain eksperimental kasus tunggal (single-case experimental designs), yang juga
disebut desain penelitian partisipan tunggal, dimana subyek mengontrol dirinya sendiri.
Rancangan intervensi akan dibuat berdasarkan hasil asesmen terhadap subyek.
Subyek dalam penelitian ini adalah seorang wanita dewasa yang memiliki
permasalahan takut pada ketinggian yang semakin mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Subyek merupakan pasien rujukan di UPTD Puskesmas Karangploso Kabupaten
Malang. Penelitian akan dilaksanakan di Puskesmas dan di rumah subyek.
Kegiatan asesmen yang dilakukan menggunakan metode sebagai berikut:
1. Daftar riwayat hidup, untuk memperoleh data mengenai identitas subyek yaitu usia,
tempat tinggal, identitas orang tua, agama, latar belakang keluarga, riwayat tumbuh
kembang anak, riwayat kesehatan dan sebagainya.
2. Observasi, untuk melakukan pengamatan terhadap kondisi dan perilaku-perilaku
subyek selama wawancara dan tes psikologi dilakukan.
3. Wawancara behavioral (behavioral interview) adalah pemeriksaan yang dilakukan
dengan mengajukan pertanyaan untuk mengetahui lebih banyak tentang riwayat dan
aspek situasional dari perilaku bermasalah (Nevid, dkk, 2005).
4. Tes Psikologi dengan menggunanakan adalah: Grafis yaitu BAUM, DAP, HTP
(untuk mengetahui gambaran kepribadian subyek); Wartegg (untuk mengetahui
gambaran kepribadian subyek); dan TAT (untuk mengungkap dinamika kepribadian
yang manifest dalam hubungan interpersonal).
Rancangan intervensi yang dibuat berdasarkan hasil asesmen subyek.adalah sebagai
berikut:
1. CBT Restrukturisasi Kognitif, yang bertujuan untuk:
a. Menemukan/mengidentifikasi pemikiran negatif/irasional pada subyek.
Subyek mampu mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran negatif pada
dirinya yang muncul ketika berada di ketinggian.
b. Mengajari subyek hubungan antara pemikiran – emosi – tingkah laku. Subyek
mampu memahami hubungan apabila ia memiliki pemikiran-pemikiran negatif
tersebut, maka emosi yang muncul seperti apa dan bagaimana tingkah laku yang
akan ditunjukkan.
c. Mengajari klien untuk mencari alternatif-alternatif pemikiran yang lebih positif
atau rasional. Subyek diajarkan untuk mampu mencari pemikiran-pemikiran
positif yang mungkin muncul apabila ia berhasil mengatasi rasa takutnya
terhadap ketinggian dan emosi serta tingkah laku seperti apa yang akan muncul
dari pemikiran-pemikiran positif tersebut.
Dalam terapi ini, subyek diminta untuk menuliskan situasi dimana pemikiran
negatif/irasional muncul; apa saja pemikiran negatif/ irasionalnya; tingkah laku
negatif yang muncul dan konsekuensi negatif sebagai akibat dari adanya
pemikiran negatif tersebut. Kemudian subyek diminta untuk menuliskan
pemikiran positif yang dapat muncul pada situasi yang sama dengan tahap
sebelumnya, menuliskan alternatif perilaku positif yang mungkin muncul dan
konsekuensi positif yang diperoleh.
2. Relaksasi
Bertujuan untuk membuat subyek berada pada kondisi relaks/santai, sehingga
memiliki perasaan tenang dan nyaman dan diharapkan subyek mampu
mempertahankan perasaan-perasaan tersebut pada dirinya pada saat dihadapkan
pada situasi atau obyek yang membuatnya cemas. Relaksasi yang digunakan adalah
progressive relaxation atau relaksasi otot dan relaksasi damai.
3. CBT Exposure In Vivo:
a. Situational Exposure, bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
ketakutan yang berlebihan terhadap suatu tempat dan situasi yang mencemaskan
dengan cara menghadapkan subyek secara langsung pada tempat atau situasi
tersebut yang selama ini menimbulkan ketidaknyamanan. Dalam terapi ini,
subyek akan dihadapkan secara langsung pada tempat dan situasi yang
mencemaskannya yaitu tangga tanpa pegangan, tangga curam dan tangga lipat.
b. Flooding Exposure, bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan ketakutan
yang berlebihan terhadap suatu tempat dan situasi yang mencemaskan dengan
cara menghadapkan subyek pada situasi yang sesungguhnya dan yang paling
tinggi intensitasnya menimbulkan kecemasan. Dalam terapi ini subyek akan
menghadapi situasi yang sesungguhnya, yaitu dihadapkan pada tanpa pegangan,
tangga curam dan tangga lipat
4. CBT Exposure in vitro, bertujuan untuk menghadapkan subyek pada situasi yang
menimbulkan kecemasan dengan cara meminta subyek membayangkan situasi
tersebut. Dalam terapi ini subyek diminta membayangkan obyek berupa permukaan
tanah yang tinggi dan berbukit-bukit curam.
5. Asosiasi Bebas, bertujuan untuk membantu subyek menyadari pengalaman masa
lalu yang menjadi sumber permasalahan bagi dirinya dan mampu memaafkan masa
lalu dan dirinya sendiri. Dalam terapi ini subyek dibimbing menyampaikan
pengalaman masa lalunya yang diperkirakan berkaitan dengan munculnya ketakutan
terhadap ketinggian dan menjadi sumber permasalahan subyek; membantunya
memaafkan masa lalunya dan memaafkan dirinya atas semua perbuatan yang ia
lakukan di masa lalu.
6. Client Centered Therapy, berfokus pada pengalaman subyek yang subyektif dan
disadari, yang dialami subyek saat ini dan disini. Dalam terapi ini, subyek dibantu
untuk menyadari, memahami dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul
akibat ketakutannya terhadap ketinggian.
Subyek
Kognitif
FOBIA KETINGGIAN
(ACROPHOBIA)
Berdasarkan hasil asesmen dapat ditegakkan Diagnosis Multiaksial sebagai
berikut:
Aksis I: F40.8 Gangguan Anxietas Fobik Lainnya (heights/acrophobia)
Aksis II : Ciri Kepribadian menghindar
Axis III :-
Aksis IV : Masalah dengan “primary support group” (keluarga)
Aksis V : GAF Scale 70-61
Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi
secara umum masih baik
Hasil pemerikasaan terhadap subyek juga dapat memenuhi kriteria Phobia dalam
DSM IV-TR yang dirangkum di bawah ini:
Kriteria phobia dalam DSM- Simptom yang muncul Sesuai Tidak
IV-TR sesuai
Ketakutan yang berlebihan, Subyek merasakan ketakutan yang √
tidak beralasan, dan menetap berlebihan terhadap ketinggian
yang dipicu oleh obyek atau terutama tangga tanpa pegangan,
situasi tangga curam dan tangga lipat.
Subyek takut jatuh.
Keterpaparan dengan pemicu Subyek memiliki rasa khawatir saat √
menyebabkan kecemasan intens menghadapi terhadap tempat-
tempat tinggi yang menyebabkan ia
merasa cemas dan perasaan cemas
tersebut dirasakan subyek sangat
tidak nyaman dan mengganggu.
Orang tersebut menyadari Subyek menyadari bahwa yang ia √
bahwa ketakutannya tidak alami tidak realistis namun ia
realistis merasa takut jatuh dari tempat
ketinggian
Objek atau situasi tersebut Subyek cenderung menghindari √
dihindari atau dihadapi dengan tempat-tempat ketinggian (saat ini:
kecemasan intens tangga tanpa pegangan, tangga
curam dan tangga lipat.
Kriteria yang sesuai 4
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa bahwa fobia
ketinggian yang dialami subyek dalam waktu yang lama tanpa dapat diketahui secara
jelas penyebabnya merupakan salah satu bentuk dari cara subyek menghindari masalah
yang sedang dihadapinya. Ia cenderung menjadi pribadi yang selalu menghindar dari
masalah-masalahnya dan merasakan kenyamanan saat itu, dan cenderung membiarkan
permasalahan-permasalahannya menumpuk tanpa penyelesaian. Fobia ketinggian yang
dialami subyek berhasil dikurangi sampai dengan dihilangkan. Subyek berhasil
menjalankan proses intervensi dengan baik dan mampu mempertahankan pikiran yang
rasional terhadap situasi yang ditakuti serta mampu meningkatkan motivasi dirinya
untuk terbebas dari fobia yang dialaminya. Saat ini subyek menjalankan aktivitasnya
sehari-hari dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ciminero, Anthony R., Calhoun, Karen S., Adam, Henry E. (1997). Handbook of
Behavioral Assesment, USA: A Wiley-Interscience Publication
Corey, Gerald (2003). Teori dan Praktek: Konseling dan Psikoterapi. Penerjemah:
Koeswara, E. Bandung: PT Refika Aditama
Davidson, Gerald C., Neale, John M., Kring, Anne (2006) Psikologi Abnormal. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada
Firosad A.M., Nirwana, H., Syahniar (2016). Teknik Disensitisasi Sistematik untuk
Mengurangi Fobia Mahasiswa. Konselor: Volume 5 No. 2 Juni 2016.
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor. Diakses pada tanggal 16 Januari
2016.
Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., Grebb, Jack A. (1997) Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 1. Edisi Ketujuh. Jakarta: Binarupa
Aksara
Melianawati (2014). Penerapan CBT pada Penderita Fobia Spesifik. Calyptra: Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 3 No. 1 tahun 2014. Diakses pada
tanggal 16 Januari 2016.
Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly (2005), Psikologi Abnormal
Jilid 1, Alih Bahasa Tim Fakultas Psikologi UI, Jakarta: Penerbit Erlangga