Anda di halaman 1dari 9

PERSEPSI TRADISI PETIK LAUT PADA MASYARAKAT DESA MUNCAR

Thirza Ayu Nirmala


Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan: Thirza Ayu Nirmala
E-mail: Thirzayunirmala@gmail.com

Abstract
In Kedungrejo Village, Muncar District, Banyuwangi Regency, the sea picking tradition is
held once a year in the month of Muharram or Suro month by residents living on the coast
especially the sea. This research uses a descriptive qualitative research method. Based on
the results of the data analysis, the conclusion is that the parik sea tradition carried out by
the village community has the purpose and aim of asking God Almighty so that fishermen
will be blessed with abundant marine products in the coming year and also be avoided
from disaster while at sea.

Keywords: Perception, sea picking tradition

Abstrak
Di Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi Tradisi Petik Laut
diselenggarakan setiap satu tahun sekali pada bulan Muharam atau bulan suro oleh
penduduk yang tinggal di pesisir pantai. Tradisi ini merupakan sebuah ungkapan rasa
syukur masyarakat nelayan muncar atas rezeki dan keselamatan yang diberikan oleh
Tuhan YME melalui alam, khususnya laut. Penelitian ini menggunakan penelitian metode
kualitatif berbentuk deskriptif. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, kesimpulannya
yaitu Tradisi Petik Laut yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Muncar maksud dan
tujuan nya adalah memohon pada Tuhan YME agar para nelayan dianugerahi hasil laut
yang melimpah pada tahun yang akan datang dan dihindarkan pula dari malapetaka
selama melaut.

Kata Kunci: Persepsi, Tradisi Petik Laut.

1.1 Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang memiliki berbagai macam suku,agama,ras,dan
budaya. Indonesia memiliki keanekaragaman yang membentuk suku dan budaya-budaya
yang sangat beragam.Setiap daerah memiliki kebudayaan-kebudayaan yang perlu
dilestarikan dan dikembangkan.Bukan hanya kebudayaan saja, namun setiap daerah pasti
memiliki ciri khas budaya,tradisi agama,kehidupan sosial, dan kesenian-keseniannya.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat yang diwarisi secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain karena kebudayaan merupakan sesuatu
yang dinamis, selalu berkembang seiring dengan pola perilaku manusia yang terus menerus
berubah. Unsur-unsur tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan di dalam
kebudayaan semua bangsa yang tersebar didunia. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dibagi
menjadi tujuh unsur, yaitu bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan
teknologi, ekonomi, religi, dan kesenian.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat,seperti tradisi. Poerwadarminta (dalam Sofianto, 2015:11)
berpendapat bahwa tradisia dalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan, kebiasaan,
ajaran,dan sebagainya yang turun temurun dari nenek moyang. Tradisi dapat disesuaikan
untuk memenuhi kebutuhan perubahan agar dapat diterima sebagai bagian dari tradisi
kuno. Budaya yang beraneka ragam dapat menambah khazanah wawasan pemilik budaya
lain,sehingga dapat memperkaya pola pikir yang telah dimiliki sebelumnya,seperti tradisi
Petik Laut.
Di Banyuwangi khusunya di Desa kedungrejo,Kecamatan Muncar mempunyai cara
unik tersendiri dalam mengungkapkan rasa syukur atas rezeki yang diperolehnya dari hasil
laut. Tradisi ini biasa diadakan setiap tahun oleh para nelayan setempat yang biasa dikenal
dengan sebutan Petik Laut Muncar. Tradisi Petik Laut Muncar ini merupakan warisan para
leluhur sebagai sedekah masyarakat terhadap laut selama setahun yang telah menjadi
tempat mereka dalam mencari rezeki. Tradisi ini berupa pemberian persembahan yang
diawali dengan mengarak sesajian dari rumah sesepuh menuju ke TPI Muncar yang
kemudian dilarung ke laut.
Tradisi Petik laut meurpakan ritual yang selalu dinantikan dan rutin dilaksanakan di
kalangkan komunitas nelayan termasuk nelayan masyarakat pesisir Desa Kedungrejo,
kecamatan Muncar,Kabupaten Banyuwangi. Petik laut dilaksanakan setiap awal tahun
Hijriah yaitu pada bulan Suro atau Muharrram. Melalui tradisi Petik Laut masyarakat
nelayan Desa Muncar mengungkapkan rasa syukur mereka akan hasil laut yang berlimpah
yang telah mereka terima, mengharapkan keselamatan dari Tuhan, dan sebagai pengikat
silaturahmi antar masyarakat desa dan pemerintah. Berbagai makna simbolis yang terdapat
pada ritual tradisi Petik Laut hingga saat ini masih hidup di Desa Muncar. Hal tersebut
tersirat dalam sesaji tradisi Petik Laut yang didalamnya terdapat berbagai macam
kue,buah-buahan,uang,dan kepala sapi yang perlu untuk diketahui dan dijaga agar tradisi
Petik Laut dapat terlaksana dengan baik hingga saat ini.
Keunikan dari budaya petik laut ini sangat beragam,contohnya seperti,
menggabungkan beberapa budaya yang ada di Banyuwangi,karena budaya petik laut
sendiri berasal dari Suku Madura, dan digabungkan dengan budaya gandrung yang berasal
dari suku Osing.suku asli Banyuwangi. Petik laut ini menggabungkan ajaran Islam dengan
Tradisi Osing. Penyelenggaraan Petik Laut ini berlangsung selama tiga hari,dengan
berbagai macam kegiatan, mulai dari larung sesaji, khataman Al-Qur’an), hingga pengajian
pembacaan Yassin dan Tahlil. Selain keunikan tersebut,ada doa tersendiri saat ritual petik
laut,yakni doa pengkorat. Doa ini dilantunkan oleh nelayan-nelayan desa setempat,
dipimpin oleh ketua adat setempat.

1.2 Kajian Literatur


1.2.1 Persespsi
Persepsi menurut Mulyana (2013:179) adalah proses internal yang memungkinkan
kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan
proses tersebut mempengaruhi perilaku kita.
Stewart L.Tubbs dan Sylvia Moss juga mengartikan persepsi sebagai suatu proses
aktif : Setiap orang memperhatikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan semua
pengalamannya secara selektif. Menurut J.Cohen (dalam Mulyana, 2013:180) persepsi
didefiniskan sebagai interpretasi bermakna atas sensasi sebagai representative objek
eksternal; persepsi adalah pengetahuan yang tampak mengenai apa yang ada di luar sana.
Sarlito Wirawan Sarwono dalam bukunya yang berjudul Pengantar Psikologi
Umum (2014:86) mengatakan bahwa persepsi adalah kemampuan untuk membedakan,
mengelompokkan, memfokuskan dan sebagainya, yang selanjutnya diinterpretasikan.
Persepsi adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh
pengetahuan baru. Persepsi mengubah sensasi menjadi informasi (Mubarok, 2014:114).
Dalam ilmu psikologi dibedakan antara proses sensasi dengan persepsi. Sensasi ialah
penerimaan stimulus melalui alat indra, sedangkan persepsi adalah menafsirkan stimulus
itu dalam otak (Azhari,2004:106).
Stephen P. Robbins mendefinisikan persepsi sebagai a process by which
individuals organize and interpret their sensory impressions in order to give meaning to
their environment. Persepsi diasumsikan sebagai suatu proses yang ditempuh individu
untuk mengorganisasikan, menafsirkan dan menginterpretasi kesan-kesan indra agar
mampu memberikan arti bagi lingkungan. Robbons juga mengategorikan faktor-faktor
yang mempengaruhi dalam menafsirkan kesan-kesan indra menjadi suatu persepsi menjadi
tiga faktor antara lain:
a.Faktor dan karakteristik pribadi atau pemersepsi
Misal: motif,sikap,kepentingan,ekspektasi,dan pengalaman.
b.Faktor dalam target
Misal: Inovasi, gerakan,bunyi,suara,latar belakang,kedekatan,dan kesamaan.
c.Faktor situasional
Dari faktor situasional, terdapat faktor keadaan sosial yang dipengaruhi oleh pembedaan-
pembedaan di masyarakat atau lebih dikenals ebagai dialektika (Malik,2017:74).

1.2.2 Tradisi Petik Laut


Menurut Funk dan Wagnalls (2013:78) istilah tradisi dimaknai sebagai
pengetahuan, doktrin,kebiasaan,dan nilai-nilai yang dipahami sebagai pengetahuan yang
telah diwariskan secara turun-temurun termasuk cara penyampaian doktrin. Jadi tradisi
merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat dulu sampai sekarang.
Banyuwangi memiliki ciri khas kebudayaan yang selalu diidentikkan dengan hal magis.
Salah satunya berupa tradisi Petik Laut. Masyarakat pesisir Banyuwangi khususnya
Muncar, meyakini bahwa tradisi Petik Laut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
kehidupan nelayan sehingga berkembanglah mitos dalam daerah tersebut.
Menurut verhaar (dalam Syamsurijjal & Musayyidah, 2014:253) makna merupakan
suatu hal yang berbeda dalam ujaran. Ujaran yang disampaikan dalam doa pangrokat
memiliki makna sendiri yang diyakini penduduk setempat. Pemaknaan dalam ujaran
tersebut menjadi salah satu bagian yang penting dalam berlangsungan hidup masyarakat di
pesisir Muncar.
Tradisi petik laut pernah diteliti oleh Widya Wulandari (2013). Tujuannya adalah
untuk memebrikan informasi bahwa pada masyarakat terdapat banyak bentuk sastra lisan
yang disampaikan dari mulut ke mulut yang salah satunya mengenai mitos dalam upacara
petik laut. Hasil penelitian yang dilakukan mendeskripsikan (1) Cerita Nyi Roro Kidul, (2)
ritual upacara petik laut yang dipercaya sebagai persembahan terhadap Nyi Roro Kidul,
dan (3) Nilai budaya yang terkandung dalam ritual yang berkenaan dengan mitos upacara
Petik laut.
Mitos yang berkembang adalah adanya kepercayaan masyarakat setempat tentang
adanya penjaga pantai yang bernama Nyi Roro Kidul. Ada runtutan cerita upacara pertik
laut yang dipersembahkan kepa Nyi Roro Kidul yang dituturkan oleh sang juru kunci ,
yaitu mbah Meda, adalah Nyi Roro Kidul dating dengan sosok wanita cantik dengan
memakai pakaian berwarna hijau yang dilapisi emas. Putri selatan ini datang atau
menampakkan dirinya kepada masyarakat muncar secara langsung dengan naik kereta dan
kuda emas pada tanggak 10 suro. Jika Nyi Roro Kidul datang menampakkan dirinya
kepada masyarakat, itu pertanda agar masyarakat Muncar segera mempersiapkan segala
sesuatu yang digunakan untuk melaksanakan upacara petik laut.
Tradisi Petik Laut dapat dijelaskan menurut arti harfiah sebagai berikut “Petik
Laut” berarti memetik, mengambil, memungut atau memeproleh hasil laut berupa ikan
yang mampu menghidupi nelayan Muncar dan sekitarnya. Kemudian adanya kepercayaan
turun menurun dan adat istiadat masyarakat muncar. Sebagai ucapan syukur yang pada
waktu itu masyarakat Muncar mengalami kejayaan dalam mata pencaharian dipesisir
Muncar serta adanya bencana pada waktu itu (wawancara, Jufri, Oktober 2015).
Tradisi Petik Laut pada masayarakat Jawa di pantai Muncar Desa Kedungrejo,
Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi masih tetap bertahan karena tradisi Petik Laut
mengandung makna teologis dan merupakan warisan budaya leluhur yang diyakini relevan
sepanjang jaman. Tradisi Petik Laut memiliki keunikan dan keunggulan, keunikannya
Nampak pada pelaksanaanya, yang dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat dan
semua agama berbaur dalam tradisi tersebut, baik yang beragama islam,hindu,budha,dan
Kristen. Sedangkan keunggulannya meski semua agama berpartisipasi dalam tradisi Petik
Laut nanum tidak ada konflik yang berarti. Misalnya, pengklaiman tradisi Petik Laut milik
salah satu agama. Konon katanya awal mula ritual ini berkaitan dengan kehadiran warga
Madura yang dikenal sebagai pelaut. Hal ini ditandai dominannya ornament suku Madura
dalam ritual petik laut,seperti terlihat dari seragam pakaian Sakera,berupa baju hitam dan
membawa clurit,simbol warga Madura yang pemberani. Seragam sakera tersebut disiapkan
khusus untuk upacara dan hanya dipakai sekali demi menjaga kesakralan upacara. Setiap
kali petik laut digelar,seragamnya selalu baru. Orang yang berperan sebagai sakera pun
dipilih yang berbadan besar. Penampilannya sangar dan angker, dengan kumis tebal dan
gelang besar. Namun sakera juga diharuskan tampil lucu. Tak hanyan itu,sakera juga
menajdi pengaman jalannya ritual. Mereka selalu berjalan didepan mengawal sesaji dari
lokasi upacara ke tengah laut,lalu mengatur warga yang ingin berebut naik perahu. Sesepuh
adat juga mengenakan baju sakera,serba hitam. Bagian dalam kasus loreng merah
putih,memakai udeng bati merah muda.
Upacara tradisional 1 suro atau sering di kenal dengan Petik Laut. Istilah Sura
berasal dari bahasa Jawa yakni suro yang mengandung arti : Bulan pertama dalan
penanggalan jawa dalam kalender Islam Hijiriyah. Arti lain dari kata suro adalah berani,
arti berani disini dimaksudkan adalah diambil dari sifat benda-benda pusaka kraton yang
dikenal memiliki keberanian. Menurut kepercayaan orang jawa 1 suro melambangkan
permulaan hidup, oleh karna itu banyak orang yang menghormnati dan mensakralkan 1
suro sebagai menghormati yang dihidup (Haji Slamet, Oktober 2015).
Upacara petik laut dilakukan oleh nelayan untuk memperingati tutup tahun bagi nelayan
atau disebut juga dengan tutup playang. Prosesi Petik Laut diadakan dengan
mengumpulkan banyak barang sesaji. Benda yang harus ada untuk prosesi ini adalah
kepala kambing hitam dengan badan yang berwarna putih. Kelak kepala kambing ini akan
diberi pancing yang terbuat dari emas dan ditancapkan pada lidahnya.Saat prosesi
dilakukan,kepala kambing akan dilarung ke laut sebagai wujud rasa syukur yang tiada
batasnya.Sebelum arak-arakan menuju kawasan lautan sesaji akan diarak keliling desa.
Para penari gandrung akan menyambut arak-arakan itu sebelum akhirnya naik keatas
perahu. Setelah semua sesaji dinaikkan ke atas kapal, mereka akan segera menuju ketengah
laut, dan satu persatu sesaji akan dilemparkan ke laut (Pratiwi, 2014: 28 ).
Suharsono mengatakan,ritual ini merupakan warisan leluhur yang dilakukan sejak
tahun 1927 atau 94 tahun lalu. Ia mengatakan, biasanya Petik Laut dilakukan meriah
selama 4 hari penuh. Acara biasanya diisi dengan pertunjukan wayang kulit hingga
hiburan. Sekarang dilakukan sederhana dan terbatas karena sedang pandemi Covid 19.
“dulu banyak hiburan sampai mendatangkan artis ibu kota. Sekarang sangat sederhana,”
kata dia. Tradisi petik laut sekarang ini hanyalah berupa ritual sederhana yang terdiri dari
selametan yang diirngi adanya sesaji. Dalam acara selametan dibacakan doa Agama Islam,
yaitu Yasin dan Tahlil. Setelah dibacakan doa Yasis dan Tahlil selanjutnya sesaji dibuang
kelaut sebagai bentuk persembahan pada Ratu Laut Selatan. Acara selametan ini pun hanya
dilaksanakan ditempat pendaratan ikan.
Doa Pangrokat digunakan sebagai simbol tradisi Petik Laut bagi nelayan di pesisir
Muncar. Pemaknaan simbol yang mengandung nilai moral dan budaya sangat penting bagi
masyarakat karena merupakan salah satu produk budaya berwujud kearifan lokal yang
harus dipahami dan diresapi. Doa Pangrokat digunakan sebagai simbol tradisi petik laut
bagi nelayan di pesisir Muncar.Pemaknaan simbol yang mengandung nilai moral budaya
sangat penting bagi masyarakat karena merupakan salah satu produk budaya berwujud
kearifan lokal yang harus dipahami dan diresapi oleh kalangan masyarakat (Sartini,
2009,hlm.31)
Menurut Hasan Basyri dan Hamida dalam pembacaan Doa Pangrokat
menggunakan tiga bahasa yaitu Arab, Jawa, dan Madura. Penggunaan tiga bahasa tersebut
menimbulkan makna secara denotative. Pemaknaan denotative digambarkan dengan
pengucapan dan penulisan dengan bahasa Arab pegon dan penulisan Jawa. Doa pangrokat
dibaca berkali-kali seperti orang berdzikir. Meminta pertolongan kepada orang tua zaman
dahulu untuk keselamatan dan rezeki. Doa Pangrokat ini untuk mengungkapkan rasa
syukur terhadap Allah SWT yang menciptakan laut dan bumi semesta. Bulan Asyura ini
digunakan untuk pelaksanaan pembacaan Doa Pangrokat.
Menurut Ronald Barthes, penanda yang dihasilkan konotasi bersifat implicit atau
tersembunyi. Barthes melihat pemaknaan yang lebih bersifat konvensional yang berkaitan
dengan pemaknaan mitos. Alasan masyarakat setempat masih mempercayai tokoh nyi roro
kidul dan raden marsoda mitos didalamnya karena hal tersebut sudah sejak lama dan para
leluhur berkata begitu. Tidak ada alasan pasti, bahkan seseorang menyebutkan kalau mitos
tersebut sudah ada sejak dahulu kala dan merupakan warisan nenek moyang yang tidak
dapat ditinggalkan begitu saja. Atas dasar nenek moyang, masyarakat setempat maish
mempercayai hal tersebut. Akan tetapi seiring dengan pergantian generasi hal semacam
itu,lambat laun tidak dapat dipercayai lagi untuk kebenarannya bagi sebagian masyarakat.

1.2.3 Teori Terkait


Teori Integrasi Sosial yaitu proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda di dalam
masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang dimaksudkan adalah
perbedaan kedudukan sosial, ras, etnik, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai, dan norma.
Timbulnya solidaritas didasarkan pada kesamaan dalam kepercayaan dan nilai yang saling
bergantung secara fungsional dalam masyarakat heterogen. Kondisi tersebut akan
memunculkan kesadaram kolektif untuk menciptakan kesatuan dalam masyarkat.. Menurut
Kun Maryati dan juju Suryawati,2014:140 Integrasi sosial dibedakan menjadi tiga bentuk
antara lain:a)Integrasi normative ini dapat dipahami sebagai sebuah bentuk integrasi yang
terjadi akibat adanya norma yang berlaku di masyarakat. Artinya norma dapat dijadikan
sebagai sesuatu yang mempersatukan masyarakat.b) integrasi fungsional berbentuk akibat
faktor tertentu dalam masyarakat. Hal ini karena integrasi dapat berbentuk dengan
mengedepankan fungsi dari tiap-tiap pihak dalam sebuah masyarakat.c) Integrasi koersif
ini berbentuk berdasarkan kekuasaan yang ada pada masyarakat. Misalnya adanya perusuh
yang berhenti melakukan keributan akibat polisi yang menembakkan gas air mata ke udara.

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul apabila terjadi percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi. Dalam akulturasi,
sebagian menyerao secara selektif sedikit atau banyak unsure kebudayaan asing itu,
sebagian berusaha menolak pengaruh itu. Proses akulturasi ini tidak menyebabkan
hilangnya unsure-unsur kebudayaan dari dua atau lebih kelompok masyarakat tadi.
Kebudayaan asli masih bisa dilihat cirri-cirinya, serta dapat dibedakan dan dianalisis jika
dibandingkan dengan kebudayaan dari luar.

1.3 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif berbentuk
deskriptif. Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang menghasilkan data
deskriptif dalam bentuk kata-kata, baik tertulis ataupun lisan. Sumber data dalam
penelitian ini berupa dua informan, yaitu Ibu Erni Dwi. Alasan memilih Ibu Erni Dwi
sebagai informan karena beliau merupakan warga Desa Muncar. Dan Bapak Supriyanto
sebagai warga Desa Muncar juga. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini yaitu
menggunakan metode wawancara dan juga observasi langsung ditempat tujuan. Teknik
pengumpulan data dengan observasi dilakukan dengan tujuan dapat memperoleh data
secara langsung dengan melakukan pengamatans ehingga data yang diperoleh tidak
diragukan lagi keasliannya. Selain itu,pemcatatan terhadap hasil yang diperoleh pada saat
melakukan pengamatan sangat diperlukan karena bertujuan agar data dapat tersimpan dan
terjaga dengan baik. Sedangkan wawancara merupakan bagian penting dalam penelitian
kualitatif sehingga peneliti dapat memperoleh data dari berbagai informan secara langsung.
Penelitian kualitatif ini sangat memungkinkan untuk penyatuan teknik observasi dengan
wawancara (Ulfie, 2013).

1.4 Hasil dan Pembahasan


Berdasarkan hasil yang diperoleh di lapangan melalui observasi dan wawancara,
peneliti mendapatkan data mengenai Persepsi Tradisi Petik Laut Pada Masyarakat Muncar.
Dalam pelaksanaan penelitian, Peneliti menggali informasi dari narasumber terkait
pemahaman masyarakat tentang Tradisi Petik Laut Di Mauncar. Peneliti memberikan
pertanyaan kepada informan yaitu:
Pertanyaan pertama : “Kapan dan dimana Tradisi Petik Laut dilakukan?”
Ibu Erni dwi : “Di sini Tradisi Petik Laut di adakan setiap 15 Muharram atau bulan suro
dan biasanya diadakan di Pelabuhan Muncar”.
Supriyanto : “Tradisi Petik laut diadakan di Muncar setiap bulan suro”.
Pertanyaan kedua :“Bagaimana prosesi dalam Tradi Petik laut?”
Ibu Erni Dwi :“Prosesi Petik Laut yaitu ee dengan cara membuang sesajen ke
tengah laut yang dilakukan oleh pemuka agama dan menggunakan
perahu secara beriringan”.
Supriyanto:”Biasanya beberapa perahu menuju ke laut untuk membuang
sesajen yang berupa kepala sapi dan sejumlah hasil bumi atau laut
dengan diiringi penari gandrung.”
Pertanyaan ketiga : “Menurut anda apa makna dari Tradisi Petik Laut?”
Ibu Erni : “ Menurut saya Tradisi Petik Laut sebagai mengucap rasa syukur
kepada Tuhan YME atas kesehatan dan kelancaran rezeki selama
satu tahun ini”.
Supriyanto :” Kalau menurut saya sih sebagai rasa permintaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa untuk diberikan kelancaran rezeki dan sebagai
menyambung silaturahmi dengan masyarakat muncar”.
Pertanyaan keempat:” Menurut anda apakah semua masyarakat Desa Muncar ini ikut
berpartisipasi melestarikan budaya Tradisi Petik Laut?”.
Ibu Erni Dwi :”Setau saya masyarakat muncar sudah kompak ikut meramaikan
Tradisi Petik Laut ini.”
Bapak Supriyant:”Sudah, alhamdulilah masyarakat Desa Muncar sangat
mendukung dan berpartisipasi dalam Tradisi Petik Laut yang
diadakan setiap satu tahun sekali ini.”
Setelah peneliti mengetahui persepsi masyarakat Desa Muncar terhadap Tradisi
Petik Laut, peneliti dapat mengatakan bahwa warga menjunjung tinggi silaturahmi dan
sangat berpartisipasi dalam melestarikan kebudayaan.Dengan adanya tradisi petik laut ini,
mereka bisa mempererat silaturahmi dan persaudaraan serta, saling menjaga lautan
bersama-sama agar terus mendapatkan banyak limpahan rezeki.

1.5 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti terhadap Persepsi Tradisi Petik Laut
Pada Masyarakat Desa Kedungrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, peneliti
menyimpulkan bahwa Tradisi merupakan kebiasaan dan dianggap sebagai suatu keyakinan
yang diikat oleh waktu sehingga kegiatan menjadi sakral. Begitu pula dengan Tradisi Petik
Laut di Kecamatan Muncar,Kabupaten Banyuwangi yang masih dipertahankan dan
dilestarikan karena memiliki banyak fungsi bagi masyarakat setempat.Tradisi ini dilakukan
satu tahun sekali pada tanggal 15 Muharam atau bulan Suro.Tradisi Petik Laut mempunyai
makna yaitu untuk mengucap syukur kepada Tuhan YME atas kesehatan,kelancaran dan
sebagai penyambung silaturahmi dengan masyarakat setempat.
Adapun Prosesi Petik Laut dengan mengumpulkan banyak sesaji. Kepala kambing
hitam dengan badan yang bewarna putih ini sebagai salah satu syarat dalam prosesi petik
laut. Kelak kepala kambing ini akan diberi pancing yang terbuat dari emas dan ditancapkan
pada lidahnya. Saat prosesi dilakukan, kepala kambing akan dilarung ke laut sebagai wujud
rasa syukur yang tiada batasnya. Sebelum arak-arakan menuju kawasan lautan sesaji akan
diarak keliling desa. Para penari gandrung akan menyambut arak-arakan itu sebelum
akhirnya naik keatas perahu. Setelah semua sesaji dinaikkan ke atas kapal, mereka akan
segera menuju ketengah laut, dan satu persatu sesaji akan dilemparkan ke laut.
DAFTAR PUSTAKA

Nisya’,Rosyibatun. 2016. Korelasi antara persepsi tentang film “Kata Maaf Terakhir”
dengan sikap terhadap pesan dakwah dalam film “Kata Maaf Terakhir” mahasiswa
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo.Semarang.

Ali Nurdin. 2020. Budaya islam nelayan pesisir utara Lamongan Jawa Timur.

Relin D.E. 2017. Pementasan Tari Gandrung Dalam Tradisi Petik Laut Di Pantai Muncar,
Desa Kedungrejo, Banyuwangi, Jawa Timur (Suatu Kajian Filosofis). Mudra, 32(1),
195232.

Agama, D. B. H. K.Teologi Hindu Dalam Tradisi Petik Laut Pada Masyarakat Jawa Di
Pantai Muncar, Desa Kedungrejo Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur.

Setiawan, E. (2016). Eksistensi Budaya Bahari Tradisi Petik Laut Di Muncar Banyuwangi.
Universum: Jurnal KeIslaman dan Kebudayaan, 10(2).

Eko Setiawan. 2016. Jurnal KeIslaman dan Kebudayaan. 10(2)

Kunti Nur Afifah. 2021. Makna Budaya Petik Laut Terhadap Nilai Religius Masyarakat
Desa Kedungrejo Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.

Nur Ainiyah. 2017. Ritual Petik Laut Dan Keragaman (Keragaman Dan Komunikasi Ritual
Di Kalangan Nelayan Multietnis Di Kedungrejo Muncar Banyuwangi). Jurnal Pemikiran
Dan Kebudayaan Islam. 26(1).

Anisa, A., Khoiria, I,. & Juwinda, J. (2018). Makna (Pangrokat) dalam Tradisi Petik Laut
Muncar di Dusun Kalimati Banyuwangi. Asas: Jurnal Sastra, 7(2).

Masruri, M. H. Tradisi Petik Laut Masyarakat Pesisir Banyuwangi.

Anoegrajekti, Novi, Sudartomo Macaryus, S., & Saputra, H. S. P. Ritual Petik Laut
Muncar: Ekspresi Identitas dan Kedaulatan Masyarakat Nelayan Atas Laut.

Ainiyah, N. (2017). Ritual Petik Laut Dan Keragaman (Keragaman Dan Komunikasi
Ritual Di Kalangan Nelayan Multietnis Di Kedungrejo Muncar Banyuwangi). Empirisma:
Jurnal Pemikiran dan Kebudayaan Islam, 26(1).

Yunitasari, H. (2021). Mitos Upacara Petik Laut Masyarakat Etnis Madura Di Desa
Tembokrejo Muncar Banyuwangi. Skripsi Mahasiswa UM.

Lasiyahmindi, S.F. (2021) Makna Sosial Tradisi Petik Laut (Studi Di Desa Pesisir
Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo ) (Doctoral Dissertation, Universitas
Muhammadiyah Malang).
Afifah, K. N. (2021). Makna Budaya Petik Laut Terhadap Nilai Religius Masyarakat Desa
Kedungrejo Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi (Doctrol Dissertation, Universitas
Muhammadiyah Malang).

DR. Dra. Relin D.E,M.Ag. 2014.Teologi Hindu Dalam Tradisi Petik Laut Pada Masyarakat
Jawa Di Pantai Muncar Desa Kedungrejo Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi.

Ummah, K., & Suryadi, S. (2019). Representation of The Context Of Petik Laut (Sea-
Picked) Traditions In The Macapat Mursada Text. Etnosia: Jurnal Etnografi Indonesia,
176-192.

Ida Ayu Komang Sintia Dewi. 2014. Pemertahankan Tradisi Budaya Petik Laut Oleh
Nelayan Hindu Dan Islam Di Desa Pekutatan, Jembrana-Bali. Singaraja.

Yunitasari. Helmi. 2017. Mitos Upacara Petik Laut Masyarakat Etnis Madura Di Desa
Tembokrejo Muncar Banyuwangi. Skripsi, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Negeri Malang.

Mimit Primyastanto. 2015. Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Melalui Kelembagaan


Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal Di Pesisir Selat
Madura.

Anda mungkin juga menyukai