NIM : 201839044
Materi.
A. Pengertian Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi, diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Bentuk lain dari kata budaya adalah kultur yang berasal dari bahasa Latin yaitu
cultura.
Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara adalah buah budi dari manusia yang muncul karena
adanya hasil alam serta kodrat masyarakat. Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara juga
bentuk dari kejayaan dari masyarakat yang mampu mengatasi kesulitan-kesulitan serta menjadi
awal dari munculnya tata tertib di masyarakat.
Koentjaraningrat
Kebudayaan merupakan keseluruhan dari perilaku makhluk seperti manusia serta hasil yang
dapat diperoleh makhluk tersebut melalui berbagai macam proses belajar serta tersusun
dengan sistematis dalam kehidupan bermasyarakat.
B. Ciri-ciri Kebudayaan
C. Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan memiliki beberapa fungsi yang hadir dan dapat dirasakan oleh masyarakat. Fungsi
utama kebudayaan sendiri adalah untuk mempelajari warisan dari nenek moyang, kemudian
generasi selanjutnya perlu meninjau, apakah warisan tersebut perlu diperbaharui atau tetap
dilanjutkan dan apabila ditinggalkan maka kebudayaan tersebut dapat rusak.
Budaya maupun unsur-unsur yang ada di dalamnya terikat oleh waktu serta bukan menjadi
kuantitas yang bersifat statis. Budaya pun akan tetap berubah baik secara lambat maupun
cepat.
Maluku adalah daerah kepulauan yang penuh dengan sejuta pesona dan keindahannya. Selain
memiliki keindahan sumber daya alamnya, Maluku juga memiliki budaya-budaya leluhur yang
masih dipertahankan keberadaanya hingga saat ini. Budaya sendiri adalah sebuah aspek
kehidupan yang mencakup kepercayaan, kebiasaan, seni, dan adat istiadat yang dijalani oleh
masyarakat Maluku.
Maluku memiliki beragam budaya dan tradisi yang sudah ada sejak dulu dan masih dijaga
dengan sangat baik dan bahkan dilestarikan keberadaanya oleh masyarakat Maluku. Berikut
Keluyuran sudah berhasil merangkum ketujuh budaya dan tradisi dari masyarakat Maluku.
1. Adat Sasi
Sasi adalah sebuah adat khusus yang berlaku di hampir seluruh pulau di Provinsi
Maluku, seperti: Halmahera, Ternate, Buru, Seram, Ambon, dan pulau-pulau lainnya.
Budaya ini juga berlaku di banyak daerah di tanah Papua.
Namun di beberapa daerah lain, budaya Sasi ini memiliki nama lain, seperti: Yot di Kei
Besar dan Yutut di Kei Kecil. Di desa-desa pesisir Papua, budaya ini dianggap sebagai
cara pengolahan sumber daya alam.
Adat Sasi adalah larangan untuk tidak mengambil hasil alam sebelum tiba waktu yang
telah ditentukan, baik berupa hasil pertanian maupun hasil kelautan.
Tujuannya, agar ketika datang waktu panen, hasil pertanian atau kelautan dapat
dipanen bersama-sama sehingga masyarakat benar-benar merasakan hasil kerja keras
yang telah mereka lakukan.
Budaya Sasi merupakan sebuah peninggalan yang diwariskan oleh nenek moyang sejak
berabad-abad lalu. Tradisi seperti ini membuat masyarakat Maluku untuk tetap menjaga
alam agar tetap lestari.
Dalam prinsipnya, selain berupa larangan mengambil hasil alam sebelum tiba waktu
yang telah ditentukan, adat Sasi juga dapat memberikan kepuasan tersendiri dari hasil
usaha yang telah dikerahkan.
Pada awalnya, budaya Sasi ini telah diberlakukan oleh raja-raja Maluku sejak masa
sebelum masuknya agama. Namun pada saat masuknya agama di Maluku, baik Islam
maupu Kristen, budaya Sasi kemudian dipegang teguh oleh para penanggungjawab
masjid dan gereja.
2. Adat Cuci Negeri
Tradisi Cuci Negeri meruupakan salah satu upacara adat Maluku yang erat kaitannya
dengan hubungan antara masyarakat dengan nenek moyang. Bagi masyarkata
setempat, pelaksanaan upacara ini dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap
nenek moyang.
Negeri, bagi orang Maluku adalah sebutan untuk “desa”. Itulah kenapa masyarakat
Maluku lebih mengenal negeri daripada desa. Karena desa disebut negeri, maka
pemimpin daerah tersebut bukan lagi dikenal dengan kepala desa, melainkan Bapa Raja.
Tradisi Cuci Negeri sendiri adalah sebuah tradisi yang digelar oleh peduduk negeri untuk
membersihkan lokasi-lokasi yang dipercaya sebagai tempat sakral sejak zaman nenek
moyang dahulu. Tradisi ini sudah sejak lama diselenggarakan dan diwariskan secara
turun temurun, sampai masa sekarang pun masih diselenggarakan.
Upacara Cuci Negeri ini dimulai dengan dibawanya beberapa seserahan berupa sirih dan
pinang oleh kaum wanita. Bukan hanya makanan, dalam seserahan itu dibawa juga
minuman tradisional masyarakat setempat yang dikenal dengan nama Sopi.
Seserahan tersebut akan dibagikan kepada warga saat upacara Cuci Negeri dimulai
dengan diikuti dengan pembacaan doa-doa oleh pemangku adat setempat.
Pelaksanaan tradisi Cuci Negeri ini berupa kegiatan membersihkan lokasi-lokasi ritual,
seperti: sumur tua, rumah tua, dan juga batu pamali milik tiga soa yang menjadi sumber
kehidupan masyarakat setempat.
Selama prosesi adat berlangsung, sebagian orang biasanya meminum Sopi serta
memakan sirih dan pinang yang menjadi lambang persekutuan adat. Sedangkan warga
yang lain mengiringi prosesi pembersihan dengan menyanyikan lagu adat dan tabuhan
tifa hingga acara adat selesai.
Rupanya bukan hanya atas dasar warisan secara turun temurun, tradisi Cuci Negeri juga
dimaksudkan untuk memelihara dan menghidupkan nilai-nilai positif yang diyakini
masyarakat setempat agar selalu dihidupkan oleh generasi muda mereka.
Sampai saat ini, upacara Cuci Negeri ini masih dapat ditemui karena masih terpelihara
dengan baik oleh masyarakat setempat. Biasanya, pelaksanaannya diadakan pada akhir
tahun, 27-29 Desember.
Alasannya, menurut kepercayaan masyarakat setempat, akhir tahun adalah saat-saat
dimana arwah leluhur biasanya turun dari tempat peristirahatannya menuju tempat
dimana mereka pernah hidup.
Selain sebagai pemeliharaan terhadap tempat bersejarah, tradisi Cuci Negeri juga
menghidupkan nilai-nilai persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan
toleransi antar penduduk negeri.
Nilai-nilai itulah yang membuat upacara adat Maluku Cuci Negeri ini masih bertahan
dilaksanakan hingga sekarang ini.
4. Makan Patita
Makan Patita adalah sebuah tradisi kuliner dan merupakan bagian dari upacara adat
Maluku yang masih dipertahankan sampai saat ini. Esensi dari kegiatan ini adalah makan
bersama dalam jumlah massa yang banyak dengan dilandasi semangat kekeluargaan.
Biasanya, jenis makanan yang disuguhkan dalam tradisi ini berupa makanan tradisional
yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Maluku. Ada kasbi (singkong), pisang rebus,
sagu, kohu-kohu (urap Maluku), ikan, colo-colo, papeda, dan lain sebagainya.
Tradisi Makan Patita ini biasanya digelar untuk merayakan hari-hari yang dianggap
penting, semisal hari jadi suatu negeri (desa), hari jadi gereja atau masjid, atau ulang
tahun kota atau provnisi.
Selain itu, ada juga Makan Patita antar keluarga atau marga, antar soa (kumpulan
marga), bahkan ada juga Makan Patita antar Pela Gandong.
Siapapun yang hadir dalam acara Makan Patita, boleh sesuka hati mencicipi segala jenis
makanan yang tersedia. Lantas, siapa yang menanggung atau menyediakan makanan
sebanyak itu? Itulah keistimewaan orang Maluku yang lebih mengedepankan semangat
kekeluargaan.
Biasanya, berbagai jenis makanan tersebut disediakan oleh masyarakat sendiri. Masing-
masing keluarga sebelumnya sudah dibagi tanggungjawab untuk menyediakan jenis
makanan tertentu.
Ketika tiba hari yang sudah diagendakan, masing-masing keluarga tersebut akan
membawa jenis makanan yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan diawali doa dan
ritual adat, acara pun dimulai dan semua orang yang hadir boleh mencicipi segala
makanan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Dalam setahun, masyarakat Maluku bisa menggelar acara Makan Patita ini sampai dua,
tiga, bahkan empat, atau lima kali. Karena acara makan bersama seperti ini digelar
untuk merayakan suatu momen penting.
5. Budaya Kalwedo
Budaya Kalwedo adalah salah satu budaya khas Maluku yang berasal dari masyarakat
Maluku Barat Daya (MBD). Kalwedo memiliki makna kepemilikian atas kehidupan
bersama (bersaudara). Budaya Kalwedo sendiri telah mengakar dalam keseharian
masyarakat sekitar baik itu bahasa sampai dengan kebiasaan sehari-hari mereka.
Budaya Kalwedo telah menyatukan seluruh masyarakat Barbar dan MDB dalam ikatan
tali persudaraan yang sakral. Tali persudaraan Kalwedo diperlihatkan melalui budaya
hidup berdampingan dengan baik “Niolilieta/Hiolilieta/Siolilieta.”
Hidup berdampingan dengan baik diwujudkan dengan tradisi saling berbagi dan
membantu dalam potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang dihasilkan dari alam
kepulauan Maluku Barat Daya. Budaya Kalwedo diimplementasikan dalam keseharian
dengan sebutan “inanara ama yali” yang bermakna “saudara perempuan dan laki-laki.”
6. Budaya Hawear
Budaya Hawear bersumber dari sejarah yang dipercaya keberadaanya oleh masyarakat
kepulauan Kei secara turun temurun. Dikisahkan ada seorang gadis yang diberikan
Hawear (janur kuning) oleh ayahnya. Hawear yang diberikan oleh sang ayah berfungsi
untuk menjaganya dari gangguan selama melakukan perjalanan panjang bertemu
dengan Raja.
Hawear yang diberikan oleh sang ayah merupakan simbol dari kepemilikan,
menunjukkan bahwa sang gadis telah dimiliki oleh seseorang. Sehingga, diharapkan
Hawear yang dibawa oleh sang gadis dapat menjauhkannya dari gangguan orang-orang
tak dikenal. Sampai hari ini, Budaya Hawear masih dijalankan sesuai dengan makna yang
dipercayai kebenarannya oleh masyarakat sekitar kepulauan Kei.
7. Batu Pamali
Batu Pamali adalah sebuah representasi dari kehadiran leluhur “Tete dan Nene
Moyang” di dalam kehidupan masyarakat Maluku. Batu Pamali berbentuk batu alas atau
batu dasar yang diletakkan di samping rumah Baileo.
Batu Pamali adalah bentuk atau sistem pemersatu perbedaan dari soa-soa (kelompok-
kelompok orang) yang ada di sebuah negeri/desa. Di sebuah negeri/desa di Maluku,
Batu Pamali dimiliki oleh keseluruhan penduduk negeri/desa tersebut, meskipun
mereka berasal dari kelompok yang berbeda-beda, termasuk perbedaan agama.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kepercayaan di masyarakat, terjadi
pergeseran makna dan praktik ritual dari keberadaan Batu Pamali. Hingga hari ini, masih
banyak masyarakat Maluku yang percaya akan makna dari Batu Pamali, meskipun
sistem adat asli negeri/desa telah diganti dengan peyeragaman sistem pemerintahan
desa berdasarkan UU tahun 1979.
9. Budaya Arumbae
Arumbae adalah simbol dari budaya orang-orang Maluku yang senang berlayar karena
sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Selain itu, Budaya Arumbae
juga menjadi simbol dari masyarakat Maluku yang dinamis dan memiliki daya juang yang
tinggi dalam menghadapi tantangan guna menyongsong masa depan yang gemilang.
Arumbae berasal dari perjuangan leluhur melewati perjuangan panjang yang sulit di
tengah lautan. Di Maluku, Arumbae memiliki makna sebagai sebuah perahu/kapal yang
di dalamnya terdapat lima orang sedang bejuang mendayung serta menghadapi
tantangan di lautan lepas. Sedangkan Arumbae adalah bahasa Maluku untuk perahu.
Saat ini, Arumbae telah ditempatkan diberbagai karya seni dan budaya, contohnya pada
lagu-lagu daerah, syair, bangunan, dan olahraga. Dalam bidang olahraga, Arumbae
dilestarikan sebagai lomba mendayung yang dinamai dengan “Arumbae manggurebe.”
Arumbae Manggurebe selain menjadi olahraga tahunan yang diselenggarakan di Teluk
Ambon, juga menjadi daya tarik bagi wisatawan.
https://keluyuran.com/budaya-dan-tradisi-maluku/
https://gasbanter.com/upacara-adat-maluku/