Anda di halaman 1dari 23

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

DISUSUN OLEH
3PA10
KELOMPOK 4 :
1. ALDA AMALIA (10516488)
2. DWI ASTUTI (12516176)
3. M. ARIQ FARHAN (14516735)
4. NURITA NADA N (15516585)
5. RAMADHANTY AVESYA (16516047)
6. RANI FITRI (16516073)
7. RIFQI AMALUL A (16516393)

UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS PSIKOLOGI
2019
A. Kesamaan dan Perbedaan Antar Budaya: Emosi

1. Universalitas Emosi

Ada sejumlah teori dalam biologi dan ilmu saraf tentang sejarah evolusi
emosi dan lokasinya dalam struktur otak (mis., Gazzaniga, 1995; McNaughton,
1989). Dalam psikologi, ada tradisi panjang penelitian di mana proses
psikofisiologis dan peristiwa tubuh lainnya, seperti ekspresi wajah, telah
diselidiki sebagai penyerta keadaan internal yang dialami sebagai emosi.
Banyak peneliti tampaknya setuju bahwa dasar biologis dari emosi-
emosi terpisah yang secara umum dapat dibedakan seperti kebahagiaan,
kemarahan, ketakutan, dan kesedihan belum ditetapkan secara jelas.
(Cacioppo & Tassinary, 1990). Namun, terlepas dari validitasnya, teori-teori
itu mencerminkan kepercayaan yang cukup umum bahwa emosi dikaitkan
dengan proses biologis yang menjadi ciri spesies manusia. Paul Ekman
menyatakan, bahwa emosi bersifat universal yang artinya berlaku sama
dimanapun kita berada.
a. Pengenalan Ekspresi Wajah
Studi modern tentang ekspresi emosi kembali ke Darwin. Dia melihat
kejadian universal dari ekspresi wajah yang sama sebagai bukti penting
bahwa emosi adalah bawaan atau bersifat alami. Ekman telah
menunjukkan, bahwa kriteria Darwin tentang universalitas ekspresi
emosional tidak memberikan bukti yang cukup untuk pewarisan biologis
emosi.
Ekman telah mengkaji bukti yang mendukung pandangan spesifik
budaya. Dia menemukan bahwa hasil seperti itu, seperti hasil Darwin,
bersandar pada pengamatan biasa dan data anekdotal. Studi-studi paling
terkenal yang secara sistematis menyelidiki pertanyaan invarian lintas-
budaya ekspresi wajah adalah yang dilakukan oleh Ekman pada suku Fore
di Papua Nugini (the Fore in East New Guinea).
Paul Ekman melakukan penelitian dengan cara memperlihatkan foto-
foto wajah yang menggambarkan ekspresi-ekspresi emosi, seperti
kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, ketakutan, kejutan, dan jijik kepada
orang-orang yang memiliki keterpencilan budaya, yaitu suku Fore di
Papua Nugini. Hasilnya ternyata mereka semua mengenali emosi yang
tergambar pada ekspresi wajah dalam foto-foto tersebut.
Ekspresi wajah seperti itu benar-benar dikenali oleh berbagai bangsa
di seluruh dunia meskipun memiliki budaya yang berbeda-beda dan
bahkan termasuk bangsa-bangsa yang buta huruf, tidak terpengaruhi oleh
film, siaran televisi, dan juga dunia luar. Dengan demikian, maka ekspresi
wajah sebagai representasi dari emosi itu memiliki universalitas tentang
perasaan emosi tersebut.
b. Pengakuan Ekspresi Vokal
Penelitian tentang pengenalan lintas budaya dari intonasi emosional
dalam suara telah menunjukkan hasil yang sama dengan yang diperoleh
untuk ekspresi wajah.
Van Bezooijen, Otto dan Heenan (1983) mencoba menjelaskan
mengapa ekspresi vokal emosi tertentu tampaknya lebih mudah dikenali
daripada ekspresi orang lain. Mereka membuat perbandingan antara
responden Belanda, Taiwan, dan Jepang, menggunakan satu frasa singkat
dalam bahasa Belanda yang telah diungkapkan oleh pembicara yang
berbeda dalam sembilan nada emosional yang berbeda (yaitu, jijik,
terkejut, malu, gembira, takut, jijik, sedih, sedih, marah , serta nada suara
netral) dengan satu pengecualian, semua emosi dikenali lebih baik
daripada tingkat kebetulan oleh ketiga kelompok, tetapi skor responden
Belanda jauh lebih tinggi, menunjukkan jumlah kehilangan informasi yang
adil karena perbedaan budaya dan / atau bahasa antara ketiga sampel.
c. Display Rules
Ekman menemukan fakta menarik bahwa budaya dapat mempengaruhi
bagaimana sebuah emosi akan ditampilkan dalam situasi dan kondisi
tertentu. Pada penelitiannya yang dilakukakn bersama Friesen pada tahun
1973, Ekman dan Friesen melakukan eksperimen pada orang Jepang dan
Amerika.
Siswa Jepang dan Amerika diperlihatkan film-film penuh tekanan
secara terpisah dan dihadapan seorang peneliti. Tanpa kesadaran
responden, ekspresi emosional pada wajah dicatat dalam kedua kondisi.
Ekspresi yang sangat mirip ditemukan sebagai reaksi terhadap episode
film yang sama ketika responden sendirian. Namun, dihadapan orang lain,
responden Jepang menunjukkan ekspresi wajah negatif jauh lebih sedikit
daripada responden Amerika. Tak perlu dikatakan, hasil ini sesuai dengan
gagasan yang ada di Barat tentang Jepang yang pasif.
Ekspresi emosi yang secara biologis bersifat bawaan dan universal,
akan tetap dipengaruhi oleh aturan-aturan pengungkapan yang bersifat
kultural. Aturan tersebut meliputi bagaimana, kapan, dan dimana sebuah
ekspresi emosi tersebut ditampilkan. Aturan ini disebut juga sebagai aturan
pengungkapan kulturan (culturan display rules).
d. Komunikasi Non-Verbal
Bentuk komunikasi non-verbal yang dipelajari dengan baik adalah
gerakan. Ekman dan Friesen (dalam Berry et.al., 2002), telah membedakan
berbagai kategori gerakan, seperti:
Bentuk komunikasi non-verbal yang dipelajari dengan baik adalah
gerakan. Ekman dan Friesen ( 1969 dalam Berry et.al., 2002), telah
membedakan berbagai kategori gerakan, seperti:
1) Adaptor
Adaptor merupakan gerakan anggota tubuh yang bersifat spesifik.
Pada mulanya gerakan ini berfungsi untuk menyebarkan atau membagi
ketegangan anggota tubuh, misalnya meliuk-liukan tubuh, memulas
tubuh, menggaruk kepala, loncatan kaki. Ada beberapa jenis adaptor
yaitu :
a) Self Adaptor, misalnya menggaruk kepala untuk menunjukkan
kebingungan.
b) Alter Adaptor, gerak adaptor yang diarahkan kepada orang lain,
seperti mengusap-usap kepala orang lain sebagai tanda kasih
sayang.
2) Regulator
Regulator adalah perilaku nonverbal yang mengatur, memantau,
memelihara, atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Ketika anda
mendengarkan orang lain, anda tidak pasif., tetapi menganggukkan
kepala, mengerutkan bibir, menyesuaikan fokus mata, dan membuat
berbagai suara para linguistik seperti “mm-mm” atau memalingkan
muka menandakan ketidaksediaa berkomunikasi.
3) Illustrator
Ilustrator merupakan tanda-tanda nonverbal dalam komunikasi.
Tanda ini merupakan gerakan anggota tubuh yang menjelaskan atau
menunjukkan sesuatu contoh, seperti dalam mengatakan “Ayo,
bangun,” misalnya, anda mungkin menggerakkan kepala dan tangan
anda ke arah menaik.
4) Emblem
Emblem merupakan terjemahan pesan nonverbal yang melukiskan
suatu makna bagi suatu kelompok sosial. Contohnya, tanda “V”
menunjukkan suatu tanda kekuatan dan kemenangan yang biasanya
dipakai dalam kampanye presiden di Amerika Serikat atau di Indonesia
sering dimaknai sebagai simbol damai. Emblem harus dipelajari
melalui proses yang mungkin saja merupakan bentuk lain dari ikon
dalam perlambangan saja.

2. Emosi Sebagai Pernyataan Budaya

Sebuah penelitian terkenal yang menolak gagasan bahwa emosi manusia


pada dasarnya sama pada setiap kebudayaan adalah analisis etnografi yang
dilakukan oleh Lutz (1988) tentang kehidupan emosional Ifaluk yang hidup di
sebuah atoll di Pasifik Selatan. Dia berangkat untuk membandingkan asumsi
budaya yang ditemukan dalam pemikiran Barat tentang emosi dengan yang
ditemukan di masyarakat lain. Lutz memusatkan analisisnya pada dua emosi
yang menurutnya tidak ditemukan di Amerika Serikat: yaitu fago (campuran
dari apa yang dalam bahasa Inggris dinyatakan sebagai belas kasih, cinta, dan
kesedihan) dan song (diterjemahkan sebagai "kemarahan yang dapat
dibenarkan"). Seperti halnya amarah, “song dianggap sebagai emosi yang
tidak menyenangkan yang dialami dalam situasi cedera yang dirasakan pada
diri sendiri atau orang lain”.
Berikut deskripsi lima bentuk rasa malu di Tiongkok oleh Bedford
(1994), para penulis ini menulis skenario yang berbeda untuk menangkap
perbedaan ekspresi dan menentukan skala ekspresi (misalnya merasa tidak
berdaya, mempermalukan diri sendiri, dan berharap untuk bersembunyi) di
mana skenario ini harus dinilai. Penekanan pada konstruksi sosial dari emosi
sebagai suatu peraturan tidak menyiratkan penolakan penuh terhadap aspek
biologis. Menurut Averill (1980) teori-teori yang tidak sesuai hanya
mengindikasikan pada aspek-aspek yang berbeda dalam fenomena yang sama.
Pada saat yang sama, ia berpendapat bahwa emosi bukanlah pemberian
biologis, tetapi konstruksi sosial. Bagi Averill, emosi adalah peran sosial
sementara; untuk peran seperti itu aturan yang relevan dalam bentuk norma
dan harapan tentang perilaku sosial diberikan. Makna khusus emosi dikaitkan
dengan peristiwa dan makna ini cenderung berbeda antar budaya.
Seorang peneliti yang memberikan peran sentral dalam bahasa adalah
Wierzbicka (1998), mendeskripsikan secara terperinci kelekatan budaya dan
spesifikasi makna. Contohnya adalah arti kata Angst (kecemasan) dalam
bahasa Jerman yang berbeda dari kata Furcht (takut). Berlawanan dengan
Furcht, yang memiliki objek (takut akan sesuatu), Angst adalah ketakutan
tanpa objek yang harus ditakuti; ini adalah istilah yang sering digunakan dan
menonjol dalam bahasa Jerman, dan melambangkan emosi dasar yang akarnya
dikatakan kembali ke tulisan-tulisan teolog abad ke-16.

3. Pendekatan Komponen Emosi

Pendekatan sintetis di mana emosi tidak lagi dianggap sebagai entitas


kesatuan, tetapi sebagai bagian dari beberapa komponen emosi. Pendekatan ini
menekankan bahwa emosi lintas budaya dapat secara simultan serupa dalam
beberapa hal dan berbeda dalam hal lain. Ini telah dikembangkan dalam
konteks tradisi kognitif dalam psikologi (Frijda, 1986) dan telah berkembang
ke arah melihat emosi sebagai proses di mana beberapa aspek dapat
dibedakan. Komponen-komponen yang terdapat pada emosi sebagai berikut;
peristiwa sebelumnya (kondisi atau situasi yang menimbulkan emosi),
penilaian (evaluasi situasi dalam hal kesejahteraan responden atau kepuasan
tujuan), perasaan subyektif, pola reaksi fisiologis (lih. Levenson et al., 1992),
kesiapan tindakan (impuls perilaku untuk jenis tindakan tertentu), ekspresi
perilaku (seperti ekspresi wajah), dan regulasi (penghambatan dan kontrol atas
ekspresi).
a. Antecedents to emotions
Anteseden emosi adalah kejadian atau situasi yang memicu atau
menimbulkan emosi. Dalam literature ilmiah, anteseden emosi juga
dikenal sebagai elisitor emosi. Penelitian Bouncher dan Brandt (1981)
meminta peserta Amerika dan Malaysia untuk menggambarkan situasi
dimana seseorang menyebabkan orang lain merasa marah, jijik, takut,
kebahagiaan, kesedihan, kejutan. Hasil penelitian menunjukkan Amerika
diklasifikasikan anteseden sama baiknya terlepas dari apakah mereka
awalnya dihasilkan oleh Amerika atau oleh oran Malaysia; yaitu budaya
asal tidak mempengaruhi klasifikasi. Scherer dan rekan-rekannya
melakukan penelitian menggunakan kuisioner yang dirancang untuk
menilai kualitas dan sifat pengalaman emosional dalam kebudayaan yang
berbeda. Mereka melibatkan 3.000 peserta di 37 negara di lima benua.
Mereka menanyakan kepada responden tentang kapan mereka marah, jijik,
takut, gembira, sedih, malu dan rasa bersalah. Responden menulis tentang
situasi yang membawa masing-masing emosi ini. Temuan menunjukkan
bahwa tidak ada kategori budaya khusus yang diperlukan untuk kode data,
semua kategori peristiwa umumnya terjadi di semua budaya untuk
menghasilkan masing-masing tujuh emosi dipelajari.
Terdapat kesamaan di seluruh budaya dalam kejadian yang
menimbulkan emosi yaitu elisitor kebahagiaan yang berhubungan dengan
“teman-teman” dan “prestasi”, elisitor marah adalah “hubungan” dan
“ketidakadilan”. Elisitor kesedihan yaitu “hubungan” dan “kematian”.
Perbedaan lintas budaya dalam anteseden terutama terkait dengan
interpretasi yang berbeda dari situasi dan keyakinan budaya spesifik.
Sebagai contoh mereka menyebutkan situasi yang memiliki karakteristik
yang terkait dengan supranatural di beberapa budaya, tetapi tidak di tempat
lain.

b. Appraisal
Ketika seseorang dihadapkan dengan suatu situasi, ada penilaian
cepat dan otomatis. Ini menawarkan "petunjuk untuk memahami kondisi
untuk memunculkan emosi yang berbeda, serta untuk memahami apa yang
membuat satu emosi berbeda dari yang lain" (Frijda, 1993, p. 225).
Seperangkat dimensi terbatas telah umum ditemukan, termasuk perhatian
pada perubahan atau kebaruan, kesenangan versus ketidaknyamanan,
kepastian versus ketidakpastian, rasa kontrol, dan hak pilihan (yaitu,
apakah situasinya disebabkan oleh diri sendiri, orang lain, atau bukan agen
manusia).
Dalam serangkaian penelitian yang diprakarsai oleh Scherer,
kuesioner terbuka digunakan untuk bertanya tentang peristiwa dalam
kehidupan responden yang terkait dengan salah satu dari empat emosi
(kegembiraan, kesedihan, kemarahan, ketakutan,). Selain perasaan
emosional, per se pertanyaan ditujukan penilaian dan reaksi. Beberapa
perbedaan ditemukan antara negara-negara Eropa. Antara AS, Eropa, dan
Jepang ada perbedaan besar dalam kepentingan relatif dari memunculkan
situasi. Ditemukan juga bahwa responden Amerika melaporkan lebih
tinggi, dan responden Jepang lebih rendah reaktivitas emosional daripada
orang Eropa.
Mesquita et al. (1997) dengan tepat menunjukkan bahwa kesamaan
dalam dimensi penilaian yang berada pada tingkat umum yang tinggi dapat
mengaburkan keprihatinan yang lebih spesifik, seperti kepedulian terhadap
kehormatan yang ditemukan lazim di negara-negara Mediterania

c. Other components
Responden ditanyai tentang komponen lain dari pengalaman
emosional, termasuk ekspresi motorik, gejala fisiologis, dan perasaan
subjektif (Scherer & Wallbott, 1994). Desain penelitian memungkinkan
estimasi ukuran (1) perbedaan antara emosi, (2) perbedaan antar negara,
dan (3) interaksi antara negara dan emosi. Perbedaan substansial
ditemukan antara emosi. Perbedaan antar negara jelas kurang besar, dan
interaksi antara negara dan emosi masih lebih kecil.
Materi ke: 2

B. Kesamaan dan Perbedaan Antar Budaya: Persepsi

1. Akar Sejarah dalam Membentuk Persepsi

Banyak psikolog menganggap W. H. R. Rivers (1864–1922) sebagai salah


satu bapak pendiri psikologi lintas budaya. Pekerjaan utamanya (Rivers, 1901)
didasarkan pada data yang dikumpulkan dengan Penduduk Kepulauan Selat
Torres. Selat Torres terletak di antara Papua dan Australia. Pengukuran
dilakukan pada visual cuity, color vision, color blindness, after images,
contrast, visual illusions, auditory acuity, rhythm, smell and taste, tactile
acuity, weight discrimination, reaction times to visual and auditory stimuli,
estimates of time intervals, memory, muscular power, motor accuracy, and a
number of similar topics.
Rivers memiliki mata terbuka untuk kemungkinan penjelasan alternatif.
Saat berdiskusi gagasan populer tentang ketajaman visual luar biasa dari orang
non-Eropa, dia dibedakan antara kekuatan resolusi mata sebagai fisiologis
instrumen, kekuatan pengamatan, dan keakraban dengan lingkungan. Data
pada ketajaman visual sebagian besar dikumpulkan dengan Snellen's E-chart.
E-figure ini adalah ditempatkan dengan bukaan di salah satu dari empat posisi
berbeda; yang benar harus ditunjukkan oleh responden. Poster dengan angka-
angka Snellen dalam ukuran yang menurun digunakan oleh Rivers, yang
selanjutnya memanipulasi kesulitan tugas dengan memvariasikan jarak antara
poster dan responden. Rivers memeriksa mata respondennya untuk cacat dan
penyakit. Dia mengukur ketajaman visual dengan dan tanpa memperbaiki
lensa untuk penglihatan yang kurang. Dia berpendapat bahwa "perhatian
utama objek-objek indera adalah rintangan tersendiri bagi perkembangan
mental yang lebih tinggi. Jika banyak energi yang dihabiskan pada fondasi
sensorik, itu wajar bahwa intelektual superstruktur harus menderita”.
Oliver (1932) mencatat bahwa tes untuk timbre dan memori tonal adalah
satu-satunya yang berkorelasi dengan kecerdasan, mungkin karena
instruksinya sulit dimengerti. Rekapitulasi bagian ini, dapat dinyatakan bahwa
dalam persepsi masa lalu dan proses sensorik dipandang sebagai indeks
penting dari fungsi mental yang kompleks. Bergantung pada keyakinan
penulis sebelumnya, perbedaan lintas budaya adalah dipandang sebagai hasil
dari pengalaman budaya atau warisan "rasial". Di bagian berikut kita akan
mengeksplorasi gagasan yang lebih baru. Misalnya, ketika kertas abu-abu
menyala pada intensitas yang lebih tinggi sehingga memantulkan lebih banyak
cahaya daripada kertas putih, itu mungkin tidak tampak lebih ringan bagi
responden yang “tahu” bahwa itu berwarna abu-abu. Kemudian ada Oliver
(1932) mencatat bahwa tes untuk timbre dan memori tonal adalah satu-satunya
yang berkorelasi dengan kecerdasan, mungkin karena instruksinya sulit
dimengerti. Rekapitulasi bagian ini, dapat dinyatakan bahwa dalam persepsi
masa lalu dan proses sensorik dipandang sebagai indeks penting dari fungsi
mental yang kompleks. Bergantung pada keyakinan penulis sebelumnya,
perbedaan lintas budaya adalah dipandang sebagai hasil dari pengalaman
budaya atau warisan "rasial".

2. Fungsi Indera

Ada empat kelas penjelasan lintas budaya dari perbedaan lintas budaya
dalam reaksi terhadap rangsangan sensorik sederhana, yaitu (1) kondisi di
lingkungan fisik yang mempengaruhi peralatan sensorik secara langsung, (2)
kondisi lingkungan yang mempengaruhi peralatan sensorik secara tidak
langsung, (3) faktor genetik, dan (4) perbedaan budaya dalam interaksi dengan
lingkungan.
a. Contoh efek langsung dari kondisi fisik dapat ditemukan di Reuning dan
Wortley (1973). Mereka melaporkan ketajaman pendengaran yang lebih
baik dalam rentang frekuensi yang lebih tinggi (hingga 8.000 Hz) untuk
Kalahari Bushmen daripada nilai referensi yang diberikan untuk Denmark
dan untuk Amerika Serikat. Perbedaan lebih mencolok untuk responden
yang lebih tua,
b. Efek tidak langsung dari faktor lingkungan, yaitu gizi buruk, dicurigai
ketika rekrutmen kulit hitam untuk industri pertambangan Afrika Selatan
ditemukan memiliki adaptasi gelap yang lebih lambat daripada Afrika
Selatan kulit putih (Wyndham, 1975). Diperkirakan bahwa kekurangan
dalam makanan bisa menyebabkan rendahnya tingkat vitamin A. (Tingkat
rendah vitamin ini menyebabkan fungsi batang yang tidak memadai di
retina yang digunakan untuk penglihatan dalam kondisi pencahayaan
rendah.) Ketika suatu perubahan pola makan tidak mengarah pada
perbaikan yang diharapkan, disarankan bahwa banyak pekerja tambang
mungkin menderita bentuk penyakit hati (sirosis) subklinis, yang, pada
gilirannya, dikaitkan dengan tingginya insiden penurunan gizi pada anak
usia dini.
c. Telah ditetapkan bahwa beberapa sifat genetik terjadi dengan frekuensi
berbeda di berbagai populasi. Paling terkenal adalah perbedaan dalam
insiden buta warna merah-hijau. Sudah diketahui pada zaman Rivers
(1901) bahwa frekuensi kebutaan warna merah-hijau jauh lebih rendah di
beberapa kelompok non-Eropa daripada di beberapa kelompok Eropa.
Dalam kerangka teori evolusi, ini dikaitkan dengan kerugian yang dimiliki
orang buta warna ketika berburu dan meramu adalah cara utama
penghidupan (lih. Post, 1962, 1971).
d. Sosialisasi dan praktik enkulturasi umumnya dipandang sebagai anteseden
utama dari perbedaan dalam kepekaan indera dan diskriminasi. Dari
perbedaan sensasi yang telah dilaporkan dalam literatur banyak yang harus
dilakukan dengan preferensi yang dikondisikan secara sosial atau tidak
menyukai rangsangan, daripada dengan kapasitas untuk diskriminasi atau
dengan ambang batas toleransi. Sebagai contoh, Kuwano, Namba, dan
Schick (1986) berpendapat bahwa perbedaan kecil dalam evaluasi
kenyaringan kebisingan lingkungan antara Jepang, Inggris, dan Jerman
Barat harus ditafsirkan dengan mengacu pada faktor sosial budaya
(seberapa banyak Anda mentoleransi) daripada dalam hal dampak sensorik
atau variabel persepsi lainnya.
Orang Afrika umumnya unggul dalam tugas pendengaran sementara orang
Eropa lebih berorientasi pada rangsangan visual. Pandangan ini, yang
diungkapkan oleh psikolog lintas budaya terkenal seperti Biesheuvel (1943)
dan Ombrédane (1954), adalah contoh dari "hipotesis kompensasi". Pada
1960-an McLuhan (1971) menekankan dominasi modalitas visual pada orang
Barat dan Wober (1966) menciptakan istilah "sensotipe" untuk menunjukkan
perbedaan antara kelompok-kelompok budaya dalam kepentingan relatif dari
satu modalitas indera daripada yang lain.
Secara tradisional, sensasi menyiratkan peran yang lebih pasif bagi
organisme sebagai penerima rangsangan, sedangkan persepsi mengandaikan
keterlibatan aktif pada bagian organisme dalam pemilihan dan
pengorganisasian rangsangan.

3. Persepsi Pola dan Gambar

Winter (1963) bertanya kepada pekerja industri kulit hitam Afrika Selatan
apa yang mereka lihat pada serangkaian poster keselamatan. Ada banyak
contoh di mana niat artis tidak dipahami, karena makna simbolis (seperti
bintang merah untuk menunjukkan bahwa seseorang telah terkena) salah
ditafsirkan. Jumlah salah tafsir jauh lebih rendah untuk perkotaan daripada
untuk responden pedesaan dan juga menurun sebagai fungsi dari jumlah tahun
sekolah responden. Contoh mencolok dari jenis perbedaan antara pesan yang
dimaksudkan dan yang dirasakan terjadi dalam adegan di mana seseorang
mengulurkan tangan untuk menerima sesuatu. Ini sering dilihat sebagai
tindakan memberi. Musim dingin dapat menghubungkan ini dengan kebiasaan
orang Afrika untuk menerima dengan dua tangan ditangkupkan dan memberi
dengan satu tangan. Beberapa peneliti dalam persepsi berpendapat bahwa
semua penggambaran memanfaatkan kode arbitrer.
Kode adalah konvensi yang dipelajari dan dipatuhi oleh anggota budaya
tertentu meskipun mereka tidak menyadarinya. Sudut pandang yang
berlawanan ditekankan oleh Gibson (mis., 1966), yang berpendapat bahwa
gambar dapat mewakili objek atau pemandangan karena berisi informasi untuk
setiap pengamat yang mirip dengan informasi dari lingkungan nyata.

a. Pola dan Angka Sederhana


Studi tentang simetri melalui uji penyelesaian simetri yang dirancang oleh
Hector (1958). Dalam versi uji yang paling banyak digunakan ini, setiap item
terdiri dari gambar tiga persegi panjang sempit, dua abu-abu dan satu hitam.
Responden diberi lonjong hitam dengan ukuran yang sama dengan persegi
panjang. Ini harus ditempatkan dalam posisi di atas kertas sehingga
membentuk dengan tiga persegi panjang yang sudah ada pola simetris. Dua
bentuk simetri telah digunakan, yaitu simetri bilateral atau cermin, dan simetri
rotasi atau sentris. Suatu angka adalah simetris rotasi jika sama setelah rotasi
(dalam hal ini lebih dari 180 derajat).

Reuning dan rekan-rekannya melakukan tes ini ke berbagai kelompok non-


terpelajar, termasuk Bushmen di gurun Kalahari. Ditemukan bahwa gagasan
simetri bilateral mudah dipahami. Menurut Reuning dan Wortley (1973, p. 58)
“adalah salah satu kejutan terbesar kami untuk melihat betapa mudahnya
orang-orang Semak menemukan itu untuk berurusan dengan pola-pola yang
tidak dikenal ini. Bahkan yang paling tidak pandai dari mereka dapat
menemukan solusi untuk beberapa item, mayoritas menjadi sekitar setengah
dan beberapa yang cerdas untuk hampir semuanya. ”Bahkan bagian dari tes
untuk simetri rotasi menyebabkan beberapa skor yang cukup tinggi, meskipun
kesulitan dalam menjelaskan dan menunjukkan bentuk simetri ini dengan
prosedur administrasi yang memadai.”
Eksperimen lain di mana oleh Cole, Gay, dan Glick (1968). Mereka
menyajikan array titik-titik dengan perbedaan lintas budaya ditemukan dalam
cara informasi ditangani telah dilaporkan waktu pemaparan singkat (0,25
detik) untuk anak-anak Kpelle di Liberia dan anak-anak di AS. Para responden
harus menilai dalam setiap stimulus jumlah titik. Ini bervariasi dari tiga hingga
sepuluh. Variabel eksperimental adalah perbedaan antara rangsangan dengan
array acak titik dan rangsangan di mana titik-titik membentuk suatu pola. Cole
et al. menemukan bahwa anak-anak Amerika melakukan lebih baik pada
susunan yang dipesan daripada pada pola acak. Untuk Kpelle hampir tidak ada
perbedaan yang diamati antara dua jenis rangsangan. Rupanya kedua
kelompok berbeda dalam sejauh mana mereka memanfaatkan informasi
struktural yang hadir dalam rangsangan berpola. hampir tidak ada perbedaan
yang diamati antara dua jenis rangsangan. Rupanya kedua kelompok berbeda
dalam sejauh mana mereka memanfaatkan informasi struktural yang hadir
dalam rangsangan berpola.

b. Persepsi Kedalaman
Studi sistematis isyarat kedalaman dalam gambar dimulai di Afrika
Selatan oleh Hudson (1960, 1967). Dua rangsangan himpunan yang ia
gunakan ditunjukkan dalam gambar. 8.4. Hudson ingin memasukkan isyarat
kedalaman ukuran objek, superimposisi objek, dan perspektif dalam gambar.
Responden diminta terlebih dahulu untuk mengidentifikasi pria, kijang, dll,
untuk memastikan bahwa elemen-elemen dalam gambar diakui. Setelah itu
mereka ditanya apa yang sedang dilakukan lelaki itu dan apakah kijang atau
gajah itu lebih dekat dengannya. Jika ada jawaban untuk efek bahwa pria itu
mengarahkan tombak ke antelop atau bahwa antelop lebih dekat ke manusia
daripada gajah, ini diklasifikasikan sebagai interpretasi tiga dimensi (3D).
Jawaban lain (bahwa gajah diarahkan, atau lebih dekat dengan manusia)
diambil sebagai bukti interpretasi 2D. Tes Hudson diberikan kepada berbagai
kelompok di Afrika Selatan yang berbeda dalam pendidikan dan latar
belakang budaya. Responden yang pergi ke sekolah didominasi memberikan
jawaban 3D, yang lain merespons hampir seluruhnya dua dimensi. Metode
Hudson dikritik pada beberapa poin, tetapi pada dasarnya hasilnya
dikonfirmasi oleh penelitian selanjutnya; kemampuan untuk menafsirkan gaya
gambar Barat

8
.4 Dua gambar Hudson (1960)

Kemungkinan keberatan paling kritis adalah bahwa jawaban 3D dapat


diturunkan secara analitis, dengan mempertimbangkan bahwa gajah jauh lebih
kecil daripada antelop dan karenanya harus lebih jauh. Deregowski dan Byth
(1970) menyelidiki kemungkinan ini dengan kotak Pandora (Gregory, 1966),
sebuah alat yang memungkinkan responden untuk menyesuaikan titik cahaya
sesuai dengan jarak antara dirinya dan benda di setiap bagian gambar yang
dipilih. Dukungan ditemukan untuk hipotesis bahwa responden 3D lebih dari
responden2D melihat pria, kijang, dan gajah di pesawat yang berbeda. Pada
saat yang sama, tidak semua respons 3D bertepatan dengan pengaturan
diferensial. Ini berarti bahwa tanggapan verbal harus diperlakukan dengan
kecurigaan.
Deregowski dan Parker (1994) bergerak selangkah lebih maju dengan
membedakan antara kondisi di mana perspektif konvergen mewakili
pengalaman pengamat lebih memadai, dan kondisi di mana perspektif
divergen dipandang lebih memadai. Perspektif divergen, di mana garis paralel
berbeda dengan peningkatan kedalaman gambar, sering ditemukan dalam seni
Bizantium. Tugas yang digunakan oleh Deregowski dan Parker membutuhkan
penyesuaian array 3D sehingga muncul sebagai kubus. Ketika array
ditempatkan tepat di depan responden, penyesuaiannya sesuai dengan
perspektif yang konvergen. Namun, ketika array digeser ke samping sehingga
tidak lagi di depan responden, penyesuaian sesuai dengan perspektif divergen
Bizantium.
Dalam analisisnya tentang persepsi bergambar Deregowski (1980a, 1980b,
1989) miliki membuat perbedaan antara persepsi epitomik dan eidolik.
Gambar-gambar tertentu dapat dikenali untuk mewakili suatu objek tanpa
membangkitkan ilusi kedalaman. Gambar-gambar seperti itu, di mana siluet
adalah ilustrasi terbaik, Deregowski menyebut epitomik. Ada juga gambar
yang membangkitkan gagasan tentang kedalaman. Deregowski kemudian
berbicara tentang gambar eidolic. Beberapa gambar memiliki kualitas eidolic
ketika mereka bahkan tidak dapat dikaitkan dengan suatu objek. Sosok yang
mustahil seperti trisula dua sisi dalam ara. 8.6 adalah contoh paling jelas.
Karakter eidolic dari gambar ini sangat kuat sehingga membangkitkan kesan
suatu objek yang tidak bisa ada di sebagian besar responden orang dewasa
Barat, meskipun karakter 3D tidak dirasakan secara universal (mis.,
Deregowski & Bentley, 1987). Kami menyadari isyarat epitomik; awan
dianggap membentuk gambar epitomik, seperti wajah atau binatang. Kami
biasanya tidak menyadari isyarat eidolic; kami menerima yang muncul. Kaitan
antara ilusi visual dan persepsi kedalaman, yang disebutkan dalam kotak 8.1,
adalah masuk akal jika kita

8.6 Trisula "dua cabang" Deregowski & Bentley, 1987


menerima bahwa angka ilusi visual memiliki kualitas eidolic. Deregowski
telah menyarankan bahwa pada dimensi dari epitom ke eidolik gambar oleh
Hudson lebih ke sisi epitomik dan tugas-tugas seperti yang digunakan oleh
Jahoda dan McGurk serta penelepon lebih ke sisi eidolic. Ini akan menjadi
alasan mengapa ada lebih banyak responden 3D pada tugas-tugas terakhir
daripada yang ditemukan oleh Hudson.
Perbedaan epitomik-eidolik juga merupakan yang penting sejauh
mengingatkan kita bahwa persepsi angka tidak boleh dilihat sebagai proses
psikologis kesatuan. Bersama dengan Serpell (Serpell & Deregowski, 1980)
Deregowski telah sampai pada konsepsi di mana persepsi gambar dianggap
sebagai seperangkat keterampilan. Seorang pengamat yang terampil dapat
menangani beragam isyarat dan menggunakan isyarat yang sesuai dalam
situasi tertentu. Dasar adalah pengakuan oleh pengamat bahwa suatu situasi
membutuhkan penerapan keterampilan tertentu. Ini berarti bahwa seseorang
harus belajar memperlakukan gambar sebagai representasi ruang nyata.
Seperti disebutkan sebelumnya, Mekan memiliki beberapa kesulitan awal
dengan ini. Keterampilan lain adalah untuk mengetahui bagaimana
menafsirkan isyarat yang miskin. Rupanya responden Barat telah belajar
menafsirkan isyarat perspektif linier seperti yang diambil dalam beberapa
gambar Hudson.
Temuan teoritis dapat dievaluasi dalam dua cara yang agak kontras. Di
satu sisi, orang dapat menekankan bahwa wawasan penting tentang kesulitan
komunikasi bergambar telah diperoleh dalam beberapa dekade penelitian yang
cukup intensif. Di sisi lain, dapat dikatakan bahwa pendekatan teoretis
terintegrasi yang merinci bagaimana mekanisme persepsi dan pengalaman
lingkungan berinteraksi masih di luar jangkauan kita. Kami juga tidak yakin
ke arah mana harus melanjutkan. Masalah utama menyangkut sejauh mana
konvensi penggambaran sewenang-wenang. Jika konvensi tertentu lebih dari
yang lain mengarah pada representasi yang mensimulasikan erat ruang nyata,
maka penelitian lintas budaya dapat membantu kita menemukan prinsip-
prinsip persepsi.
4. Rekognisi Wajah

Menurut (Malpass, 1996), Orang-orang dari kelompok dengan fitur wajah


berbeda dari kelompok mereka sendiri cenderung lebih mirip mereka sehingga
membuat mereka lebih mudah untuk mengingat wajah individu dari kelompok
etnis mereka.
Dalam percobaan yang di lakukan oleh Malpass dan Kravitz (1969),
Pengakuan diferensial biasanya ditetapkan dalam percobaan di mana
kelompok di tunjukan satu persatu dan berikan serangkain foto anggota
kelompok mereka sendiri dan orang-orang yang termasuk dalam kelompok
etnis lain.. Setelah beberapa waktu, foto-foto ini tographs (atau sebagian dari
mereka) disajikan kembali bersama-sama dengan foto tidak ditampilkan
sebelumnya (pengacau). Para responden harus menunjukkan untuk setiap foto
apakah mereka melihat foto orang itu sebelumnya atau tidak.
Dalam penelitiannya Malpass dan Kravitz dapat menyimpulkan efek
pengakuan diferensial cukup jelas dimana . Ada beberapa variasi dalam studi
dasar ini. Faktor yang jelas mempengaruhi efek ini adalah keterlambatan
waktu antara presentasi dan pengakuan, dan waktu presentasi siswa. wajah
mulus. Parameter lain termasuk kesadaran atau tidak sadar
responden bahwa mereka mengambil bagian dalam percobaan pengakuan
ketika pertama kali melihat- di foto, dan apakah foto yang sama disajikan dari
targetkan orang pada tugas pengenalan atau foto yang berbeda. Untuk sistem
sangat beragam fitur kadang-kadang representasi telah dikembangkan dengan
konstruksi komposit wajah, semacam perangkat yang sering digunakan oleh
polisi untuk membuat gambar tersangka berdasarkan informasi saksi mata.
Sudah menjadi sangat umum untuk menganalisis hasil dalam hal deteksi
sinyal model.
Menurut Swets (1964), di mana perbedaan dibuat antara dua parameter,
yaitu sensitivitas dan bias kriteria. Dalam model semacam ini empat kategori
jawaban adalah dibedakan:
a. identifikasi wajah yang benar terlihat sebelumnya (ya – ya);
b. identifikasi yang benar dari sebuah wajah yang tidak terlihat sebelumnya
(tidak – tidak);
c. identifikasi yang salah wajah yang terlihat sebelumnya (tidak – ya); dan
d. identifikasi wajah yang salah tidak terlihat sebelumnya (ya – tidak).

Sensitivitas mengacu pada proporsi benar dan salah jawaban. Kriteria bias
dapat merujuk pada kecenderungan responden untuk tidak mengidentifikasi
wajah ditunjukkan sebelumnya (menghasilkan negatif palsu), atau
kecenderungan untuk"mengenali" wajah tidakditampilkan sebelumnya (false
positive). Yang terakhir lebih sering terjadi Ini mungkin tampak penjelasan
yang masuk akal secara intuitif bahwa di mana kelompok etnis lain
mencerminkan stereotip atau sikap negatif terhadap kelompok-kelompok lain.
Li, Dunning, dan Malpass (1998) menemukan bahwa orang Amerika Eropa
yang penggemar bola basket bersemangat memiliki pengakuan yang lebih baik
dibandingkan dengan Afrika-Amerika yang notabennya non-penggemar.
Namun kenyataannya di mana rata-rata pemain bola basket di AS
memiliki banyak pemain Afrika-Amerika, dan penggemar memiliki
pengalaman yang cukup mengidentifikasi pemain individu. Hipotesis kontak
dapat dilihat sebagai contoh dari model pembelajaran persepsi. Selain itu, teori
yang membentuk kelompok teori yang paling banyak diterima tentang in-
group versus perbedaan kelompok dalam pengakuan.
(Ellis, Deregowski, & Shephard, 1975) Berbagai bentuk teori belajar
persepsi menganggap bahwa wajah disimpan beberapa ruang hipotetis di mana
fitur yang relevan (atau gabungan fitur) membentuk dimensi (mis., Valentine,
1991; Valentine & Endo, 1992). Keluar grup wajah kemudian menjadi lebih
baik dipisahkan dalam ruang ini dengan pengalaman yang semakin meningkat
lebih banyak wajah yang tampak lebih mirip dari kelompok harus ditempatkan
lebih dekat bersama di ruang perseptual daripada wajah kelompok sendiri
yang lebih berbeda.
5. Estetika-estetika Psikologis

Melihat karya seni mengarah pada dua temuan membingungkan. Yang


pertama adalah variasi yang luar biasa dalam konvensi dan gaya ekspresi.
Yang kedua adalah fleksibilitas mekanisme persepsi manusia dalam mengatasi
kisaran ini di variasi. Pertimbangkan betapa sedikitnya kesamaan formal
antara Bushman Rock lukisan, gambar bergaya di Mesir klasik, lanskap pasca-
Renaissance dari sekolah Belanda, dan pemandangan Jepang dilukis dengan
gaya tradisional, hanya untuk menyebutkan beberapa gaya utama dalam seni
bergambar. Kita telah melihat bahwa konvensi memainkan peran tertentu
dalam persepsi, terutama dari isyarat mendalam. Mereka tentu penting dalam
pembuatan seni, saksikan yang besar variasi gaya.
Jika konvensi memainkan peran dominan dalam apresiasi ada tidak ada
alasan untuk mengharapkan banyak kesepakatan antara responden dari budaya
yang berbeda. Beberapa studi perbandingan preferensi estetika telah
dilaporkan mendukung harapan ini. Sebagai contoh, Lawlor (1955)
menunjukkan delapan desain dari Afrika Barat untuk responden dari wilayah
itu dan responden Inggris, bertanya mereka untuk menunjukkan dua mana
yang paling mereka sukai dan dua yang paling tidak mereka sukai. Lawlor
menyimpulkan itu ada sedikit bukti untuk faktor umum yang bergantung pada
desain.
Penelitian yang dipandu teori diprakarsai oleh Berlyne (1960, 1971). Dia
mendalilkan faktor-faktor penentu psikologis dari penghargaan estetika yang
independen dari artistic gaya. Berlyne terkait apresiasi terhadap karakteristik
stimulus tertentu, disebut sebagai variabel kolatif. Dia melihat penghargaan
estetika sebagai contoh khusus dari rasa ingin tahu, atau perilaku mencari
stimulus. Ada hubungan dekat dengan kompleks peristiwa psikofisiologis
yang dikenal sebagai reaksi orientasi (mis., Kimmel, Van Olst, & Orlebeke,
1979). Mencari stimulus adalah perilaku yang secara intrinsik termotivasi.
Tertentu rangsangan dicari karena aktivitas berurusan dengan mereka
memuaskan atau menyenangkan dengan sendirinya. Sebenarnya, teori Berlyne
berkaitan dengan motivasi dan juga persepsi. Seperti yang akan kita lihat
sekarang, analisis isi informasi rangsangan membentuk perhatian utama
penelitian dalam tradisi ini. Sebagai seperti itu dapat dilihat sebagai
perpanjangan alami dari penelitian dalam persepsi.
Karakteristik stimulus yang membangkitkan rasa ingin tahu dan
penghargaan termasuk kebaruan, ketidakpastian atau ambiguitas,
ketidaksesuaian, dan kompleksitas. Ini adalah sifat formal atau struktural yang
dapat didefinisikan secara independen dari gaya seni tertentu. Ini tidak berarti
bahwa reaksi responden dari budaya yang berbeda terhadap stimulus yang
diberikan harus sama. Misalnya, apa yang merupakan rangsangan baru dalam
satu situasi mungkin sangat akrab di tempat lain. Hubungan antara variabel
kolatif dan keingintahuan seringkali curvilinear. Ini menyiratkan bahwa
stimulus yang cukup kompleks atau tidak sesuai akan membangkitkan reaksi
terkuat.
Penelitian tentang variabel kolatif menunjukkan bahwa di bawah konvensi
yang berbeda tentang ekspresi estetika tampaknya ada mekanisme psikologis
universal dalam persepsi dan apresiasi rangsangan visual. Namun, variabel
kolatif bukan satu-satunya penentu preferensi estetika. Dalam ulasan mereka,
Russell, Deregowski, & Kinnear (1997) telah menunjukkan beberapa faktor
lain, termasuk variabel ekologis yang berhubungan dengan lingkungan aktual
di mana orang hidup. Sayangnya, penelitian tentang faktor-faktor tersebut
sejauh ini terbatas.
DAFTAR PUSTAKA

Berry, J.W., Poortinga, Y.H., Segall, M.H., & Dasen, P.R. (2002). Cross-cultural
psychology: research and applications. New York: Cambridge University
Press.

Liliweri, Alo. (1994). Komunikasi verbal dan nonverbal. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.

Matsumoto, D., & Juang, L. (2013). Culture and psychology, fifth edition. United
States: Wadsworth.

Anda mungkin juga menyukai