Anda di halaman 1dari 7

TRADISI DAN BUDAYA LOKAL DALAM KEPUNGAN ARUS GLOBAL DI

PERADABAN MASYARAKAT
DEMAK JAWA TENGAH
Muhammad Husain Mubarok (21107030)

ABSTRAK

Budaya lokal akan lebih bermakna karena mampu mendorong semangat kecintaan pada
kehidupan manusia dan alam semesta. Sementara teknologi sebagai hasil kebudayaan yang
bersifat fisik tanpa spritualitas nilai-nilai yang terkandung dalam adat istiadat, agama,
kesenian akan kehilangan fungsi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Nilai-nilai,
norma, etika yang terkandung dalam aturan adat tercermin dalam budaya lokal semestinya
merupakan referensi – referensi yang bermanfaat di era globalisasi. Era global yang
keberadaannya tidak dapat disangkal membawa konsekuensi logis pada setiap lini kehidupan
manusia. Oleh karena itu, budaya Jawa yang memiliki nilai-nilai fundamental juga tradisi
yang sangat relevan untuk dikaji kaitannya dengan era global ini.
Kata Kunci: Nilai budaya Jawa, Tradisi Masyarakat Demak, Pengaruh Lintas Budaya
dan Globalisasi

A. PENDAHULUAN

Sejarah telah membuktikan bahwa budaya Jawa mempunyai daya lentur yang
tinggi menghadapi hadirnya budaya asing yang masuk ke Indonesia khususnya Jawa.
Ketika budaya Hindu masuk ke Jawa diterima sedemikian rupa sehingga terjadi
kristalisasi nilai-nilai yang menjadi adat dan budaya Hindu diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari. Demikian juga ketika Budha masuk ke Indonesia juga diterima dengan baik
sehingga terjadi akulturasi budaya yang selaras dengan kehidupan di masyarakat.
Peninggalan nenek moyang memiliki nilai yang tinggi salah satunya adalah masjid
Agung Dema. Demikian juga kedatangan bangsa Eropa yang awalnya ingin berdagang,
kemudian menjajah bangsa Indonesia membawa budaya baru. Kedatangan mereka juga
mewarnai budaya Jawa. Bahwa globalisasi budaya adalah proses homogenisasi dunia
dengan mengusung kemasan budaya populer Amerika. Kondisi tersebut jelas dapat
dilihat dan dinilai dari penekanan konsumsi terhadap budaya Barat pada umumnya,
sehingga muncul istilah Westernisasi yang digunakan sebagai simbol terhadap sifat
konsumerisme. Ada anggapan bahwa globalisasi mengancam dan dapat merusak tatanan
kehidupan heterogenitas budaya lokal dengan mengabaikan keragaman dan kearifan
lokal untuk menuju pada universalitas. Kedua paham tersebut merupakan situasi yang
dikotomi dan dilematis serta tarik menarik. Fenomena perubahan dan pergeseran budaya
yang diakibatkan oleh pengaruh global ini sangat menarik untuk diungkap. Penelitian ini
lebih difokuskan pada permasalahan tantangan budaya Nusantara dalam menghadapi era
global.

B. PEMBAHASAN
1. Nilai Budaya Jawa
Nilai menurut Driyarkara ada lima : nilai vital, nilai keindahan, nilai kebenaran,
nilai moral, dan keagamaan (Driyarkara, 1980: 120). Nilai masih perlu diaktifkan
dalam kehidupan nyata. Sedangkan kebudayaan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah
segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya. Budaya berasal dari kata budi
sebagai jiwa yang telah matang. Budaya atau kebudayaan merupakan buah budi
manusia (Ki Hadjar Dewantara, 1967: 85). Berdasarkan pada pemahaman nilai dan
budaya maka nilai-nilai budaya Jawa adalah kualitas dari hasil budi manusia yang
berkembang pada masyarakat Jawa. Banyak ahli yang merumuskan tentang konsep
budaya, ciri-ciri, dan hakikatnya tetapi dalam penelitian ini dibatasi pada salah satu
sifat dari hakikat budaya Jawa khususnya yang berkaitan dengan sikap etis orang
Jawa. Sikap etis itu dirumuskan oleh R. Soenarto seperti yang dikutip Budiono Heru
Satoto (1984:79-81). Budaya lokal yang hidup di tengah masyarakat biasanya lahir
dari dorongan spritual masyarakat dan ritus-ritus lokal yang secara rohani dan
material sangat penting bagi kehidupan sosial suatu lingkungan masyarakat desa.
Budaya lokal memiliki hubungan yang sangat erat dngan masyarakat di suatu
lingkungan dengan seluruh kondisi alam di lingkungan tersebut. Ia ditampilkan dalam
berbagai upacara adat suatu desa, bersih desa, misalnya dilakukan untuk menghormati
roh nenek moyang sebagai penunggu desa. Maksud upacara agar desa dilimpahi
kesejahteraan oleh penunggu tersebut. Terlepas dari kepercayaan tersebut, upacara
yang dilakukan dengan cara membersihkan desa menghasilkan dampak lingkungan
yang baik. Apabila desa bersih dari limbah apapun maka alirannya yang berfungsi
mengaliri persawahan akan lancar. Lingkungan desa akan menjadi bersih dan sehat
sehingga panen menjadi baik. Budaya lokal yang ditampilkan dalam upacara adat
tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting. Memberi dorongan solidaritas
kepada masyarakat.
2. Tradisi Masyarakat Demak

Demak merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah.
Sejarah mencatat bahwa Kabupaten Demak tidak terlepas dari perjuangan para wali
dalam kegiatan penyebaran agama Islam. Hal ini membuat masyarakat Demak sangat
membanggakan dirinya menjadi warga kota Wali. Sehingga tidak mengherankan bila
kemudian ada beragam ritual yang selalu dinantikan. Grebeg Besar menjadi salah satu
ritual yang diselenggarakan dan dinantikan untuk diikuti masyarakat Demak sendiri
maupun dari luar kota. Tradisi Grebeg Besar yang diadakan setahun sekali ini
merupakan wujud rasa syukur terhadap perjuangan para wali yang berjasa dalam
penyebaran agama Islam di Demak. Dahulu para wali menyelenggarakan Grebeg
Besar sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam. Karena sebelumnya
dakwah yang dilakukan peminatnya masih sangat sedikit. Kemudian para wali
bermusyawarah dan sepakat untuk memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan rakyat
sebagai sarana dakwah. Sehingga akhirnya banyak masyarakat yang terpikat dengan
adanya perayaan dan keramaian dalam upacara keagamaan ini. Tidaklah
mengherankan jika kemudian beragam ritual yang selalu dinantikan seluruh penjuru
masyarakat Kota Demak ataupun di luar kota Demak untuk mengikuti ritual yang
diselenggarakan masyarakat yaitu Grebeg Besar. Selain Grebeg Besar Kota Demak
juga mempunyai Masjid Peninggalan para wali, yaitu Masjid Agung Demak. Masjid
Agung Demak yang merupakan salah satu peninggalan wali, yang mana terdapat
banyak nilai sejarah yang dapat dilestarikan masyarakat Demak khususnya. Salah
satu tempat yang memiliki nilai religi adalah Masjid Agung Demak.

Masjid ini merupakan masjid pertama di Jawa yang di dalamnya terdapat


kompleks pemakaman tokoh agama dan tokoh kerajaan Demak. Selain itu, Masjid
Agung Demak juga sebagai pusat kegiatan para Ulama Islam pada masa lalu. Tak
kalah menariknya di dalam komplek Masjid Agung Demak, terdapat pula barang-
barang peninggalan sejarah masa lalu seperti alat-alat senjata yang digunakan untuk
melakukan peperangan. Karena hal inilah maka banyak masyarakat yang ingin
berkunjung ke kompleks Masjid Agung Demak. Kegiatan seperti ini sering disebut
dengan wisata religi/keagamaan. Kemudian para wali sendiri sering mengadakan
pertemuan-pertemuan dengan masyarakat untuk penyebaran agama Islam, yang saat
ini masih dilestarikan dengan sebutan Grebeg Besar.

Grebeg Besar di Kabupaten Demak tak lepas dari sejarah perjuangan para Wali
Songo dalam upaya menyebarkan agama islam pada abad ke XV, di Demak sebagai
pusat (Kasultanan Bintoro) di pulau Jawa dengan masterpieces nya adalah Sultan
Fattah dan Sunan Kalijaga sebagai tokoh besar yang berpengaruh dalam srjarah
Kabupaten Demak. Pada masa kejayaan pemerintahsn Sultan Fattah dan Sunan
Kalijaga sebagai penasehat spiritualnya beliau menyelenggarakan Grebeg sebagai
media da’wah yaitu Grebeg Maulid, Grebeg Dal, Grebeg Syawal dan Grebeg Besar.

Namun yang sampai sekarang tetap dilestarikan adalah budaya Grebeg Besar
setiap tanggal 10 Dzulhijjah ( Idul Adha ). Sementara Grebeg lainnya yang masih
dilestarikan di Keraton Solo, Yogyakarta dan Cirebon. Dahulu para Wali
menyelenggarakan Grebeg Besar sebagai media dakwah, penyebaran agama Islam
tidak banyak mengalami kemajuan. Karena peminatnya masih sangat sedikit.
Sebagian besar rakyat kecil terutama masyarakat pedesaan enggan untuk
mengucapkan syahadat sebagai pernyataan memeluk Agama Islam. Para Wali
bermusyawarah mereka sependapat memanfaatkan unsur-unsur kebudayaan rakyat
sebagai sarana dakwah. Terutama dengan memanfaatkan bahasa, adat istiadat, dan
kesenian rakyat. Sehingga banyak rakyat yang tepikat dengan adanya perayaan dan
keramaian yang dihubungkan dengan upacara keagamaan ini. Grebeg Besar berasal
dari dua kata Bahasa Jawa yaitu Grebeg dan Besar. Grebeg berarti suara angin yang
menderu. Grebeg juga dapat diartikan sebagai pengiring atau perkumpulan.
Sedangkan kata Besar merupakan nama bulan Zulhijah dalam Bahasa Jawa.

Sehingga Grebeg Besar bermakna yaitu perkumpulan masyarakat Muslim di


bulan Zulhijah. Perkumpulan ini dilakukan di Masjid Agung Demak. Grebeg Besar
dimulai dengan memasuki halaman Masjid Agung Demak, kemudian dilanjutkan
menuju makam para sultan Kesultanan Demak dan makam Sunan Kalijaga di Demak.
Para peziarah akan diberikan informasi tentang tata cara berziarah oleh pemandu dan
diminta bersuci terlebih dahulu. Acara ini berisikan permainan maupun kesenian
tradisional yang sangat digemari masyarakat Demak saat itu. Setelah keberhasilan
acara tersebut, banyak masyarakat yang berdatangan ke Masjid Demak untuk
mengikuti acara Grebek Demak. Konon katanya, acara Grebeg sebenarnya sudah ada
sejak 1506 Masehi, tepatnya pada zaman Kerajaan Majapahit. Namun, tradisi ini
secara turun temurun terus diwariskan dan digunakan oleh raja-raja di Pulau Jawa.
Sejarah tradisi Grebeg Besar di Demak juga tidak bisa dipisahkan dari peran Sultan
Fattah serta Sunan Kalijaga. Karena Sultan Fattah Sunan Kalijaga memutuskan untuk
membuat tradisi grebeg sebagai media dakwah. Contohnya Grebeg Maulid, Grebeg
Dal, Grebeg Syawal serta Grebeg Besar. Mengutip dari jurnal yang
berjudul Dinamika Grebeg Besar Demak Pada Tahun 1999-2003 (Tinjauan Sejarah
dan Tradisi) (2014) karya Iwan Effendy, disebutkan jika dalam Bahasa Jawa, grebeg
berarti suara angin yang menderu. Namun, grebeg juga bisa diartikan sebagai
pengumpulan beberapa orang di suatu tempat. Sedangkan untuk kata 'besar' dalam
Grebeg Besar diambil dari nama bulan Besar atau Dzulhijah.

3. Pengaruh Lintas Budaya dan Globalisasi

a) . Benturan nilai dan relativitas budaya Individu dan kelompok

masyarakat biasanya menganut nilai sendirisendiri. Bila terjadi pertemuan di


antaranya dan satu dengan yang lain nampak tidak cocok, maka pihak yang satu
biasanya merasa benar dan menyalahkan pihak yang lain. Apabila satu dianggap
salah oleh yang lain maka ini menunjukkan bahwa tindakan-tindakan kultural
bukan semata-mata bersifat subjektif atau pribadi tetapi lebih menjadi bersifat
intersubjektif. Individu sesungguhnya tidak bertindak sendiri. Makna suatu
tindakan adalah makna yang ditanggapi bersama dengan orang lain. Makna ini
didasarkan pada asumsi-asumsi tindakan kultural. Oleh karenanya penilaian
kultural menjadi relatif (meskipun dalam konteks etis ada pihak yang mengambil
posisi relativisme etis dan absolutisme moral, dan menurut pandangan teologi, di
atas relativitas tersebut.

b). Matinya Bentuk-Bentuk Kesenian Tradisional/Kearifan Lokal dikarenakan Dampak


Teknologi Budaya lokal kini menghadapi tantangan global yang sangat serius,
termasuk di kota-kota yang memiliki predikat Urban, Metropolitan, maupun
Cosmopolitan. Kita sudah jarang menemukan salah satu contohnya adalah jarang
kita temui gambang macapat dalam gerebek besar.

c). Perubahan Tata Nilai di Masyarakat

Secara tradisional, bangsa-bangsa di wilayah Timur, pada umumnya memiliki


orientasi nilai budaya yang bersifat mistis, magis, kosmis dan religius. Bangsa yang
berorientasi pada nilai Budaya seperti ini, secara umum ingin hidup menyatu
dengan alam karena mereka menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari alam.
Alam sebagai sumber kehidupan memiliki kekuatan atau potensi tertentu yang
memberi atau mempengaruhi hidupnya (Ratna Kutha, Nyoman 2007:63).

d). Pemahaman dan Pemberdayaan Kearifan Lokal

Untuk menjawab permasalahan tantangan global maka sangatlah penting


mengembalikan kesadaran masyarakat betapa pentingnya memahami akan budaya
yang dimiliki bangsa ini (Nusantara). Pentingnya pemberdayaan Kearifan lokal
juga dapat menciptakan, harmonisasi kehidupan tetap terjaga, dapat menuntun
masyarakat untuk selalu bersikap dan berperilaku arif terhadap lingkungan.
Kearifan terhadap lingkungan dapat dilihat dari bagimana perlakuan masyarakat
terhadap benda-benda, tumbuhan, hewan dan apapun yang berada di sekitarnya.
Perlakuan ini melibatkan penggunaan akal budi sehingga dari perlakuan-perlakuan
tersebut tergambar hasil dari aktivitas budi atau kearifan lokal. Pentingnya
menanamkan kepada masyarakat tehadap kearifan lokal tidak hanya masalah fisik,
akan tetapi juga nilainilai budaya luhur yang harus dilestarikan di dalam kehidupan
masyarakat. Kesadaran masyarakat akan mengubah persepsi mereka terhadap
kearifan lokal dan kesadaran terhadap keuntungan memilki kearifan lokal.
Kesadaran itu dapat mengarahkan masyarakat untuk melaksanakan kembali
berbagai aktivitas yang merupakan bagian dari kearifan lokal. Kearifan lokal dapat
memperkaya kehidupan masyarakat dan juga dapat memberikan pengalaman yang
mendalam dan menjadikan interaksi dan hubungan antara anggota masyarakat lebih
harmonis, penuh dengan saling penghargaan dan keakraban. Adapun dampak
positiv dalam kehidupan masyarakat mereka akan lebih bahagia dan sejahtera
Sebagai pekerja seni/pendidik seni/seniman, maka dituntut memiliki kepiawaian di
dalam berolah seni, sehingga diharapkan kemampuan budaya lokal/setempat dapat
disejajarkan dengan kebudayaan modern. Kesenian adalah salah satu bagian vital
dari kebudayaan. Maka kebudayaan diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam membangun etos kerja dan daya kreasi.

C. PENUTUP

Keberagaman budaya lokal dihadapkan pada masalah pada satu sisi dan
modernisasi di sisi lain. Bagi seniman sebagai ujung tombak pembaharuan, maka tidak
ada jalan kecuali melihat ke depan namun hal ini tidak berarti kita hanya begitu saja
menyepelekan nilai-niali lokal. Kita harus berkembang dari kekayaan yang ada. Apapun
tantangan yang dihadapi Budaya Nusantara di era global, maka sangatlah penting
menumbuhkan kesadaran.

DAFTAR PUSTAKA

Budiono Heru Satoto, 1984, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Hanindita, Yogyakarta.
https://id.wikipedia.org/wiki/Grebeg_Besar_Demak. Diakses pada 29 Oktober 2021
Kutha Ratna, Nyoman, 2007.“ Estetika Sastra dan Budaya”. Yogyakarta, Penerbit,
Pustaka Pelajar.
Khairuddin, 2008, Sosiologi Keluarga, Liberty, Yogyakarta. Ki Hadjar Dewantara,
1967,
Ki Hadjar Dewantara Tentang Pendidikan, Taman Siswa, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1986, Kebudayaan Mentalitet Dan pembangunan, Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai