Anda di halaman 1dari 36

PROPOSAL KUALITATIF

NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA “UPACARA BERSIH DESA”


(Kajian Fenomenologi dan Perspektif Prilaku Masyarakat di Desa
Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Kabupaten Magetan)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk dengan
berbagai macam corak kebudayaan. Kebudayaan Indonesia tidak lepas dari
pertemuan berbagai unsur kebudayaan, antara lain Hindu-Budha dan Islam.
Harbangun (1986:56) menyebutkan masuknya agama Hindu dan Budha ke
Indonesia dibawa oleh pedagang-pedagang dari India sejak abad permulaan
Masehi. Hubungan itu terjalin melalui dua jalur, yaitu jalur darat melalui
Tibet dan jalur laut melalui Selat Malaka. Kebudayaan asli Indonesia yang
masih sangat sederhana bertemu dengan kebudayaan Hindu dan Budha yang
semakin meluas dan dianut oleh banyak masyarakat di Indonesia. Hal ini
dapat dilihat di berbagai kerajaan yang pernah ada di wilayah Barat dan
Tengah Indonesia yang menganut agama tersebut seperti Kutai,
Tarumanegara, Sriwijaya, Pajajaran, dan Majapahit. Pada masa kerajaan
Majapahit Indonesia mencapai kebersamaannya dengan menyatukan kerajaan
yang ada di wilayah Nusantara oleh Raja Hayam Huruk dengan Patih Gajah
Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapanya.
Kesatuan tersebut menjadikan kebudayaan Indonesia semakin
menunjukkan dinamikanya. Keadaan ini semakin terlihat ketika agama Islam
mulai banyak dianut oleh masyarakat di Indonesia. Sebelum Islam masuk dan
berkembang, Indonesia sudah memiliki corak kebudayaan yang dipengaruhi
oleh agama Hindu dan Budha. Masuknya Islam kebudayaan Indonesia
mengalami proses akulturasi, yang melahirkan kebudayaan baru, yaitu
kebudayaan Islam Indonesia.
Surutnya pengaruh agama Hindu di Indonesia semakin memudahkan
agama Islam untuk masuk dan berkembang. Proses masuk dan
berkembangnya agama Islam di Indonesia terdapat tiga teori, yaitu teori
Gujarat, teori Mekah, dan teori Persia. Masuknya kebudayaan Islam tersebut
tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang, akan tetapi kedua
kebudayaan tersebut mengalami akulturasi.
Kebudayaan menjadi cermin besar yang menggambarkan peradaban
suatu bangsa. Dasar pemikiran dan sejarah kebudayaan yang khas dalam
kultur Jawa adalah digunakannya simbol-simbol atau lambang-lambang
sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasehat-

1
nasehat bagi bangsanya. Sejarah Jawa menunjukkan penggunaan simbol-
simbol itu dalam tindakan, bahasa, dan religi orang Jawa yang telah di
gunakanya sejak zaman prasejarah (Herusasoto, 2008:1-2).
Keunikan sebuah tradisi dalam masyarakat Jawa merupakan tradisi
religius yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi tersebut merupakan
perwujudan dari kepercayaan yang kuat terhadap adat istiadat serta tanggapan
masyarakat terhadap kekuatan alam dan kekuatan gaib untuk mengetahui
makna yang terkandung dalam upacara. Adat mempunyai makna religi bagi
para pendukungnya, di mana masyarakat akan mendapatkan rasa aman dan
ketenangan batin apabila telah melaksanakannya. Semua adat yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat sampai sekarang masih
dilestarikan, karena di dalamnya terkandung ajaran-ajaran atau pengetahuan
yang berisi norna-norma, nilai-nilai dan peraturan-peraturan dalam mengatur
tingkah laku masyarakat tetap mempunyai kepercayaan terhadap kekuatan
gaib.
Menurut Herusasoto (2008:8) salah satu tradisi atau adat tata
kelakuan adalah tingkat nilai budaya yang berupa ide-ide yang
mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat,
dan biasanya berakar dalam bagian emosional dan alam jiwa manusia. Dalam
gerak langkah pelaksanaanya atau tindakannya orang Jawa memiliki
ungkapan-ungkapan simbolis seperti ”saiyeg saeko praya” yang artinya
bergerak bersama-sama untuk mencapai tujuan bersama Salah satu tradisi
masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Magetan pada khususnya
adalah mengadakan “ Upacara Bersih Desa”.
Upacara bersih desa adalah adat istiadat yang diwariskan turun-
temurun oleh nenek moyang kita, yang dilaksanakan dalam waktu satu tahun
sekali oleh masyarakat dusun setempat untuk mengenang dan memberikan
rasa syukur kepada nenek moyang yang dulu sebagai cikal bakal babat desa.
Seperti yang dilakukan masyarakat desa Simbatan Kabuapaten Magetan dan
sekitarnya setiap bulan Muharram (Syuro pada tahun Jawa) selalu
mengadakan upacara Bersih Desa, yaitu dengan menyembelih kambing,
kepala dan empat kaki kambing tersebut lalu dikubur di punden setempat
sebagai syarat untuk selamatan.
Upacara bersih desa, menurut kepercayaan warga sekitar, kegiatan
ini berfungsi sebagai kegiatan simbolis untuk menyeimbangkan alam di
antaranya dengan menjaga kondisi sendang agar tetap bersih.
Konon kabarnya, tradisi yang melibatkan seluruh warganya ini telah
berlangsung sejak ratusan tahun silam.
Di Desa Simbatan terdapat Arca Dewi Sri, setiap hari Jum’at Pahing
bulan Muharram dilaksanakan Bersih Desa secara rutin tiap tahun oleh warga
setempat pada siang hari. Pada Arca Dewi Sri tepat pada dada kiri dan kanan
keluar air sumber yang bersih, sebagian besar oleh warga di luar Magetan
mengambil dan memanfaatkan air itu untuk pengobatan segala macam
penyakit. Ini juga menjadi kepercayaan warga sekitar, dan menjadi salah satu
daya tarik tempat ini.

2
Didalam bangunan utama, Candi Simbatan terdapat arca tokoh
perempuan yang oleh warga sekitar dipercayai sebagai sosok Dewi Sri. Dewi
Sri dalam mitologi masyarakat Hindu-Jawa, dianggap sebagai tokoh
perempuan yang memberikan sumber penghidupan.
Upacara bersih desa dengan cara membersihkan candi tersebut
dengan menguras air di sekeliling candi yang dipenuhi air hingga
menenggelamkan patung tersebut. Ritual dilakukan rutin sejak nenek moyang
zaman Kerajaan Majapahit. Ini dipercaya warga sebagai tolak balak
datangnya bencana. Masyarakat desa mempuyai kepercayaan atau keyakinan
pada makhluk-makhluk halus yang dapat mengganggu masyarakat di
sekitanya. Misalnya adanya penyakit, orang kesurupan, dan pagebluk atau
pagi sakit sore meninggal.
Upacara bersih desa dilakukan setiap hari Jumat pahing di bulan
syuro. Puncaknya ada penarian ikan dengan lagu wajib kembang jeruk yang
dinyanyikan oleh 2 sinden yag telah disiapkan. Sebelum acara tarian, terlebih
dulu ada sesaji dengan memotong satu ekor kambing. Dengan menanam
kepala kambing di sekitar lokasi candi beserta sesaji lain. Terdiri dari candu,
minuman limun merah dan putih, bedak, sisir, minyak srimpi dan kaca yang
melambangkan berbagai keperluan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk
kesejahteraan yang dibawa lambangnya oleh Dewi Sri.
Pelaksanaan upacara Bersih Desa sangat menarik untuk diteliti
sebagai fenomena sosial yang diyakini oleh masyarakat sebagai rasa syukur
dan tempat tersebut diyakini sebagai tempat keramat dan ditempati oleh
makhluk halus yang sudah meninggal sebagai cikal bakal babat tanah pada
zaman dahulu untuk melakukan doa dan selamatan agar desa mereka selamat
terhindar dari bencana dan diberikan anugerah serta rezeki.
Berdasarkan pengamatan pendahuluan yang dilakukan penulis, di
Desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Kabupaten Magetan bahwa
kegiatan upacara Bersih Desa sangat menarik untuk diteliti sebagai fenomena
sosial yang diyakini oleh masyarakat sebagai rasa syukur dan tempat tersebut
diyakini sebagai tempat keramat dan ditempati oleh makhluk halus yang
meninggal sebagai cikal bakal tanah pada zaman dahulu untuk melakukan
do’a dan selamatan agar desa mereka selamat terhindar dari bencana dan
diberikan anugerah serta rezeki. Sebagai puncak acara upacara Bersih Desa
disuguhi tradisi kesenian gambyong dengan dua artis cantik sinden yang
didatangkan dari luar desa.
Hal inilah yang sangat menarik dan peneliti ingin mengkajinya
dengan topik “Nilai-Nilai Sosial Budaya “Upacara Bersih Desa” (Kajian
Fenomenologi dan Perspektif Prilaku Masyarakat Di Desa Simbatan
Kecamatan Nguntoronadi Kabupaten Magetan) .

1.2. Fokus Penelitian


Berdasarkan latar belakang tersbut di atas, maka yang menjadi fokus
penelitian ini adalah :
1.2.1. Pelaksanaan upacara budaya bersih desa di Desa Simbatan
Nguntoronadi Magetan;

3
1.2.2. Makna upacara bersih desa di Desa Simbatan Nguntoronadi Magetan;
1.2.3. Peranana masyarakat dalam upacara bersih desa di Desa Simbatan
Nguntoronadi Magetan.

a.3. Rumusan Masalah


1.3.1. Bagaimana pelaksanaan upacara budaya bersih desa yang dilakukan
oleh masyarakat desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Magetan?
1.3.2. Bagaimana masyarakat memaknai tentang upacara Bersih Desa di
Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Magetan?
1.3.3. Bagaimana peranan masyarakat desa dalam upacara Bersih Desa di
Desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Magetan?
a.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penlitian tentang budaya bersih desa (studi kajian
fenomenologi dan perpspektif prilaku masyarakat di desa Simbatan
kabupaten Magetan) adalah sebagai berikut :
1.4.1. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara budaya bersih desa yang
dilakukan oleh masyarakat desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi
Magetan.
1.4.2. Untuk mengetahui bagaimana masyarakat memaknai tentang upacara
Bersih Desa di Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Magetan.
1.4.3. Untuk mengetahui peranan masyarakat desa dalam upacara Bersih
Desa di Desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Magetan.

a.5. Keunikan
a.5.1. Di Desa Simbatan terdapat Candi Simbatan dan terdapat arca Dewi Sri
di dalamnya.
a.5.2. Arca Dewi Sri ini merupakan arca yang 'dihormati', dimana setiap hari
Jumat Pahing, dalam penanggalan Jawa, di bulan Muharram selalu
diikutsertakan dalam ritual bersih desa.
a.5.3. Mengungkapkan budaya bersih desa yang berkaitan dengan nilai-nilai,
kepercayaan dan prilaku masyarakat di desa Simbatan Kecamatan
Nguntoronadi Magetan.
a.5.4. Berdaskan hasil observasi, di desa Simbatan bahwa upacara bersih
desa mendapat sorotan yang beragam dari berbagai masyarakat antara
yang pro dan kontra. Kelompok pro berasal dari kalangan orang-orang
tua dan masih kuat dalam mempertahankan tradisi. Sedangkan
kelompok kontra berasal dari kalangan yang religiusnya kuat dan
menganggap bahwa budaya bersih desa adalah syirik, sehingga peneliti
menjadi tertarik untuk menelitinya, mengapa terjadi pro dan kontra
terhadap budaya bersih desa. Peneliti ingin menggali alasan-alasan
mereka terhadap budaya bersih desa.

a.6. Manfaat Penelitian


Sesuai dengan fokus penelitian yang membahas tentang tentang
budaya bersih desa (studi kajian fenomenologi dan perpspektif prilaku

4
masyarakat di desa Simbatan kabupaten Magetan), penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat Teoritik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah
perbendaharaan ilmu sosial tentang budaya bersih desa sebagai kajian
fenomenologi dan perpspektif prilaku masyarakat di desa Simbatan
kabupaten Magetan. Studi ini bermanfaat bagi pengembangan masalah-
masalah di seputar budaya, nilai-nilai, kepercayaan, dan prilaku yang ada
dalam masyarakat.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi
masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi masalah sosial
masyarakat agar tidak menjadikan konflik di tengah-tengah masyarakat.
Selanjutnya, dari penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan tokoh-
tokoh masyarakat yang mampu menciptakan keharmonisan dengan saling
menghargai dalam perbedaan.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pegertian Budaya dan Sistem Budaya
Menurut Kotter & Heskett (1992: 4), budaya diartikan sebagai
“totalitas pola perilaku, kesenian, kepercayaan, kelembagaan, dan semua
produk lain dari karya dan pemikiran manusia yang mencirikan suatu
masyarakat atau penduduk yang ditransmisikan bersama”. Farid, E & Philip,
R.H. (1977) mengartikan kebudayaan sebagai norma-norma perilaku yang
disepakati oleh sekelompok orang untuk bertahan hidup dan berada
bersama.
Koentjaraningrat (1986) mendeskripsikan kebudayaan sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan kasil karya manusia dalam rangka
kehidupasn masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar.
Adapun unsur-unsur kebudayaan, Koeintjaraningrat (1989) menyebutkan
unsur-unsur universal dari kebudayaan meliputi : (1) sistem religi dan upaca
keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem
pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup.
(7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya dijelaskan bahwa budaya itu
paling sedikit mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan sebagai : (1) wujud
kebudayaan sebagai suatu kompels ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-
norma, peraturan; (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
tindakan berpola oleh manusia dalam masyarakat; (3) wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ide kebudayaan yang sifatnya abstrak,
tak dapat diraba dan difoto. Lokasinya berada dalam alam pikran dari warga
masyarakat tempat kebudayaan yang bersangkutan hidup. Pada saat
sekarang ini kebudayaan ide juga banyak tersimpan dalam disk, tape, arsip,
koleksi microfil, dan sebagainya. Kebudayaan ini dapat disebut
tatakelakuan, karena berfungsi sebagai tatakelakuan yang mengatur,
mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia.
Wujud kedua dari kebudayaan sering disebut sebagai sistem sosial,
yang menunjuk pada perilaku yang berpola dari manusia, sistem sosial
berupa aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta
bergaul dari waktu ke waktu.
Sedangkan wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik,
yaitu keseluruhan hasil dari aktivitas fisik, perbuatan dan karya manusia
dalam masyarakat yang sifatnya kongkrit berupa benda-benda.

2.2. Wujud dan Unsur Kebudayaan


Budaya sebagai keseluruhan cara hidup mencerminkan kesepakatan
tentang norma, nilai dan kepercayaan yang membuat memungkinkannya
suatu masyarakat untuk hidup bersama secara relatif harmonis (Babbie,
1982), ia mencakup idea dan praktik yang disetujui dan dilakukan oleh
kebanyakan warga masyarakat tentang bagaimana masyarakat merespons
kondisi alam maupun sosial yang dihadapinya (Richter, 1987). Dalam
memandag budaya sebagai pola hidup secara khusus berkenaan dengan

6
pandangan terhadap kerja. Pola tersebut sering disebut sebagai budaya
kerja. Geertz (1973) menyatakan bahwa budaya kerja sebagai suatu
kekayaan rohaniah berupa sikap mendasar terhadap “diri dan dunia” yang
terpancar dalam kehidupan sehari-hari. Kajian tentang budaya lebih
difokuskan pada budaya hidup sehari-hari merupakan pola untuk hidup.
Unsur-unsur kebudayaan yakni keseluruhan dari tindakan manusia yang
berpola berkisar sekitar pranata-pranata tertentu yang amat banyak
jumlahnya. Dengan demikian, suatu masyarakat yang luas dapat kita perinci
ke dalam pranata-pranata yang lebih khusus. Sejalan dengan itu, suatu
kebudayaan yang luas selalu dapat pula kita rinci ke dalam unsur-unsurnya
yang lebih khusus. C.Kluckholn dalam bukunya Universal Categories of
Culture (1953) menyimpulkan bahwa unsur-unsur kebudayaan universal
pada semua bangsa di dunia adalah : (1) Bahasa; (2) Simtem pengetahuan;
(3) Organisasi Sosial; (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) Sistem
pencaharian hidup; (6) Sistem religi; (7) Kesenian. Tiap-tiap unsur
kebudayaan universal sudah barang tentu juga menjelma dalam ketiga
wujud kebudayaan, yaitu: wujudnya yang berupa sistem budaya, sistem
sosial, dan unsur-unsur kebudayaan fisik. Dengan demikian, sistem
ekonomi misalnya memiliki wijudnya seperti konsep-konsep, rencana-
rencana, kebijaksanaan, adat istiadat yang berhubungan dengan ekonomi,
tetapi mempunyai juga wujud berupa tindakan-tindakan dan interaksi
berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, transportasi, pengecer
dengan konsumen. Selain itu, dalam sistem ekonomi juga terdapat unsur-
unsur yang berupa peralatan, komuditi, dan benda-benda ekonomi.
Demikian juga sistem religi mempunyai wujud sebagai sistem keyakinan,
dan gagasan-gagasan tentang Tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka,
surga, dan sebagainya. Akan tetapi, sistem religi juga mempunyai wujud
yang berupa upacara-upacara. Baik yang bersifat musiman maupun yang
kadangkala. Selain itu, sistem religi juga mempunyai wujud sebagai benda-
benda suci dan benda-benda religius. Tiap unsur kebudayaan universal dapat
diperinci ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil maupun lebih meningkat
lebih besar.
Schein (2004:25) mengemukakan adanya tiga tingkatan budaya yaitu:
Pertama adalah artifak yang merupakan fenomena yang dapat dilihat,
didengar dan dirasakan jika seseorang menjumpainya. Termasuk dalam
artifak adalah produk yang nampak, bentuk fisik lingkungan, bahasa,
teknologi dan hasilnya, kreasi seni, gayanya seperti pada pakaian, mitos dan
cerita tentang organisasi, nilai-nilai, ritual, perayaan dan lani-lain.
Kedua adalah espoused beliefs and values, kepercayaan yang dianut
dan nilai-nilai. Pada saat sebuah kelompok dibentuk atau suatu kelompok
menghadapi tugas baru, isu atau masalah maka pemecahan pertama yang
diusulkan untuk mengatasinya, mencerminkan asumsi orang itu sendiri apa
yang dianggap benar atau salah. Orang yang mengemukakan dan dapat
mempengaruhi kelompok untuk mengikuti pendekatan pemecahan masalah
itu maka kelak akan menjadi pimpinan atau pendiri, meskipun kelompok itu

7
belum memiliki pengetahuan besama sebagai sebuah kelompok, karena
belum merupakan dasar yang diakui bersama untuk dapat digunakan.
Ketiga, asumsi dasar. Schein (1995: 3-7) melihat konsep budaya
organisasi dalam bentuk suatu model dinamik mengenai bagaimana budaya
dipelajari, disebarkan, dan diubah. Dasar argumentasi Schein adalah bahwa
semua harus memahami kekuatan evolusi dinamik yang mempengaruhi
suatu budaya berkembang dan berubah.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka yang
dimaksud dengan budaya adalah nilai-nilai, norma dan acuan yang terdapat
dalam masyarakat yang dapat mengarahkan persepsi, cara berpikir, dan
bertindak para anggotanya dengan indikator. (1) keberaturan cara bertindak;
(2) norma-norma yang berlaku; (3) nilai dan keyakinan; (4) pandangan
hidup; dan (5) aturan main.

2.3. Nilai-nilai Budaya dalam Masyarakat


Di dalam kehidupan masyarakat terjadi dinamika hubungan satu sama
lain yang ditentukan oleh kekuatan pengikutnya dan dikenal dengan nilai-
nilai atau norma. Koentjoroningrat (1977) mengemukakan untuk dapat
membedakan kekuatan pengikut dalam masyarakat tersebut, secara
sosiologis dikenal adanya empat pengertian, yaitu: Pertama, Cara (usage),
yaitu kebiasaan seseorang yang disengaja atau tidak disengaja lumrah untuk
dirinya, tetapi menjadi tidak lumrah untuk orang lain. Penyimpangan
terhadap kebiasaan semacam ini hanya terletak pada kesantunan atau tidak.
Kedua, Kebiasaan (folksway), merupakan perilaku yang diakui dan diterima
oleh masyarakat, misalnya kebiasaan menghormati orang yang lebih tua
sudah merupakan kebiasaan yang dihormati. Ketiga, nilai-nilai sosial tata
kelakuan (mores), yaitu kebiasaan yang hidup dalam interaksi manusia yang
dijaga dan dilindungi, bahkan dia menjadi alat pengawas atau kontrol dalam
masyarakat. Keempat, adat istiadat (custom), yaitu tata kelakuan yang sudah
kuat atau baku serta terintegral dengan pola-pola hidup bermasyarakat, bila
terjadi penyimpangan dari adat istiadat tersebut, maka akan menimbulkan
rasa sakit dan lain sebagainya. Menurut Nottingham (1994), hubungan
antara konsepsi masyarakat tentang yang sakral dan nilai-nilai moral
kelompok bisa merupakan kekuatan pengikat dan nilai yang dilindungi
dalam masyarakat. Menurutnya, hal tersebut telah banyak ditemui pada
interaksi manusia dengan agamanya masing-masing.
Di dalam masyarakat Jawa, khususnya di Kabupaten Magetan, nilai-
nilai budaya dalam wujud cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat
pada umumnya masih berkembang secara baik dan dalam beberapa hal
nilai-nilai tersebut masih dilindungi sebagai pedoman hidup bermasyarakat.
Kuatnya nilai-nilai budaya pada masyarakat Jawa dapat membentuk kohesi
sosial yang menjadi bagian sangat integral dalam masyarakat. Masyarakat
Jawa sebagai manusia saling berkomunikasi sebab dorongan adanya
kebutuhan akan hal-hal yang bersifat jasmani dan rokhani, termasuk
didalamnya hasrat akan perlindungan, keamanan, dan perdamaian. Jiwa
kekerabatan sebagai salah satu nilai budaya masyarakat Jawa sudah

8
mendarah daging dalam masyarakat dan umumnya sifat luas serta tertopang
pada ikatan darah. Semuanya itu didasari oleh kebersamaan yang sudah
dibangun dalam lingkup rumah adat sebagai pusat dan yang mengatur
segala kegiatan masyarakatnya. Adanya ikatan tersebut mempertebal rasa
solidaritas antara mereka. Hal ini jelas nampak dalam kenduri (slametan),
pesta pernikahan, dan upacara bersih desa.

2.4. Tradisi
Menurut Sztompka (2008:69) tradisi adalah keseluruhan benda
material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar
masih ada, belum dihancurkan, dirusak, dibuang atau dilupakan. Tradisi
mencakup kelangsungan masa lalu dan masa kini. Kelangsungan masa lalu
di masa kini mempunyai dua bentuk material dan gagasan.
Tradisi atau kebiasaan juga sering disebut dengan adat istiadat. Adat
istiadat adalah perbuatan sosial yang merupakan jaringan cita-cita, norma-
norma, aturan, kaidah, pandangan, sistem dan sebagainya. Kebiasaan yang
sudah tradisionazl dijadikan normatif, maka berubahlah ia menjadi adat,
dan adat yang sudah mendarah daging membentuk tabiat (Gazalba,
1974:39).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi atau adat
istiadat merupakan kebiasaan turun temurun yang diwariskan oleh
generasi ke generasi terdahulu yang masih dilakukan oleh masyarakat baik
berupa benda material maupun gagasan secara tidak tertulis sebagai
kontrol atas tingkah laku atau sikap manusia sebagai warga suatu
masyarakat.
Fungsi tradisi dibedakan ke dalam empat hal, yaitu: 1) tradisi adalah
kebijakan turun-temurun, tempatnya di dalam kesadaran, keyakinan,
norma, dan nilai yang dianut serta benda yang diciptakan di masa lalu; 2)
memberi legitimasi dalam pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan
yang sudah ada; 3) menyediakan simbol identitas kolektif yang
meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas
dan kelompok; dan 4) membantu menyediakan tempat pelarian dari
keluhan ketidakpuasan, dan kekecewaan kehidupan modern. Tradisi
mengesankan masa lalu yang lebih bahagia, menyediakan sumber
pengganti kebanggaan apabila masyarakat berada dalam kritis (Sztompka,
2008: 74).
Koentjaraningrat dalam Herusatoto (2008:164) membagi dalam
empat tingkatan yaitu tingkat nilai budaya, berupa ide-ide yang
mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan
masyarakat, dan biasanya berakar dalam bagian emosional dan alam jiwa
manusia, misalnya gotong royong atau sifat suka kerjasama berdasarkan
solidaritas yang besar. Tingkat norma-norma, berupa nilai-nilai budaya
yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat
dalam lingkungannya. Tingkat hukum, sistem hukum yang berlaku seperti
hukum adat perkawinan dan hukum adat kekayaan. Tingkat aturan khusus,

9
yang mengatur kegiatan-kegiatan yang jelas terbatas ruang lingkupnya
dalam masyarakat dan sifatnya konkrit, misalnya aturan sopan santun.
Tradisi penting untuk dilestarikan. Upaya pelestarian tradisi dapat
dibagi ke dalam dua faktor yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor
intern merupakan faktor dari dalam masyarakat sendiri, yaitu pelestarian
yang dilakukan oleh masyarakat karena adanya rasa takut apabila tidak
menjalan sebuah tradisi akan membawa dampak buruk bagi kehidupan
mereka. Sedangkan faktor ekstern adalah dari lembaga pemerintahan
terutama pemerintah daerah, dalam hal mendukung setiap kegiatan
masyarakat dalam rangka melestarikan budaya lokal.

2.5. Pengertian Nilai dan Sistem Nilai


Istilah “nilai” merupakan sebuah istilah yang tidak mudah untuk
diberikan batasan secara pasti. Hal ini disebabkan karena nilai merupakan
sebuah realitas yang abstrak (Ambroisje dalam Kaswardi, 1993).
Menurut Rokeah dan Bank (dalam Thoha, 1996) nilai adalah
suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup system
kepercayaan di mana seseorang bertindak atau menghindari suatu
tindakan atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas
dikerjakan. Sedangkan Fraenkel (dalam Thoha, 1996) mengartikan
nilai sebagai sebuah pikiran (ide) atau konsep mengenai apa yang
dianggap penting bagi seseorang dalam kehidupannya.
Allport (dalam Kadarusmadi, 1996) mengartikan bahwa nilai
itu merupakan kepercayaan yang dijadikan preferensi manusia dalam
tindakannya. Manusia memilih aktivitas berdasarkan nilai yang
dipercayainya.
Menurut Ambroisje (dalam Kaswardi, 1993) bahwa nilai
merupakan sebuah realitas yang abstrak. Demikian juga menurut
Ndraha, 1997: 27) bahwa nilai bersifat abstrak, karena itu nilai pasti
termuat dalam sesuatu. Sesuatu yang memuat nilai ada empat macam,
yaitu: raga, perilaku, sikap, dan pendirian dasar.
Robbins (1991: 158) menjelaskan bahwa nilai terdapat dalam
setiap pilihan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang baik
berkaitan dengan hasil (tujuan) maupun cara untuk mencapainya.
Dalam hal ini terkandung pemikiran dan keputusan seseorang
mengenai apa yang dianggap benar, baik atau diperbolehkan. Nilai-
nilai memiliki dua macam atribut, yaitu isi dan intensitasinya.
Atribut isi (content) adalah berkaitan dengan apakah sesuatu itu
penting. Sedangkan atribut intensitas menyangkut sejauh mana
tingkat kepentingannnya. Ketika kita merangking nilai-nilai
seseorang berdasarkan intensitasnya, kita mendapatkan system nilai
dari orang tersebut. Pada dasarnya semua orang memiliki hirarkhi
nilai yang membentuk system nilai pribadinya. Sistem ini dapat
diketahui melalui pandangan orang tentang tingkat kepentingan suatu
nilai seperti kemerdekaan (kebebasan), kesenangan, harga diri,
kejujuran, kepatuhan, dan kesamaan (equality).

10
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai
merupakan suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar
bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya
atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi
kehidupannya. Sedangkan system nilai adalah suatu peringkat yang
didasarkan pada suatu peringkat nilai-nilai seorang individu dalam
hal intensitasnya.
Spranger (Alisyahbana, 1986) menggolongkan tipe nilai
menjadi enam berdasarkan enam lapangan kehidupan manusia yang
membuat manusia berbudaya. Keenam lapangan itu ialah: (1)
lapangan pengetahuan; (2) lapangan ekonomi; (3) lapangan estetik;
(4) lapangan politik; dan (5) lapangan religi.
Robbins (1991: 159-160) merujuk pandangan Alport, dan
kawan-kawannya membagi tipe nilai menjadi enam yaitu: (1)
theoritical, (2) economic, (3) aesthetic; (4) social; (5) political, dan
(6) religious.
Dari keenam tipe nilai tersebut kemudian Spranger
menggolongkan perilaku manusia ke dalam enam golongan atau tipe,
yaitu : (1) theoretical man (concerned with truth and knowledge); (2)
economic man (utilitarian); (3) esthetic man (art and harmony); (4)
social man (humanistarian); (5) political man (power and control);
dan (6) religious man. Dapat diartikan bahwa tipe nilai dapat
digolongkan menjadi enam, yaitu : (1) manusia teoritis (konsen
terhadap kebenaran dan pengetahuan; (2) manusia sosial
(manusiawi); (3) manusia estetik (seni dan harmoni); (4) manusia
sosial (manusiawi); (5) manusia politik (kekuasaan dan pengawasan);
dan (6) manusia religius (agama).
Klasifikasi di atas bersifat horisontal. Secara vertikal,
Alisyahbana (1986) mengklasifikasikan nilai menjadi tiga tingkat,
yaitu: (1) tingkat vital, (2) tingkat hati; (3) tingkat akal. Nilai tingkat
vital berkaitan dengan sesuatu yang dianggap sangat dibutuhkan
dalam mempertahankan hidup dan mendapatkan keperluan hidup
yang sebagian besar ditentukan oleh insting. Nilai hati muncul
karena kesadaran dan pengakuan diri yang didasarkan akan perlunya
pengorganisasian dan pengawasan terhadap keperluan hidupnya.
Nilai-nilai juga dapat diklasifikasikan secara dikhotomis yang
seolah-olah merupakan dua kutub yang saling bertentangan. Nilai-
nilai tersebut adalah nilai intrinsik dan nilai intsrumental, nilai
absolut dan nilai relatif serta nilai subyektif dan nilai obyektif.
Sesuatu mengandung nilai intrinsik apabila sesuatu itu bernilai
karena melekat pada diri seseorang baik yang diinginkan maupun
yang tidak diinginkan. Nilai instrumental adalah bila memiliki
kegunaan (means) untuk mencapai tujuan selanjutnya. Dalam konteks
ini, sesuatu dapat dinilai sebagai bernilai intriksik apabila berhenti
pada dzatnya, namun di lain waktu dapat pula dinilai sebagai
instrumental bila digunakan untuk mencapai sesuatu yang lain.

11
Sebagai contoh, ilmu pengetahuan yang secara intrinsik merupakan
kebaikan, namun dapat pula dijadikan instrumental untuk mencapai
tujuan lain seperti kekuasaan, ekonomi, dan sebaginya.
Nilai absolut adalah nilai-nilai yang ada dan melekat pada
sesuatu yang bernilai (Fascione, et.el., 1978). Nilai-nilai itu
merupakan nilai yang pokok (fundamental), abadi dan langgeng.
Biasanya nilai-nilai tersebut berasal dari Tuhan atau terdapat dalam
hukum alam. Nilai-nilai ini mengatasi (trancends) dunia sehari-hari
yang diketahui melalui indera dan pengalaman sains.
Penilaian terhadap sesuatu dapat bersifat subyektif atau bisa
bersifat obyektif. Nilai subyektif mengandung unsur emosi atau
perasaan manusia yang menilai sesuatu itu baik atau tidak baik,
menyenangkan atau tidak sesuai dengan pengalamannya. Sebalinya
nilai obyektif, terlepas dari unsur manusia yang menilai, melainkan
karena memang sesuatu itu memiliki nilai. Ada suatu kualitas yang
berdiri sendiri terlepas dari unsur manusia yang menilai, melainkan
karena memang sesuatu itu memiliki nilai. Ada suatu kualitas yang
berdiri sendiri terlepas dari pertimbangan orang. Sebagai contoh
lukisan indah dan menarik, sehingga menawan hati, bukan
disebabkan oleh perhatian dan pertimbangan orang tersebut.
Sheler (dalam Kaswardi, 1993) menyatakan bahwa nilai-nilai
yang ada tidaklah sama luhur dan sama tingginya. Nilai-nilai itu
secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah
dibandingkan dengan nilia-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya,
nilai-nilai dikelompokkan dalam 4 tingkatan, yaitu:
1) Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkat ini terdapat deretan nilai-
nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan, yang
menyebabkan orang senang atau menderita.
2) Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkat ini tercakup nilai-nilai yang
lebih penting bagi kehidupan, misalnya: kesehatan, kesegaran
badan, kesejahteraan umum.
3) Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkat ini terdapat nilai-nilai yang
sama sekali tidak tergantung pada keadaan jasmani maupun
lingkungan, misalnya kehidupan, kebenaran dan pengetahuan
murni yang dicapai dalam filsafat.
4) Nilai-nilai kerokhanian: dalam tingkat ini terdapat modalitas
nilai dari suci dan tidak suci. Nilai-nilai semacam ini terutama
terdiri dari nilai-nilai pribadi dan nilai ketuhanan.
Muhadjir (1988) membuat klasifikasi nilai berdasarkan hal-hal
berikut:
1) Dilihat dari kemampuan jiwa manusia untuk menangkap dan
mengembangkannya, nilai dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
(a) nilai yang statis, seperti kognisi, emosi dan psikomotor; (b)
nilai yang bersifat dinamis, seperti motivasi berperestasi (need of
achievement), motivasi berafiliasi (need of affiliation), dan

12
motivasi berkuasa (need of power) yang dikembang oleh
McClelland.
2) Dilihat dari proses budaya, nilai dikelompokkan menjadi: (a)
nilai ilmu pengetahuan; (b) nilai ekonomi; (c) nilai keindahan;
(d) nilai politik; (e) nilai keagamaan; (f) nilai kekeluargaan; (g)
nilai kejasmanian.
3) Ditinjau dari sifat nilai itu sendiri, nilai diklasifikasikan menjadi:
(a) nilai-nilai subyektif; (b) nilai-nilai objek rasional (logis),
merupakan penemuan esensi objek melalui akal sehat (logika),
seperti kemerdekaan, keselamatan, kedamaian, persamaan hak;
dan; (c) nilai-nilai obyektif metafisik, seperti nilai agama yang
tidak bersumber pada logika, namun mampu menyusun kenyataan
obyektif.
4) Berdasarkan sumbernya, terdapat (a) nilai illahiyah ( ubudiyah
dan mu’amalah) yang bersumber dari wahyu, dan (b) nilai
insaniyah, yaitu nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar
kriteria yang disusun sendiri.
5) Berdasarkan ruang lingkup keberlakuannya, nilai dapat
dibedakan menjadi (a) nilai-nilai universal; dan (b) nilai-nilai
lokal. Dari dimensi waktu keberlakuan, terdapat nilai-nilai yang
(a) abadi, (b) pasang surut, (c) nilai temporal.
6) Ditinjau dari segi hakikatnya, nilai-nilai dibedakan menjadi: (a)
nilai hakiki (value) yang bersifat universal dan abadi; dan (b)
nilai instrumental, yang dapat bersifat lokal, pasang surut dan
temporal.

2.6. Interaksi Sosial


Interaksi sosial (Social Interaction) secara sederhana dapat
diartikan sebagai suatu proses dimana seseorang bertindakn dan bereaksi
antara yang satu dengan yang lainnya (Stnelser, 1984: 89). Pengertian lain
dari Bonner seperti yang dikutip Gerungan (1986: 57) yang mengartikan
bahwa interaksi sosial sebagai hubungan antara dua atau lebih individu
manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah
atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebalinya. Gillin dan
Gillin (dalam Soekanto, 1986: 51) mengartikan interaksi sosial sebagai
hubungan-hubungan yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara
orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-
orang perorangan dengan kelompok manusia.
Sebagai suatu aktivitas yang melibatkan pihak lain dan sekaligus
sebagai kebutuhan fundamental bagi manusia sebagai makhluk sosial, maka
dalam proses interaksi tersebut, manusia yang di satu sisi mempunyai
karakter individualitas dan sosialitas di sisi lainnya melebur menjadi satu
interaksi sosial. Di sini, manusia seperti yang diungkap dalam analisis
sosiologis Berger (1991: 3-5) terlihat dalam proses dialektis yang
mewujudkan dalam tiga momentum atau tiga langkah fundamental, yaitu
eksternalisasi, objektikasi, dan internalisasi. Dalam momentum

13
eksternalisasi, manusia mencurahkan dirinya secara terus menerus ke dalam
dunia baik dalam bentuk kegiatan fisik maupun mental. Objektifikasi
merupakan hasil dari kegiatan fisik dan mental, yang kemudian tampak di
hadapan pembuatnya sebagai aktivitas lahiriah yang lain dari keadaan
aslinya. Internalisasi adalah pengambilan kembali realitas yang sama,
mengubahnya sekali lagi dari struktur dunia objektif ke struktur dunia
kesadaran, Melalui eksternalisasi, masyarakat menjadi suatu realitas
ideologis dan unik. Dan melalui internalisasi, manusia merupakan produk
masyarakat.
Proses interaksi sosial pun tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi
secara psiko-sosial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh banyak faktor dan
muncul dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, yang perlu diketahui lebih
jauh dalam proses interaksi sosial ini adalah: (1) faktor-faktor terjadinya
interaksi sosial; (2) Pola atau bentuk interaksi sosial yang berlangsung.
Menurut Soekamto (1986: 52-53) dan Gerungan (1986: 58-59)
berlangsungnya interaksi sosial karena didorong oleh beberapa faktor, yaitu
imitasi, sugesti, simpati dan identifikasi. Imitasi adalah proses meniru apa
yang dimiliki oleh orang lain menjadi miliknya sendiri. Imitasi dapat
berlangsung dalam bentuk seperti cara berbahasa, beringkah laku tertentu,
cara memberi hormat, mode, adat istiadat dan tradisi lainnya. Imitasi
berlangsung apabila seseorang menaruh minat atau perhatian yang cukup
besar dan adanya sikap menjunjung atau mengagumi sesuatu yang ditiru.
Sugesti adalah proses dimana seorang individu menerima penglihatan atau
pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Sugesti
terjadi karena yang bersangkutan mengalami hambatan berpikir, dalam
keadaan bingung dan keadaan memandang orang lain lebih tinggi, karena
kebanyakan orang telah terlibat (terpengaruh mayoritas), dan karena
pandangan yang disampaikan telah menjadi keinginan. Simpati merupakan
perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati timbl bukan
atas dasar logis rasional, tetapi semata-mata tertarik dengan sendirinya, dan
tertarik tidak karena salah satu ciri tertentu, melainkan karena keseluruhan
cara bertingkah laku seseorang. Identifikasi adalah dorongan untuk menjadi
identik (sama) dengan seseorang. Identifikasi dilakukan orang terhadap
orang lain yang dianggap ideal dalam satu ego, untuk memeperoleh sistem
norma, sikap dan nilai-nilainya yang dianggap ideal dan masih mengandung
kekurangan bagi dirinya.
Teradinya interaksi sosial yang didorong oleh empat faktor tidak
dapat dilepaskan juga dari adanya jarak sosial para pelaku interaksi
(Susanto, 1989). Konsep jarak sosial ini pertama kali digunakan oleh
Bogardus sebagai teknik mengukur tingkat penerimaan dan penolakan
terhadap kelompok lain (Horton & Horton, 1982: 32). Dalam konteks
interaksi sosial, jarak sosial memberikan pengaruh yang cukup besar.
Semakin dekat jarak sosial yang ada, semakin tinggi intensitas interaksi
yang dilakukan, demikian juga sebaliknya. Apabila individu lebih jauh
dengan yang lainnya, maka terdapat tanda akan goyahnya hubungan-
hubungan sosial yang harmonis.

14
2.7. Teori Fenomenologis
Secara etimologi, fenomenologi menunjuk pada studi tentang
tentang fenomena atau bagaimana fenomena muncul dalam kehidupan
seseorang. Aliran ini menginvestigasi struktur berbagai pengalaman dan
mengasumsikan bahwa analisisnya menghasilkan fondasi filosofis yang
lebih baik daripada epistemologi atau metafisika. Fenomenologi mempunyai
pengaruh signifikan terhadap sosiologi, khususnya melalui karya Schutz.
Fenomonologi sosiologis merupakan versi terpisah dari sosiologi
interpretatif lain, seperti etnometodologi, interaksionisme simbolik, dan
hermeneutik. Sosiologi fenomenologik memperhatikan cara-cara ketika
manusia merasionalkan realitas sosialnya dan bertindak berdasarkan
padanya. Pendekatan ini cenderung menentang pendapat neo-positivistis
bagi sebuah kesatuan netode antara sosial dan natural. Masyarakat selalu
siap ‘diinterpretasikan’ dan hal ini membutuhkan sebuah metodologi
interpretatif.
Teori fenomenologi merupakan salah satu teori yang menentang
paradigma yang menjadi mainstream dalam sosiologi struktural fungsional.
Para ahli teori fenomenologis menggunakan analisis kualitatif dalam
melihat bagaimana aktor sosial menciptakan makna dan memperoleh posisi
sosial dan konteks bahasa.
Teori fenomenologi telah digagas sejak abad 19, Georg Wilhelm
Friedrich Hegel (1770-1831) memulai memperkenalkan fenomenologi
sebagai metode baru dalam mendekati realitas. Konsep sentral dalam
filsafat Hegel adalah dialektika. Dialektika merupakan seperangkat hukum
yang mendasari pemikiran dan realitas setiap tesis terdapat di dalamnya
antitesis. Keduanya melebur menjadi sintesis. Bagi Hegel, fenomena dalam
sejarah bukanlah suatu kejadian yang kebetulan, melainkan merupakan
tahap penting menuju organon yaang lebih kaya. Sejarah semestinya
dipahami dan juga semestinya diinterprepretasikan, sebagai bentukan
ingatan pikiran.
Sebelum Hegel, Immanuel Kant merupakan pioner konsep
fenomenologi (Johnson, 2008: 138: 138). Kant menggeluti perennial
problem (problem abadi) tentang bagaimana kita bisa mengetahui dunia
berdasarkan pada persepsi yang kita miliki tidak selalu sesuai dengan
kenyataan yang ada. Dalam kehidupan sehari-hari, secara tidak sadar kita
mendapatkan fakta bahwa suara dan pengamatan yang terekam dalam
telinga dan mata akan bervariasi berdasarkan jarak dan sumbernya. Kant
berpendapat bahwa adalah tidak mungkin kita mengetahui dunia sebagai
sebuah realitas dengan sendirinya. Sesungggunya, kita mengetahui sesuatu
berdasarkan pada persepsi kita tentang dunia sebagaimana yang difilter
terlebih dahulu melalui penglihatan dan diorganisasi oleh kerangka-
kerangka pengetahuan khusus (Johnson, 2008: 138).
Filsuf Edmund Husserl (1859-1938) yang dikenal sebagai founding
father fenomenologi mengembangkan ide tentang dunia kehidupan
(lifeworld). Ia menggunakan filsafat fenomenologi untuk mengetahui

15
bagaimana sebenarnya struktur pengalaman yang merupakan cara manusia
mengorganisasi realitasnya sehingga menjadi terintegrasi dan autentik. Bagi
Husserl, dunia kehidupan menyediakan dasar-dasar harmoni kultural dan
aturan-aturan yang menentukan kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang
riil dan normal. Dunia kehidupan juga menghasilkan latar belakang ilmu
pengetahuan yang dipandang sebagai kepercayaan-kepercayaan yang
diterima apa adanya (taken for granted) dalam sebuah tata kelakuan
sistematik.
Husserl tertarik pada struktur tindakan kesadaran yang menjadi
pengalaman intensional, selalu merepresentasikan suatu keseluruhan isi dan
bentuk pengalaman. Oleh karena itu, menjadi basis pendekatan manusia
terhadap realitas dalam setiap modenya. Akan tetapi, apabila itu dipakai
untuk mengklaim sebagai ilmu pengetahuan yang teliti menghasilkan
sebuah fondasi dari seluruh ilmu pengetahuan individual. Filsafat harus
mencapai dua hal, yaitu sesuatu yang dapat diterapkan secara logik murni
dan pada saat yang sama dapat dipakai untuk mengklarifikasi basis-basisnya
dalam arus kesadaran intensional. SelanjutnyHusserl (a976)
mengembangkan metode khusus yang kemudian dikenal sebagai “reduksi
fenomenologi”. Ia konsisten dengan investigasi pengalaman sebagai
pembentukan makna dari tindakan kesadaran dan mencari metode untuk
mencari bukti-bukti tersebut.
Menurut Husserl (dalam Sindung Haryanto, 2012: 144) dengan
fenomenologi kita dapat mempelajari bentuk-bentuk pengalaman dari sudut
pandang orang yang mengalaminya secara langsung, seolah-olah kita
mengalaminya langsung. Fenomenologi tidak saja mengklasifikasikan setiap
tindakan sadar yang dilakukan, namun juga meliputi prediksi terhadap
tindakan di masa yang akan datang. Semuanya itu bersumber dari
bagaimana seseorang memaknai objek dalam pengalamannnya. Oleh karena
itu, tidak salah apabila fenomenologi juga diartikan sebagai studi tentang
makna.
Menurut Husserl, fenomenologi merupakan ilmu yang fundamental
dalam berfilsafat. Fenomenologi merupakan lmu tentang hakikat sesuatu
dan bersifat a priori. Dengan mengikuti Descartes, tetapi juga memberikan
modifikasi, filsafat yang dikembangkan Hsserl adalah filsafat radikal, yakni
filsafat yang mempertanyakan hakekat sesuatu. Ia memulainya dengan
mempertanyakan sesuatu yang dahulu diterima begitu saja. Hal ini
membutuhkan sikap yang berbeda (einstellung) terhadap dunia, dan
memandangnya dengan suatu “pandangan baru”. Husser merujuk pada
sikap seseorang “menolak” validitas suatu kepercayaan alami yang ada dari
apa yang dialaminya. Seseorang harus mengurung dunianya yang bersifat
objektif agar mendapatkan nilai yang berbeda. Reduksi tersebut mendorong
kaum fenomenologis untuk mentransformasikan dirinya ke dalam sosok
peneliti yang tidak berkepentingan dan terpisah.
Reduksi Husserl bergerak ke dalam dua arah, yakni ke arah noesis
(suatu tindakan yang diarahkan kepada suatu objek yang dikehendaki), dan
ke arah noema (suatu objek dari tindakan noetic), atau menuju tindakan

16
yang sadar terhadap dirinya sebagaimana kepada dunia objek yang
dikehendaki. Elaborasi analasis noetic Husserl adalah: orang menguji objek
kesadaran orang lain yang dikehendakinya yang dihubungkan dengan
kesadaran dirinya pada saat mencoba membedakan suatu fenomena yang
asli dari sesuatu yang hanya berupa asumsi-asumsi dan praduga-praduga
tentangnya. Orang menguj kesadaran yang dijadikan sebagai objek dengan
menguji tentang keinginannya, perasaannya, dan keyakinan-keyaknannya
sehingga bisa masuk dalam suatu pengalaman objek tempat ia mampu
merefleksikannya. Konsep intensionalitas kesadaran Husserl ini adalah
subjek dan objek tidak dapat dipisah-pisahkan dan bersifat intereksional
yang masing-masing hanya dapat dimengerti dari penjelasan yang lain.
Setiap objek merupakan objek bagi beberapa subjek dan setiap subjek
merupakan bagian dari objek intensionalitasnya (Zeilin, 1995: 221 dalam
Sindung Haryanto, 2012: 144
Tokoh fenomologis yang lain adalah Alfred Schutz (1899-1959)
kelahiran Austria yang kemudian pindah ke Amerika Serikat pada tahun
1939. Schutz adalah murid Husserl dengan mengeksplorasi relevansi
fenomologi ke dalam sosiologi. Dalam karyanya The Phenomenology of the
Social World (1967), Schutz menggunkan skema interpretasinya untuk
merasionalisasikan fenomenologi personalnya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini menjadi stock of knowledge yang memungkinkan dia memahami
makna dari apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain. Orang secara
normal memperhatikan stock of knowledge yang digunakannya, yang
menjadi bagian dari pengetahuan tak disadari (tacit knowledge). Dalam
konteks ini, Schutz berbicara tentang rasionalitas sehari-hari sebagai lawan
rasionalitas ilmiah. Apabila rasionalitas ilmiah dicirikan dengan
pengetahuan teoritis dan keraguan-keraguan sistematik, rasionalitas sehari-
hari bersumber pada pengetahuan praktis dan penilaian (suspense)
krtidakpercayaan. Fenomologi Schutz melicinnkan jalan bagi penemuan-
penemuan sosiologis tentang bagaimana orang menandai makna terhadap
lingkungannya.
Stock of knowledge, menurut Schutz adalah keseluruhan peraturan,
norma konsep tentang tingkah laku yang tepat, dan lain-lain yang
kesemuanya memberikan kerangka referensi atau orientasi kepada
seseorang dalam memberikan interpretasi terhadap segala sesuatu yang
terjadi di sekitarnya sebelum melakukan suatu tindakan. Bebarapa ciri dari
stock of knowledge yang mendapat penekanan khusus dari Schutz adalah :
1) Realitas yang dialami oleh orang-orang merupakan stok pengetahuan
bagi orang tersebut. Bagi anggota-anggota sebuah masyarakat, stok
pengetahuan mereka merupakan realitas terpenting yang membentuk
dan mengarahkan semua peristiwa sosial. Aktor-aktor menggunakan
stok pengetahuan ini ketika mereka berhubungan dengan orang-orang
lain di sekitarnya.
2) Keberadaan stok pengetahuan ini memberikan ciri take for granted
(menerima sesuatu begitu saja tanpa mempertanyakannya) kepada
dunia sosial. Stok pengetahuan ini jarang menjadi objek refleksi sadar

17
atau menjadi menjadi semacam asumsi-asumsi dan prosedur implisit
yang diam-diam digunakan oleh individu-individu ketika mereka
berinteraksi.
3) Stok pengetahuan ini dipelajari dan diperoleh ndividu melalui proses
sosialisasi di dalam dunia sosial dan budaya tempat dia hidup. Akan
tetapi, kemudian stok pengetahuan tersebut menjadi realitas bagi aktor
di dalam dunia yang lain karena ke mana saja ia membawa stok
pengetahuan itu dalam dirinya.
4) Individu-individu bertindak berdasarkan sejumlah asumsi yang
memungkinkan mereka menciptakan perasaan “saling” atau timbal
balik: (a) yang lain dengan si aktor yang berhubungan atau berelasi
dianggap pada waktu itu juga menghayati atau memliki stok
pengetahuan si aktor; (b) yang lain biasa juga menghayati atau memiliki
stok pengetahuan yang khas dan berbeda dari stok pengetahuan ini tidak
dipedulikan si aktor ketika ia berelasi dengan mereka.
5) Ekstensi dari stok penegatahuan dan perolehannnya melalui sosialisasi.
Asumsi yang memberikan aktor rasa saling atau timbal balik, semua
beroperasi untuk memberikan kepada aktor perasaan atau asumsi bahwa
dunia ni sama untuk semua orang dan ia menyingkapkan ciri-ciri yang
sama kepada semua. Apa yang membuat masyarakat bisa bertahan atau
menjaga keutuhannya adalah asumsi akan dunia satu yang sama.
6) Asumsi akan dunia yang sama itu memungkinkan si aktor bisa terlibat
dalam proses tipikasi, yakni berdasarkan tipe-tipe, resep-resep, atau
pola-pola tingkah laku yang sudah ada. Tindakan atau perbuatan pada
hampir semua situasi kecuali yang sangat personal dan intim, dapat
berlangsung melalui tipifikasi yang bersifat timbal balik ketika si aktor
menggunakan stok pengetahuannya untuk mengategorikan satu sama
lain dan menyesuaikan tanggapan mereka terhadap tipikasi-tipikasi
tersebut.
7) Dengan tipikasi tersebut, si aktor dapat secara efektif bergumul di
dalam dunia mereka karena setiap nuansa dan karakteristik dari situasi
mereka tidak harus diperiksa. Selain itu, tipikasi mempermudah
penyesuaian diri karena memungkinkan manusia memperlakukan satu
sama lain sebagai kategori-kategori atau objek dengan tipe-tipe tertentu
(Schutz, 1967; Cambell, 1995, dalam Sindung Haryanto, 2012: 146-
147).
Alfred Schutz mengembangkan sosiologi dunia kehidupan dan
fenomenologi sosial. Menurut Schutz (dalam Sindung Haryanto, 2012: 147),
dunia kehidupan merupakan sesuatu yang terbagi,m merupakan dunia
kebudayaan yang sama. Kepercayaan-kepercayaan dunia kehidupan
berdasarkan tipikasi-tipikasi, asumsi-asumsi, dan pengetahuan yang
diterima begitu saja (taken for granted) melalui interpretasi dan klasifikasi
seseorang terhadap orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Individu
melukiskan pengalaman dan biografinya untuk memahami orang lain.
Penelitian ilmu-ilomu sosial mengonfrontasikan berbagai makna dan
interpretasi dunia kehidupan. Tipe ideal, ide-ide yang paling umum dalam

18
ilmu sosial tentang kehidupan sosial tempat lmuwan sosial
menggunakannya berdasarkan tipifikasi-tipifikasi sehari-hari. Seluruh
pengetahuan dimulai di akal sehat (common sense) dan tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosial tempat hal itu muncul. Schutz berpendapat
bahwa kepuasan ilmu sosial harus dimulai dengan suatu pemahaman dunia
subjektif dari seseorang.
Tugas utama fenomenologi sosial adalah mendemontrasikan interaksi-
interaksi resiprokal di antara proses-proses tindakan manusia, penstrukturan
situasional, dan konstruksi realitas. Menurut Avison (1977: 87),
fenomenologi berkaitan dengan makna-makna yang memberian pandangan
yang berarti bagi pengalaman seseorang dalam usahanya memperoleh
sesuatu. Sedangkan menurut Titchen dan Hobson (2005: 121), fenomenolgi
merupakan studi tentang kehidupan manusia sehari-hari dalam konteks
sosial tempat fenomena tersebut terjadi berdasarkan perspektif orang-orang
yang terlibat langsung dalam pengalaman tersebut. Fenomena dapat diteliti
melalui eksplorasi pengetahuan manusia melalui akses kesadarannya dan
secara tidak langsung dengan melakukan investigasi terhadap individu yang
terlibat langsung melalui akses pandangan-pandangan dan pengalaman serta
kesamaan latar belakang makna-makna.
Tokoh lain dari fenomologi aalah Harold Garfinkel lahir tahun 1917 di
Newwark, New Jersey (Sindung Haryanto, 2012: 150). Ia mengemuakan
bahwa fenomenologi sebagaimana diaplikasikan pada ilmu humaniora oleh
Alfred Schutz dan Aron Gurwitz dengan mengembangkan dan merevisi ide-
ide dalam bentuk yang dapat diteliti secara empirik dengan istilah
“etnometodologi”. Dia mendeskripsikan sebuah alternatif sosiologi yang
asimetrik dan sangat berbeda. Teorinya merupakan kritik terhadap aliran-
aliran utama sosiologi yang menurut Garfinkel terlalu memaksakan
kategori-kategori sosial kepada orang-orang awam. Etnometodologi tidak
tertarik pada dunia sosial tertentu, tetapi lebih tertarik pada bagian-bagian
spesifik interaksi di antara anggota-anggotanya. Penekanannya adalah
tentang bagaimana keteraturan suatu tatanan sosial merupakan pencapaian
(yang tidak disadari) oleh partisipannya.
Harold Garfinkel bersama Anton Cicorel mengembangkan
etnometodologi dari karya Schutz, tetapi tidak seperti Schuts – yang tetap
sebagai teori murni – penelitian mereka bersifat empirik. Dalam studinya
tentang etnometodologinya, Garfinkel (1967) melakukannya dengan
prosedur investigasi dan interpretasi terhadap rasionalitas tindakan manusia
di lingkungannya dengan prosedur investigasi dan interpretasi terhadap
rasionalitas tindakan manusia di lingkungan sosialnya. Dalam
eksperimennya, Garfinkel bersama timnya melakukan studi tentang apa
yang terjadi (dilakukan orang) ketika kenyataan tidak sesuai dengan
harapannya. Dalam situasi ini, mereka menemukan bahwa ternyata orang
tidak mempermasalahkan apa yang diperkirakannya. Lebih dari itu, individu
justru cenderung menggunakan perkiraan-perkiraannya sebelumnya untuk
merasionalisasikan kenyataan yang terjadi, dan mereka berusaha
mempertahankan asumsi-asumsi yang dimilikinya. Garfinkel menyebut hal

19
ini sebagai documentary method of interpretation (Sindung Haryanto, 2012:
151).
Dalam pandangan kaumetnometodologi, realiatas sosial adalah kreasi
para pelaku. Asumsi-asumsi yang digunakan adalah: (1) kehidupan sosial
pada dasarnya tidak pasti, segala sesuatu dapat terjadi dalam interaksi; (2)
para pelaku tidak menyadari adanya ketidakpastian dan terjadinya interaksi;
(3) tanpa diketahui oleh para pelaku, mereka mempunyai kemampuan yang
dibutuhkan untuk membuat dunia tampak sebagai tempat yang teratur
(Sindung Haryanto, 2012: 151). Etngnomotodologi memusatkan
perhatiannya pada bagaimana interpretasi muncul. Sasarannya adalah
mengungkapkan metode yang digunakan oleh partisipan (warga) pada suatu
tatanan sosial untuk berkomunikasi satu sama lain tentang apa yang mereka
pikirkan sedang terjadi – apa makna situasi itu bagi mereka dan upaya-
upaya yang mereka lakukan agar interpretasi itu dipahami orang lain.
Etnomnetodologi menekankan bahwa setiap situasi sosial adalah unik. Kata-
kata yang diucapkan dan tindakan yang diambil adalah indeksikal, yaitu
kata-kata itu hanya masuk akal pada kesempatan atau waktu tertentu ketika
mereka menggunakannya. Garfinkel menunjukkan bahwa para anggota
mengidentifikasi kesadaran mengenai kejadian (sense of accasion)
meskipun bukti-bukti dari anggota lain kurang atau tidak ada.
Di samping Edmund Husserl, Alfred Schutz, Harold Garfinkel dan
Anton Cicorel, juga Peter Berger dan Thomas Luckmann melahirkan teori
konstruksi sosial yang sangat dipengaruhi oleh Alfred Schutz. Peter Berger
dan Thomas Luckmann merupakan tokoh penting yang menjadikan
fenomenologi sebagaipendekatan yang digunakan dalam sosiologi melalui
karyanya yang berjudul The Social Constructism of Reality dan
Phenomenology and Socilogy (1978). Peter Berger dan Thomas Luckmann
menjembatani perbedaan yang semakin tajam dalam sosiologi akibat
modernitas dan sekularisasi. Mereka melakukan interpretasi kehidupan
religius masyarakat modern dengan mereintegrasikan dasar-dasar filosofis
sosiologi dengan positivisme dalam ilmu sosial. Berger dan Luckmann
menekankan sentralitas pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari
dan pengalaman hidupnya, refleksi intersubjektivitas komunikasi sehari-
hari dan mengembangkan tesis yang menghubungkan antara modernitas/
sekularisasi dalam kehidupan beragama. Mereka berpendapat bahwa agama
mengalami deinstitusionalisasi dan kehilangan fungsi monopolisasi
kehidupan sosial sebagai akibat meningkatnya deferensiasi di masyarakat
(Sindung Haryanto, 2012: 153).
Istilah konstruksi sosial pertama kali digunakan oleh Peter Berger dan
Thomas Luckmann (1966), melalui karyanya The Social Construction of
Reality. Berger dan Luckmann berpendapat bahwa realitas sosial yang
“dikonstruksikan” merupakan sebuah domain yang dapat dilacak secara
empirik, sebuah dunia objektif yang berbeda dari tatanan objektivitas dalam
ilmu alam. Mereka tidak mempermasalahkan objektivitas, baik dalam ilmu
sosial maupun ilmu alam, tetapi sesungguhnya berusaha mengembangkan
sebuah sebuah pendekatan teoritis yang berbeda. Mereka mengembangkan

20
fenomenologi terutama dari karya Alfred Schutz tentang fenomonologi
sosial, tetapi mengadaptasinya menjadi sebuah bentuk penjelasan sosial
konvensional. Berger dan Luckmann tidak mendeskripsikan dunia
kehidupan (lifeword) dari sudut anggota khusus, tetapi menggunakan istilah
“konstruksi” sebagai sebuah varian ide fenomenologi Amerika dan
sosiologi, yaitu “konstitusi” (sebuah koordinasi dari tindakan dan objek-
objek intensional), dan megembalikan ke bentuk yang lebih familiar dari
teori struktural, yaitu menggunakan sebuah pandangan historis untuk
mengembangkan penjelasan umum tentang bagaimana tindakan-tindakan
subjektif menjadi stabil.
Dalam teori konstruksi sosial, Berger dan Luckmann, terdapat
hubungan dialektis antara diri (self) dan dunia sosiokultural dan hubungan
tersebut berlangsung secara simultan melalui tiga “momen”, yakni
eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi (Berger & Luckmann, 1990;
Berger, 1991: 4). Eksternalisasi merupakan penyesuaian diri dengan dunia
sosio-kulturalnya sebagai produk manusia. Objektivasi merupakan interaksi
dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses
institusionalisasi, dan internalisasi merupakan proses ketika individu dan
masyarakat sebagai dunia sosio-kultural terlibat dalam hubungan dialektis
yang saling berinteraksi.
Berger menegaskan bahwa realitas kehidupan sehari-hari memiliki
dimensi-dimensi objektif dan subjektif. Manusia merupakan instrumen
dalam penciptaan realitas sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi,
sebagaimana proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subjektif).
Dalam mode yang dialektis, terdapat tesis, anti-tesis, dan sintesis. Berger
melihat masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai produk
masyarakat (Poloma, 1984: 308). Masyarakat sebagai realitas objektif
menyiratkan terjadinya pelembagaan di dalamnya. Awal mula terjadinya
pelembagaan adalah bahwa semua kegiatan manusia bisa mengalami proses
pembiasaan (habitualisasi). Setiap tindakan yang sering diulang pada
akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa diproduksi sehingga
dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksud. Proses pembiasaan
ini mendahului setiap pelembagaan yang terjadi apabila suatu tipifikasi yang
timbal balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe
pelaku. Tipifikasi timbal balik akan terjadi juga apabila dua individu mulai
berinteraksi, dan dari sini masing-masing dapat meramalkan tindakan pihak
lainnya.
2.8. Perubahan Sosial
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan sosial
dengan dimensi ruang dan waktu. Perubahan ini bisa dalam arti sempit, luas,
cepat atau lambat. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan
proses terus menerus untuk menuju masyarakat maju atau berkembang baik
perubahan sosial maupun perubahan kebudayaan.
Berbeda halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Moore dalam
karya Louer, perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan penting
dalam struktur sosial (Louer, 1989: 4). Perubahan sosial yang dimaksud

21
adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Perubahan sosial mencakup
seluruh aspek kehidupan sosial, karena seluruh aspek kehidupan sosial itu
terus menerus berubah, hanya saja tingkat perubahannya yang berbeda.
Himes dan More (dalam Soelaiman, 1998: 115-121)
mengemukakan tiga dimensi perubahan sosial : (1) Dimensi struktural dari
perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk struktur
masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru,
perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial;
(2) Perubahan sosial dalam dimensi struktural mengacu kepada perubahan
kebudayaan dalam masyarakat seperti adanya penemuan dalam berpikir
(ilmu pengetahuan), pembaharuan hasil teknologi, kontak dengan
kebudayaan lain yang menyebabkan terjadinya difusi dan peminjaman
kebudayaan; (3) Perubahan sosial dalam dimensi interaksional mengacu
kepada perubahan hubungan sosial dalam masyarakat yang berkeyakinan
dengan perubahan dalam frekuensi, jarak sosial, saluran, aturan atau pola-
pola dan bentuk hubungan.
Dalam ilmu sosial, terdapat tiga teori yang berkaitan dengan
perubahan sosial, yaitu: teori fungsionalis struktural, teori konflik, dan teori
interaksionis simbolik (Harper, 1989: 76-97). Masing-masing teori ini
memiliki kelemahan dan kelebihan, karena ketiga-tiganya memiliki sudut
pandang yang berbeda terhadap perubahan sosial yang sama.
Teori fungsionalisme ini berasal dari Hebert Spencer dan Emile
Durkheim pada abad ke 19. Pada pertengahan abad ke 20. Teori ini
berkembang menjadi fungsionalisme struktural yang digagas oleh Talcot
Parsons. Sepeninggal Talcot Parsons tahun 1979 teori ini dikembangkan
oleh Jeffiey Alexander tahun 1980-an menjadi teori neo-fungsionalisme.
Teori ini menjelaskan tentang susunan sosial yaitu sumbangannya
untuk mempertemukan sesuatu hal khusus yang sangat penting dengan
sistem normatif yang melingkunginya. Disini manusia dipandang sebagai
orang-orang yang konformis terhadap religi dan budaya yang tidak dapat
mempertahankan hidupnya tanpa dukungan sosial dan moral.
Menurut August Comte (dalam Sindung Haryanto, 2012: 15-16),
sosiologi adalah studi tentang statistika sosial (struktur) dan dinamika sosial
(proses/fungsi). Menurut Comte, masyarakat adalah laksana organisme
hidup. Menurut Herbet Spencer, masyarakat sebagai suatu organisme
hidup:
1) Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami
pertumbuhan.
2) Struktur tubuh sosial, organisme hidup mengalami pertambahan.
3) Tiap bagian yang tumbuh memiliki fungsi dan tujuan tertentu.:
Manusia : hati memiliki struktur dan fungsi berbeda dengan paru-paru.
Keluarga : sebagian struktur institutionalnya memiliki tujuan yang
berbeda dengan sistem politik/ekonomi.
4) Dalam sistem organisme sistem sosial perubahan pada suatu bagian
akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan akhirnya dalam
sistem secara menyeluruh.

22
5) Perubahan sistem politik akan mempengaruhi aspek-aspek lainnya.
6) Bagian-bagian tersebut merupakan suatu struktur mikro yang dapat
dipelajari secara terpisah.
Asumsi dasarnya (Comte) dilanjutkan Spencer : “masyarakat dapat
dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
tergantung satu sama lain”.
Lahirnya Fungsionalisme struktural sebagai suatu perspektif yang
berbeda dan memperoleh dorongan dari Durkheim : “Masyarakat modern
dilihat sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri yang
memiliki seperangkat kebutuhan/fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi
oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal.
Lawannya keadaan bersifat fatologis”
Teori konflik merupakan teori yang berkembang sebagai reaksi dan
kritik langsung terhadap teori struktural fugsional. Para teoritikus kritik
menganggap bahwa teori struktural fungsional memiliki sejumlah
kelemahan mendasar dalam menganalisis realitas sosial. Kelemahan yang
menyolak adalah terletak pada sejumlah asumsi yang digunakannya
terutama pada pandangan bahwa konflik yang dilihatnya sebagai patologis
dan bersifat destruktif bagi masyarakat. Teori konflik sebaliknya, melihat
bahwa masyarakat pada dasarnya memiliki unsur-unsur konflik, selain
unsur-unsur integratif semisal konsensus sosial.
Teori konflik, dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi
di masyarakat. Dalam realitas sosial konflik sebagai hal yang harus ada dan
kehadirannya tidak dapat ditawar-tawar. Dalam teori konflik konsensus
merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan
nilai-nilai. Teori konflik merupakan salah satu teori dalam paradigma fakta
sosial.
Menurut teori konflik, masyarakat merupakan arena dimana satu
kelompok dengan kelompok yang lain saling bertarung memperebutkan
power dan mengontrol bahkan melakukan penekanan bagi saingan mereka.
Hukum/Undang-undang merupakan cara yang digunakan untuk
menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang mementingkan
kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok yang lain.
Teori interaksionis simbolik dalam tradisi sosiologi merupakan teori
yang bersifat mikro dan lahir sebagai reaksi terhadap teori-teori struktutral
fungsionalisme yang menafikan otoritas dan otonomi individu dalam
posisisnya di masyarakat. Menurut Turner (2006), dalam sosisologi mikro,
terdapat dua orientasi utama, yakni teori pilihan rasional dan teori
pertukaran sosial.
Dalam perspektif teori interaksionisme simbolik, apa yang disebut
sebagai “realitas”, “kebenaran”, maupun “budaya manusia” merupakan
produk dari interaksi antar-individu dalam suatu jalinan yang kompleks
tempat masing-masing individu mendefinisikan dirinya, dan juga
mendefinisikan situasi ketika dia berinteraksi pada waktu itu. Realitas
mungkin berbeda antar-kelompok sosial (masyarakat), tetapi dalam satu
kelompok sosial, terdapat sistem pengetahuan yang bersifat taken for

23
granted mengenai sesuatu yang nyata (real) itu didasarkan kebenaran
“natural”. Sementara itu, pada masyarakat lain, kebenaran lebih bersifat
transendental.
Ide kenyataan sosial muncul melalui proses interaksi sangat penting
dalam teori interaksi simbolik. Teori interaksi simbolik sama dengan
tekanan Simmel pada bentuk-bentuk interaksi. Namun teori interaksi
simbolik lebih dalam dari bentuk-bentuk interaksi tersebut. Teori ini
berhubungan dengan media simbol dimana interaksi terjadi.
Dalam karya Mead teori ini meliputi : analisa mengenai kemampuan
manusia untuk menciptakan dan memanipulasi simbol-simbol.
Kemampuan ini perlu untuk komunikasi antar pribadi dan pikiran subyektif.
Di antara semua ahli interaksi simbolik, hubungan antara proses-proses
simbol subyektif dan interaksi antar pribadi ditetapkan, dan kenyataan sosial
yang muncul dari interaksi dilihat sebagai suatu kenyataan sosial dari
kenyataan yang dibangun dan bersifat simbol. Inilah yang membedakan
kenyataan sosial dari kenyataan fisik obyektif yang merupakan pokok
permasalahan.
Perhatian interaksionisme simbolik terhadap dimensi subyektif sejajar
dengan tekanan Weber pada pemahaman arti subyektif dari tindakan sosial
individu.
Teori interaksi simbolik tidak melihat tingkat subyektif dalam cara
yang sama seperti Weber, juga tidak didasarkan pada perspektif Weber
secara eksplisit. Juga kalau Weber bergerak lebih jauh melebihi analisa
tindakan-tindakan individu dan arti-arti subyektif untuk melihat pola-pola
perubahan institutional dan budaya yang luas, interaksi simbolik seperti
Simmel, memusatkan perhatiannya terutama pada tingkat interaksi antar
pribadi secara mikro. Teori interaksi simbolik dapat diperluas menjangkau
tingkat makro.

24
2.9. Kerangka Konseptual
Terkait dengan masalah penelitian ini akan diungkapkan apa makna
upacara bersih desa di desa Simbatan Nguntoronadi Magetan. Asumsi-
asumsi teori fenomenologis dan teori perubahan sosial (Teori fungsionalis
Struktural, Teori Konflik, interaksionis simbolik). Untuk memperoleh
gambaran menyeluruh mengenai alur pemikiran ini digambarkan kerangka
pemikiran konseptual yang dapat menjelaskan mengenai keterkaitan teori-
teori yang relevan tentang nilai-nilai budaya upacar bersihb desa. Secara
konseptual, kerangka penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Grand Teori :
Teori Fenomenologis

Nilai-nilai Upacara Bersih Keyakinan dan


Budaya, Fungsi Desa di Desa
dan Makna Prilaku
Simbatan Masyarakat
Simbolik Nguntoronadi
Magetan

Teori Perubahan Sosial


(Teori fungsionalis
Struktural, Teori Konflik,
interaksionis simbolik)

Gambar 1: Kerangka Konseptual

25
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: 1) untuk mengetahui bagaimana budaya
bersih desa yang dilakukan oleh masyarakat desa Simbatan Kecamatan
Nguntoronadi Magetan, 2) untuk mengetahui bagaimana memaknai tentang
Bersih Desa di Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Magetan, dan 3) untuk
mengetahui bagaimana masyarakat mendeskripsikan terhadap budaya
Bersih Desa di Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Magetan.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, peneliti menggunakan
metode grouded di mana pemelihan metode ini dianggap tepat karena
mendasarkan pada data lapangan yang bersifat empiris melalui pengamatan,
wawancana dan dialog dengan informan yang dianggap sesuai dengan
kajian penelitian. Dalam pelaksanaannya, metode ini mengkaji para pelaku
interaksi atau yang disebut aktor yang menentukan, kemudian dianalisis
pada tingkat makna empiris, historis, dan aksi interaksi sosial.
Melalui rancangan ini, gambaran representasi peran masyarakat
dalam melakukan interaksi sosial masyarakat dalam memaknai ‘bersih desa”
di desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Magetan dilihat sebagai fokus
penelitian. Dari data-data deskripsi yang diperoleh maka ditindaklanjuti
dengan prosedur yang mengarah kepada temuan-temuan propsisi-propsisi
dan kesimpulan.
3.2. Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan metode kasus (case study). Dalam penelitian kasus berusaha
untuk mempertahankan kedalaman dan keutuhan dari objek yang terbatas
dan memiliki watak dan karakteristik yang unik yang memungkinkan
penelitian dapat menemukan fokus penelitian yang sedang dikaji. Dalam hal
ini, Black dan Champion (1976: 93-94) mengemukakan bahwa penelitian
kasus dilakukan terhadap kesatuan sosial khusus yang dipilih sebagai kajan
untuk memahami situasi sosial yang lebih luas walaupun hubungan antara
kesatuan sosial tersebut dengan total populasi tidak dapat ditafsirkan.
Sesuai dengan pendapat Black dan Champion di atas, maka dalam
penelitian ini yang dimaksud kesatuan sosial yang lebih luas adalah
masyarakat desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Kabupaten Magetan.
Sebagai penelitian kasus hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan di
luar komunitas yang diteliti, akan tetapi hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai alat analisis untuk membaca fenomena-fenomena sosial pada
komunitas lain yang memiliki watak dan karaktersistik yang sama atau
hampir sama.
Menurut Strauss dan Corbin bahwa minimal harus ada alasan
mengapa menggunakan penelitian kualitatif, yaitu : (1) sifat masalah itu
sendiri harus menggunakan penelitian kualitatif; (2) karena penelitian yang
telah dilakukan untuk memahami situasi yang sulit diketahui, atau dipahami.
Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor (1992) pendekatan kualitatif
memiliki karaktersistik: (1) lebih mementingkan pemahaman terhadap para

26
pelakunya sendiri (understanding of understanding) daripada penjelasan
(explanation); (2) lebih tertuju untuk menggali dunia makna (reason) dalam
perspektif etnik atau perspektif perilaku dalam mencari hubungan kausal;
(3) lebih mementingkan ketahanan daripada keluasan cakupan suatu
penelitan.
Dilihat dari proses penelitiannya, penelitian ini merupakan penelitian
lapangan dengan menekankan metode observasi dan wawancara. Penelitian
kualitatif seperti yang dikatakan Bogdan dan Bikken (1982: XIII)
merupakan penelitian dengan menggunakan pengamatan partisipasi
(participant observation) dan wawancara mendalam (indept interview).
Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif beruapa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. Digunakan pendekatan penelitian kualitatif ini,
disamping karena sesuai dengan permasalahan yang diteliti juga karena: (1)
pendekatan ini lebih fleksibel; (2) dapat menyajikan data secara langsung;
(3) lebih peka dan lebih dapat menyesuaiakan diri dengan banyak
penajaman pengaruh-pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang
dihadapi (Moleong. 1996: 5). Adapun jenis studi kasus yang digunakan
untuk penelitian ini adalah studi kasus analisis situasi dipergunakan untuk
meneliti dan kejadian yang muncul dalam masyarakat dalam budaya bersih
desa.
3.3. Satuan Analisis dan Satuan Pengamatan
Satuan analisis penelitian ini adalah Desa Simbatan Kabupaten
Magetan. Desa ini dipilih dengan pertimbangan dan alasan-alasan sebagai
berikut: (1) Di Desa Simbatan terdapat Candi Simbatan dan terdapat arca
Dewi Sri di dalamnya; (2) Arca Dewi Sri ini merupakan arca yang
'dihormati', dimana setiap hari Jumat Pahing, dalam penanggalan Jawa, di
bulan Muharram selalu diikutsertakan dalam ritual bersih desa; (3)
Mengungkapkan budaya bersih desa yang berkaitan dengan nilai-nilai,
kepercayaan dan prilaku masyarakat di desa Simbatan Kecamatan
Nguntoronadi Magetan; (4) Lokasi penelitian mudah dijangkau dan dapat
dilakukan penggalian data dalam waktu yang tidak terlalu terikat sehingga
memungkinkan untuk mendapatkan data yang mendalam sesuai dengan
sasaran penelitian.
Satuan pengamatan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai,
kepercayaan dan prilaku mayarakat di desa Simbatan Kecamatan
Nguntoronadi Magetan terhadap budaya bersih desa.
3.4. Data yang Diperlukan
Untuk melengkapi penelitian ini, maka jenis data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini meliputi: (1) tokoh-tokoh masyarakat, baik dari
generasi tua maupun generasi muda, yang terlibat langsung dan tidak
langsung dalam penyelenggaraan bersih desa; (2) tokoh struktur (perangkat
desa) yang dianggap dapat memberikan informasi terhadap persoalan
kepercayaan dan kebudayaan terhadap penyelenggaraan bersih desa.
Dari tokoh-tokoh masyarakat dan perangkat desa diharapkan
diperoleh informasi tentang nilai-nilai, kepercayaan dan prilaku mayarakat

27
di desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi Magetan, pola interaksi di
dalam masyarakat, perkembangan penyelenggaraan bersih desa, konflik di
dalam masyarakat.
3.5. Sumber Informasi
Sumber informasi dan sumber data dapat berupa sumber manusia dan
non manusia, meliputi dokumen dan rekaman/catatan yang tersedia.
Sumber-sumber ini perlu dipilih secara tepat agar dapat memberikan
informasi yang akurat tentang fenomena yang diamati.
Sesuai dengan hal tersebut, maka sumber informasi manusia
(informan) pokok penelitian dalam penelitian ini adalah: (1) para tokoh
masyarakat; (2) tokoh struktural. Sedangkan sumber informasi manusia
adalah dokumen-dokumen, catatan-catatan dan berkas-berkas yang terkait
dengan interaksii sosial masyarakat di desa Simbatan Kecamatan
Nguntoronadi Kabupaten Magetan.
3.6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
1. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian
manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat Bantu
utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman,
mulut dan kulit. Karena itu observasi adalah kemampuan seseorang
untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra
mata serta dibantu pancaindra lainya ( Burhan Bungin,2007:115).
2. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu cara pengambilan data yang
dilakukan melalui kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk terstruktur
dan tak terstruktur. Interviu terstruktur merupakan bentuk interviu
yang sudah diarahkan oleh sejumlah pertanyaan secara ketat. Dalam
semi struktur, meskipun interviu sudah diarahkan oleh sejumlah daftar
pertanyaan tidak tertutup kemungkinan memunculkan pertanyaan
baru yang idenya muncul secara spontan sesuai dengan konteks
pembicaraan yang dilakukannya. Dalam intervieu secara tak
berstruktur, peneliti hanya berfokus pada pusat-pusat permasalahan
tanpa diikat format-format tertentu secara ketat (Maryaeni, 2005:70).
Metode ini merupakan pengumpulan data dimana penulis
hadapan langsung dengan para informan untuk mengajukan sejumlah
pertanyaan secara lisan. Interviu dilakukan kepada beberapa warga
dan tokoh masyarakat. Metode ini menjadi sumber informasi yang
sangat berharga untuk memperoleh data yang diperlukan.
3. Dokumentasi
Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan
data yang digunakan dalam metodologi penelitian sosial. Pada intinya
metodologi documenter adalah metode yang digunakan untuk
menelusuri data historis (Burhan Bungin, 2007:121). Metode
dokumentasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah pengumpulan

28
data dari segala benda tertulis baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak. Dalam kinerjanya penulis menggunakan cara-cara kerja
sejarawan yaitu heuristik, usaha menemukan jejak-jejak sejarah.
Setelah berhasil menemukan jejak-jejak yang akan menjadi cerita
sejarahnya maka langkah berikutnya adalah menilai, menguji atau
menyeleksi jejak-jejak tersebut sebagai usaha mendapatkan jejak atau
sumber yang benar. Dokumen-dokumen yang peneliti gunakan dalam
penelitian ini adalah foto-foto dan peralatan yang digunakan dalam
acara Bersih Desa.
3.7. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penulisan ini menggunakan analisis interaktif tiga
komponen. Tiga komponen utama tersebut adalah (1) Reduksi data, (2)
Sajian data, (3) Penarikan kesimpulan serta verivikasinya (H.B Sutopo,
2002 : 91).
1. Reduksi Data
Reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuat hal-hal yang
tidak penting, dan mengatur data sehingga penelitian data dilakukan.
2. Sajian Data
Sajian data merupakan rakitan organisasi informasi, diskripsi
dalam bentuk narasi yang menginginkan simpulan penelitian dapat
dilakukan. Sajian ini merupakan rakitan kalimat yang disusun secara
logis dan sistematis, sehingga mudah dibaca dan sajikan.
3. Penarikan simpulan dan verifikasi
Penarikan simpulan dilakukan setelah proses data berakhir.
Simpulan perlu verivikasi agar hasil penelitian benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan.
Pengumpulan
data

Reduksi Data Sajian Data

Penarikan
simpulan/verifikasi

Gambar 2: Analisis Data Interaktif

29
3.8. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data pada dasarnya merupakan bagian yang
sangat penting dan tidak terpisahkan dari penelitian kualitatif. Pelaksanaan
pengecekan keabsahan data didasarkan pada empat kriteria, yaitu derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), ketergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability) (Moleong, 1994).

1. Kredibilitas
Sebagai instrumen penelitian dalam penilitian kualitatif adalah
peneliti sendiri, sehingga sangat dimungkinkan dalam pelaksanaan di
lapangan terjadi kecondongan purbasangka (bias). Untuk menghindari
hal tersebut, data yang diperoleh perlu diuji kredibilitasnya (derajat
kepercayaannya) (Lincoln & Guba, 1985).
Pengecekan kredibilitas atau derajat kepercayaan data perlu
dilakukan untuk membuktikan apakah yang diamati oleh peneliti benar-
benar telah sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi secara wajar di
lapangan. Derajat kepercayaan data (keabsahan data) dalam penelitian
kualitatif digunakan untuk memenuhi kriteria (nilai) kebenaran yang
bersifat emic, baik bagi pembaca maupun bagi subyek yang diteliti.
1. Kridibiltas :
Lincoln dan Guba (1985) menyatakan bahwa untuk memperoleh
data yang valid dapat ditempuh teknik pengecekan data melalui: (1)
observasi yang dilakukan secara terus-menerus (persistent observation);
(2) triangulasi (triangulation) 1)sumber data, 2)metode dan 3)peneliti
lain; (3) pengecekan anggota (member check), diskusi teman sejawat
(peer reviewing); dan (4) pengecekan mengenai kecukupan referensi
(referential adequacy checks). KETIKA ADA DI PEMBAHASAN,
Pengujian terhadap kredibilitas data dalam penelitian ini
dilakukan dengan triangulasi sumber data dan pemanfaatan metode, serta
member check.
Triangulasi sumber data dilakukan dengan cara membandingkan
dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi lainnya.
Misalnya dari individu yang satu ke individu lainnya, dari perangkat desa
ke perangkat desa lainnya.
Triangulasi metode dilaksanakan dengan cara memanfaatkan
penggunaan beberapa metode yang berbeda untuk mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh. Misalnya hasil
observasi dibandingkan atau dicek dengan interviu, kemudian dicek lagi
melalui dokumen yang relevan.
Pengecekan data dengan member check dilakukan pada subyek
wawancara melalui dua cara. Cara pertama langsung pada saat
wawancara dalam bentuk penyampaian ide yang tertangkap peneliti saat
wawancara. Cara kedua tidak langsung dalam bentuk penyampaian
rangkuman hasil wawancara yang sudah dibuat oleh peneliti. Dalam hal
ini tidak setiap fokus penelitian mendapat member check, namun

30
pengakuan kebenaran data oleh pihak-pihak tertentu yang dianggap
sumber informasi dari yang sudah diwawancarai dinyatakan memadai
mewakili sumber informasi sasaran wawancara.
2. Transferabilitas
Transferabilitas atau keteralihan dalam penelitian kualitatif dapat
dicapai dengan cara “uraian rinci”. Untuk kepentingan itu, peneliti
bersaha melaporkan hasil penelitiannya secara rinci. Uraian laporan
diusahakan dapat mengungkap secara khusus segala sesuatu yang
diperlukan dapat mengungkap secara khusus segala sesuatu yang
diperlukan oleh pembaca agar para pembaca dapat memahami temuan-
temuan yang diperoleh. Penemuan itu sendiri bukan bagian dari uraian
rinci melainkan penafsirannya yang diuraikan secara rinci dengan penuh
tanggung jawab berdasarkan kejadian-kejadian nyata.
3. Dependabilitas kepada auditor (pembimbing skripsi)
Dependabilitas atau ketergantungan dilakukan untuk
menanggulangi kesalahan-kesalahan dalam konseptualisasi rencana
penelitian, pengumpulan data, interpretasi temuan, dan pelaporan hasil
penelitian. Untuk itu diperlukan dependensi auditor. Sebagai dependent
auditor dalam penelitian ini adalah para pembimbing disertasi.
4. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas atau kepastian diperlukan untuk mengetahui
apakah data yang diperoleh objektif atau tidak. Hal ini bergantung pada
persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan temuan
seseorang. Jika telah disepakati oleh beberapa orang atau banyak orang,
maka dapat dikatakan objektif, namun penekannya tetap pada datanya.
Untuk menentukan kepastian data dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara mengkonfirmasikan data dengan para informan atau para ahli.
Kegiatan ini dilakukan bersama-sama dengan pengauditan
dependabilitas. Pebedaannya jika pengauditan dependabilitas ditujukan
pada penilaian proses yang dilalui selama penelitian, sedangkan
pengauditan komfirmabilitas adalah untuk menjamin keterkaitan antara
data, informasi, dan interpretasi yang dituangkan dalam laporan serta
didukung oleh bahan-bahan yang tersedia.

3.9. Tahap-tahap Penelitian


Salah satu karakteristik peletian kualitatif adalah desainnya disusun
secara sirkuler (Nasution, 1988). Oleh karena itu, penelitian ini ditempuh
melalui tiga tahap, yaitu: (1) studi persiapan/orientasi, (2) studi eksplorasi
umum, dan (3) studi eksplorasi terfokus.
Pertama, tahapan studi persiapan atau studi orientasi dengan menyusun
proposal penelitian tentatif dan menggalang sumber pendukung yang
diperlukan. Penentuan objek dan fokus penelitian ini didasarkan atas: (1) isu-
isu umum yaitu bersih desa, (2) mengkaji literatur-literatur yang relevan, (3)
orientasi ke beberapa tempat penyelenggaraan bersih desa, (4) diskusi dengan
teman sejawat.

31
Kedua, tahapan studi eksplorasi umum, yang direncanakan adalah: (1)
konsultasi, wawancara dan perizinan pada instansi yang berwenang; (2)
penjajagan umum pada beberapa objek yang ditunjukkan untuk melakukan
observasi dan wawancara secara global atau disebut dengan grand tour dan
mini tour (Spradley, 1979), guna menentukan pemilihan objek lebih lanjut;
(3) studi literatur dan menentukan kembali fokus penelitian; (4) seminar kecil
dengan promotor dan diskusi dengan teman sejawat untuk memperoleh
masukan; serta (5) konsultasi secara kontinyu dengan promotor untuk
memperoleh legitimasi guna melanjutkan penelitian.
Ketiga, tahapan eksplorasi terfokus yang diikuti dengan pengecekan
hasil temuan penelitian dan penulisan laporan hasil penelitian. Tahap
eksplorasi terfokus ini mencakup tahap: 1) pengumpulan data yang dilakukan
secara rinci dan mendalam guna menemukan kerangka konseptual tema-tema
di lapangan; (2) pengumpulan dan analisis data secara bersama-sama; (3)
pengecekan hasil dan temuan penelitian oleh promotor, dan (4) penulisan
laporan hasil penelitian untuk diajukan pada tahap ujian disertasi.

32
DAFTAR PUSTAKA
A.H., Baker. 1987. Manusia dan Simbol. Jakarta: Gramedia.

Ary H. Gunawan. 2010. Sosiolagi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Alisjahbana, S.T., 1986. Antropologi Baru: Nilai-nilai sebagai Tenaga Integrasi


dalam Pribadi, Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat.

B. Soelarto. 1980. Garebeg Di Kesultanan Yogyakarta. Jakarta: Dep Dik Bud

Berger, Peter L. Dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial atas kenyataan.
Jakarta: LP3ES.

Bogdan, R.C. & Taylor, SW. J., 1992. Introduction to Qualitative Research
Methods. New York : John Willey & Sons.

Bogdan, R.C. & Biklen, S.K. 2002. Research for Education : An Introduction to
Theory and Methods. Boston : Alyn & Bacon.

Budiono Herusatoto. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak.

Burhan Bungin. 2005. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group

Brannen, Y. 1999. Memadu Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. (Terjemahan :


H.N.A Kurde, dkk). Samarinda : IAIN Antasari.

Bryman, A. 1998. Quantity and Quality in Social Research. London :


Loughborough University.

Douglas, J.D. (Ed). 2001. Understanding Every Day Life : Toward the
Reconstruction of Sosiological Knowledge. Chicago :Aldine Publishing
Company.

Driyarkara. 1977. Pancasila dan Religi Mencari Kepribadian Nasional.


Yogyakarta: Jemmars

Fascione, P.A.S.D. Scherer, & Attig. I.. 1978. Value and Society: An Introduction
to Ethics and Social Philosophi. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice
Hall, Inc.

Gerungan. 1986. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco.

Glasser, B.G. & Strauss, A.L. 1995. The Discovery of Grounded Theory,
Strategies for Qualitative Research. Chicago : Aldine Publishing
Company.
Hadiwijaya. 2010. Tokoh-Tokoh Kejawen.Yogyakarta: Uele Bok

33
Hans J. Daeng. 2008. Manusia Kebudayaan Dan Lingkungan . Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Johnson, Doele Paul. 2008. Contemporary Sociological Theory: An Integrated


Multi-Level Approach. Texas Teach University: Springer.

Kadarusmadi. 1986. Upaya Orang Tua dalam Menata Situasi Pendidikan dalam
Keluarga. Disertasi tidak dipublikasikan. Bandung; PPS UPI Bandung.

Kartini Kartono. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar


Maju.

Kaswadi, E.M., 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta:


Gramedia.

Kerlinger, F.N. 2000. Foundation of Behavioral Research. New York : Holt,


Renehart and Winston.

Koentjaraningrat. 1989. Kebudayaan. Mentalitas dan Pembangunan.. Jakarta:


Gramedia.
______________. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

______________. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kotter. J.P. & J.L. Heskett. 1992. Dampak Budaya Perusahaan terhadap Kinerja.
Terjemahan oleh Benyamin Molan. 1977. Jakarta: Prenhallindo.

Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. 2003. Naturalistic Inquairy. Baverly Hill : Sage
Publications.

Louer, Robert H. 1989. Perspektif tentang Interaksi Sosial. Jakarta: Bina Aksara.

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Moleong, L.J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja


Rosdakarya.

Muhadjir, N. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Nasir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nasution. 1998. Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.

Ndraha, Taliziduhu. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta.

34
Patton, Michael Quinn. 1980. Qualitative Evaluation Method. Sage Publicaations,
Beverly Hills.

Piotr Sztompka. 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada

Poloma, Margaret. 1984. Sosiologi kontemporer. Terjemahan: Tim Yasogama.


Jakarta: Rajawali Pers.

Purwadi. 2005. Babad Majapahit. Yogyakarta: Media Abadi

Robbins, S.P. 1996. Perilaku Organisasi: Konsep-Kontroversi-Aplikasi.


Terjemahan: Hadyana Pujaatmaka. Jakarta: Prenhallindo.

Saifudin Anwar. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Schein Edgar H. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: John


Wiley& Sons, 2004

Sindung Haryanto. 2012. Spektrum Teori Sosial: Dari klasik hingga Postmodern.
Jogjakarta: Ar-ruzz Media.

Soekanto, Soerjono. 1983. Teori Sosiologi tentang Interaksi Sosial. Jakarta:


Ghalia Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Soesanto Poespo Wardjoyo. 1978. Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang


Filsafat Manusia. Jakarta: Gama Media.

Spradley, J.P., 1997. Metode Etnografi. Terjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth.
Yogyakarta: Tiara Wacana.

Strauss, A. & Corbin, Y. 2002. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif (Terjemahan:


Drs. HM. Djuneidi Chony). Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Rineka Cipta.

Sutopo, H B. 2002. Metotologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret


University Press.

Suryabrata, S. 1999. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Thoha, C. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

35
Winarno Surakhmad. 1998. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik.
Bandung: Tarsito

Yin, R. K. 1987. Case Study Research: Design and Methods. Sage Publicaations,
Beverly Hills.

36

Anda mungkin juga menyukai