0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
54 tayangan4 halaman
Profiling dapat dilakukan untuk pelaku kejahatan guna memudahkan penangkapan, untuk korban kejahatan guna meningkatkan sistem keamanan dan pencegahan, serta untuk modus kejahatan guna mengantisipasi jenis kejahatan baru. Profiling melibatkan analisis perilaku, pola, dan ciri-ciri pelaku, korban, atau kejahatan untuk memahami kasus secara mendalam.
Profiling dapat dilakukan untuk pelaku kejahatan guna memudahkan penangkapan, untuk korban kejahatan guna meningkatkan sistem keamanan dan pencegahan, serta untuk modus kejahatan guna mengantisipasi jenis kejahatan baru. Profiling melibatkan analisis perilaku, pola, dan ciri-ciri pelaku, korban, atau kejahatan untuk memahami kasus secara mendalam.
Profiling dapat dilakukan untuk pelaku kejahatan guna memudahkan penangkapan, untuk korban kejahatan guna meningkatkan sistem keamanan dan pencegahan, serta untuk modus kejahatan guna mengantisipasi jenis kejahatan baru. Profiling melibatkan analisis perilaku, pola, dan ciri-ciri pelaku, korban, atau kejahatan untuk memahami kasus secara mendalam.
Profiling mencakup prediksi kapan dan di mana pelaku berantai melakukan kejahatan selanjutnya, atau yang mana dari para narapidana yang paling mungkin melakukan kejahatan kembali. Pengetahuan tersebut bertujuan agar kejadian serupa dapat diminimalisir: a. Ilmu yang mempelajari pelaku kriminal Dalam kasus ringan, biasanya pelaku akan tertangkap setelah polisi menemukan motif pembunuhan. Namun tak semua pelaku kejahatan melakukan aksinya atas motif yang jelas. Misalnya seorang pembunuh yang menewaskan orang secara acak dan tidak meninggalkan bukti sedikitpun di TKP. Penjahat jenis ini biasanya cerdas, mampu mengelabui polisi, dan cenderung psikopat. Pembunuh berantai, mafia ulung, dan perampok handal adalah jenis yang berbeda dari penjahat lainnya. Jadi mempelajari perilaku kriminal ataupun sisi gelap sifat manusia sangat penting guna menangkap penjahat-penjahat licik tersebut. Istilah 'criminal minds' sangat menggambarkan profesi ini. Di mana para profiler dituntut untuk berpikir menggunakan otak kriminal agar mengetahui pandangan hidup para pelaku kejahatan. Dengan begitu, ilmu ini bisa digunakan untuk mengetahui pergerakan tersangka dan memfokuskan penyelidikan. b. Perkembangan ilmu psikologi fronsik Profesi beberapa dekade terakhir, namun sejarahnya sendiri sudah sangat panjang. Kalian pasti pernah mendengar kasus Jack the Ripper pembunuh berantai asal Inggris. Pada awal tahun 1880-an, dua orang dokter bernama George Phillips dan Thomas Bond menggunakan petunjuk TKP untuk membuat prediksi tentang ciri-ciri dan kepribadian Jack The Ripper. Meskipun begitu, sampai sekarang identitas pembunuh berantai ini masih jadi misteri. Kasus bom berantai selama 16 tahun yang terjadi di New York mulai tahun 1940 menjadi titik balik teknik profiling. Para detektif yang frustasi meminta pendapat seorang psikiater bernama James Brussel untuk mempelajari catatan TKP pengeboman. Berdasarkan pengamatan Brussel, didapat prediksi tersangka yang merupakan pria berusia 50-an, belum menikah, religius, dan tinggal di Connecticut. Deskripsi tersebut mengarah pada George Metesky yang merupakan seorang ahli listrik. Ia kemudian ditangkap pada 1957 dan langsung mengaku. Di tahun-tahun berikutnya, kepolisian terus berkonsultasi dengan psikolog dan psikiater guna mengembangkan deskripsi pelaku kejahatan. c. Cara kerja teknik profiling Profiler dituntut untuk memperhatikan hal-hal yang mungkin terlewatkan oleh detektif, dan tugasnya lebih kompleks dari sekedar menggali petunjuk lewat TKP. Para profiler juga dibekali skill untuk mendeteksi prilaku psikopat yang tak biasa. Saat terjadi kejahatan, profiler mula-mula akan menentukan urutan peristiwa. Selanjutnya ia akan membuat deskripsi pelaku berdasarkan hasil temuan tersebut, yang sekiranya mengarah pada motif dan juga tersangka. Deskripsi pelaku bisa berupa ciri kepribadian, pola prilaku, usia, ras, ataupun tempat asal. Sebagai contoh dalam kasus pembunuhan, profiler bisa mengetahui jenis kelamin pelaku berdasarkan tingkat keparahan TKP, profiler juga bisa mengetahui usia pelaku dengan melihat tingkat keparahan kondisi korban. Bahkan hari dan tanggal peristiwa bisa menjadi petunjuk penting, seperti contohnya kejahatan berulang yang dilakukan pada akhir pekan bisa menjadi idikasi bahwa pelakunya seorang pegawai kantoran. Detail- detail kecil lainnya juga selalu mereka perhatikan demi mendapatkan deskripsi yang akurat.
2. Profiling Korban Fraud
Profiling umumnya dilakukan terhadap pelaku kejahatan tetapi juga dapat dilakukan untuk korban kejahatan. Tujuannya berbeda, kalau profiling terhadap pelaku kejahatan dimaksudkan untuk memudahkan menangkap pelaku, maka profiling terhadap korban kejahatan dimaksudkan untuk memudahkan target penyebaran informasi. Ini adalah bagian dari disiplin ilmu yang disebut viktimologi. Melalu profiling tersebut, organisasi dapat mengetahui langkah untuk meningkatkan sistem keamanan dalam organisasi mereka, serta akan lebih berhati- hati terhadap resiko kejahatan (kecurangan) yang mungkin akan terjadi. Sebelum mengambil tindakan profiling terhadap korban kejahatan (kecurangan), terlebih dahulu harus diketahui apakah korban diposisikan sebagai korban primer atau sekunder. Korban primer adalah mereka yang mengalami tindakan atau konsekuensinya secara langsung, misalnya pemilik perusahan rugi akibat kecurangan oleh seorang majemen perusahaannya. Korban sekunder adalah mereka yang menderita efek tapi tidak segera dilibatkan, misalnya keluarga pemilik perusahaan tersebut. Profiling dapat dilakukan terhadap korban fraud bertujuan untuk memudahkan akuntan forensik mengetahui apa yang menjadi sasaran dari pelaku, bagaimana fraud dilakukan, mengetahui letak kelemahan perusahaan. Seperti contohnya, pihak majemen perusahaan berusaha membuat laporan keuangan perusahaan terlihat dalam kondisi baik dengan memanipulasi data demi mendapatkan bonus dan mempertahakan posisinya. Dalam hal ini tentu saja perusahaan akan sangat dirugikan oleh tindak kecurangan oleh pihak manajemen. Untuk mengetahui bagamaina manajemen dapat melakukan tindak kecurangan, dapat dilakukan profiling terhadap korban untuk dapat menggali informasi yang diperlukan berkaitan dengan kebijakan dan pengendalian perusahaan. Apabila ditemukan kebijakan maupun pengendalian dirasa kurang dan berpotensi menimbulkan fraud, dengan begitu pihak korban dalam hal ini selaku pemilik perusahaan dapat memperbaiki kebijakan maupun pengendalian baik dalam maupun diluar perusahaannya untuk mengantisipasi terjadinya tindak kecurangan dikemudian hari.
3. Profiling Terhadap Perbuatan
Profiling dapat juga dilakukan dalam upaya mengenal perbuatannya atau cara melaksanakan perbuatannya. Profil dari fraud disebut juga tipologi fraud. Direktorat Jenderal Pajak mengkompilasi tipologi kejahatan perpajakan. Bank Indonesia melakukan hal yang sama untuk kejahatan perbankan. PPATK melakukannya untuk kasus-kasus pencurian uang. Dengan mengumpulkan tipologi fraud lembaga-lembaga ini, misalnya, dapat mengantisipasi jenis yang memanfaatkan perusahaan di Negara surga pajak (tax heaven countries) atau komisaris bank yang aktif menjalankan usahanya, atau pemegang saham tidak tercatat sebagai pemegang saham, atau pegawai rendahan yang menjadi pemegang saham.