Anda di halaman 1dari 16

KAUM MUDA BERSAMA MELESTARIKAN KEBUDAYAAN DAN TRADISI

DUGDERAN SEBAGAI MEDIA TOLERANSI ANTAR MASYARAKAT DI KOTA


SEMARANG

Nama : Lailatul mubarokhah

NIM : 352020032

Mata Kuliah : Teori Sosiologi Klasik

Abstract :

Cultural diversity has become the hallmark of a region and even a country. In Indonesia it
has the largest ethnic and cultural diversity in the world. One was the town of semarang, the
town of semarang, which was of a variety of cultures and was quite prominent. Where the
town of semarang is dominated by the various ethnic groups of Arabia, China, and Java. The
town of semarang also has a traditional tradition of the dugeran tradition undertaken to host
the holy month of Ramadan one day before the fast. Considering that the majority of the
people in semarang city are muslims. Such traditions do not restrict any or any particular
ethnicity and religion. All semarang residents could attend the tradition indiscriminately
because dugongs were also part of a town festival based only on a fast response. In the
traditional dugongs it may also be one of the media tolerating and honoring one another's
differences by observing a good philosophical value in the mythological animal symbols of
the wardog. It still affirms a sense of community and harmony for coexistence. Also
hardening the relationships of semarang society. The increasing scale of today's era is feared
for the young generation to forget even to the extent of not knowing its own culture.
Asbtrak :

Keragaman kebudayaan sudah menjadi simbol ciri khas suatu daerah bahkan negara. Di
Indonesia ini memiliki banyak sekali beranekaragam suku dan budaya terbanyak di dunia.
Salah satunya kota Semarang, kota Semarang memiliki kebudayaan yang beragam dan cukup
banyak serta sangat terlihat mencolok. Dimana kota Semarang terwadahi oleh etnis yang
berbeda-beda yakni Arab, Tionghoa, dan Jawa. Kota Semarang juga mempunyai tradisi yang
sudah dijalankan turun temurun yaitu Tradisi Dugeran yang dilaksanakan untuk menyambut
bulan suci Ramadhan satu hari sebelum puasa. Mengingat bahwasanya mayoritas warga
masyarakat kota Semarang mayoritas beragama Islam. Tradisi tersebut tidak membatasi
kalangan manapun atau dari etnis dan agama tertentu. Semua warga Semarang dapat
menghadiri tradisi tersebut tanpa pandang bulu karena Dugderan juga termasuk acara festival
kota yang hanya didasari untuk menyambut puasa. Dalam tradisi Dugderan tersebut juga bisa
menjadi salah satu media saling bertoleransi dan menghormati atas perbedaan yang ada
dengan mengamalkan nilai filosofi yang baik di dalam simbol hewan mitologi Warak
Ngendog. Tetap meneguhkan rasa kebersamaan dan kerukunan untuk hidup berdampingan.
juga semakin mengeratkan hubungan persaudaraan masyarakat Semarang. Dengan semakin
majunya era sekarang ini sangat dikhawatirkan kaum generasi muda akan melupakan bahkan
bisa saja sampai tidak mengetahui budayanya sendiri.

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Berawal dari abad ke-8 Masehi, di daerah pesisir yang dikenal dengan nama Pragota
(sekarang menjadi bergota) merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Pada masa itu
daerah tersebut merupakan pelabuhan dan didepannya terdapat gugusan pulau kecil dari
pengendapan yang hingga sekarang masih terus berlangsung. Gugusan pulau-pulau kecil
tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Bagian kota Semarang Bawah yang banyak
dikenal ini dahulunya merupakan sebuah laut dan terdapat pelabuhan. Pelabuhan tersebut
berada di daerah Pasar Bulu dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan. Pada tahun
1405 Masehi, Laksamana Cheng Ho mendirikan Kelenteng dan Masjid yang sampai sekarang
ini masih dikunjungi yang disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu). Lalu pada akhir
abad ke-15 seorang tokoh menyebarkan agama Islam dari perbukitan Pragota yang bernama
Ki Ageng Pandanaran. Bergota merupakan salah satu bagian dari wilayah Kerajaan Mataram
yang kemudian semakin lama dari waktu ke waktu daerah tersebut semakin subur. Terdapat
pepohonan yang rimbun, segar, hijau dan rumput-rumput yang tumbuh dengan sangat lebat
juga subur. Tetapi dikesuburannya itu muncul suatu pohon asam yang arang (pohon Asam
yang tumbuh berjauhan), oleh sebab itu Ki Ageng Pandanaran memberikan gelar atau nama
daerah tersebut menjadi Semarang.

Tradisi dugderan sendiri muncul pada tahun 1881 Masehi, di Kota Semarang pada
masa Bupati Kanjeng Raden Mas Tumenggung Purbaningrat. Lalu berkembang sebuah
tradisi yang berupa arak-arakan yang akan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan atau
bulan puasa. Masyarakat semarang biasa menyebutnya dengan istilah Dugderan. Setelah
umat Islam melaksanakan shalat Ashar dan tepat satu hari menjelang bulan Ramadhan,
dipukullah bedug Masjid Besar Kauman dan disusul dengan menyalakan sulutan meriam api
di halaman pendapa kabupaten di Kanjengan. Bedug yang dipukul tersebut mengeluarkan
bunyi “dug” dan meriam api mengeluarkan bunyi “der” yang serentak dan berkali-kali. Pada
akhirnya bunyi-bunyian tersebut digabungkan menjadi satu sehingga muncul menjadi istilah
Dugderan. Mendengar bunyi suara Dug dan Der yang keras dari sekitar alun-alun pusat kota,
kemudian masyarakat pun berbondong-bondong dan beramai-ramai bersama datang untuk
menyaksikan apa yang terjadi. Masyarakat lalu berkumpul di alun-alun depan Masjid dan
keluarlah Kanjeng Bupati dan Iman Masjid Besar. Ajakan dari Kanjeng Bupati untuk selalu
meningkatkan tali silaturahmi atau persatuan dan ajakan yang senantiasa meningkatkan
kualitas ibadah. Tradisi ini pun terus berjalan dari tahun ke tahun dan sudah menjadi tradisi
wajib yang dilakukan oleh masyarakat Semarang. Tujuan dari diciptakannya tradisi Dugderan
tersebut untuk mengumpulkan lapisan masyarakat dalam suasana suka cita untuk bersatu,
berbaur dan teguh sapa tanpa adanya pembedaan kalangan atas bawah dan juga dari berbagai
kelompok etnis.

2. TUJUAN PENULISAN

Berbagai macam budaya dan etnis di kota Semarang terutama etnis Jawa, etnis Tionghoa,
dan etnis Arab tersebut dipersatukan dalam festival Dugderan yang di laksanakan. Dahulu
ketiga etnis diatas sangat dibeda-bedakan dan justru malah dikelompokkan oleh Belanda.
Daerah belanda yang ditinggali seperti semarang atas, lalu warga Jawa yang berada di
Kampung Jawa, ada masyarakat etnis Tionghoa di daerah Pecinan, kemudian warga arab di
Pejokan. Dimana perbedaan yang besar dimulai dari ras, suku, kebudayaan, fisik, hingga
sosial tersebut dibaurkan disatukan dan saling bersapa dalam acara Dugderan yang
dilaksanakan. Dari berbagai lapisan masyarakat dengan tidak menjelekkan satu sama lain dan
saling toleransi serta menghormati sesama warga negara Indonesia terlebih lagi sesama warga
kota Semarang. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1) Mengetahui akulturasi kebudayaan yang ada di kota Semarang


2) Mengetahui tindak saling toleransi antar masyarakat di kota Semarang
3) Memberikan solusi kepada kaum milenial muda terutama daerah Semarang agar
senantiasa melestarikan kekayaan budaya tradisi dugderan.
4) Mengaitkan kasus dengan mengkaji teori interaksi simbolik Herbert Mead dan
perkembangan kebudayaan George Simmel
3. MANFAAT

Seperti dalam penulisan judul yang telah saya paparkan yakni “Kaum Muda Bersama
Melestarikan Kebudayaan dan Tradisi Dugderan Sebagai Media Toleransi Antar Masyarakat
Di Kota Semarang”. Dengan hal tersebut diharapkan semua kaum generasi muda dapat
mengembangkan kebudayaan yang mereka miliki sendiri untuk dilestarikan dan mengenalkan
kebudayaanya dengan semua orang. Tak hanya mengenalkan kebudayaan tetapi juga semakin
mendalami dan belajar mencintai budayanya sendiri. Dengan pikiran-pikiran kaum generasi
muda yang kreatif dan sangat berinovasi ini kemajuan akan semakin pesat dan dengan catatan
tidak melupakan budayanya. Dengan adanya tradisi dugderan ini sesama masyarakat kota
Semarang yang hidup berdampingan dapat membagi kebahagian dan meningkatkan rasa
toleransi.

KERANGKA PEMIKIRAN

1. AKULTURASI KEBUDAYAAN KOTA SEMARANG DALAM ERA


GLOBALISASI

Menurut Soerjono Soekanto (1990) Definisi akulturasi merupakan suatu proses sosial
yang timbul apabila suatu kelompok masyarakat dengan suatu kebudayaannya dihadapkan
pada unsur-unsur kebudayaan asing dimana unsur-unsur kebudayaan asing tersebut lambat
laun melebur ke dalam kebudayaan asli, dengan tidak menghilangkan kepribadian kedua
unsur kebudayaan tersebut. Menurut Robert E. Park dan Ernest W. Burgess, akulturasi
merupakan fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki budaya yang
berbeda datang ke dalam kontak tangan terus pertama, dengan perubahan berikutnya dalam
pola-pola budaya asli dari salah satu atau kedua kelompok. Kebudayaan merupakan
pencerminan dari nilai, keyakinan, pandangan, ide yang umumnya mempunyai komunitas,
sehingga dapat diartiikan jati diri masyarakat.(Koentjaraningrat,2009).
Kota Semarang memiliki kebudayaan dan tradisi yang unik. Juga masyarakatnya tetap
menjunjung tinggi kebudayaan peninggalan dari nenek moyangnya walaupun masuknya
globalisasi yang sediikit demi sedikit menghilangkan kebudayaan. Seperti yang kita ketahui
tidak mudah untuk mempertahakan warisan budaya pada era sekarang dengan datangnya
kebudayaan baru atau disebut juga kebudayaan modern. Masyarakat Semarang juga bisa
dikatakan mempertahankan jati diri dari kebudayaan dan kepercayaan serta kesenian yang
mereka miliki secara utuh. Semarang juga dikenal sebagai kota yang religius karena
banyaknya ras dan agama yang bercampur baur disana. Akan tetapi masuknya globalisasi
sedikit demi sedikit akan memakan kemurnian kebudayaan yang ada. Kota Semarang
memiliki kebudayaan dan tradisi yang unik. Bermacam akulturasi budaya di kota Semarang
yakni salah satunya adalah tradisi Dugderan. Acara ini merupakan perayaan bagi penganut
agama Isalam atau muslim yang ada di kota Semarang. Tradisi Dugderan berawal
berpusatkan di balai kota, dengan rute perjalanan yang dilewati arak-arakan tersebut dari
jalan Pemuda sampai kemudian berakhir di halaman Masjid Kauman yang ada di kota
Semarang. Selanjutnya akan ada para Ulama dan Habib yang berada di Masjid Kauman
tersebut sembari memutuskan keputusan bahwa akan dilaksnakannya ibadah puasa pada esok
harinya. Lalu saat kesepakatan sudah disetujui maka Bupati akan mengumumkan keputusan
yang akan melaksanakan ibadaha puasa Ramadhan. Kemudian sang Pati akan memukul
bedug Masjid Kauman dan menyalakan meriam api sebagai menandakannya keputusan sudah
ditetapkan dan sebagai simbol bahwasanya tradisi Dugderan akan dimulai. Arak-arakan
datang dengan warak ngendhog serta banyak rombongan lainnya sambil membacakan surat
keputusan Bupati. Adanya bunyi-bunyian dug dan der membuat semua warga bergembira dan
merasa senang dengan kemeriahan acara tersebut.

Salah satu yang sangat menjadi pusat perhatian dalam acara tradisi Dugderan ialah hewan
mitologi Warak Ngendhog yang menjadi simbol utama. Bagi para penjual atau pegadang
kerajinan dengan adanya festival ini dapat menjadi sumber ekonomi bagi mereka, pasalnya
menjual kerajinan Warak Ngendhog saat festival dapat meraup keuntungan yang lebih dari
biasanya karena akan banyak orang dan dari berbagi penjuru daerah yang menyaksikan acara
tersebut. Warak Ngendhog merupakan menjadi simbol utama saat diadakannya tradisi
Dugderan yang selalu berpusat di Masjid Kauman. Bersamaan dengan pembacaan keputusan
mengenai melaksanakan awal ibadah puasa bulan Ramadhan yang dimeriahkan oleh semua
masyarakat Semarang terutama masyarakat muslim. Dengan suara bedug yang dipukul dan
suara meriam waktu itu di persembahkannya yang dipercaya sebagai salah satu hewan
mitologi yang unik dengan sebutan Warak Ngendhog. Warak Ngendhog ini dicirikan
memiliki kepala yang berbentuk naga dan digambarkan sebagai sosok makhluk yang rakus
juga terlihat menakutkan. Mulai dari leher, badan, kaki dan ekor ditumbuhi serta tertutup bulu
yang lebat dan tersusun terbalik. Para pengrajin Warak Ngendhog ini biasanya membuat bulu
warak dengan kertas minyak yang berwarna-warni. Pada tahun 1881 Warak Ngendhog dibuat
menggunakan bahan yang sangat sederhana yang dapat ditemui disekira kita seperti bahan
dari serabut kelapa, kayu-kayu, dan bambu, tetapi dengan kemajuan saat ini dan
perkembangan zaman bahan-bahan untuk membuat Warak Ngendhog mulai diganti dengan
karton maupun gabus yang mudah ditemui saat ini.

Menurut penelitian (Triyanto, 2013) menyebutkan bahwa Warak Ngendhog sebagai


akulturasi budaya pada seni rupa, sehingga peniliti ingin menguraikan tentang Warak
Ngendhog sebagai akulturasi budaya Jawa, budaya Cina, dan bdaya Arab yang disatukan
kedalam makhluk mitologi yang dikenal Warak Ngendhog. Menurut Triyanto (2013)
terdapat tiga jenis kelompok Warak Ngendhog berdasarkan bentuknya yakni :

1. Warak Ngendhog klasik


Warak ngendhog klasik ini umumnya menampilkan unsur-unsur yang masih melekat
dan tidak diubah dari zaman dahulu. Dapat disebut juga unsur serta struktur masih asli
dari turun temurun. Dengan bentuk yang cukup mengerikan misalnya bentuk kepala
dan bentuk bagian mulut mempunyai gigi yang sangat tajam serta runcing, matanya
yang melotot dan merah, memiliki telinga yang tegak, tanduk yang besar, mempunyai
jenggot yang lebat dan panjang, serta badan lalu leher maupun empat kakinya yang
meyerupai kambing tertutup oleh bulu yang terbalik dan selang-seling. Berwarna
merah, hijau, kuning, putih, dan biru yang dimiliki oleh ekor yang panjangnya
melengkung serta surai-surai diujungnya. Endhog atau telurnya sendiri yaitu terletak
diantara kedua kakinya dibelakang.
2. Warak ngendhog modifikasi
Warak Ngendhog modifikasi ini hanya berbeda pada bagian kepala berbentuk naga
terdapat kemiripan antara Naga Jawa atau Naga Cina yang mulut atau moncongnya
seperti buaya dengan gigi yang tajam dan lidah yang menjulur bercabang. Diatas
kepalanya memiliki tanduk kecil yang seperti rusa dan kulitnya bersisik dengan bulu-
bulu yang terbalik. Naga Jawa memakai mahkota yang berada selalu diatas kepalanya.
3. Warak Ngendhog Kontemporer
Struktur bentuk Warak Ngendhog kontempoter mempunyai bentuk yang hampir
serupa dengan struktur bentuk Warak Ngendhog klasik. Hanya saja Warak Ngendhog
kontemporer memiliki kepala menyerupai harimau. Bulunya pun tidak terbalik seperti
Warak Ngendhog klasik, serta juga kulitnya tidak bersisik. Warak Ngendhog
kontemporer mirip dengan mitos Naga Cina yang merupakan salah satu wujud
akulturasi budaya dari berbagai ragam bangsa pendatang.
Warak ngendhog ini menjadi maskot serta simbol akulturasi yang ada di kota Semarang
dengan bentuk kepala naga sebagai binatang yang sangat berpengaruh dan paling berkuasa di
Cina, tetapi dengan badan menyerupai unta yang digunakan oleh Baginda Nabi Muhammad
pada peristiwa Isra Mi’raj. Terdapat juga yang berpendapat menurut Supramono, Warak
Ngendog merupakan hadiah yang diberikan oleh etnis Tionghoa sebagai bentuk dari wujud
kedamaian serta menebus kesalahan atas peristiwa membakar Masjid Besar Kauman.

Seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi disekitarnya membuat beberapa


fasilitas saat diadakannya festival menggunakan alat yang lebih modern. Misalnya saja tanda
meriam api sebagai akan dimulainya arak-arakan sekarang di ganti dengan menggunakan
sirine dikarenakan lebih aman dari meriam juga lebih efektif dan lebih mudah ketika
digunakan. Lalu terdapat juga Makanan unik kota Semarang yang hanya ditemui saat
diadakannya pada festival Dugderan yakni roti ganjel rel. Roti ini sekarang cukup sulit
ditemui jika saat hari-hari biasa. Dulunya roti ini merupakan roti peninggalan yang
dipengaruhi oleh roti Belanda. Gandum hitam merupakan bahan yang paling penting dalam
pewarnaan cokelat muda dan dibumbui dengan cengkih, jahe, kapulaga, dan kayu manis.
Lalu seiring dengan berjalannya waktu, roti ganjel rel sudah mulai berubah karena
peminatnya yang semakin sedikit. Dahulu bahan utama roti ganjek rel yakni tepung dari
singkong yang membuat roti tersebut teksturnya cukup keras. Dengan kemajuan yang ada,
lalu roti ganjel rel ini merubah bahan dasarnya menjadi tepung terigu dan tekstur roti menjadi
lebih empuk dan mudah dinikmati. Taburan wijen diatasnya juga menjadi simbol keunikan
roti tersebut. Festival ini juga diwarnai dengan adanya banyak pegadang yang
memperjualkan dagangan mereka seperti aneka makanan dan minuman di area depan Masjid
Besar Kauman yang juga menghiasai acara tradisi Dugderan yang dilaksanakan setiap tahun.

2. TINDAKAN SALING TOLERANSI ANTAR MASYARAKAT DI KOTA


SEMARANG

Toleransi merupakan salah satu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil.
Kadang-kadang toleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana
disebabkan karena adanya watak orang perorangan atau kelompok manusia, untuk sedapat
mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan (Soekanto, 1982:71). Toleransi menurut
Friedrich Heiler, yakni sikap seseorang yang mengakui adanya pluralitas agama dan
menghargai setiap pemeluk agama tersebut. Ia menyatakan setiap pemeluk agama
mempunyai hak untuk menerima perlakuan yang sama dari semua orang.
Tindak toleransi yang ada di kota Semarang dapat digambarkan seperti simbol utama dan
maskot kota Semarang yakni Warak Ngendog. Warak Ngendog memberikan bentuk
penggambaran kepada masyarakat Semarang yang dahulunya ketiga etnis melebur menjadi
satu. Sebagai simbol toleransi antar etnis dan agama yakni etnis Arab, Jawa, dan etnis
Tionghoa yang hidup rukun saling menghargai. Adanya keharmonisan dengan diadakannya
acara Tradisi Dugderan. Filosofi makna Warak Ngendhog masyarakat kota Semarang yakni
ialah bentuk fisik warak yang lurus digambarkan sebagai citra warga Semarang yang terbuka,
jujur, lurus, dan apa adanya dengan tidak ada perbedaaan antara ungkapan hati dan lisan.
Bentuk tubuh yang lurus menggambarkan cara kerja masyarakat Semarang yang terbuka dan
apa adanya. Dimana selalu menerapkan apa yang dilihat itulah yang didapatkan dan yang
terjadi. Lalu bagian tubuh yang berbeda, dimana kepala dari hewan kembang atau naga tetapi
tubuh unta atau kambing yang terkadang diinterpretasi dengan buraq. Yang merupakan
perwujudan yang harmonis antar budaya dan keragaman etnis yang tinggal berdampingan di
kota Semarang. Kemudian telur melambangkan kehidupan baru dimana warak yang baru saja
bertelur selalu siap menjaga telurnya yang akan menetas menjadi kehidupan baru di kota
Semarang.

3. SOLUSI MUDA MILENIAL UNTUK MELESTARIKAN BUDAYA TRADISI


DUGDERAN

Berjalannya seiring waktu dan perkembangan zaman, budaya serta nilai-nilai kebudayaan
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia ini belum mengoptimalkan dengan sungguh upaya untuk
membangun karakter generasi bangsa. Nilai-nilai kebudayaan yang tertanam ini harus
dihormati, dijaga, bahkan dilestarikan agara budaya sudah ada ini dapat terus lestarikan agar
tidak pudar. Generasi muda kini memiliki peran dan bahkan juga tanggung jawab dalam ikut
menjaga kebudayaannya yang dimiliki. Dampak dari arus modernisasi ini membawa
perubahan pada masyarakat luas terutama generasi kaum muda yang sudah terkontaminasi
oleh kebudayaan luar. Hal ini sangat menjadi tantangan yang nyata bagi generasi muda untuk
tetap mempertahankan, melestarikan, bahkan menjaga kebudayaan agar terus ada. Menjaga
dan melestarikan budaya Indonesia dapat dilakukan berbagai acara. Ada dua cara yang dapat
dilakukan masyarakat khususnya sebagai generasi muda dalam mendukung kelestarian
budaya dan ikut menjaga budaya lokal (Sendjaja, 1994:286) terutama para generasi muda di
kota Semarang yang harus mempertahankan tradisi dugderan yang menjadi simbol tersendiri
dari kota Semarang, yaitu dengan :
1) Culture experience, merupakan pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara terjun
langsung atau prakterk lapangan langsung kedalam sebuah pengalaman kebudayaan.
Misalnya seperti kebudayaan tersebut berbentuk tarian yang dimana tradisi dugderan
didalamnya terdapat tari warak dugder. Dimana masyarakat terutama kaum muda
dianjurkan untuk belajar dan berlatih dalam mempelajari sampai menguasai tarian
tersebut. Generasi muda ini diharapkan juga dapat ikut berpartipasi dalam tradisi
dugderan yang dipentaskan setiap tahun dalam acara dan festival-festival lainnya.
Dengan demikian kebudayaan tradisi dugderan di kota Semarang ini selalu dapat
dijaga kelestariannya.
2) Culture knowledge yakni pelestarian budaya yang dilakukan dengan cara membuat
suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat difungsikan kedalam banyak
bentuk. Tujuannya untuk mengeduukasi atau hal apapun untuk kepentingan
perkembangan kebudayaan itu sendiri khususnya tradisi dugderan yang sudah turun
temurun di kota Semarang. Dengan itu para generasi muda dapat menambah dan
memperkaya wawasan pengetahuan yang mereka tahu tentang kebudayaannya
sendiri.

Dua hal diatas hanyalah contoh kecil cara untuk menjaga kebudayaan yang kita miliki.
Kebudayaan tradisi dugderan ini juga dapat dilestarikan dengan cara anak muda kini mulai
pelan-pelan mengenali budaya yang ada di kotanya sendiri. Sehingga kita dapat
mengantisipasi adanya tindak pembajakan kebudayaan yang dilakukan oleh negara lain. Lalu
masyarakat juga harus lebih merasa bangga terhadap budayanya, meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dalam memajukan budaya lokal, mendorong masyarakat untuk
memaksimalkan potensi budaya lokal beserta pemberdaya dan pelestariannya, berusaha
menghidupkan kembali semangat toleransi dan solidaritas yang tinggi, serta selalu
mempertahankan budaya agar tidak punah, dan mengusahakan agar masyarakat mampu
untuk mengelola keanekaragaman budaya lokal kita. Generasi penerus jangan sampai
terjerumus pada budaya asing karena tidak semua budaya asing dapat sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia, bahkan banyak budaya asing yang malah membawa atau
berpengaruh dalam dampak yang negatif. Oleh sebab itu kita semua harus memiliki
kesadaran yang ditanamkan dengan erat untuk tetap menyambung kelestarian budaya kita.

4. MENGKAJI KASUS DENGAN TEORI


1) Teori interaksionisme simbolik Herbert Mead
Teori interaksionisme ini merupakan salah satu teori yang baru muncul setelah adanya
teori aksi atau action theory, yang dipelopori oleh Max Weber. Teori interaksionisme
simbolik ini dikemukakan oleh banyak tokoh sosiolog tetapi yang paling mendalam adalah
oleh Herbert Mead. Herbert Mead lahir pada 27 Februari 1863 di Massachussets, Amerika
serikat. Beliau dikenal sebagai seoarang filsuf, sosiolog, psikolog berkat pengabdiannya yang
teguh dan sungguh-sungguh pada Universitas Chicago. Berhubungan dengen teori interaksin
simbolik, Herbert Mead sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin, yang menyatakan
bahwa organisme yang hidup secara berkelanjutan terlibat dalam usaha penyesuaian diri
dengan lingkungannya, sehingga organisme tersebu t mengalami suatu perubahan terus
menerus. Proses evolusi ini akan memungkinkan manusia untuk menyesuaikan diri secara
alamiah pada lingkungan dimana dia hidup. Dalam pemikirannya tentang interaksionisme
simbolik Herbert Mead membagi pandangannya menjadi tiga yaitu pikiran (mind), diri (self),
dan masyarakat (society) yakni sebagai berikut :

a. Pikiran (mind)
Pikiran (mind) merupakan sebagai fenomena sosial, dimana pikiran bukanlah proses
percakapan seseorang dengan dirinya sendiri. Pikiran muncul dan berkembang dalam
proses sosial, yang proses sosial itu sendiri mendahului pemikiran kita. Herbert Mead
berpendapat bahwa dalam dirinya sendiri tidak hanya untuk satu respon saja, akan
tetapi juga untuk merespon komunitas atau kelompok tertentu secara keseluruhan.
Berarti pikiran dapat memberikan respon pada organisasi tertentu. Kemudian apabila
seseorang individu memberikan respon masuk kedalam dirinya, disanalah yang
disebut sebagai pikiran. Makna prakmatik yang diungkapkan oleh Herbert Mead
mengenai pikiran adalah proses berfikir yang diarahkan untuk terlibat dalam
menyelesaikan suatu permasalahan. Menurut Herbert Mead, kehidupan dan keduniaan
ini merupakan nyata yang penuh dengan masalah dan kegunaan dari fungsi pikiran
inilah yang mencoba untuk memecahkan masalah dan untuk menjalankan setiap orang
lebih efektif dalam menjalani kehidupannya.
Sebagai kaum generasi muda yang memiliki banyak pemikiran-pemikiran yang
berkreatif dan berinovasi terutama di kota Semarang. Oleh karena itu, hal ini
diharapkan melahirkan suatu gagasan yang akan terus mengembangkan potensi
budaya dugderan agar tidak pernah padam ataupun ketinggalan jaman. Bisa dengan
mengcover tarian-tarian agar lebih mudah dipraktekkan. Agar banyak kaum muda
yang ingin belajar agar tidak melupakan budayanya sendiri. Serta gagasan dan juga
ide-ide yang ditumpahkan menjadi inovasi baru yang berguna bagi masyarakat kota
Semarang. Tak hanya kebudayaan, kaum milenial ini juga perlu mengembangkan hal-
hal unik lainnya yang ada di kota Semarang. Dengan itu kota Semarang lebih dapat
perkembang dan dikenal dengan luas karena keunikan serta kemajuannya.
b. Diri (self)
Herbert Mead berpendapat bahwa menurutnya diri (self) ini adalah kemampuan untuk
menerima dirinya sendiri sebagai objek sekaligus subjek yang berjalan. Konsep diri
yang diyakini Herbert Mead ini dapat muncul dan berkembang jika adanya terjadi
proses komunikasi sosial atau komunikasi antarmanusia. Bagi Mead, sangat rumit
membayangkan “diri” kemudian mendapatkam kesadaran disuatu tempat dan tanpa
adanya pengalaman sosial (social experience). Mead menyatakan terdapat dialektika
antara “diri“ dengan keadaan fisik seperti tubuh yang memberi pengertian bahwa
tubuh bukanlah “diri“ dan menjadi “diri ketika pikiran telah berkembang. Maka pada
posisi sebaliknya, refleksivitas menjadi landasan bagi perkembangan pikiran
kemudian mustahil memisahkan antara “diri“ dengan “pikiran“. Perihal ini
disebabkan “diri“ dengan “ pikiran “ merupakan proses mental. Umumnya
perkembangan pada diri seseorang berdasarkan kemampuannya untuk menempatkan
diri secara bawah sadar ditempat orang lain, serta bertindak sebagaimana orang lain
juga bertindak. Oleh karena itu seseorang akan mampu mengetahui dirinya sendiri
sebagaimana orang lain mengetahui dirinya. Sementara orang lain tidak dapat
mengetahui dirinya sendiri secara langsung, untuk mengetahui dirinya akan melihat
dari sudut pandang orang lain.
Diri seorang individu berkembang dengan adanya pengaruh tindakan dari luar. Jadi
tindakan yang mereka lakukan atas kemauan dirinya sendiri dalam hal untuk
melestarikan tradisi yang sudah dilaksanakan turun temurun. Dalam diri terdapat
tindakan spontan yang dilakukan tanpa adanya pertimbangan seperti saat tradisi
dugderan tersebut dimulai dinyalakanya meriam api atau sirine dan seketika kita
memberikan respon dengan menutup telinga atau yang lainnya. Sedangkan ketika
orang lain merespon terhadap suatu hal dengan pertimbangan dan pemikirannya
seperti misalanya, saat orang lain mulai mau belajar kesenian tari warak dan kita
hanya diam saja dan ataupun tidak hadir dalam perayaan karena alasan tertentu.
c. Masyarakat (society)
Masyarakat pada umumnya berarti proses sosial tanpa berhenti, yang mendahului
pikiran dan diri. Masyarakat sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
pikiran dan diri. Mead percaya bahwa masyarakat ini menempati pada posisi sentral
dalam kajianya, namun Mead tidak banyak membahas masyarakat secara mendalam.
Masyarakat menurut Mead merupakan proses sosial terus menerus yang mendahului
“mind” dan “self”. Sumbangan terbesar Mead pada masyarakat adalah yang terletak
dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri. Masyarakat mengemukakan
serangkaian respon yang diambil alih oleh individu. Oleh karena itu dalam hal ini
individu membawa masyarakat yang telah memberikanya kemampuan melalui
kontrol diri mereka.
Masyarakat mengemukakan serangkaian respon yang diambil alih oleh individu yakni
masyarakat kota Semarang ini memberikan respon baik terhadap diadakannya acara
tradisi dugderan di kota Semarang. Walaupun perbedaan besar mendasar yakni
keyakinan yang berbeda mereka tetap saling memberikan respon yang baik terhadap
hal-hal untuk kota Semarang. Hubungan antar individu yang saling berbeda ini
dipengaruhi oleh masyarakat dan kelompok di kota Semarang dengan pengaruh
budaya dan sosial yang sudah diwariskan secara turun temurun.

2) Interaksi Sosial George Simmel

Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut


akan hubungan antar kelompok, antar individu, antar kelompok manusia serta antara
perorangan dan kelompok manusia. Saat pertama kali interaksi sosial dimulai jika individu-
individu saling bertemu dalam suatu tempat ataupun lingkungan. Interaksi sosial akan terjadi
ketika masing-masing individu mulai dari hanya bertemu, bahkan berjabat tangan. Walaupun
antar individu tersebut hanya bertatap muka saja dan tidak saling berbicara atau memberi
respon seperti tanda-tanda karena dilakukan dengan adanya rasa secara sadar akan adanya
pihak lain yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam perasaan individu yang
bersangkutan. Hal tersebut dapat menimbulkan kesan didalam pikiran sesorang yang
kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukan individu tersebut. Interaksi sosial
ialah sebagai bagian dari proses sosial menjadi dasar bangunan dari pemikiran masyarakat
sehingga terbentuklah pengetahuan masing-masing individu atau kelompok. Perlunya
kesadaran akan pentingnya interaksi antar warga agar mereka dapat mempertahankan satu
kesatuan dan terhindar dari konflik atau pertikaian. Khususnya di kota Semarang ini termasuk
dengan penduduk yang terdiri dari berbagai suku, etnis dan kepercayaan beragam yang saling
berbeda dan meningkatkan dirinya antara satu dengan yang lain sebagai suatu bangsa yang
satu. Hidup secara berdampingan dan saling rukun tercermin dalam pergaulan hidup yang
berdampingan secara damai, toleran, saling menghargai terutama saat diadakannya acara
festifal tradisi dugderan terlihat semua berbaur menjadi satu. Tanpa adanya interaksi sosial
satu sama lain maka akan dipastikan kerukunan antar masyarakat tidak akan ada karena
inteaksi sosial adalah dasar bagi suatu kehidupan untuk bermasyarakat. Interaksi sosial ini
juga merupakan syarat akan dimana adanya aktivitas sosial yang berproses mempengaruhi
dari individu ke individu lain untuk memperbaiki pandangan dan pemahaman serta perilaku
terhadap suatu hal.

George simmel menyatakan bahwasanya masyarakat tidak hanya dari luar tetapi juga
terdapat dalam dirinya sendiri dengan sesuatu yang bergantung pada kegiatan kesadaran.
Dapat diartikan juga yakni individu ini dibentuk melalui suatu proses yang diluar dari
individu itu sendiri, akan tetapi juga terdapat dari kesadaran individu yang bersangkutan
sebagai manusia yang memiliki akal. Simmel berpendapat bahwa dasar kehidupan sosial
adalah dimana para individual ini atau kelompok yang sadar atas saling berinteraksi karena
terdapat macam kepentingan ataupun suatu hal. George simmel merasa bahwa masyarakat
kini lebih pada sekedar suatu perkumpulan tetapi juga pola perilaku masyarakat. Sebenarnya
perhatian George Simmel terfokus pada bentuk-bentuk interaksi sosial. Bentuk-bentuk
interaksi dapat dipahami sebagai pola-pola yag terdapat pada interaksi masyarakat yang
diperlihatkan oleh masyarakat secara tersirat atau tidak langsung. George Simmel membagi
bentuk interaksi sosial menjadi dua yakni superordinasi (dominasi) dan subordinasi (ketaatan)
dimana dua bentuk ini sama-sama mempengaruhi dan memiliki hubungan timbal balik.
Didalam banyak hal, subordinat mempengaruhi superordinat meskipun superordinat ini
sendiri hanya ditujukan untuk mengontrol subordinat. Teori yang dipaparkan oleh George
Simmel ini sangat tepat dan relevan dengan penulisan ini dimana interaksi sosial yang
merupakan dasar bagi timbulnya masyarakat. Masyarakat di kota Semarang ini saling
berinteraks terlebih lagi saat diadakannya festival Dugderan yang mana akan semakin banyak
individu-individu yang berkumpul. Juga memperbesar peluang adanya saling berinteraksi
sosial terlebih lagi dari para pedagang yang ada dalam acara festival tradisi Dugderan itu.
Selain saling berinteraksi sosial, kerukunan juga didapat dan terjalin baik dalam masyarakat
yang mengingat bahwa adanya perbedaan suku, etnis, dan bahkan perbedaan kepercayaan.
Hal ini merupakan hasil dari proses interaksi sosial yang berjalan dengan baik yang
melibatkan para tokoh masyarakat dan antar individu.

KESIMPULAN
Dapat Kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara yang Multicultural yang
beranekaragam memiliki banyak sekali, agama, suku, budaya, dan ras serta tradisi yang
berbeda di dalam kehidupan bermasyarakat. keanekaragaman budaya sudah menjadi simbol
ciri khas dari suatu daerah bahkan negara. Indonesia sendiri ini memiliki berbagai macam dan
beranekaragam suku dan budaya terbanyak di dunia. Setiap keragaman Suku atau daerah
memiliki tradisi yang berbeda-beda, dianggap unik dan memiliki makna tersendiri bagi
masyarakat salah satu tradisi yang ada di Indonesia yang berada di kota Semarang adalah
Festival Tradisi Dugderan. Dengan keanekaragaman budaya sudah menjadi simbol ciri khas
maskot dari suatu daerah bahkan negara. Indonesia sendiri ini memiliki berbagai macam dan
beranekaragam suku dan budaya terbanyak di dunia. Kota Semarang ialah kota yang sangat
populer dan minat pengunjungnya tidak pernah mengecewakan. Kota Semarang memiliki
kebudayaan yang beragam dan cukup banyak serta keunikan daerahnya sendiri yang
mempunyai daya tarik lebih. Dimana kota Semarang terwadahi oleh etnis yang berbeda-beda
yakni Arab, Tionghoa, dan Jawa. Kota Semarang juga mempunyai tradisi yang sudah
dijalankan turun temurun yaitu Tradisi Dugeran yang dilaksanakan untuk menyambut bulan
suci Ramadhan satu hari sebelum puasa. Tradisi tersebut tidak membatasi kalangan manapun
atau dari etnis dan agama tertentu. Semua warga Semarang dapat menghadiri tradisi tersebut
tanpa pandang bulu karena Dugderan juga termasuk acara festival kota yang hanya didasari
untuk menyambut puasa. Dalam tradisi Dugderan tersebut juga bisa menjadi salah satu media
saling bertoleransi dan menghormati atas perbedaan yang ada dengan mengamalkan nilai
filosofi yang baik di dalam simbol hewan mitologi Warak Ngendog. Tetap meneguhkan rasa
kebersamaan dan kerukunan untuk hidup berdampingan. juga semakin mengeratkan
hubungan persaudaraan masyarakat Semarang. Dengan semakin majunya era sekarang ini
sangat dikhawatirkan kaum generasi muda akan melupakan bahkan bisa saja sampai tidak
mengetahui budayanya sendiri.

Oleh karena itu, kaum muda diharapkan tetap bangga serta melestarikan kebudayaan
di kota Semarang agar dapat menjadi simbol yang dapat diketahui masyarakat luas, tidak
hanya dalam negeri tetapi juga luar negeri. Teori dari Herbert interaksi simbolik dan George
Simmel dengan teori interaksi sosial yang relevan dimana interaksi menjadi pokok dasar
untuk dapat bermasyarakat Selain saling berinteraksi sosial, kerukunan juga didapat dan
terjalin baik dalam masyarakat yang mengingat bahwa adanya perbedaan suku, etnis, dan
bahkan perbedaan kepercayaan. Hal ini merupakan hasil dari proses interaksi sosial yang
berjalan dengan baik yang melibatkan para tokoh masyarakat dan antar individu. Dengan
tulisan ini diharapkan semua masyarakat, tidak hanya di kota Semarang dapat menumbuhkan
sikap toleransi yang baik yang tidak hanya saat adanya festival atau tadisi tetapi juga dalam
kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.

Husnul, Abdi. 2021. “Pengertian Toleransi, Jenis, dan Manfaatnya untuk Kehidupan”.
Liputan 6 12 januari.

Center Of Excellence. “Sejarah Kota Semarang Jawa Tengah”.

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1523

Rasyid, Shani. 2020. “Mengenal dugderan, festival sambul ramadhan ala kota semarang”.
Merdeka.com 16 april.

Mifta Udin, Mukaromah. Teknik Pengambilan Gambar Feature Acara Tempoe Doeloe Eps.
“Ganjel Rel Legendaris Semarang”.

Muspriyanto, Edy. (2006). Semarang Tempo Doeloe; Meretas Masa, Semarang: Terang
Publishing.

Triyanto. (2013). Warak Ngendhog: Simbol Akulturasi Budaya pada Karya Seni Rupa, Jurnal
Komunitas, Edisi 5, Volume 2.

Supramono. (2007). Makna Warak Ngendog dalam Tradisi Ritual Dugderan di kota
Semarang, Tesis: Universitas Negeri Semarang.

https://warakngendog.com/sejarah-warak-ngendog-kota-semarang/

Reynaldo Joshua Salaki. “Membangun Karakter Generasi Muda Melalui Budaya Mapalus
Suku Minahasa”. Jurnal Studi Sosial, Th. 6, No. 1, Mei 2014, 47-52.

Sendjaja, S. Djuarsa, 1994, Teori Komunikasi, Jakarta, Universitas Terbuka

Arisandi, Herman, Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi Dari Klasik Sampai
Modern, (Jakarta: Ircisod, 2014).

Teresia Noiman Derung. Interaksionisme Simbolik Dalam Kehidupan Bermasyarakat.


Penulis Dosen Prodi Pelayanan Pastoral Stp Ipi Malang.
Ahmad. M. Arrozy. 2016. Dasar Pemikiran Herbert Mead Hingga Interaksionisme Simbolik.
Working Paper/ Post-Graduate Sociology Surakarta State University.

Ritzer, George. Teori sosiologi dari sosiologi klasik sampai perkembangan terakhir ke
postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Maulana Rifki. 2018. “Interaksi Sosial Masyarakat Islam Dan Kristen Dalam Perspektif
George Simmel”.

Dadi Ahmadi. Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005. “Interaksi Simbolik:


Suatu Pengantar”. Vol. 9 No.2 Desember 2008.

Agus Triyono. 2012. Inovasi Kota Semarang Membangun Citra Melalui Strategi The
Amazing City Of Java.

Anda mungkin juga menyukai