Anda di halaman 1dari 13

Nama : Venska Gabriela Soplanit

NIM : 201839044

Mata Kuliah : Konseling Multikultural

Materi.

Kebudayaan Provinsi Maluku.

A. Pengertian Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi, diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Bentuk lain dari kata budaya adalah kultur yang berasal dari bahasa Latin yaitu
cultura.

Menurut Para Ahli,

Ki Hajar Dewantara

Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara adalah buah budi dari manusia yang muncul karena
adanya hasil alam serta kodrat masyarakat. Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara juga
bentuk dari kejayaan dari masyarakat yang mampu mengatasi kesulitan-kesulitan serta menjadi
awal dari munculnya tata tertib di masyarakat.

Koentjaraningrat

Kebudayaan merupakan keseluruhan dari perilaku makhluk seperti manusia serta hasil yang
dapat diperoleh makhluk tersebut melalui berbagai macam proses belajar serta tersusun
dengan sistematis dalam kehidupan bermasyarakat.
B. Ciri-ciri Kebudayaan

1. Budaya yang hadir di masyarakat akan dipelajari oleh generasi selanjutnya.


2. Budaya dapat disampaikan oleh setiap individu pada individu maupun kelompok lain,
serta diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya.
3. Budaya memiliki sifat yang dinamis, artinya budaya dapat berubah sepanjang waktu.
4. Budaya memiliki sifat selektif yang dapat mencerminkan pola perilaku serta pengalaman
manusia secara terbatas.
5. Walaupun kebudayaan setiap daerah berbeda, budaya memiliki unsur yang saling
berkaitan.
6. Masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut akan beranggapan etnosentrik atau
menganggap bahwa budayanya sebagai budaya yang terbaik dan menilai budaya
masyarakat hanyalah budaya standar.
7. Budaya memiliki unsur kepercayaan di dalamnya yang dipercayai oleh anggota
masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut.
8. Dalam kebudayaan ada bahasa serta ciri khas dari setiap daerah yang memiliki budaya
tersebut.
9. Budaya merupakan produk yang diciptakan oleh manusia atau sekelompok manusia.
10. Budaya meliputi obyek materi yang diwujudkan melalui teknologi, serta meliputi sikap,
nilai dan pengetahuan.

C. Fungsi Kebudayaan

Kebudayaan memiliki beberapa fungsi yang hadir dan dapat dirasakan oleh masyarakat. Fungsi
utama kebudayaan sendiri adalah untuk mempelajari warisan dari nenek moyang, kemudian
generasi selanjutnya perlu meninjau, apakah warisan tersebut perlu diperbaharui atau tetap
dilanjutkan dan apabila ditinggalkan maka kebudayaan tersebut dapat rusak.
Budaya maupun unsur-unsur yang ada di dalamnya terikat oleh waktu serta bukan menjadi
kuantitas yang bersifat statis. Budaya pun akan tetap berubah baik secara lambat maupun
cepat.

Berikut adalah beberapa fungsi dari kebudayaan,

1. Kebudayaan dapat meningkatkan rasa nasionalisme masyarakat yang memiliki budaya


tersebut.
2. Kebudayaan dapat menimbulkan rasa toleransi serta rasa empati dari masyarakat.
3. Masyarakat yang memiliki budaya tersebut, akan menghargai satu sama lain.
4. Kebudayaan dapat dijadikan sebagai sebuah sarana untuk dapat menjalin sosialisasi.
5. Kebudayaan juga berfungsi sebagai media belajar.
6. Kebudayaan berfungsi sebagai penentu batas, artinya kebudayaan dapat menciptakan
perbedaan yang membuat setiap kelompok masyarakat unik dan membedakannya
dengan kelompok masyarakat lain.
7. Budaya berfungsi untuk memberikan rasa identitas pada anggota kelompoknya.
8. Budaya berfungsi untuk memfasilitasi lahirnya komitmen pada suatu hal yang lebih
besar dari kepentingan individu anggota kelompok masyarakat tersebut.
9. Kebudayaan berfungsi untuk dapat meningkatkan kemantapan pada sistem sosial di
masyarakat.
10. Kebudayaan bertindak sebagai sebuah mekanisme sebagai pembuat makna maupun
kendali yang dapat menuntun dan membentuk sikap dan perilaku individu.

D. Kebudayaan Provinsi Maluku

Maluku adalah daerah kepulauan yang penuh dengan sejuta pesona dan keindahannya. Selain
memiliki keindahan sumber daya alamnya, Maluku juga memiliki budaya-budaya leluhur yang
masih dipertahankan keberadaanya hingga saat ini. Budaya sendiri adalah sebuah aspek
kehidupan yang mencakup kepercayaan, kebiasaan, seni, dan adat istiadat yang dijalani oleh
masyarakat Maluku.
Maluku memiliki beragam budaya dan tradisi yang sudah ada sejak dulu dan masih dijaga
dengan sangat baik dan bahkan dilestarikan keberadaanya oleh masyarakat Maluku. Berikut
Keluyuran sudah berhasil merangkum ketujuh budaya dan tradisi dari masyarakat Maluku.

Di Sini ada 11 Kebudayaan Maluku yang saya ambil :

1. Adat Sasi

Sasi adalah sebuah adat khusus yang berlaku di hampir seluruh pulau di Provinsi
Maluku, seperti: Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, dan pulau-pulau lainnya.
Budaya ini juga berlaku di banyak daerah di tanah Papua.
Namun di beberapa daerah lain, budaya Sasi ini memiliki nama lain, seperti: Yot di Kei
Besar dan Yutut di Kei Kecil. Di desa-desa pesisir Papua, budaya ini dianggap sebagai
cara pengolahan sumber daya alam.
Adat Sasi adalah larangan untuk tidak mengambil hasil alam sebelum tiba waktu yang
telah ditentukan, baik berupa hasil pertanian maupun hasil kelautan.
Tujuannya, agar ketika datang waktu panen, hasil pertanian atau kelautan dapat
dipanen bersama-sama sehingga masyarakat benar-benar merasakan hasil kerja keras
yang telah mereka lakukan.
Budaya Sasi merupakan sebuah peninggalan yang diwariskan oleh nenek moyang sejak
berabad-abad lalu. Tradisi seperti ini membuat masyarakat Maluku untuk tetap menjaga
alam agar tetap lestari.
Dalam prinsipnya, selain berupa larangan mengambil hasil alam sebelum tiba waktu
yang telah ditentukan, adat Sasi juga dapat memberikan kepuasan tersendiri dari hasil
usaha yang telah dikerahkan.
Pada awalnya, budaya Sasi ini telah diberlakukan oleh raja-raja Maluku sejak masa
sebelum masuknya agama. Namun pada saat masuknya agama di Maluku, baik Islam
maupu Kristen, budaya Sasi kemudian dipegang teguh oleh para penanggungjawab
masjid dan gereja.
2. Adat Cuci Negeri
Tradisi Cuci Negeri meruupakan salah satu upacara adat Maluku yang erat kaitannya
dengan hubungan antara masyarakat dengan nenek moyang. Bagi masyarkata
setempat, pelaksanaan upacara ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap
nenek moyang.
Negeri, bagi orang Maluku adalah sebutan untuk “desa”. Itulah kenapa masyarakat
Maluku lebih mengenal negeri daripada desa. Karena desa disebut negeri, maka
pemimpin daerah tersebut bukan lagi dikenal dengan kepala desa, melainkan Bapa Raja.
Tradisi Cuci Negeri sendiri adalah sebuah tradisi yang digelar oleh peduduk negeri untuk
membersihkan lokasi-lokasi yang dipercaya sebagai tempat sakral sejak zaman nenek
moyang dahulu. Tradisi ini sudah sejak lama diselenggarakan dan diwariskan secara
turun temurun, sampai masa sekarang pun masih diselenggarakan.
Upacara Cuci Negeri ini dimulai dengan dibawanya beberapa seserahan berupa sirih dan
pinang oleh kaum wanita. Bukan hanya makanan, dalam seserahan itu dibawa juga
minuman tradisional masyarakat setempat yang dikenal dengan nama Sopi.
Seserahan tersebut akan dibagikan kepada warga saat upacara Cuci Negeri dimulai
dengan diikuti dengan pembacaan doa-doa oleh pemangku adat setempat.
Pelaksanaan tradisi Cuci Negeri ini berupa kegiatan membersihkan lokasi-lokasi ritual,
seperti: sumur tua, rumah tua, dan juga batu pamali milik tiga soa yang menjadi sumber
kehidupan masyarakat setempat.
Selama prosesi adat berlangsung, sebagian orang biasanya meminum Sopi serta
memakan sirih dan pinang yang menjadi lambang persekutuan adat. Sedangkan warga
yang lain mengiringi prosesi pembersihan dengan menyanyikan lagu adat dan tabuhan
tifa hingga acara adat selesai.
Rupanya bukan hanya atas dasar warisan secara turun temurun, tradisi Cuci Negeri juga
dimaksudkan untuk memelihara dan menghidupkan nilai-nilai positif yang diyakini
masyarakat setempat agar selalu dihidupkan oleh generasi muda mereka.
Sampai saat ini, upacara Cuci Negeri ini masih dapat ditemui karena masih terpelihara
dengan baik oleh masyarakat setempat. Biasanya, pelaksanaannya diadakan pada akhir
tahun, 27-29 Desember.
Alasannya, menurut kepercayaan masyarakat setempat, akhir tahun adalah saat-saat
dimana arwah leluhur biasanya turun dari tempat peristirahatannya menuju tempat
dimana mereka pernah hidup.
Selain sebagai pemeliharaan terhadap tempat bersejarah, tradisi Cuci Negeri juga
menghidupkan nilai-nilai persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan
toleransi antar penduduk negeri.
Nilai-nilai itulah yang membuat upacara adat Maluku Cuci Negeri ini masih bertahan
dilaksanakan hingga sekarang ini.

3. Tradisi Pela Gandong


Pela Gandong merupakan salah satu kebudayaan khas Maluku, terutama daerah Maluku
Tengah. Tradisi ini merupakan bagian dari upacara adat Maluku yang masih
dibudayakan sampai sekarang karena memang mengandung nilai-nilai persatuan yang
tinggi.
Dalam pengertiannya, Pela adalah suatu hubungan perjanjian persaudaraan antar satu
negeri (sebutan untuk kampung atau desa) dengan negeri yang lain, yang biasanya
berada di lain pulau dan kadang juga menganut agama yang berbeda. Sedangkan
Gandong memiliki makna “saudara”.
Perjanjian ini diangkat dalam sumpah yang tak boleh dilanggar. Pada saat upacara
sumpah, campuran sopi (tuak khas Maluku) dan darah dari tubuh masing-masing
pemimpin negeri akan diminum oleh kedua pemimpin setelah senjata-senjata tajam
dicelupkan di dalamnya.
Hubungan Pela seperti ini biasanya terjadi karena suatu peristiwa yang melibatkan
beberapa desa untuk saling membantu. Dalam ikatannya, terdapat rangkaian nilai dan
aturan tertentu dalam persekutuan persaudaraan dan kekeluargaan.
Salah satu aturan yang mendasari perjanjian Pela yaitu negeri-negeri yang saling ber-
pela wajib saling membantu dalam kejadian genting, seperti perang atau bencana alam.
Selain itu, juga dalam melaksanakan kegiatan kepentingan umum seperti pembangunan
sekolah, masjid, atau gereja.
Kemudian apabila ada seseorang mengunjungi negeri yang ber-pela dengan negerinya,
maka penduduk negeri tersebut wajib memberinya makanan layaknya seorang saudara
yang bertamu.
Seorang yang bertamu tersebut juga diperkenankan membawa pulang hasil bumi dari
negeri tersebut, bahkan tanpa perlu meminta izin.
Namun karena hubungannya dianggap seperti seorang saudara sedarah, maka sepasang
muda-mudi yang negerinya saling ber-pela juga dilarang untuk menikah.
Apabila sampai ada yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut, konon akan
mendapat hukuman dari nenek moyang, seperti keturunannya nanti akan terkena
musibah jatuh sakit atau meninggal.
Sementara jika ada yang melanggar pantangan soal pernikahan, maka pelakunya bisa
ditangkap dan diarak mengelilingi negerinya dengan hanya berpakaian daun kelapa.
Sementara penduduk negeri akan mencacinya layaknya seorang pezina.
Pela dan Gandong telah menjadi pranata sosial yang berkembang sebagai suatu perekat
hubungan antara satu negeri dengan negeri lainnya, termasuk dalam hal kerukunan
antar umat beragama.
Maka dari itu, Pela Gandong sangat berfungsi untuk mengatur sistem interaksi sosial
masyarakat adat yang melampaui berbagai bidang.

4. Makan Patita
Makan Patita adalah sebuah tradisi kuliner dan merupakan bagian dari upacara adat
Maluku yang masih dipertahankan sampai saat ini. Esensi dari kegiatan ini adalah makan
bersama dalam jumlah massa yang banyak dengan dilandasi semangat kekeluargaan.
Biasanya, jenis makanan yang disuguhkan dalam tradisi ini berupa makanan tradisional
yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Maluku. Ada kasbi (singkong), pisang rebus,
sagu, kohu-kohu (urap Maluku), ikan, colo-colo, papeda, dan lain sebagainya.
Tradisi Makan Patita ini biasanya digelar untuk merayakan hari-hari yang dianggap
penting, semisal hari jadi suatu negeri (desa), hari jadi gereja atau masjid, atau ulang
tahun kota atau provnisi.
Selain itu, ada juga Makan Patita antar keluarga atau marga, antar soa (kumpulan
marga), bahkan ada juga Makan Patita antar Pela Gandong.
Siapapun yang hadir dalam acara Makan Patita, boleh sesuka hati mencicipi segala jenis
makanan yang tersedia. Lantas, siapa yang menanggung atau menyediakan makanan
sebanyak itu? Itulah keistimewaan orang Maluku yang lebih mengedepankan semangat
kekeluargaan.
Biasanya, berbagai jenis makanan tersebut disediakan oleh masyarakat sendiri. Masing-
masing keluarga sebelumnya sudah dibagi tanggungjawab untuk menyediakan jenis
makanan tertentu.
Ketika tiba hari yang sudah diagendakan, masing-masing keluarga tersebut akan
membawa jenis makanan yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan diawali doa dan
ritual adat, acara pun dimulai dan semua orang yang hadir boleh mencicipi segala
makanan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Dalam setahun, masyarakat Maluku bisa menggelar acara Makan Patita ini sampai dua,
tiga, bahkan empat, atau lima kali. Karena acara makan bersama seperti ini digelar
untuk merayakan suatu momen penting.

5. Budaya Kalwedo
Budaya Kalwedo adalah salah satu budaya khas Maluku yang berasal dari masyarakat
Maluku Barat Daya (MBD). Kalwedo memiliki makna kepemilikian atas kehidupan
bersama (bersaudara). Budaya Kalwedo sendiri telah mengakar dalam keseharian
masyarakat sekitar baik itu bahasa sampai dengan kebiasaan sehari-hari mereka.
Budaya Kalwedo telah menyatukan seluruh masyarakat Barbar dan MDB dalam ikatan
tali persudaraan yang sakral. Tali persudaraan Kalwedo diperlihatkan melalui budaya
hidup berdampingan dengan baik “Niolilieta/Hiolilieta/Siolilieta.”
Hidup berdampingan dengan baik diwujudkan dengan tradisi saling berbagi dan
membantu dalam potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang dihasilkan dari alam
kepulauan Maluku Barat Daya. Budaya Kalwedo diimplementasikan dalam keseharian
dengan sebutan “inanara ama yali” yang bermakna “saudara perempuan dan laki-laki.”

6. Budaya Hawear
Budaya Hawear bersumber dari sejarah yang dipercaya keberadaanya oleh masyarakat
kepulauan Kei secara turun temurun. Dikisahkan ada seorang gadis yang diberikan
Hawear (janur kuning) oleh ayahnya. Hawear yang diberikan oleh sang ayah berfungsi
untuk menjaganya dari gangguan selama melakukan perjalanan panjang bertemu
dengan Raja.
Hawear yang diberikan oleh sang ayah merupakan simbol dari kepemilikan,
menunjukkan bahwa sang gadis telah dimiliki oleh seseorang. Sehingga, diharapkan
Hawear yang dibawa oleh sang gadis dapat menjauhkannya dari gangguan orang-orang
tak dikenal. Sampai hari ini, Budaya Hawear masih dijalankan sesuai dengan makna yang
dipercayai kebenarannya oleh masyarakat sekitar kepulauan Kei.

7. Batu Pamali
Batu Pamali adalah sebuah representasi dari kehadiran leluhur “Tete dan Nene
Moyang” di dalam kehidupan masyarakat Maluku. Batu Pamali berbentuk batu alas atau
batu dasar yang diletakkan di samping rumah Baileo.
Batu Pamali adalah bentuk atau sistem pemersatu perbedaan dari soa-soa (kelompok-
kelompok orang) yang ada di sebuah negeri/desa. Di sebuah negeri/desa di Maluku,
Batu Pamali dimiliki oleh keseluruhan penduduk negeri/desa tersebut, meskipun
mereka berasal dari kelompok yang berbeda-beda, termasuk perbedaan agama.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kepercayaan di masyarakat, terjadi
pergeseran makna dan praktik ritual dari keberadaan Batu Pamali. Hingga hari ini, masih
banyak masyarakat Maluku yang percaya akan makna dari Batu Pamali, meskipun
sistem adat asli negeri/desa telah diganti dengan peyeragaman sistem pemerintahan
desa berdasarkan UU tahun 1979.

8. Upacara Fangnea Kidabela


Upacara Fangnea Kidabela berasal dari masyarakat kepulauan Tanimbar atau yang
sekarang disebut dengan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Upacara Fangnea Kidabela
mengandung makna sebagai pemantapan “fangnea” terhadap persaudaraan “itawatan”
dan keakraban “kidabela” antar sesama masyarakat sebagai suatu bentuk persatuan
dan kesatuan.
Upacara Fangnea Kidabela sesuai dengan tujuan dan maknanya, dapat menciptakan
suasana hidup bermasyarakat yang kokoh dan kuat. Persatuan dan kesatuan akan
terjaga dengan baik dalam situasi apapun.
Hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya konflik dan perpecahan yang dapat
mengakibatkan terjadinya kehancuran dan kesuraman. Hingga hari ini, upacara Fangnea
Kidabela sering diadakan guna memperkokoh persaudaraan dan persatuan masyarakat
Maluku Tenggara Barat.

9. Budaya Arumbae
Arumbae adalah simbol dari budaya orang-orang Maluku yang senang berlayar karena
sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Selain itu, Budaya Arumbae
juga menjadi simbol dari masyarakat Maluku yang dinamis dan memiliki daya juang yang
tinggi dalam menghadapi tantangan guna menyongsong masa depan yang gemilang.
Arumbae berasal dari perjuangan leluhur melewati perjuangan panjang yang sulit di
tengah lautan. Di Maluku, Arumbae memiliki makna sebagai sebuah perahu/kapal yang
di dalamnya terdapat lima orang sedang bejuang mendayung serta menghadapi
tantangan di lautan lepas. Sedangkan Arumbae adalah bahasa Maluku untuk perahu.
Saat ini, Arumbae telah ditempatkan diberbagai karya seni dan budaya, contohnya pada
lagu-lagu daerah, syair, bangunan, dan olahraga. Dalam bidang olahraga, Arumbae
dilestarikan sebagai lomba mendayung yang dinamai dengan “Arumbae manggurebe.”
Arumbae Manggurebe selain menjadi olahraga tahunan yang diselenggarakan di Teluk
Ambon, juga menjadi daya tarik bagi wisatawan.

10. Tradisi Pukul Sapu (Manyapu)


Tradisi Pukul Sapu (Manyapu) adalah sebuh tradisi yang diadakan setiap tahun oleh
masyarakat Mamala dan Morela, Ambon, Maluku. Pukul Manyapu adalah kegiatan di
mana beberapa pemuda saling memukul menggunakan sapu lidi atau sapu ijuk hingga
luka, dan pada akhirnya luka sabetan lidi diobati dengan minyak mamala.
Tradisi Pukul Sapu diadakan setiap tanggal 7 Syawal dalam penanggalan Islam atau Hari
Raya Idul Fitri. Tradisi pukul menyapu sebenarnya berkisah tentang khasiat dan
kegunaan minyak mamala yang dipercaya sangat ampuh menyembuhkan segala jenis
luka.
Berawal dari sejarah patahnya tiang masjid yang berhasil disambung kembali
menggunakan minyak mamala pada abad ke-16. Hal ini membuat leluhur menjadi
penasaran dengan khasiat dari minyak mamala. Hingga akhirnya, mereka membuat
semacam percobaan dengan memerintahkan dua orang pemuda saling memukul
menggunakan lidi.
Kemudian, leluhur mengolesi minyak mamala pada luka kedua pemuda tersebut, hal
yang terjadi adalah luka tersebut sembuh tanpa menimbulkan bekas. Kegiatan inilah
yang menjadi sumber dari keberadaan tradisi tahunan Pukul Manyapu saat ini.

11. Tradisi Masa Kehamilan Suku Nuaulu


Satu bentuk tradisi yang mungkin dianggap aneh bagi kebanyakan orang yang
diberlakukan oleh masyarakat Suku Naulu adalah pengasingan wanita hamil.
Itulah salah satu tradisi masyarakat Naulu yang mendiami pedalaman Pulau Seram,
Maluku. Mereka punya tradisi mengasingkan wanita-wanita hamil di gubuk-gubuk yang
telah disediakan secara khusus sebelumnya, yang berada jauh dari rumah.
Orang Naulu menyebut gubuk-gubuk tersebut dengan tikusune, tempat mengasingkan
wanita hamil. Sebenarnya bukan wanita hamil saja, namun perempuan yang tengah
datang bulan juga diasingkan di gubuk tersebut.
Wanita-wanita yang hamil tersebut akan diantarkan oleh keluarga ke gubuk tikusune
yang telah disediakan untuk menjalani tradisi yang telah lama bercokol di lingkungan
masyarakatnya itu.
Ia ditinggalkan sendirian tanpa ada yang menemani. Jika sudah tiba waktu persalinan, si
wanita hamil itu akan dibantu oleh seorang dukun beranak yang sudah berpengalaman
dalam menangani persalinan jabang bayi dari perut sang ibu.
Setelah masa persalinan selesai, maka sang ibu dan si bayi akan dimandikan terlebih
dahulu sebelum akhirnya pulang kembali ke rumah. Keluarga yang akan menyambut di
rumah juga diwajibkan berpuasa sehari penuh, barulah bayi akan diantarkan ke rumah.
Dalam penyambutannya pun, pihak keluarga akan menggelar acara jamuan atau makan
bersama dengan masyarakat.
Tradisi seperti ini sudah mengikat sejak lama dan wajib dilakukan. Apabila ada yang
melanggar tradisi ini, akan dikenakan denda yang cukup berat dengan piring tua dan
kain berang bagi kaum perempuan
Daftar Pustaka

https://keluyuran.com/budaya-dan-tradisi-maluku/

https://gasbanter.com/upacara-adat-maluku/

Anda mungkin juga menyukai