Anda di halaman 1dari 16

FOBIA KETINGGIAN (ACROPHOBIA)

DI UPTD PUSKESMAS KARANGPLOSO KABUPATEN MALANG

(A CASE STUDY)

Nirma Yullidya, S.Psi, M.Psi, Psikolog


nirmayullidya@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penanganan terhadap subyek dewasa


yang mengalami gangguan Acrophobia atau fobia terhadap ketinggian. Metode yang
dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif studi kasus dengan
menggunakan triangulasi teori dan sumber yang telah ada. Teknik asesmen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi dan tes psikologi yang
dilakukan peneliti terhadap seorang subyek yang mengalami gangguan fobia ketinggian
di UPTD Puskesmas Karangploso Kabupaten Malang. Berdasarkan hasil asesmen
ditetapkan diagnosa dan prognosa serta rancangan intervensi yang akan diberikan
kepada subyek. Intervensi yang dilakukan terhadap subyek adalah dengan
menggunakan teknik Asosiasi Bebas; Cognitive Behavior Therapy-Restrukturisasi
Kognitif; Relaksasi; CBT: Exposure (in vivo): Situational Exposure & Flooding
Exposure; CBT: Exposure (in vitro); dan konseling dengan teknik Client-centered
therapy. Fobia ketinggian yang dialami subyek dalam waktu yang lama tanpa dapat
diketahui secara jelas penyebabnya merupakan salah satu bentuk dari cara subyek
menghindari masalah yang sedang dihadapinya. Ia cenderung menjadi pribadi yang
selalu menghindar dari masalah-masalahnya dan merasakan kenyamanan saat itu, dan
cenderung membiarkan permasalahan-permasalahannya menumpuk tanpa penyelesaian.
Perpaduan penanganan fobia ketinggian dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis
dan behavior berhasil menangani kasus fobia ketinggian. Hasil intervensi menunjukkan
bahwa subyek berhasil mengatasi rasa takutnya dan berhasil mengurangi hingga
menghilangkan fobianya.

Kata Kunci : fobia, fobia ketinggian

PENDAHULUAN
Kata fobia atau phobia sudah tidak asing lagi terdengar. Pada umumnya, fobia
diketahui sebagai suatu bentuk ketakutan akan sesuatu yang bersifat irasional. Artinya,
hal yang ditakutkan sebenarnya bukanlah selalu sesuatu yang benar-benar menakutkan
untuk banyak orang atau fenomena yang berlebihan (nasional.sindonews.com, 2015;
informasitips.com, 2016). Terdapat banyak fobia yang diderita orang, salah satunya
adalah fobia pada ketinggian atau yang dikenal juga dengan sebutan acrophobia. Orang
yang mengalami fobia ketinggian akan menghindari berada pada tempat-tempat dengan
ketinggian tertentu. Bila berada pada tempat ketinggian, umumnya mereka merasakan
ketegangan yang luar biasa, mual, pusing, berkeringat dingin, detak jantung berdebar
dengan cepat, dan merasakan sesak napas.
Menurut ilmuwan University College London, fobia pada ketinggian dapat terjadi
karena dipengaruhi oleh otak. Otak dengan peka menentukan posisi tubuh ketika sedang
berada pada ketinggian yang mengakibatkan orang tersebuat bereaksi ketakutan pada
saat berada pada tempat yang tinggi (informasitips.com, 2016). Rasa takut yang
berlebihan dapat merugikan diri sendiri. Ketakutan terhadap ketinggian dapat
mempersulit diri saat ingin melakukan hal-hal yang berhubungan dengan ketinggian dan
hal ini pun dapat membahayakan diri sendiri saat harus berada pada tempat-tempat yang
tinggi (brilionet.com, 2016).
Terdapat berbagai informasi faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fobia
ketinggian, antara lain: peristiwa yang traumatis; pola asuh yang salah; ataupun
memiliki keyakinan yang salah (nasional.sindonews.com, 2015; informasitips.com,
2016). Selain itu sudah banyak terdengar pula informasi mengenai cara-cara mengatasi
fobia pada ketinggian, antara lain: melakukan relaksasi; memberikan sugesti positif;
yakin tidak akan terjadi apa-apa; sering latihan dan membiasakan diri berada di tempat
yang tinggi; membayangkan hal yang indah di tempat yang tinggi; melihat aksi yang
menyenangkan di ketinggian; memotivasi diri sendiri; dan menghindari kopi
(brilionet.com, 2016).
Informasi tersebut di atas adalah hal-hal yang beredar secara umum di masyarakat.
Namun hal tersebut tidak semuanya benar bisa dilakukan oleh orang awam tanpa
bantuan tenaga ahli psikolog. Berdasarkan teori-teori dalam psikoterapi atau terapi
psikologi terdapat berbagai pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi fobia
termasuk salah satunya fobia terhadap ketinggian. Salah satu penelitian mengenai
penanganan terhadap fobia yaitu yang berjudul Teknik Desensitisasi Sistematik untuk
Mengurangi Fobia Mahasiswa oleh Firosad, dkk. (2016). Penelitian tersebut bertujuan
untuk mendeskripsikan kondisi fobia dan menguji efektifitas teknik desensitisasi
sistematik untuk mengurangi kondisi fobia pada mahasiswa. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukkan bahwa teknik desensitisasi sistematik efektif mengurangi fobia
pada subyek penelitiannya.
Penelitian serupa berjudul Penerapan CBT pada Penderita Fobia Spesifik oleh
Melianawati (2014), menunjukkan hasil bahwa CBT (teknik kognitf dan teknik coping
desensitization) dapat menurunkan intensitas kondisi fobia individu dewasa awal denga
kecenderungan neurotik.
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan permasalahan yaitu
bagaimanakah cara penanganan psikologis yang efektif untuk mengatasi gangguan
Acrophobia atau fobia terhadap ketinggian pada orang dewasa. Tujuan dari penelitian
ini adalah memberikan intervensi psikologis yang tepat bagi penderita Acrophobia.
Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan
bagi khasanah keilmuan pada bidang psikologi klinis, terutama pengembangan
intervensi untuk kasus fobia serta dapat memberikan manfaat bagi subyek, yaitu
mengetahui penyebab terjadinya fobia ketinggian yang dialaminya serta terjadinya
pengurangan atau berhentinya fobia ketinggian sehingga subyek dapat menjalankan
aktivitas-aktivitasnya dengan lebih baik. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi kepada masyarakat umum bahwa fobia terhadap ketinggian
dapat diatasi dengan intervensi psikologi yang tepat.

METODE
Metode penelitian yang akan digunakan adalah studi kasus (case study) yang
merupakan penelitian intensif mengenai individu (Nevid, dkk, 2005). Menurut Morgan
& Morgan dalam Nevid, dkk (2005), studi kasus yang akan dilakukan adalah jenis
desain eksperimental kasus tunggal (single-case experimental designs), yang juga
disebut desain penelitian partisipan tunggal, dimana subyek mengontrol dirinya sendiri.
Rancangan intervensi akan dibuat berdasarkan hasil asesmen terhadap subyek.
Subyek dalam penelitian ini adalah seorang wanita dewasa yang memiliki
permasalahan takut pada ketinggian yang semakin mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
Subyek merupakan pasien rujukan di UPTD Puskesmas Karangploso Kabupaten
Malang. Penelitian akan dilaksanakan di Puskesmas dan di rumah subyek.
Kegiatan asesmen yang dilakukan menggunakan metode sebagai berikut:
1. Daftar riwayat hidup, untuk memperoleh data mengenai identitas subyek yaitu usia,
tempat tinggal, identitas orang tua, agama, latar belakang keluarga, riwayat tumbuh
kembang anak, riwayat kesehatan dan sebagainya.
2. Observasi, untuk melakukan pengamatan terhadap kondisi dan perilaku-perilaku
subyek selama wawancara dan tes psikologi dilakukan.
3. Wawancara behavioral (behavioral interview) adalah pemeriksaan yang dilakukan
dengan mengajukan pertanyaan untuk mengetahui lebih banyak tentang riwayat dan
aspek situasional dari perilaku bermasalah (Nevid, dkk, 2005).
4. Tes Psikologi dengan menggunanakan adalah: Grafis yaitu BAUM, DAP, HTP
(untuk mengetahui gambaran kepribadian subyek); Wartegg (untuk mengetahui
gambaran kepribadian subyek); dan TAT (untuk mengungkap dinamika kepribadian
yang manifest dalam hubungan interpersonal).
Rancangan intervensi yang dibuat berdasarkan hasil asesmen subyek.adalah sebagai
berikut:
1. CBT Restrukturisasi Kognitif, yang bertujuan untuk:
a. Menemukan/mengidentifikasi pemikiran negatif/irasional pada subyek.
Subyek mampu mengidentifikasikan pemikiran-pemikiran negatif pada
dirinya yang muncul ketika berada di ketinggian.
b. Mengajari subyek hubungan antara pemikiran – emosi – tingkah laku. Subyek
mampu memahami hubungan apabila ia memiliki pemikiran-pemikiran negatif
tersebut, maka emosi yang muncul seperti apa dan bagaimana tingkah laku yang
akan ditunjukkan.
c. Mengajari klien untuk mencari alternatif-alternatif pemikiran yang lebih positif
atau rasional. Subyek diajarkan untuk mampu mencari pemikiran-pemikiran
positif yang mungkin muncul apabila ia berhasil mengatasi rasa takutnya
terhadap ketinggian dan emosi serta tingkah laku seperti apa yang akan muncul
dari pemikiran-pemikiran positif tersebut.
Dalam terapi ini, subyek diminta untuk menuliskan situasi dimana pemikiran
negatif/irasional muncul; apa saja pemikiran negatif/ irasionalnya; tingkah laku
negatif yang muncul dan konsekuensi negatif sebagai akibat dari adanya
pemikiran negatif tersebut. Kemudian subyek diminta untuk menuliskan
pemikiran positif yang dapat muncul pada situasi yang sama dengan tahap
sebelumnya, menuliskan alternatif perilaku positif yang mungkin muncul dan
konsekuensi positif yang diperoleh.
2. Relaksasi
Bertujuan untuk membuat subyek berada pada kondisi relaks/santai, sehingga
memiliki perasaan tenang dan nyaman dan diharapkan subyek mampu
mempertahankan perasaan-perasaan tersebut pada dirinya pada saat dihadapkan
pada situasi atau obyek yang membuatnya cemas. Relaksasi yang digunakan adalah
progressive relaxation atau relaksasi otot dan relaksasi damai.
3. CBT Exposure In Vivo:
a. Situational Exposure, bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
ketakutan yang berlebihan terhadap suatu tempat dan situasi yang mencemaskan
dengan cara menghadapkan subyek secara langsung pada tempat atau situasi
tersebut yang selama ini menimbulkan ketidaknyamanan. Dalam terapi ini,
subyek akan dihadapkan secara langsung pada tempat dan situasi yang
mencemaskannya yaitu tangga tanpa pegangan, tangga curam dan tangga lipat.
b. Flooding Exposure, bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan ketakutan
yang berlebihan terhadap suatu tempat dan situasi yang mencemaskan dengan
cara menghadapkan subyek pada situasi yang sesungguhnya dan yang paling
tinggi intensitasnya menimbulkan kecemasan. Dalam terapi ini subyek akan
menghadapi situasi yang sesungguhnya, yaitu dihadapkan pada tanpa pegangan,
tangga curam dan tangga lipat
4. CBT Exposure in vitro, bertujuan untuk menghadapkan subyek pada situasi yang
menimbulkan kecemasan dengan cara meminta subyek membayangkan situasi
tersebut. Dalam terapi ini subyek diminta membayangkan obyek berupa permukaan
tanah yang tinggi dan berbukit-bukit curam.
5. Asosiasi Bebas, bertujuan untuk membantu subyek menyadari pengalaman masa
lalu yang menjadi sumber permasalahan bagi dirinya dan mampu memaafkan masa
lalu dan dirinya sendiri. Dalam terapi ini subyek dibimbing menyampaikan
pengalaman masa lalunya yang diperkirakan berkaitan dengan munculnya ketakutan
terhadap ketinggian dan menjadi sumber permasalahan subyek; membantunya
memaafkan masa lalunya dan memaafkan dirinya atas semua perbuatan yang ia
lakukan di masa lalu.
6. Client Centered Therapy, berfokus pada pengalaman subyek yang subyektif dan
disadari, yang dialami subyek saat ini dan disini. Dalam terapi ini, subyek dibantu
untuk menyadari, memahami dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul
akibat ketakutannya terhadap ketinggian.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan sebanyak 5 kali yaitu tanggal 20
Maret - 17 April 2016, diketahui bahwa subyek memiliki ketakutan yang berlebihan
terhadap ketinggian (acrophobia) yang disadarinya sejak duduk di SMA. Sejak saat itu
subyek cenderung menghindari semua tempat-tempat ketinggian. Namun saat ini,
ketakutan subyek terhadap ketinggian telah banyak berkurang dan lebih spesifik pada
ketakutan terhadap ketinggian saat ia menaiki atau menuruni tangga yang tidak ada
pegangannya, tangga lipat, tangga yang curam, termasuk tangga model melingkar dan
dataran yang permukaannya berbukit dan curam.
Berdasarkan kriteria DSM-IV untuk Fobia (Davidson, Neale, Kring, 2006) adalah
sebagai berikut:
1. Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh obyek
atau situasi.
2. Keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens.
3. Orang tersebut menyadari bahwa ketakutannya tidak realistis.
4. Obyek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan intens.
Pada awalnya ketakutan subyek yang berlebihan memang tidak beralasan, sehingga
dapat memenuhi kriteria fobia seperti yang tertera diatas, namun seiring proses tumbuh
kembang subyek, ia mulai mengetahui ketakutan yang ia rasakan secara lebih spesifik.
Fobia yang dialami subyek dapat dikatakan sebagai fobia spesifik yaitu ketakutan yang
beralasan yang disebabkan oleh kehadiran atau antisipasi suatu obyek atau suatu situasi
spesifik. DSM-IV membagi fobia berdasarkan sumber ketakutannya. Sumber ketakutan
subyek adalah lingkungan alami, karena ia memiliki ketakutan terhadap ketinggian.
Saat subyek masuk kelas satu SMA, subyek menyadari bahwa selama ini ia
cenderung pendiam, dan tertutup. Hal ini menyebabkan ia cenderung tidak memiliki
teman. Subyek merasa tidak nyaman berada di rumah karena ayah dan ibunya selalu
sibuk bekerja dan kurang perhatian kepadanya. Hal ini ia rasakan sejak subyek masih
duduk di SD, yaitu saat ia memiliki adik. Ia menganggap ayah dan ibunya tidak
memperhatikan dirinya karena sibuk mengurus adiknya. Perasaan tidak diacuhkan
semakin dirasakan subyek saat adiknya yang kedua lahir. Saat duduk di bangku SMP,
subyek baru menyadari bahwa semakin lama ternyata kedua adiknya juga kurang
diperhatikan oleh ayah dan ibunya. Dan hubungan antara subyek dengan adik-adiknya
dinilai tidak dekat, karena walaupun tinggal satu rumah, bisa dikatakan mereka jarang
terlibat percakapan. Keadaan tersebut berlangsung hingga saat ini.
Subyek sudah berusaha mencari perhatian kedua orang tuanya dengan cara
berprestasi di sekolah. Sejak SD hingga SMA ia selalu rangking satu dan memiliki
berbagai prestasi lainnya. Namun, prestasi yang diraihnya mendapatkan tanggapan
dingin dari ibu dan ayahnya. Subyek merasa sangat kecewa sekali terhadap kedua orang
tuanya. Sejak saat itu subyek menjadi pribadi yang lebih tertutup, pendiam, sulit
berteman dan tidak berani berbicara di depan umum. Subyek menyatakan bahwa dirinya
kesulitan dan tidak mampu mengekspresikan emosinya, ia sulit mengekspresikan
perasaan sedih, senang, marah dan ia tidak pernah menangis. Subyek cenderung sibuk
dengan kegiatan yang mengasyikkan bagi dirinya yaitu belajar. Ia merasa bahwa ia
merasa nyaman melupakan banyak hal yang mengecewakan hatinya dengan sibuk
membaca dan terus belajar.
Saat subyek SMA, sekolahnya terdiri dari dua lantai dan kelasnya berada di lantai
dua. Saat pertama kali menaiki tangga sekolah, ia baru menyadari bahwa ia merasa takut
saat menaiki tangga. Ia berpikir bahwa bila ia menaiki tangga yang tinggi ini ia akan
jatuh. Ia sama sekali tidak menunjukkan reaksi cemas seperti psikosomatis dan ekspresi
ketakutan. Subyek cenderung berdiri mematung dan sibuk dengan pemikiran bahwa ia
akan jatuh. Awalnya subyek hanya berani menaiki satu hingga lima anak tangga saja.
Namun kemudian, subyek belajar untuk mengatasi ketakutannya dengan menaiki anak
tangga sambil berpegangan pada teman dan pegangan tangga yang ada, walaupun harus
ia lakukan dalam waktu yang lebih lama dari teman-temannya saat menaiki dan
menuruni tangga.
Saat subyek kelas 2 SMA, ia mendapatkan beasiswa mengikuti program pertukaran
pelajar ke Amerika. Gedung sekolahnya merupakan bangunan bertingkat dan ia
mengalami kesulitan saat menuruni tangga karena tangga tersebut tidak dilengkapi
dengan pegangan. Subyek merasa tidak aman apabila hanya berpegangan pada dinding
dan saat itu tidak ada orang yang bisa ia mintai bantuan untuk menolong menemaninya
menuruni tangga. Setelah memastikan beberapa lama bahwa tidak ada orang yang lewat
maka subyek mengambil keputusan menuruni anak tangga satu per satu dengan posisi
duduk hingga seluruh anak tangga berhasil ia lewati.
Subyek baru menyadari bahwa ia benar-benar merasakan takut terhadap ketinggian
saat sedang mengikuti pelajaran yang membahas proses gravitasi. Guru menerangkan
dengan alat peraga berupa seperangkat alat yang digunakan untuk menggantung
manusia dalam posisi terbalik. Saat ditujuk oleh gurunya untuk mencoba, awalnya
subyek menolak dan memberikan alasan bahwa ia takut terhadap ketinggian karena
takut jatuh. Namun subyek merasa bahwa bila tidak mencobanya berarti ia kalah dengan
dirinya sendiri dan kehilangan kesempatan untuk mempelajari sesuatu yang baru. Saat
mencobanya ia merasa takut terjatuh, namun berniat mengalahkan rasa takutnya.
Subyek mendapatkan dukungan dari guru dan teman-temannya, yang kemudian
membantu mengatasi ketakutannya terhadap ketinggian dengan selalu memberikan
penjelasan logis dan mengajak subyek menaiki hampir semua wahana di Disneyland
yang dapat berada pada posisi yang tinggi, termasuk wahana roller coaster. Subyek
tidak merasakan ketakutan pada saat menaiki wahana-wahana tersebut, namun ia merasa
takut saat menaiki tangga yang harus ia lewati agar bisa menikmati permainan tersebut.
Subyek menyatakan ia tidak lagi merasa takut saat berada pada posisi yang tinggi dan
jauh dari permukaan tanah, saat menaiki berbagai wahana permainan, namun menyadari
bahwa dirinya mengalami ketakutan saat menaiki tangga menuju wahana tersebut.
Ketakutan yang paling besar subyek rasakan adalah saat menuruni tangga, terutama
tangga yang memiliki sudut ketinggian 45°. Subyek merasa takut akan terjatuh. Saat
subyek merasa takut yang berlebihan terhadap ketinggian, ia tidak mengalami ciri-ciri
fisik dari kecemasan. Namun subyek menunjukkan ciri behavioral dari kecemasan yaitu
perilaku menghindar, karena subyek cenderung menghindari tempat-tempat ketinggian.
Subyek menunjukkan ciri-ciri kognitif dari kecemasan, yaitu khawatir akan terjatuh; ada
perasaan terganggu terhadap ketakutan atau aprehensi terhadap sesuatu yang terjadi di
masa depan, karena apabila ia tidak mampu mengatasi ketakutannya terhadap
ketinggian maka ia akan mengalami kesulitan saat akan membantu anak laki-lakinya, 6
tahun, yang memiliki ketakutan berlebihan yang sama terhadap ketinggian.
Hingga saat ini sudah banyak hal yang dilakukan oleh subyek untuk mengurangi
sedikit demi sedikit rasa takutnya terhadap ketinggian. Sebelumnya hal ini ia lakukan
karena tidak mempunyai pilihan lain dan mengharuskan ia menggunakan tangga atau
lift untuk mencapai tempat yang harus ia datangi, misalnya di berbagai kampus saat ia
menempuh pendidikan, di kantor tempat ia bekerja, dan di pusat perbelanjaan (mall).
Saat ini subyek sudah berani menaiki dan menuruni tangga yang ada pegangannya
(termasuk escalator) dan lift. Subyek berasumsi bahwa ia merasa lebih aman karena
menuruni dan menaiki tangga yang ada pegangannya, demikian pula saat berada di
dalam lift, selain ada pegangannya juga terdapat orang lain di dalam lift. Subyek
berusaha melatih dirinya sendiri untuk mengatasi rasa takut terhadap ketinggian, namun
belum bisa tuntas. Subyek masih mengalami ketakutan terhadap ketinggian saat ia
menaiki atau menuruni tangga yang tidak ada pegangannya, tangga lipat, dan tangga
yang curam, termasuk tangga model melingkar, sehingga ia cenderung menghindari
tempat-tempat yang memiliki bentuk tangga demikian.
Subyek sudah pernah mencoba mengatasi ketakutannya pada tangga yang tidak ada
pegangannya dan tangga yang curam. Namun ia belum memiliki keberanian sama sekali
untuk mencoba menaiki tangga lipat, dengan asumsi tangga lipat merupakan obyek
yang masih sulit ditolerir oleh dirinya terhadap keamanan penggunaan obyek tersebut.
Walaupun subyek menyadari bahwa desain tangga tersebut sudah dirancang sedemikian
rupa agar aman saat digunakan. Subyek memiliki keinginan kuat untuk dapat berhasil
menggunakannya suatu saat nanti.
Subyek mengalami kesulitan saat harus mengganti bola lampu yang mati di ruang
tengah di rumahnya, yang terletak cukup tinggi, sekitar 2,5 m) sehingga harus
menggunakan tangga lipat. Pada saat itu tidak ada orang lain, termasuk pembantu, yang
dapat ia suruh untuk mengganti bola lampu tersebut. Setelah mendirikan tangga lipat,
dan melihat kecuraman saat harus menaiki atau menuruninya, subyek memutuskan tidak
jadi mencoba menaikinya dan memilih untuk menunggu hingga keesokan harinya untuk
minta tolong saat supir pribadinya datang.
Saat subyek menjadi ketua tim penelitian yang berada di salah satu pulau di kawasan
timur Indonesia, ia harus menghadapi medan yang berbukit-bukit curam dengan
permukaan tanah yang tidak rata karena penuh dengan batu cadas. Ketakutannya
terhadap ketinggian membuat subyek harus menempuh waktu yang sangat lama saat
menuju ke lokasi penelitian yang berada jauh di dalam hutan dan hanya dapat ditempuh
dengan berjalan kaki. Subyek menyadari bahwa hal tersebut menghambat ia dan
timnya, yang semuanya laki-laki, untuk segera mencapai lokasi penelitian.
Ketika subyek menghadapi kesulitan-kesulitan akibat dari ketakutannya yang
berlebihan pada ketinggian, ia tidak pernah menceritakannya kepada siapapun, termasuk
ibunya. Ia merasa tidak perlu menceritakan apapun kepada ibunya termasuk mengenai
ketakutannya terhadap ketinggian. Subyek merasa bahwa ibunya bukanlah sosok ibu
yang ia harapkan, termasuk ayahnya. Hubungan subyek dengan ayah semakin jauh sejak
ayah dan ibunya sempat berpisah. Subyek merasa kasihan pada ibunya dan memutuskan
membeli sebuah rumah untuk ia tinggali bersama dengan ibunya. Di rumah tersebut,
subyek dekat dengan ibunya karena sehari-hari selalu ada bersamanya, namun ia tetap
tidak dapat membuat hubungan mereka menjadi lebih akrab. Subyek berkonsentrasi
penuh dengan pekerjaannya sebagai dosen dan peneliti (DAP).
Saat menempuh S2 di Amerika, subyek memperoleh suasana kekeluargaan yang
hangat dari keluarga angkatnya yang berkewarganegaraan Belanda. Ia menemukan
sosok ayah dan ibu yang sangat ia impikan selama ini. Walaupun suami istri tersebut
hidup dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan, namun mereka mampu menciptakan
keharmonisan yang menurut subyek sebagai suatu hal yang luar biasa. Ia merasa saat-
saat tinggal bersama mereka di akhir minggu selalu merupakan waktu yang ia nantikan.
Subyek memiliki harapan bahwa setelah menikah ia ingin menjadi keluarga yang
harmonis seperti mereka.
Saat menempuh S3 di Australia, subyek menikah dengan mahasiswa Indonesia yang
saat itu sedang menempuh pendidikan S2. Subyek memperoleh pengalaman berkeluarga
seperti yang ia harapkan. Namun ketika pendidikan mereka selesai, ia dan suami sama-
sama merasa berat bila salah satu dari mereka harus melepaskan profesi masing-masing.
Ia dan suami memutuskan untuk berdomisili di tempat masing-masing seperti saat
mereka belum menikah. Hal tersebut berlangsung hingga saat ini, dan jalinan
komunikasi di antara mereka semakin jarang dilakukan. Suami beberapa bulan sekali
datang mengunjungi anak dan istrinya. Subyek merasa kedatangan suaminya selalu
membuat mereka berselisih paham dalam berbagai hal. Sehingga subyek merasa
hubungan mereka akan baik-baik saja selama mereka tinggal berjauhan. Ia merasa
sanggup menjalaninya karena ia mampu hidup mandiri, apalagi suami tidak membantu
dalam hal finansial sama sekali karena menganggap mereka sama-sama memiliki
penghasilan masing-masing (DAP). Ia menganggap suaminya kurang peduli terhadap
anak dan cenderung banyak mengatur anak, sehingga anak tidak merasa nyaman dengan
kehadiran ayahnya.
Saat ini subyek merasa memiliki keluarga yang kurang hangat akibat tidak
terjalinnya komunikasi dengan baik antara ia dan suaminya. Kondisi tersebut tidak jauh
berbeda dengan pengalaman masa lalu subyek. Ia tidak menginginkan anaknya
mengalami kekecewaan dan menjadi seperti dirinya yang menjadi pribadi yang
cenderung tertutup, pemalu, merasa kurang kasih sayang dan selalu menghindar ketika
menghadapi situasi yang tidak ia inginkan. Sehingga menyebabkan subyek cenderung
over protective terhadap anaknya (BAUM, DAP). Anak subyek yang saat ini berusia
enam tahun cenderung tumbuh menjadi anak yang kurang mandiri, dan mengalami
ketakutan terhadap ketinggian seperti subyek dan fobia terhadap air, sehingga mulai dari
bayi hingga saat ini ia tidak pernah mandi.
Pengalaman-pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu subyek,
membentuknya menjadi pribadi yang cenderung selalu lari menghindar dari masalah.
Walaupun subyek menyadari bahwa hal tersebut menyebabkan ia tidak dapat
menyelesaikan permasalahan-permasalahannya, namun subyek merasa nyaman karena
selalu berhasil menghindari situasi yang tidak mengenakkan bagi dirinya.
Dalam Kendler, Myers, & Prescott, 2002 (Davison, 2006), menyebutkan bahwa
banyak orang yang menderita fobia tidak dapat mengingat kejadian traumatis apapun
berkaitan dengan obyek atau situasi yang mereka takuti. Subyek tidak ingat penyebab ia
takut terhadap ketinggian. Perasaan tertekan yang timbul saat subyek dihadapkan pada
situasi yang tidak menyenangkan di masa lalu yaitu kekecewaan terhadap tidak
terpenuhinya kebutuhan akan kasih sayang sesuai yang ia harapkan (TAT), kurangnya
penerimaan dari keluarga dan munculnya perasasan tidak berharga (HTP),
menyebabkan ia cenderung me-repress pengalaman masa lalunya tersebut dan tanpa ia
sadari. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketakutan subyek yang berlebihan terhadap
ketinggian cenderung merupakan displacement sebagai bentuk coping stress subyek saat
mengahadapi situasi-situasi tidak menyenangkan yang menekan dirinya.

DINAMIKA PERMASALAHAN SUBYEK

Subyek

Pemikiran-pemikiran irrasional terhadap


ketinggian

Kognitif

Simtom-simtom yang muncul:

 Subyek merasakan ketakutan yang


berlebihan terhadap ketinggian
terutama tangga tanpa pegangan,
tangga curam dan tangga lipat. Subyek Kriteria fobia menurut
takut jatuh. DSM-IV:
 Subyek memiliki rasa khawatir
terhadap tempat-tempat tinggi yang 1. Ketakutan yang
menyebabkan ia merasa cemas dan berlebihan, tidak
perasaan cemas tersebut dirasakan beralasan, dan menetap
subyek sangat tidak nyaman dan yang dipicu oleh obyek
mengganggu. Subyek menyadari atau situasi.
bahwa ketakutannya tidak relistis. Rasa 2. Keterpaparan dengan
cemas subyek tidak disertai dengan ciri pemicu menyebabkan
fisik. kecemasan intens.
 Subyek cenderung menghindari 3. Orang tersebut
tempat-tempat ketinggian (saat ini): menyadari bahwa
tangga tanpa pegangan, tangga ketakutannya tidak
curam, tangga lipat dan dataran realistis.
dengan kontur tanah berbukit-bukit 4.Obyek atau situasi
curam. tersebut dihindari atau

FOBIA KETINGGIAN
(ACROPHOBIA)
Berdasarkan hasil asesmen dapat ditegakkan Diagnosis Multiaksial sebagai
berikut:
Aksis I: F40.8 Gangguan Anxietas Fobik Lainnya (heights/acrophobia)
Aksis II : Ciri Kepribadian menghindar
Axis III :-
Aksis IV : Masalah dengan “primary support group” (keluarga)
Aksis V : GAF Scale 70-61
Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi
secara umum masih baik
Hasil pemerikasaan terhadap subyek juga dapat memenuhi kriteria Phobia dalam
DSM IV-TR yang dirangkum di bawah ini:
Kriteria phobia dalam DSM- Simptom yang muncul Sesuai Tidak
IV-TR sesuai
Ketakutan yang berlebihan, Subyek merasakan ketakutan yang √
tidak beralasan, dan menetap berlebihan terhadap ketinggian
yang dipicu oleh obyek atau terutama tangga tanpa pegangan,
situasi tangga curam dan tangga lipat.
Subyek takut jatuh.
Keterpaparan dengan pemicu Subyek memiliki rasa khawatir saat √
menyebabkan kecemasan intens menghadapi terhadap tempat-
tempat tinggi yang menyebabkan ia
merasa cemas dan perasaan cemas
tersebut dirasakan subyek sangat
tidak nyaman dan mengganggu.
Orang tersebut menyadari Subyek menyadari bahwa yang ia √
bahwa ketakutannya tidak alami tidak realistis namun ia
realistis merasa takut jatuh dari tempat
ketinggian
Objek atau situasi tersebut Subyek cenderung menghindari √
dihindari atau dihadapi dengan tempat-tempat ketinggian (saat ini:
kecemasan intens tangga tanpa pegangan, tangga
curam dan tangga lipat.
Kriteria yang sesuai 4

Ditinjau dari motivasi subyek untuk mengatasi ketakutannya terhadap ketinggian


secara tuntas, dapat diprediksikan perubahan lebih lanjut pada subyek adalah baik.
Subyek menyadari bahwa apabila ia berhasil mengatasi rasa takutnya yang berlebihan
pada ketinggian, maka ia dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang selama ini timbul
sebagai akibatnya dan dapat secara maksimal membantu anaknya untuk mengatasi
permasalahan yang sama. Banyak usaha yang telah dilakukan oleh subyek untuk
mengurangi rasa takutnya yang berlebihan terhadap ketinggian, sehingga saat ini subyek
mampu mengidentifikasi ketakutan terhadap ketinggian yang kini masih ia rasakan
adalah pada saat ia harus menghadapi situasi ketinggian dengan obyek tangga tanpa
pegangan, tangga curam, tangga lipat dan permukaan tanah yang berbukit-bukit curam.
Rancangan intervensi yang akan diberikan yaitu dengan menggunakan Asosiasi Bebas
(untuk membantu subyek menyadari pengalaman masa lalu yang menjadi sumber
permasalahan bagi dirinya dan mampu memaafkan masa lalu dan dirinya sendiri);
Cognitive Behavior Therapy-Restrukturisasi Kognitif (agar Subyek mampu
mengidentifika-sikan pemikiran-pemikiran negatif pada dirinya yang muncul ketika
berada pada situasi ketinggian atau dihadapkan pada obyek tangga tanpa pegangan,
tangga curam dan tangga lipat serta menggantikannya dengan pemikiran yang positif);
Relaksasi (untuk membuat subyek merasa tenang mengatasi rasa takutnya terhadap
ketinggian); CBT: Exposure in vivo: Situational Exposure & Flooding Exposure (untuk
mengurangi atau menghilangkan ketakutan subyek terhadap ketinggian); CBT:
Exposure in vitro (untuk Membantu subyek mengurangi atau menghilangkan ketakutan
subyek terhadap obyek permukaan tanah yang tinggi dan berbukit-bukit curam); Client-
centered therapy (untuk membantu subyek menyadari, memahami dan mampu
mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul akibat ketakutannya terhadap ketinggian.
Pelaksanaan Intervensi berjalan dengan lancar sesuai rancangan yang telah dibuat.
Subjek sangat kooperatif menjalani setiap sesi yang dijadwalkan. Pada intervensi sesi
pertama, subjek diminta melakukan relaksasi yaitu latihan pernapasan dan relaksasi
damai dengan media audio dan dikontrol melalui pemberian instruksi. Kemudian
dilanjutkan dengan asesi knseling. Subyek masih merasa bingung dengan penyebab
fobia ketinggian yang ia alami. Sesi kedua dilakukan di sebuah restoran. Subjek
melakukan latihan pernapasan kemudian dilanjutkan dengan menuruni dan menaiki
tangga tanpa pegangan mulai dari tangga yang memiliki lebar paling sempit sampai
yang paling lebar (lokasi yang dipilih mempunyai berbagai ukuran dan bentuk tangga).
Pada sesi berikutnya, dengan konseling, subyek mampu membahas apa yang dirasakan
subyek saat itu, setelah sebelumnya melaksanakan Exposure In vivo.
Pertemuan selanjutnyadilakukan di rumah subjek. Subyek melakukan relaksasi dengan
latihan pernapasan dan relaksasi damai dengan media audio dan dikontrol melalui
pemberian instruksi. Dilanjutkan dengan teknik Asosiasi Bebas. Subyek dituntun untuk
mengingat dan menceritakan kembali pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan di
masa lalunya. Subyek diminta memejamkan mata dan berkonsentrasi pada hal yang
ingin ia sampaikan. Beberapa kali jeda untuk relaksasi. Terapi ini tidak berhasil karena
subyek tetap tidak mampu mengingat sumber permasalahan fobia ketinggiannya.
Namun ia berhasil mengingat beberapa hal yang ia lupakan, dan membuat subyek
merasa sangat sedih. Subyek merasakan kembali rasa kehilangan yang sangat besar
terhadap sosok orang tua angkatnya dan kebutuhan akan kasih sayang yang pada saat itu
tidak terpenuhi oleh orang tuanya. Teknik Letting go membantu subyek katarsis atas apa
yang baru saja ia rasakan, karena subyek tidak menyangka ia dapat mengingat kembali
kesedihan yang dalam akibat kehilangan kedua orang tua angkatnya.
Sesi selanjutnya dilaksanakan di sebuah restoran untuk membahas apa yang
dirasakan subyek saat itu. Subyek berencana mencoba menaiki dan menuruni tangga
lipat yang sudah ia persiapkan di rumahnya. Subyek diminta membayangkan obyek
berupa permukaan tanah yang tinggi dan berbukit-bukit curam. Pada sesi berikutnya
dilakukan kembali di rumah subyek. Ia diminta membayangkan obyek berupa
permukaan tanah yang tinggi dan berbukit-bukit curam dengan menggunakan teknik
Exposure in vitro.
Hasil dari intervensi yang telah dilaksanakan yaitu Subyek merasakan adanya
perbedaan saat mencoba obyek yang ia hindari yaitu saat menuruni dan menaiki tangga
tanpa pegangan yang cukup curam dan dengan berbagai ukuran. Sebelumnya ia
cenderung menghindar, atau bila terpaksa harus menggunakan tangga ia menuruni atau
menaikinya dalam waktu yang lebih lama dari orang dewasa lain. Sekarang subyek
berani menaiki dan menuruni tangga dengan kecepatan yang sama dengan orang lain,
tanpa pemikiran bahwa ia akan jatuh.
Pembahasan
Dalam terapi psikodinamika maupun humanistik, keduanya mengasumsikan bahwa
masa lalu mempengaruhi perilaku dan perasaan pada masa kini dan mencoba
memperluas self-insight klien (Nevid, Rathus, Greene, 2005:109). Hasil dari intervensi
yang telah dilakukan terhadap individu dapat dikatakan telah memperluas self-insight
subyek. Dapat dikatakan demikian, karena saat ini subyek tidak hanya mampu
menyadari dan memahami permasalahan yang ia alami saat ini, namun ia mampu
menyadari dan memahami permasalahan-permasalahan yang ia hadapai di masa lalu
juga mempengaruhi apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Subyek menyadari bahwa ia
selalu lari dan menghindar dari masalah, sejak di masa lalunya hingga saat ini.
Permasalahan-permasalahan itu disadari subyek tidak hilang, namun semakin
menumpuk saat ini karena belum ada satupun yang terselesaikan. Salah satu
permasalahan yang menonjol dan dirasakan mengganggu serta ingin dirubah oleh
subyek adalah fobia ketinggian yang ia alami cukup lama. Ketakutannya yang
berlebihan terhadap ketinggian disadari subyek sebagai salah satu bentuk dari
permasalahan yang ia hindari untuk segera diselesaikan, karena tanpa subyek sadari, ia
sudah terbiasa untuk selalu menghindar dari masalah yang sedang ia hadapi. Subyek
mengakui bahwa ia merasakan kepuasan tersendiri setiap ia berhasil lari dari masalah.
Menurut Roger (dalam Nevid, Rathus, Greene, 2005:109), gangguan psikologis
berkembang sebagian besar akibat hambatan yang ditempatkan orang lain dalam
perjalanan menuju kearah self-actualization. Subyek merasakan bahwa ternyata selama
ini ia telah memperlakukan dirinya terlalu keras dengan membatasi dirinya melakukan
hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya sendiri sesuai dengan usianya. Di satu sisi ia
harus menjadi orang tua yang dapat menjadi contoh yang baik bagi anaknya, dan di sisi
lain ia harus menunjukkan bahwa ia bersikap profesional sebagai seorang ilmuwan.
Ketidakjelasan fungsi sebagai anggota keluarga dan bentuk komunikasi yang buruk di
dalam kehidupan perkawinannya, disadari subyek sebagai suatu resiko yang harus ia
hadapi dan berusaha untuk ikhlas menjalaninya dan mengharapkan adanya suatu
perubahan walaupun harus membutuhkan waktu yang cukup lama.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa bahwa fobia
ketinggian yang dialami subyek dalam waktu yang lama tanpa dapat diketahui secara
jelas penyebabnya merupakan salah satu bentuk dari cara subyek menghindari masalah
yang sedang dihadapinya. Ia cenderung menjadi pribadi yang selalu menghindar dari
masalah-masalahnya dan merasakan kenyamanan saat itu, dan cenderung membiarkan
permasalahan-permasalahannya menumpuk tanpa penyelesaian. Fobia ketinggian yang
dialami subyek berhasil dikurangi sampai dengan dihilangkan. Subyek berhasil
menjalankan proses intervensi dengan baik dan mampu mempertahankan pikiran yang
rasional terhadap situasi yang ditakuti serta mampu meningkatkan motivasi dirinya
untuk terbebas dari fobia yang dialaminya. Saat ini subyek menjalankan aktivitasnya
sehari-hari dengan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association (APA). (-). Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders Fourth Edition (DSM IV). Washington DC: APA

Anonim (2015). 10 Phobia Paling Sering Dialami. nasional.sindonews.com. Diakses


pada tanggal 16 Januari 2016.
Anonim (2015). Phobia Ketinggian Harus Kamu Lawan Lho. brilio.net. Diakses pada
tanggal 16 Januari 2016.

Anonim (2016). Tips Menghilangkan Ketakutan (Phobia) pada Ketinggian.


informasitips.com. Diakses pada tanggal 16 Januari 2016.

Ciminero, Anthony R., Calhoun, Karen S., Adam, Henry E. (1997). Handbook of
Behavioral Assesment, USA: A Wiley-Interscience Publication

Corey, Gerald (2003). Teori dan Praktek: Konseling dan Psikoterapi. Penerjemah:
Koeswara, E. Bandung: PT Refika Aditama

Davidson, Gerald C., Neale, John M., Kring, Anne (2006) Psikologi Abnormal. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada

Firosad A.M., Nirwana, H., Syahniar (2016). Teknik Disensitisasi Sistematik untuk
Mengurangi Fobia Mahasiswa. Konselor: Volume 5 No. 2 Juni 2016.
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/konselor. Diakses pada tanggal 16 Januari
2016.

Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., Grebb, Jack A. (1997) Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid 1. Edisi Ketujuh. Jakarta: Binarupa
Aksara

Melianawati (2014). Penerapan CBT pada Penderita Fobia Spesifik. Calyptra: Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 3 No. 1 tahun 2014. Diakses pada
tanggal 16 Januari 2016.

Nevid, Jeffrey S., Rathus, Spencer A., Greene, Beverly (2005), Psikologi Abnormal
Jilid 1, Alih Bahasa Tim Fakultas Psikologi UI, Jakarta: Penerbit Erlangga

Spiegler, Michael D. & Guevremont, David C. (2003). Contemporary Behavior


Therapy 4th ed. USA: Wadsworth, a division of Thomson Learning, Inc.

Anda mungkin juga menyukai