Anda di halaman 1dari 13

Psikologi Forensik part 1 : PROFILING CRIMINAL

Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Banyak orang yang tertarik
dengan ilmu ini karena pada dasarkan kita tertarik mengenai diri kita dan orang lain. Bisa jadi,
kita berharap kita tahu apa yang kita pikirkan dan orang lain pikirkan. Tetapi apa ayng saya
bahas kali ini bukanlah mengenai kenapa orang tertarik dengan psikologi atau bagaimana cara
mengetahui apa yang orang lain pikirkan. Berhubung jaman sedari SD sampai SMA saya
menyukai komik 'Detectif Conan' dan ketika kuliah saya jatuh cinta kepada Sherlock Holmes.
Saya akan membahas mengenai psikologi forensik, salah satu aplikasi terapan dari psikologi di
bidang hukum. Selain itu saya juga menuliskan mengenai profiling criminal, salah satu tugas
kelompok untuk menganalisa suatu kasus kejahatan, yang saya lakukan bersama teman-teman
saya dikampus.

Psikologi Forensik dan Profiling Criminal


Psikologi Forensik adalah semua bentuk dan metode psikologi untuk menyelesaikan
permasalahan hukum. Ilmu ini bekerja dengan meneliti aspek-aspek perilaku manusia yang
berkaitan dengan proses peradilan (saksi mata, memori dan kesaksian, pengambilan keputusan
para juri, perilaku kriminal). Psikolog forensik bisa berperan sebagai saksi ahli, criminal profiler,
seleksi polisi, penggunaan hipnosis dalam investigasi (yang walaupun sampai sekarang
diragukan reliabilitasnya), evaluasi kewarasan dan kompetensi mental.

Psikologi forensik sendiri di Indonesia masih belum sering digunakan dibandingkan dengan
negara luar, dikarenakan keterpercayaan pemerintah dan psikolog forensik sendiri di Indonesia
masih sangaaattt jaraaanggg. Akan tetapi, berdasarkan pemberitaan televisi kita bisa melihat
psikologi forensik semakin berpengaruh. Penerapan psikologi dimata hukum dinilai penting dan
membantu penyelsaian kasus kejahatan dikarenakan banyaknya kasus kriminal yang disertai
masalah mental. Contohnya saja beberapa media menanyakan pendapat psikolog mengenai
kasus kriminal seperti kasus mutilasi yang dilakukan Ryan (tahun 2008) dan kasus Ade Sara
yang dibunuh pacar dan temannya (2014).

Salah satu aplikasi psikologi forensik adalah criminal profiling. Criminal profiling adalah Suatu
usaha ilmiah untuk menyediakan informasi khusus tentang tipe-tipe pelaku kejahatan tertentu,
dan digunakan sebagai skesta biografis pola perilaku dan kecenderungan munculya perilaku
tersebut. Informasi ini lah yang akan menolong kepolisian untuk menangkap pelaku
kejahatan. Berikut adalah contoh analisis profiling yang kami lakukan:

ANALISIS KASUS BLACK DAHLIA MURDER


penulis: Yosi Sihite, Erika Gressia, Satriani Manalu

Dalam kasus kriminal atau kejahatan, criminal profiling dibutuhkan untuk membantu
menganalisis dan memberikan informasi khusus tentang tipe tertentu dan sebagai sketsa biografi
dari perilaku, trend, dan kecenderungan pada seorang tersangka.
Dalam kasus ini data profiling yang dimiliki oleh pihak kepolisian yaitu bukti fisik, foto-
foto TKP, hasil otopsi laporan dan gambar, keterangan saksi, laporan informasi latar belakang dari
saksi dan polisi. Dari TKP dan barang bukti yang ada dari korban, psikolog forensik dapat melihat
beberapa indikasi perilaku pelaku dari tanda-tanda yang ada pada korban untuk membuat perkiraan
profil kriminal pelaku, yaitu seperti:
Bukti fisik :
- Kemungkinan pelaku adalah seorang pria yang berbadan cukup kekar, hal ini dapat dilihat
dari, darah mayat korban yang sudah mengering dan di tempat ditemukannya korban tidak
terdapat bercak darah yang banyak. Jadi dapat diasumsikan bahwa pembunuhan dilakukan di
tempat terpisah dengan tempat pembuangan mayat tersebut. Oleh karena itu, untuk membawa
mayat korban, dibutuhkan fisik yang cukup kuat untuk mengangkat mayat tersebut. Maka
diasumsikanlah bahwa pelakunya adalah pria yang berbadan cukup kekar.
Bukti psikologi :
1. - Korban ditemukan dalam keadaan terbaring tanpa pakaian di tengah
lapangan terbuka dengan pose yang vulgar. Disana terlihat, bahwa pelaku ingin
menunjukkan kontrolnya menurut fantasinya sendiri sehingga ia menampilkan mayat
korban dengan posisi tertentu untuk tujuan mempermalukan korban dan meletakkan
mayat korban di tempat-tempat yang mudah ditemukan. Jadi jika kita simpulkan dari
analisis keadaan tersebut, pelaku memiliki sifat dominansi yang kuat dan fantasi yang
besar.
2. - Dari barang bukti, dapat dilihat bahwa pelaku membunuh korban dengan
teknik yang rapi seperti terlihat pada caranya memotong tubuh korban menjadi bagian
atas dan bawah dimana tidak ada tanda-tanda korban di mutilasi dengan membabi buta
atau berantakan. Atau dari sayatan-sayatan yang tampak pada alat kelamin korban,
sayatan-sayatan tersebut dilakukan dengan rapi. Diperkirakan juga kalau selang waktu
pembunuhan dengan pembuangan mayat adalah beberapa hari. Karena dapat dilihat darah
korban sudah mengering dan tidak ada bercak darah pada tempat ditemukannya mayat.
Hal ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang rapi dan teratur dan
berkemungkinan adalah seseorang yang berpendidikan dan berasal kelas sosial
menengah keatas.
3. - Korban juga diketahui telah disekap dan disiksa selama beberapa hari,
dimana hal ini ditunjukkan dari bekas jeratan tali pada pergelangan kaki dan tangannya.
Ia juga telah diperkosa baik secara anal atau vaginal yang mana diikuti dengan sayatan-
sayatan di daerah tersebut. Meski dari hasil otopsi tidak ditemukan sperma pelaku pada
korban. Namun ini menunjukkan, bahwa pelaku memilikipenyimpangan seksual, karena
ia melakukan hubungan seksual tanpa memanfaatkan alat kelaminnya sendiri dan
menyakiti alat kelamin korban dimana kemungkinan hal tersebut dilakukan untuk
meningkatkan fantasi dan gairah pelaku tersebut.
4. - Pelaku juga kemungkinan adalah seorang yang cerdas, karena baik dari
tubuh korban dan barang bukti yang dikirimkan pelaku pada polisi yaitu barang-barang
pribadi milik korban berupa paspor, kartu nama, foto-foto korban bersama rekan-
rekannya, nota dan akte kelahiran korban, tetapi tidak ditemukan sidik jari pada barang-
barang tersebut dan tubuh korban. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku telah menghapus
dan membersihkan bukti-bukti yang mengarah pada dirinya.
5. - Berdasarkan referensi (www.criminalprofiling.ch), diketahui bahwa luka-
luka wajah yang brutal pada korban menunjukkan bahwa pelaku tahu korban-korban
mereka.
- Dari uraian dan analisis di atas untuk sementara, motif pelaku dalam membunuh korban yaitu
kemungkinan karena gangguan seksual karena korban diperkosa dengan cara tidak normal, pribadi
karena wajah korban dilukai secara brutal dengan cara yang sadis yang mana menujukkan bahwa
korban adalah orang yang dikenal pelaku dan emosional karena pelaku menyakiti korban berkali-
kali di berbagai tempat tubuh korban.

Berdasarkan teori :
Dalam kasus ini, pendekatan profiling kriminal yang digunakan oleh pihak kepolisian
adalah:
- Profiling kriminal dari karakteristik kejadian kejahatan
Dalam kasus pihak kepolisian menganalisis TKP dalam menentukan modus operandi dan
signaturenya, yaitu :
Modus operandi :
Standar prosedur yang dilakukan oleh pelaku dalam membunuh korbannya;
Pertama, korban dianiaya, kemudian ditelanjangi, diperkosa dan disodomi.
Kedua, korban disekap dan mengikat kedua tangan dan kakinya dengan tali.
Ketiga, korban dipotong menjadi dua bagian.
Keempat, korban dibuang ke tempat lain.

Signature :
Tanda kriminalitas yang mencerminkan keunikan, aspek-aspek pesonal pada tindakan kriminal
atau seringnya merefleksikan ekspresi dari kejahatan perilaku.
Pada tubuh korban, pelaku menyayat alat kelamin korban, menguliti payudara kanan korban,
merobek mulut korban, melubangi perut bagian bawah dan paha kiri, serta memotong tubuh
korban menjadi dua, di bagian atas pinggang.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dari analisis di atas kita bis melihat siapa sajakah orang yang kemungkinan menjadi pelaku kejahatan Black
Dahlia dari cara profil kriminalnya. Pemprofilan pelaku kejahatan menolong polisi untuk menangkap
pelaku kejahatan. Contohnya saja pembegalan yang marak terjadi di kota-kota besar, dengan melakukan
pemprofilan terhadap pembegal, polisi akan terbantu mempetakan siapa saja yang menjadi pembegal, di
wilayah mana mereka bekerja dan langkah apa yang dilakukan mencegah pembegalan. Jika Anda tertarik
lebih lanjut dengan penerapan profiling criminal ada satu drama yaitu 'Gap Dong' . Drama ini mengenai
kasus pembunuhan berantai yang disertai kejahatan seksual, dalam drama ini terlihat jelas bagaimana
psikolog forensik bekerja melakukan profiling dan efek psikologis sebuah kejahatan bagi korban dan
pelaku.
http://tugaspsikologidulu.blogspot.com/2015/03/psikologi-forensik-part-1-profiling.html
PENEMBAKAN BERANTAI TERHADAP PENGEMUDI DI JALAN YANG TIDAK
TERJANGKAU CCTV

Seorang wanita berambut pendek ditembak saat mengemudikan mobilnya pada tanggal 29, pukul
3 pagi di jalur akses jalan lingkar dekat Yangchon-dong dan tanpa saksi mata ataupun rekaman
CCTV. Dari hasil otopsi korban tewas seketika setelah sebutir peluru bersarang di kepalanya.
Kasus ini terjadi seminggu setelah kasus pertama yang serupa, untungnya korban pertama selamat,
tapi masih belum sadarkan diri. Lalu disusul penembakan serupa beberapa hari kemudian.

Dalam kasus ini data yang dimiliki kepolisian adalah keterangan saksi, hasil otopsi gambar dan
laporan, barang bukti bubuk mesiu, dan laporan analisis TKP.

Bukti Fisik:
1. Kejahatan ini menggunakan senjata api, karenanya kepolisian akan menyelidiki
orang-orang yang memiliki akses senjata, seperti veteran dan orang militer. Tapi ternyata
tidak berhasil. Jadi Profiler di sini berpendapat jika pelaku membuat atau merakit sendiri
senjata apinya. Apalagi saat ini tidak ada regulasi tentang pistol pribadi ilegal, sehingga
membuat pelakunya makin sulit dilacak. Dugaan ini dikuatkan dengan semua lubang
pelurunya berbeda, artinya tekanan pada peluru tidak konsisten, jadi jelas, senjata yang
digunakan adalah rakitan sendiri pelaku.

Bukti Psikologi:
1. Korban sama-sama berumur 40an tahun, dengan tampilan fisik memiliki
kemiripan. Dapat disimpulkan jika korban melambangkan sesuatu bagi pelaku;
2. Sebagian besar bubuk mesiu ditemukan di pipi kiri kedua korban. Mereka ditembak
dengan pistol laras panjang melalui jendela kursi penumpang. Luka tembak pada korban
kedua berdiameter lebih besar. Diasumsikan jika pelaku memotong mulut pistolnya pada
aksinya yang kedua. Pelaku belajar dari pengalaman sebelumnya, apa yang akan
dilakukannya jika ingin menembak dengan mudah. Ini membuktikan jika pelaku
mempelajari bagaimana cara membunuh dengan mudah;
3. Dari luar kelihatannya pelaku tidak meiliki motif, tapi sebenarnya ada. Profiler
berasumsi jika pelaku melakukan pembunuhan pertama karena terpicu oleh kemarahan.
Tapi pembunuhan yang kedua pelaku memiliki motif yang jelas. Jadi Profiler perlu mencari
tahu apa yang telah terjadi pada pelaku. Memakai senjata mematikan seperti pistol untuk
menekan pelaku yang penakut. Dapat diasumsikan jika pekerjaan pelaku menguras
banyak emosi, seperti sales yang menghadapi banyak orang;
4. Melihat dari waktu yang dipilihnya di kasus kedua yang tidak banyak orang, pasti
pelaku sudah terbiasa memendam kemarahannya dan tidak mengungkapkan perasaannya
dalam waktu lama. Terlalu sibuk dengan pekerjaan dan telah terbiasa mempelajari perasaan
orang lain. Pelaku juga perfeksionis yang suka bekerja seorang diri. Memiliki sosok yang
rendah diri yang selalu berusaha menghindar dari kritik orang lain. Selain itu pelaku juga
berkepribadian lemah dan tidak akan pernah mengungkapkan kemarahannya. Pada suatu
titik sulit bagi pelaku untuk menahan kemarahan itu. Dari analisis ini kemungkinan pelaku
dapat dikategorikan psikopatologi (studi tentang penyakit mental, tekanan mental, dan
abnormal/perilaku maladaptif);
5. Penembakan pertama kemungkinan tidak disengaja karena pelaku meninggalkan
seorang saksi. Dan jika memang tidak sengaja, bisa jadi mobil yang dipakai pertama kali
adalah mobilnya yang sebenarnya;
6. Ada saksi mata dari seorang pekerja konstruksi jalan dekat TKP, melihat seorang
pria berkacamata hitam dalam kegelapan yang terus mondar-mandir dengan mobilnya
dengan berpakaian nyentrik. Dan ketika ada seseorang yang mendahului mobilnya, pelaku
mengulurkan tangannya pada kursi penumpang, seperti sedang melindungi seseorang,
padahal kursi penumpang itu kosong. Kemungkinan jika uluran tangan itu adalah gerak
reflek yang biasa pelaku lakukan untuk melindungi keluarganya. Ini membuktikan jika
pelaku memiliki istri dan anak. Berarti selama ini pelaku mencari korban untuk
menggantikan istrinya tapi tidak mampu membedakan antara realitas dan khayalan
dan mulai bersandiwara;
Dari analisis tersebut bisa disimpulkan profil pelaku:
 Pakaian dan maskulin yang berlebihan, korban yang dipilihnya berpenampilan mirip.
Selain itu penembakan pertamanya adalah seorang wanita. Semua ini menyatakan pelaku
mengalami krisis maskulinitas;
 Korban pertama tidak disengaja, tapi pasti ada trauma serius yang menyebabkannya.
Dapat disimpulkan jika pelaku pengidap skizofrenia (Gangguan mental kronis yang
menyebabkan penderitanya mengalami delusi, halusinasi, pikiran kacau, dan perubahan perilaku.
Kondisi yang biasanya berlangsung lama ini sering diartikan sebagai gangguan mental
mengingat sulitnya penderita membedakan antara kenyataan dan pikirannya sendiri;
[sumber: klik di sini]
 Berusia 40 - 50 tahun dari penampilannya;
 Menilai dari kejahatannya pelaku penakut dan kemungkinan diremehkan sebagai kepala
keluarga;
 Memiliki 3 mobil, sedan hitam, sedan biru, dan SUV biru;
 Menimbang dari pernyataan saksi pertama kemungkinan besar pelaku adalah pekerja
kelas menengah;
 Melihat pola kejahatannya, pelaku tidak asing dengan daerah TKP;
 Ada kemungkinan besar pelaku tidak dapat menerima kehidupan nyata. Karena tidak
terkendali, besar kemungkinan orang - orang di sekitarnya dalam bahaya.
Dari analisis di atas kita bisa melihat siapa yang memungkinkan sebagai pelaku, juga sebagai
acuan bagian investigasi dalam mencari latar belakang pelaku. Siapa saja yang memiliki mobil
tersebut di daerah Yangchon-dong, dan yang pernah melakukan transaksi pembelian peluru ilegal,

Jadi kira-kira begitulah tugas seorang Profiler, memetakan tersangka dan terkadang diharuskan
berpikir seperti pelaku kejahatan. Drama korea ini nggak ada cinta-cintaannya sama sekali. Tapi
menegangkan dan seru, penonton jadi sedikit banyak mengetahui tentang psikologi forensik dan
profesi yang tidak biasa ini.

Psikologi forensik sendiri di Indonesia masih belum sering digunakan dibandingkan dengan negara
luar, dikarenakan keterpercayaan pemerintah dan psikolog forensik sendiri di Indonesia masih
sangaaattt jaraaanggg. Akan tetapi, berdasarkan pemberitaan televisi kita bisa melihat psikologi
forensik semakin berpengaruh. Penerapan psikologi di mata hukum dinilai penting dan membantu
penyelsaian kasus kejahatan dikarenakan banyaknya kasus kriminal yang disertai masalah mental.
Contohnya saja beberapa media menanyakan pendapat psikolog mengenai kasus kriminal seperti
kasus mutilasi yang dilakukan Ryan (tahun 2008) dan kasus Ade Sara yang dibunuh pacar dan
temannya (2014). [sumber: klik di sini]

Baiklah, terima kasih telah membaca hingga selesai. Sampai jumpa di tulisan gaje berikutnya.

Salam sayang,
Ning!
https://ingoldlife.blogspot.com/2017/10/mengenal-profesi-profiler-dari-criminal.html

CRIMINAL PROFILING
Criminal profiling merupakan sebuah usaha ilmiah untuk menemukan informasi dari seorang pelaku kejahatan
(Geberth, 1981 dalam Wrightsman, 2001). Criminal profiling juga diartikan sebagai usaha ilmiah untuk
menyusun sketsa biografis mengenai pola perilaku, arah, dan kecenderungan dari seorang pelaku tindak kriminal
(Vorpagel, 1982 dalam Wrightsman, 2001). Dasar pemikiran dari criminal profiling adalah bahwa cara berpikir
seorang kriminal mengarahkan kepada perilaku tindak kriminal yang dilakukannya, namun perlu ditegaskan
bahwa criminal profiling tidak menguak identitas spesifik dari seorang pelaku. Geberth (1990) mengemukakan
bahwa tujuan dari criminal profiling adalah untuk memberikan penyidik sebuah gambaran kepribadian dari
seorang pelaku tindak kriminal yang akan dapat mengarahkan penyidik kepada petunjuk untuk menemukan si
pelaku (dalam Wrightsman, 2001).

Adapun prosedur dari criminal profiling adalah sebagai berikut (dalam Wrightsman, 2001):

1. Karakter umum para pelaku criminal pada umumnya (Common characteristic of criminal offenders)
2. Analisa TKP (crime scene analysis)

Ada 5 tahapan criminal profiling yang digunakan oleh FBI Behavioral Unit Science psychological profiling
programme, Virgina, adalah sebagai berikut (Wrightsman, 2001):

1. Menyelidiki sifat dasar dari tindakan kriminal dan menyelidiki tipe pelakunya dengan mengkaitkannya dengan
pelaku kejahatan yang pernah ada sebelumnya (Common characteristic of criminal offenders)
2. Analisis menyeluruh terhadap TKP (crime scene analysis)
3. Menyelidiki latar belakang dan aktivitas para korban
4. Memformulasikan kemungkinan modus yang menjadi penyebab pembuhunan korban dan mengkaitkannya
terhadap orang-orang yang mungkin berkaitan erat terhadap modus tersebut.
5. Mengembangkan deskripsi pelaku berdasarkan olah TKP dan perilaku tindakan kriminal serupa beserta
pelakunya yang ada pada masa sebelumnya.
Beberapa peneliti telah melakukan pengujian psikologis menggunakan alat tes MMPI (Minnesota Multiphasic
Personality Inventory) terhadap para pelaku tindak kriminal untuk menemukan karakteristik umum para pelaku.
*MMPI banyak digunakan sebagai alat ukur psikologis untuk mendeteksi kondisi psikopatologi .

Sebagai contoh, beberapa peneliti mengenakan alat ukur psikologis MMPI dan revisinya (MMPI-2) pada para
pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak. Hasil menunjukkan bahwa masing-masing pelaku memiliki
kenaikan skor pada skala 4, yakni skala yang mengukur kondisi penyimpangan mental, a.k.a.Psikopat. Karakter
yang ditemukan dari para pelaku kejahatan seksual pada anak ini adalah (1) suka menentang, (2) impulsive,
(3) self-centered, (4) suka melanggar hak. Penelitian lain juga dilakukan oleh Quinsey, Arnold, dan Pruesse pada
tahun 1980. Mereka mengenakan tes psikologis MMPI terhadap pelaku pelecehan seksual, pemerkosa,
pembunuh, arsonis, dan pelaku perusak property. Hasil penellitian menemukan bahwa masing-masing pelaku
kriminal menunjukkan skor yang tinggi pada MMPI skala 4 (psychopathic deviance scale), skala 8
(Schizophrenia scale), bahkan skala 9 (Hypomania scale). Artinya adalah mayoritas para pelaku criminal
memiliki kondisi psikologis abnormal, baik itu psychopath, schizophrenia, maupun hypomania (dalam
Wrightsman, 2001).

Ada dua tipe pelaku kriminal pada umumnya, yakni organized offender dan disorganized offender. Organized
offender dikarakteristikkan dengan perencanaan pemubunhan yang rapih, mentargetkan siapa yang menjadi
korban mereka, memiliki kendali penuh terhadap TKP yakni dengan meninggalkan hanya sedikit petunjuk di
TKP, dan kemungkinan besar memerankan fantasi kejam terhadap korbannya, termasuk dengan menyiksa atau
memutilasi korbannya. Sedangkan disorganized offender dikarakteristikkan dengan kurang teliti dalam
merencanakan tindak kriminalnya, mendapatkan korbannya secara acak, dan bertindak secara sembrono dalam
melakukan kejahatanya yang dapat dilihat dari kondisi TKP. Korban dari pelaku disorganized
offender cenderung tidak memiliki kesamaan karakteristik karena mereka mendapatkan korbannya secara acak
atau kebetulan. Berbeda dengan organized offender, korban mereka cenderung memiliki beberapa kesamaan ciri
maupun karakter karena mereka dengan teliti memilih korban-korban yang mereka inginkan (Wrightsman,
2001).

Proses kedua yang harus dilakukan oleh profiler adalah dengan menyelidiki TKP (crime scene analysis). Dari
analisis TKP ini nantinya akan mengarahkan profiler pada sekumpulan pertanyaan yang dapat memberikan
petunjuk-petunjuk yang digunakan untuk menyusun hipotesa mengenai gambaran pelaku. Dari olah TKP ini
nantinya akan terlihat MO dan Signature. Suatu tindakan kriminal mutlak memiliki MO (modus operandi), yakni
standar prosedur (cara) yang dilakukan pelaku dalam melaksanakan tindak kriminalnya. Berbeda
dengan signature, yakni suatu perilaku atau benda yang dilakukan atau ditinggalkan oleh pelaku untuk
memuaskan emosi personalnya melalui tindak kriminal yang dilakukan. Signature tidak selalu ada pada semua
tindakan kriminal. Signature sendiri mencerminkan aspek personal yang unik dari sebuah tindakan kriminal
yang biasanya berperan sebagai cerminan dari “need” si pelaku untuk mengekspresikan fantasi yang dimiliki
melalui tindakan kriminalnya (Douglas dan Munn, 1992, dalam Wrighstman, 2001).

Melalui proses ini nantinya profiler akan mendapatkan susunan atau formulasi dari hipotesis profilingmengenai
gambaran pelaku. Pada dasarnya tujuan criminal profiling adalah untuk memformulasi hipotesa akan gambaran
pelaku, namun sebaiknya formulasi hipotesa yang telah tersusun tidaklah secara gamblang dijadikan keputusan
akhir dari penyidikan, karena kesalahan sedikit saja pada profiling ini akan mengarahkan penyidik kepada
tersangka yang salah. Perlu ditekankan kembali bahwa dengan criminal profiling bukanlah menyediakan
informasi mengenai identitas spesifik si pelaku, melainkan sebagai instrument atau alat penyidikan untuk
memudahkan kerja penyidik dengan memberikan masukan ilmiah terhadap proses investigasi, termasuk
wawancara (Jackson, Van den Eshof, & de Kleuver, 1997; Stevens, 1997, dalam Wrightsman, 2001). Namun
demikian, penerapan criminal profiling tidak selalu berhasil pada semua tipe kejahatan, seperti perampokan
bank, pemalsuan cek, dan penculikan, merupakan contoh kasus kriminal yang sangat sulit jika dilakukan
dengan profiling (Holmes dan Holmes, 1996,dalam Wrighstman, 2001).
KASUS
Kasus diambil dari novel The Secret Friend terjemahan Bahasa Indonesia, Karangan Chris Mooney (2008),
Penerbit Dastan Books, Jakarta 2010.

Ringkasan cerita dari novel tersebut adalah sebagai berikut :

Pada bulan Maret dikabarkan seorang mahasiswi Harvard, Emma Hale (19 tahun), yang juga merupakan
putri tunggal dari seorang pengusaha kaya di kota Boston menghilang. Pihak kepolisian menduga bahwa
ini adalah kasus penculikan hingga delapan harikemudian mayatnya ditemukan mengapung dan
menggembung di sungai Charles kota Boston. Enam bulan kemuadian yakni pada
bulan Desember, terdengar kembali kabar orang hilang, yakniseorang mahasiswi yang bernama Judith
Chen. Terakhir kaliJudith terlihat adalah ketika ia dalam perjalanan pulang dari perpustakaan. Setelah
berselang beberapa hari dari kabar menghilangnya Judith Chen, ditemukan lah sosok mayat seorang
wanita yang mengapung di Boston Harbor di belakang gedung pengadilan Moakley yang tak lain adalah
mayat dari Judith Chen.Jenazah Judith Chen sudah kelihatan hitam-putih dan terlihatsangat menakutkan,
penuh amarah, dan terlihat seperti sosokmayat yang merangkak keluar dari liang kubur. Kedua
korbanyang ditemukan terbunuh dengan pola yang sama. Kedua korban memiliki luka bekas tembakan di
belakang kepala. Dan terdapat sebuah patung Bunda Maria di dalam kantung celana kedua korban yang
dijahit rapi. Dan kedua mayat korban juga sama-sama digenangkan ke dalam sungai. Beberapa lama
setelah ditemukannya mayat Judith Chen mengapung di sungai Boston Harbor, pihak kepolisian kembali
mendapat kabar bahwa seorang mahasiswi yang bernama Hannah Givens telah dikabarkan hilang.

Pihak kepolisian Boston berusaha untuk menyingkap misteri di balik pembunuhan ini. Kepolisian Boston
yang dipimpin oleh Komisaris Christina Chadzynski yang akrab dipanggil dengan Chadzynski, mengutus
dua orang detektif, yakni Tim Bryson dan Cliff Wats untuk menyelidiki kasus ini.
Chadzynskijuga merekrut beberapa ahli forensik di laboraturium forensik CSU (Crime Scene Invenstigative
Unit) di kepolisian Boston. Mereka adalah Darby McCormick dengan dua orang mitra kerjanya, Jackson
Cooper dan Keith Woodbury.

Darby McCormick dan kedua rekan kerjanya, Jackson Cooper dan Keith Woodbury mencoba mengusut
kasus ini dengan melakukan serangkaian penelitian dengan bukti-bukti yang mereka temukan pada
korban. Mereka meneliti mulai dari pakaian yang melekat pada tubuh korban dengan melacak
DNApelaku yang kemungkinan melekat pada pakaian yang dikenakan korban. Tim penyelidik juga
berusaha untuk mendapatkan gambaran antara kedua korban. Dan Darby tidak menemukan persamaan
antara kedua korban, yang sama hanyalah mereka sama-sama seorang mahasiswi, seorang gadis remaja
yang berusia 19 tahun. Pihak kepolisian membuat hipotesis bahwa yang menculik Hannah adalah orang
yang telah membunuh Emma dan Judith. Awalnya mereka mencurigai seorang laki-laki yang melakukan
pemerkosaan yang korbannya kemudian dibunuh beberapa waktu lalu, namun ia dibebaskan karena
alasan mental Illness. Ia adalah Samuel Dingle. Namun Darby memiliki pemikiran berbeda dan tetap
pada pendiriannya bahwa pembunuh Emma Hale dan Judith Chen adalah orang yang berbeda.

Tanpa sepengetahuan pihak kepolisian atau tim penyelidik kasus pembunuhan ini, Jonathan Hale yang
tak lain adalah ayah dari Emma Hale, menyewa seorang mantan patolog New York, Dr. Ali Karim, untuk
mengusut kasus ini, di mana mereka bekerjasama dengan Malcolm Fletcher yang tak lain adalah mantan
seorang profiling, yang juga menjadi buronan FBI selama beberapa tahun yang jejaknya tidak pernah
diketahui oleh FBI. Jonathan Hale (ayah Emma Hale) menginginkan pembunuh anaknya mati ditangannya
sendiri, maka dari itu ia menyewa seorang ahli dalam mengusut kasus seperti ini, yang tak lain adalah Dr.
Karim dan Fletcher. Namun tidak beberapa lama waktu berselang dalam penyelidikan, akhirnya pihak
kepolisian mengetahui bahwa Jonathan Hale bekerja sama dengan Malcolm Fletcheruntuk menemukan
pembunuh putri tunggalnya itu.

Suatu saat setelah mengetahui bahwa Jonathan Hale bekerja sama dengan Malcolm Fletcher, dua detektif
dalam penyelidikan ini yakni Tim Bryson dan Cliff Watts pergi membuntuti Fletcher karena mereka
menduga Fletcher mengetahui sesuatu mengenai pembunuh Emma dan Judith. Ditengah penyelidikan
mereka menemukan Fletcher, dan Fletcher mengetahui bahwa ia sedang diikuti oleh dua orang agen
federal, dan kemudian Fletcher melakukan sesuatu yang membuat salah seorang dari kedua detektif
itu tewas. Tim Bryson pada akhirnya tewas di tangan Fletcher. Setelah kejadian itu, kembalitidak
ditemukan jejak keberadaan Fletcher.

Darby bersama dengan rekan-rekannya mencoba untuk mencari fakta yang dapat menguak siapa
sebenarnya pelaku dari bukti-bukti yang ada. Namun cara kerja pelaku sangat bersih, sehingga Darby dan
mitra kerjanya tidak menemukan barang bukti yang dapat memberikan struktur DNA pelaku.Darby tidak
menemukan barang bukti seperti sperma, serat pakaian, maupun rambut dari si pelaku yang dapat
memberikan informasi DNA si pelaku, namun Ia menemukan sebuah patung Perawan Maria setinggi 12,5
cm dengan cap ‘our lady of sorrow’ di dalam saku kedua korban. Selain itu, barang bukti lain ditemukan
yaitu sejenis senyawa kosmetik LYCD (live yeast cell derivative) dan diselidiki lebih lanjut bahwa senyawa
LYCD digunakan untuk memproduksi sebuah kosmetik yang disebut Lycoprime. Kedua barang bukti ini lah
yang menghantarkan Darby pada pelaku pembunuhan sebenarnya.

Ketika Darby telah menemukan seseorang yang dicurigai sebagai pelaku dan tempat tinggalnya, Ia
langsung saja bertindak menyelidiki tempat kediaman orang tersebut. Darby yakin bahwa Hannah Givens
yang dikabarkan menghilang dan diduga juga menjadi korban penculikan pembunuh dengan gangguan
jiwa tersebut ada di dalam rumah itu. Dan akhirnya Darby berhasil melumpuhkan pembunuhitu dan
menyelamatkan Hannah Givens yang ketika itu hendak dieksekusi oleh si pembunuh. Ketika Darby berhasil
masuk ke dalam rumah itu dan telah berhasil melumpuhkan pembunuh, tiba-tiba Malcolm Fletcher
datang dari belakang Darby tanpa sepengetahuan Darby, memborgol Darby dan mengkaitkan borgol di
tangan Darby ke kaki meja sehingga membuat Darby tidak bisa melakukan apa-apa. Setelah itu Malcolm
Fletcher membawa pembunuh itu bersamanya untuk diserahkan kepada Jonathan Hale.
Setelah Jonathan mendapatkan hal yang ia inginkan, yakni bertemu dengan pembunuh putri semata wayangnya,
ia mngurungkan niatnya untuk membunuhnya dengan tangannya sendiri. Ia lalu menyerahkannya kepada
Malcolm Fletcher untuk diadili dengan cara Malcolm Fletcher, yakni dengan membuatnya menderita. Darby
dan rekan-rekannya berusaha untuk menemukan jejak keberadaan pembunuh gila itu yang relah diculik oleh
Malcolm.

Darby kemudian berhasil menemukannya di sebuah hutan yang bersalju yang pohon-pohonnya sudah
membusuk. Ternyata Malcolm Fletcher menanam pembunuh gila itu di dalam tanah yang dilapisi selang
pipa (agar bau busuk mayat pembunuh itu nantinya tidak akan tercium) di hutan itu dengan tidak
menyisakan udara sedikit pun untuk ia bernapas. Darby menemukan tempat dimana ia ditanamkan,
namun Darby malah tidak mengeluarkannya dari dalam tanah (pipa) itu. Awalnya Darby ingin
mengeluarkan pembunuh itu untuk di bawa ke pengadilan dan sempat membuka bagian atas pipa. Darby
melihatnya terikat dengan wajah yang menyeramkan memintanya untuk mengeluarkannya dari dalam
pipa itu, namun Darby semakin benci melihat pembunuh itu dan akhirnya Darby menutup kembali atas
pipa itu dengan rapat seperti keadaan semula untuk memberikan pelajaran kepada pembunuh itu, untuk
membalaskan penderitaan yang telah dirasakan para korbannya.

ANALISA KASUS
Merujuk kepada 5 tahapan criminal profiling yang digunakan oleh Behavioral Unit Science psychological
profiling programme FBI, Virgina, adalah sebagai berikut (Wrightsman, 2001) :

1. Menyelidiki sifat dasar dari tindakan kriminal dan menyelidiki tipe pelakunya dengan mengkaitkannya
dengan pelaku kejahatan yang pernah ada sebelumnya.
2. Analisis menyeluruh terhadap TKP
3. Menyelidiki latar belakang dan aktivitas para korban
4. Memformulasikan kemungkinan modus yang menjadi penyebab pembuhunan korban dan
mengkaitkannya terhadap orang-orang yang mungkin berkaitan erat terhadap modus tersebut.
5. Mengembangkan deskripsi pelaku berdasarkan olah TKP dan perilaku tindakan criminal serupa beserta
pelakunya pada masa sebelumnya.
Mengikut FBI psychological profiling, Virginia, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menyelidiki
sifat-sifat dasar dari tindakan criminal dan tipe pelakunya. Hal ini dilakukan dengan mengkaitkan kejadian
tersebut dengan pelaku kejadian serupa di masa lalu. Melakukan tahap pertama ini profiler dapat merujuk
kepada karakteristik-karakteristik pelaku criminal yang pernah ada. Wrightsman (2001) dalam
bukunya Forensic Psychologymemaparkan pengukuran terhadap para criminal pernah dilakukan oleh
Quinsey, Arnold, dan Pruesse pada tahun 1980. Mereka mengenakan tes psikologis MMPI terhadap
pelaku pelecehan seksual, pemerkosa, pembunuh, arsonis, dan pelaku perusak property. Hasil penellitian
menemukan bahwa masing-masing criminal menunjukkan skor yang tinggi pada MMPI skala 4
(psychopathic deviance scale), skala 8 (Schizophrenia scale), bahkan skala 9 (Hypomania scale). Artinya
adalah mayoritas para pelaku criminal memiliki kondisi psikologis abnormal, baik
itu psychopath,schizophrenia, maupun hypomania.

Ketika dikaitkan dengan kasus dalam novel, kasus criminal yang terjadi adalah kasus pembunuhan
terhadap 3 wanita. Profiler dapat berhipotesis bahwa kemungkinan besar pelaku criminal adalah
seseorang dengan kriteriapsychopath, schizophrenia, atau hypomania. Namun profiler masih terlalu dini
untuk menarik kesimpulan dan perlu dilakukan penyelidikan lebih mendalam dari analisa TKP.

Melihat TKP kejadian, bahwa kedua korban adalah wanita berusia 19 tahun. Ketika para korban
keseluruhan adalah wanita dengan usia yang hampir sama, maka kemungkinan besar pelaku adalah laki-
laki dengan usia yang hampir sama dengan korban-korbannya (Douglas & Olshaker, 1995 dalam
Wadsworth, 2001). Maka dapat dispekulasikan bahwa pelaku adalah seorang laki-laki berusia sekitar 19-
23 tahun. Dalam kasus ini tidak ditemukannya barang milik korban yang hilang. Dengan kata lain pelaku
tidak mencuri sesuatu pun barang milik korbannya. Hal ini mengarahkan kita pada spekulasi kemungkinan
besar pelaku berasal dari kalangan ekonomi berkecukupan.

Kedua mayat korban ditemukan mengambang di dua sungai yang berbeda (lokasi berbeda). Kemungkinan
besarpelaku adalah seseorang dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata atau berwawasan luas, karena
kemungkinan besar ia mengetahui jika korbannya terendam di dalam air selama berhari-hari dapat
menghilangkan jejak DNA miliknya yang kemungkinan melekat pada korbannya. Hal ini terbukti dari hasil
otopsi bahwa tidak ditemukannya DNA pelaku yang melekat pada korbannya maupun di area TKP.

Hasil otopsi menunjukkan terdapat lubang bekas tembakan di bagian belakang kepala kedua korban.
Namun lubang tembakan tersebut tidak menembus kepala bagian depan. Hal ini mengindikasikan bahwa
korban kemungkinan besar ditembak dari jarak jauh. Namun jika benar demikian, tidak ditemukanya
bercak darah di sekitar TKP. Maka kemungkinan pelaku tidak menembak korban di area TKP, karena
pelaku tidak akan mengambil resiko tertangkap tangan ketika harus membersihkan area TKP dari bercak
darah para korbannya yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Pelaku diyakini melaksanakan aksinya
di zona otoritasnya, sebuah lokasi yang ia merasa memiliki kendali sepenuhnya, sebuah lokasi di mana ia
dapat dengan luwes menunggu darah para korbannya habis tak bersisa sehingga dengan mudah ia dapat
membuang mayat korban tanpa ada bercak darah sedikit pun di TKP. Hal ini mengindikasikan bahwa
pelaku memiliki sebuah rumah yang tertutup dan jauh dari tetangga dan sebuah kendaraan pribadi untuk
membuang mayat korbannya ke sungai. Hal ini dikuatkan dengan pelaku memiliki waktu yang cukup lama
untuk menjahit saku korbannya dengan rapih. Kondisi TKP menunjukkan bahwa pembunuhan
direncanakan dengan detail dan rapih mengindikasikan bahwa pelaku adalah tipe criminal yang
terorganisir. Tipe kendaraan yang biasa digunakan oleh criminal teroganisir (organized offender) menurut
evaluasi Vernon Geberth (dalam Wadsworth, 2001) adalah jenis sedan atau jenis wagon berwarna gelap
dengan kondisi kendaraan yang bersih dan terawat. Selain itu, menurut Vernon Geberth bahwa organized
offender biasanya melakukan aksi kejahatannya kepada korban yang seusia dengannya, sehingga dalam
kasus ini pelaku diyakini berusia 19-23 tahun.

Mengapa pelaku menembak korbannya dari belakang dan tidak dari depan? Kemungkinan besar pelaku
merasa kasihan atau merasa tidak sanggup untuk menghilangkan nyawa para korbannya. Namun hal
demikian tidak terjadi pada criminal tipe psychopath karena criminal tipe ini merasa puas menyaksikan
para korbannya teraniaya. Pelaku juga kemungkinan bukan
penderita Hypomania, karena hypomania ditandai dengan kondisi mood yang tidak menentu disertai
perilaku yang tidak teratur (DSM-IV-TR ed. ke-4). Maka diyakini kriminal Hypomania tidak akan serapih
pelaku pada kasus ini. Schizophrenia, kemungkinan pelaku memiliki kondisi psikologis ini. Ditemukannya
patung Bunda Maria yang dijahit rapih di saku korbannya (signature) seolah berbicara mengenai fantasi
si pelaku terhadap korbannya. Sosok Bunda Maria diyakini memiliki makna penting bagi si pelaku. Arti dari
sosok Maria adalah sosok keibuan yang penuh cinta dan kasih. Kemungkinan pelaku
adalah seseorang yang merindukan kasih sayang seorang ibu, yakni adalah seorang piatu atau yatim
piatu. Seperti yang dikemukakan oleh Douglas dan Munn (1992) dalam Wadsworth (2001) bahwa ada
makna khusus dan unik di balik signature (tindak khusus yang sengaja ditinggalkan oleh pelaku di TKP
maupun pada korbannya), di mana makna khusus ini merupakan aspek personal dari tindakan kriminal si
pelaku sebagai mediator untuk mengekspresikan fantasi tindakan kejahatannya.

Bunda Maria identik dengan ajaran agama katolik. Ditemukannya patung Bunda Maria di saku kedua
korban yang dijahit dengan rapih mengindikasikan pelaku dekat dengan ajaran katolik, yang kemudian
dapat ditelusuri melalui gereja-gereja katolik maupun toko pernak-pernik kagamaan yang memiliki koleksi
patung Bunda Maria dengan capOur Lady of Sorrow seperti yang ditemukan di kedua korban. Hasil
penyelidikan ini nantinya akan memberikan petunjuk berikutnya.

Sebelum ditemukan menghilang, kedua korban diberitakan menghilang. Indikasinya adalah pelaku
menyekap kedua korban selama beberapa bulan dan kemudian membunuhnya. Ketika semua korban
adalah wanita, maka kemungkinan besar pelaku menyekap kedua korban untuk dijadikan sebagai objek
kepuasan seksual atau budak, namun tidak ditemukan bekas tindakan seksual secara paksa pada alat vital
kedua korban, dan dari hasil visum juga tidak ditemukan bekas penganiayaan. Dengan kata lain si pelaku
sangat menjaga korbannya, memperlakukan korbannya dengan baik. Bahkan pelaku mengecat kuku
jemari korban dan mencukur bulu di tubuh korban. Jika dikaitkan dengan patung perawan maria,
maka kemungkinan motif pelaku menculik dan menyekap mereka adalah motif cinta dan kasih
sayang. Kemungkinan besar pelaku ingin mendapatkan cinta dan kasih sayang dari seorang wanita, yaitu
korbannya sehingga ia memperlakukan korban itu dengan baik dan ia berpikir bahwa korbannya akan
luluh hatinya dan mulai memberikannya cinta dan kasih sayang. Seseorang dengan jalan pikiran normal
tidak mungkin memiliki pola pikir demikian dan bertindak sedemikian rupa. Kemungkinan besar pelaku
memiliki kondisi kejiwaan schizophrenia, karena pelaku meninggalkan signature patung Bunda Maria
sebagai mediator fantasi (delusi) atas tindakannya.

Hasil otopsi juga menemukan noda bercak seperti bahan kosmetik di bahu pakaian yang dikenakan Judith
Chen.Namun setelah diselidiki bercak tersebut bukanlah bercak kosmetik, melainkan Derma dan LYCD
yang digunakan untuk menutupi bekas luka yang sangat serius. Judith dan Hale (korban) tidak memiliki
bekas luka bakar, jadi kemungkinan besar Derma dan LYCD tersebut adalah milik si pelaku. Kriteria
berikutnya adalah pelaku pengguna Derma dan LYCD. Merujuk penemuan ini profiler dapat menyelidiki
produsen Derma dan LYCD dan menelusuri daftar konsumennya. Dari daftar konsumen ini profiler dapat
mencocokkan hipotesa karakteristik pelaku yang telah diformulasikan sebelumnya.

Jadi rumusan hipotesa karakteristik pelaku pembunuhan dalam kasus adalah sebagai berikut :

1. Jenis kelamin laki-laki


2. Berusia sekitar 19 - 23 tahun
3. Memiliki bekas luka yang parah pada wajah
4. Pengguna tetap Derma dan LYCD
5. Kolektor patung Bunda Maria dengan cap Our Lady of Sorrow
6. Seorang anak piatu ataupun yatim piatu
7. Memiliki mobil sedan atau wagon atau SUV berwarna gelap
8. Memiliki riwayat gangguan mental (Penderita Schizophrenia)
Berdasarkan formulasi hipotesa profiling yang telah ditetapkan, penyidik dapat bekerja lebih terstruktur
untuk menemukan pelaku, namun penyidik juga sebaiknya tidak berpatokan sepenuhnya pada rumusan
hipotesa tanpa memperhatikan segala kemungkinan-kemungkinan baru yang mungkin muncul, dan
formulasi hipotesa profiling ini bukanlah hasil akhir dari sebuah penyidikan (Wadsworth, 2001).

http://nandakhairanisimamora.blogspot.com/2015/09/criminal-profiling.html

Anda mungkin juga menyukai