Anda di halaman 1dari 7

A.

Kearifan Lokal dalam Bidang Pertanian (Nasional)

1. Tradisi Subak di Bali

Subak pada dasarnya adalah sistem irigasi berbasis masyarakat (community-based irrigation
system) dan memiliki kearifan lokal (indigenous knowledge) dalam mendukung sumberdaya air
yang berkelanjutan. Meskipun subak adalah sistem irigasi yang khas Bali, terutama karena
aktivitasnya yang selalu disertai dengan ritual keagamaan , namun ia memiliki nilai-nilai luhur
yang bersifat universal. Nilai-nilai luhur tersebut adalah Tri Hita Karana. Tri Hita
Karana berasal dari kata Tri, Hita dan Karana. Tri artinya tiga, Hita artinya bahagia,
danKarana artinya penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana sebagai istilah berarti tiga
penyebab kebahagiaan. Ketiga penyebab kebahagiaan yang dimaksud adalah Parhyangan,
Palemahan dan Pawongan. Parhyangan adalah hubungan manusia dengan Tuhan, Palemahan
adalah hubungan manusia dengan lingkungannya, sedangkan pawongan adalah hubungan
manusia dengan manusia yang lain. Secara implisit Tri Hita Karana mengandung pesan agar kita
mengelola sumberdaya alam secara arif untuk menjaga kelestariannya; selalu merasa bersyukur
dan berterimakasih kepada Sang Maha Pencipta; dan senantiasa mengedepankan keharmonisan
hubungan antar sesama manusia. Tidak keliru kalau disini subak didefinisikan sebagai lembaga
irigasi yang bercorak sosio-religius dan berlandaskan prinsip Tri Hita Karana dengan fungsi
utamanya adalah pengelolaan air irigasi untuk memproduksi tanaman pangan khususnya padi
dan palawija.

Sementara itu, banyak kalangan menghendaki agar subak tetap dipertahankan eksistensinya
karena subak dapat dianggap merupakan warisan budaya bangsa dan diyakini menjadi tulang
punggung kebudayaan Bali. Seperti halnya di Desa Pakraman Bugbug, keberadaan subak ini
sangat penting bagi kelangsungan warga desa yang sebagian besar penduduknya mengandalkan
hidup dari pertanian. Dikhawatirkan jika subak sampai hilang karena tanah sawah telah beralih
fungsi, maka kemungkinan kebudayaan Bali akan terdegradasi.

Sejarah tradisi Subak

Subak merupakan orgnisasi sosisal bagian dari budaya Bali dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui kegiatan utamanya yaitu mengatur pemakaian air untuk irigasi sawah,
sehingga subak perlu diakui dan dihormati keberadaannya beserta hak-hak tradisionalnya. Kata
"Subak" merupakan kata yang berasal dari bahasa Bali, dapat ditemukan pertama kali pada
prasasti Pandak Bandung yang memiliki angka tahun 1072 M. Selain sebagai organisasi yang
mengatur pemakaian air untuk irigasi sawah, Subak merupakan sarana yang tersedia di dalam
masyarakat Bali yang dapat dipergunakan sebagai tempat rekreasi atau wisata, kegiatan
pendidikan, dan tempat dilakukannya penelitian sesuai dengan bidangnya. Secara faktual
diketahui di Bali adanya sistem irigasi yang disebut “Kasubakan” atau “Subak” pada tahun 1071
M dan hal ini didukung oleh prasasti Klungkung pada tahun 1072 M. Dalam prasasti tersebut
disebutkan nama “Subak” yaitu “Subak Rawas” dan tertulis: " ...masukatang huma di kedandan
di errara di kasuwakan rawas...." yang artinya "mengukur sawah di Kadandan pada Yeh Aa
dalam Subak Rawas.

Tujuan tradisi Subak

 menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya


 manusia dengan alam
 dan manusia dengan Sang Pencipta
 secara bersama-sama membuat, memelihara, mengelola,
 dan menggunakan fasilitas irigasi.

Cara pelaksanaan Subak

Pelaksanaan Subak di Bali meliputi serangkaian langkah yang melibatkan kolaborasi antarpetani
untuk mengelola irigasi sawah secara berkelanjutan. Berikut adalah beberapa langkah dalam
pelaksanaan Subak:

 Pembagian Sawah: Sawah dibagi-bagi di antara para petani yang tergabung dalam Subak.
Pemilihan lahan dan pembagian dilakukan dengan hati-hati untuk menjamin keadilan
 istem Irigasi: Sistem irigasi Subak dirancang dengan cermat. Mata air diatur sedemikian
rupa sehingga setiap petak sawah mendapatkan pasokan udara yang cukup untuk
pertumbuhan tanaman.
 Kalender Pertanian: Subak mengikuti kalender pertanian khas Bali, yang didasarkan pada
siklus bulan dan perhitungan astrologi. Ini membantu petani menentukan waktu tanam
dan panen yang tepat..
Mitos-mitos seputar Subak

Tradisi Subak di Bali memiliki sejumlah mitos yang melibatkan aspek spiritual dan kehidupan
sehari-hari. Salah satunya adalah mitos tentang Dewi Sri, dewi padi, yang dianggap menjaga
kesuburan sawah. Selain itu, ada juga keyakinan bahwa air irigasi Subak berasal dari mata air
suci dan memiliki kekuatan magis untuk memberikan hasil panen yang melimpah. Mitos-mitos
ini mencerminkan kedalaman makna budaya dan spiritual dalam praktik pertanian Subak.

B. kearifan Lokal Dalam Bidang Pertanian (Daerah Sulawesi tenggara)

1. Tradisi Mecula Suku Ereke Kabupaten Buton Utara

A. Sejarah dan Asal Usul Tradisi Mecula Suku Ereke

Tradisi Mecula merupakan salah satu tradisi adat yang masih dilestarikan oleh suku Ereke
di Buton, Sulawesi Tenggara. Tradisi ini merupakan upacara adat yang dilakukan untuk
menyambut datangnya musim panen. Tradisi ini biasanya dilakukan pada bulan November atau
Desember, yaitu saat musim panen padi tiba.

Sejarah tradisi Mecula tidak diketahui secara pasti. Namun, berdasarkan penuturan
masyarakat setempat, tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu. Tradisi ini awalnya dilakukan
oleh para petani sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah.

Pada awalnya, tradisi Mecula hanya dilakukan oleh masyarakat suku Ereke yang tinggal di
desa-desa pesisir. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai dilakukan oleh masyarakat
suku Ereke di seluruh wilayah Buton. Tradisi Mecula biasanya dilakukan dengan cara berkumpul
di lapangan desa. Masyarakat akan membawa hasil panen mereka, seperti padi, jagung, dan ubi.
Hasil panen tersebut kemudian akan diarak keliling desa.

Dalam prosesi arak-arakan, masyarakat akan menyanyikan lagu-lagu adat dan menari.
Mereka juga akan melakukan ritual-ritual adat, seperti penyembelihan hewan kurban. Setelah
prosesi arak-arakan selesai, hasil panen akan dikumpulkan di tempat yang telah ditentukan. Hasil
panen tersebut kemudian akan dibagikan kepada masyarakat.
Tradisi Mecula memiliki makna yang penting bagi masyarakat suku Ereke. Tradisi ini
merupakan simbol rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Selain itu, tradisi
ini juga merupakan bentuk kebersamaan dan kegotongroyongan masyarakat suku Ereke.

B. Upaya Pelestarian Tradisi Mecula


Tradisi Mecula merupakan tradisi yang masih dilestarikan oleh suku Ereke hingga saat ini.
Upaya pelestarian tradisi ini dilakukan oleh berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah,
masyarakat, maupun akademisi.

Pemerintah daerah Kabupaten Buton telah menetapkan tradisi Mecula sebagai salah satu
warisan budaya tak benda. Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan
tradisi ini, antara lain dengan mengadakan festival Mecula setiap tahunnya. Masyarakat suku
Ereke juga turut berperan aktif dalam melestarikan tradisi ini. Mereka selalu berusaha untuk
mengajarkan tradisi Mecula kepada generasi muda agar tradisi ini tetap lestari di masa depan.
Akademisi juga turut berperan dalam melestarikan tradisi Mecula. Mereka melakukan penelitian
dan kajian tentang tradisi ini agar tradisi ini dapat lebih dikenal oleh masyarakat luas.

Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan, diharapkan tradisi Mecula dapat terus lestari
dan menjadi salah satu daya tarik wisata di Pulau Buton.

C. Peran Tradisi Mecula dalam Kehidupan Masyarakat Suku Ereke


Tradisi Mecula memiliki peran yang penting dalam kehidupan masyarakat suku Ereke
Buton. Tradisi ini memiliki nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup
masyarakat. Berikut ini adalah beberapa peran tradisi Mecula dalam kehidupan masyarakat suku
Ereke Buton:
1. Wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta
Tradisi Mecula merupakan wujud rasa syukur masyarakat terhadap Sang Pencipta atas
keberhasilan dalam berusahatani. Melalui tradisi ini, masyarakat mengungkapkan rasa terima
kasih mereka kepada Sang Pencipta atas limpahan rezeki yang telah diberikan.
2. Pelestarian budaya lokal
Tradisi Mecula merupakan salah satu budaya lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat suku
Ereke Buton. Tradisi
ini merupakan warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan agar tidak hilang ditelan
zaman.

3. Persatuan dan kesatuan masyarakat


Tradisi Mecula dapat menjadi sarana untuk mempererat persatuan dan kesatuan masyarakat.
Melalui tradisi ini, masyarakat dari berbagai latar belakang dapat berkumpul dan saling
berinteraksi. Selain itu, tradisi ini juga dapat menjadi sarana untuk memperkuat rasa
kebersamaan dan kekeluargaan antar masyarakat.
4. Pelestarian lingkungan
Tradisi Mecula juga memiliki peran dalam pelestarian lingkungan. Dalam tradisi ini, masyarakat
melakukan ritual membersihkan lahan pertanian. Ritual ini bertujuan untuk menjaga kesuburan
lahan pertanian dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.

D. Nilai-nilai Luhur yang Terkandung dalam Tradisi Mecula


Tradisi Mecula merupakan tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan
sebagai pedoman hidup masyarakat. Berikut ini adalah beberapa nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam tradisi Mecula:
1. Nilai religius
Tradisi Mecula merupakan wujud rasa syukur masyarakat terhadap Sang Pencipta atas
keberhasilan dalam berusahatani. Melalui tradisi ini, masyarakat mengungkapkan rasa terima
kasih mereka kepada Sang Pencipta atas limpahan rezeki yang telah diberikan. Nilai religius ini
dapat menjadi pedoman bagi masyarakat untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah
diberikan oleh Sang Pencipta.
2. Nilai budaya
Tradisi Mecula merupakan salah satu budaya lokal yang masih dilestarikan oleh masyarakat suku
Ereke Buton. Tradisi ini merupakan warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan agar tidak
hilang ditelan zaman. Nilai budaya ini dapat menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menjaga
dan melestarikan budaya lokal mereka.

E. Kearifan Lokal dalam Kehidupan Bermasyarakat

1. Tradisi Makkatte (Khitan untuk anak perempuan) Sulawesi Selatan


Proses Tradisi Makkatte

Proses pelaksanaan tradisi ini dilakukan oleh seorang perempuan yang ahli dan dipercayai oleh
keluarga, disebut Sanro.

Sebelum tradisi dimulai disediakan beras yang diletakkan dalam sebuah nampan lebar
dengan kelapa yang telah dibuka sabuknya serta gula merah yang telah dipotong-potong dan
diletakkan di atas piring kecil serta ayam kampung hidup. Setelah itu anak perempuan dituntun
untuk berwudhu dan “dipabbajui” atau dipakaikan baju bodo dengan “ lipa sabbe’” (sarung sutra
khas Bugis). Selanjutnya si anak duduk di atas bantal yang telah dilapisi dengan sarung
sebanyak 7 buah, daun pisang yang masih muda dan sajadah. Dengan didampingi oleh ayah
kandung yang duduk di belakang putrinya si anak dituntun untuk membaca dua kalimat
syahadat.

Asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah.

Setelah anak dianggap sempurna membaca syahadat Sanro segera melakukan prosesi
khitan dengan menggunakan pisau (konon ada juga yang menggunakan silet /gunting). Setelah
prosesi selesai si anak disuap gula merah oleh orangtuanya. Maknanya supaya kehidupannya di
masa yang akan datang senantiasa manis seperti gula merah.

Setelah itu si anak harus memakai baju bodo sebanyak 7 lapis. Pemakaian baju bodo 7 lapis
ini dimaksudkan agar kehidupannya di masa depan sukses dan berhasil. Kemudian anak
dibopong oleh ayahnya menuju tempat yang tinggi. maknanya agar setelah dewasa nanti anak
perempuan ini memiliki pengetahuan yang tinggi, berwawasan luas , berbudi pekerti luhur dan
menjalankan ibadah dengan baik.

Biasanya setelah acara Makatte selesai banyak yang memberi amplop berisi uang untuk si
anak (bahkan ada yang mendudukkan anak di pelaminan seperti pengantin, dan tamu yang
datang meletakkan amplop di tempat khusus).

Setelah itu dilakukan barzanji sebagai penutup. Barzanji berupa pembacaan ayat suci Al
qur’an secara bergiliran dan shalawat serta pujian bagi Nabi Muhammad SAW. Diakhiri dengan
makan bersama makanan yang telah disediakan. Selesailah prosesi Makkatte’, tradisi khitan dan
ritual pengislaman bagi anak perempuan Bugis.
Referensi:

Fumio Eigatsu. 1991. Income Disparities between Agricultural and Industrial Workers and Price
Support Policies for Agricultural Products., Dalam Agriculture and Agricultural Policy in Japan,
Edited by The Committee for the Japanese Agriculture Session XXI IAAE Conference. Tokyo:
University of Tokyo Press. h.119. Diakses tanggal 5 September 2012

Gorda, I Gusti Ngurah. 1996. Etika Hindu dan Prilaku Organisasi. Singaraja : Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi Satya Dharma Singaraja.

Mukhtar, 2016. Tradisi Mecula dan Haroa Ano Laa suatu tinjauan kearifan lokal. Yogyakarta:
Deepublish.
Resti, 2019. Interaksi Simbolik Proses Pesta Panen ”Mecula dan Haroa Ano Laa” Boton Utara.
Jurnal Penelitian Kajian Ilmu Komunikasi dan Informasi. 4(2): 38-51.
Yuliana, 2019. Potensi Kearifan Lokal dalam Penguatan Nilai-nilai agama.

Andi, AE, 2015. Makkatte', Tradisi Khitan Anak Perempuan Bugis.

https// Chat.GPT.Com

Anda mungkin juga menyukai