Anda di halaman 1dari 6

PPKN (KEBUDAYAAN GUNUNGKIDUL)

RASULAN
Rasulan atau bersih desa merupakan tradisi masyarakat Gunungkidul yang sampai saat ini
masih dilaksanakan. Hampir setiap desa setiap tahun mengadakan acara Rasulan dengan
mengundang wayang kulit atau kesenian lainnya pada waktu acara tersebut dilaksanakan. Biasanya
dilaksanakan setelah musim panen yang kedua atau sudah musim kemarau.
Dalam teknis pelaksanaannya pemerintah desa membentuk panitia Rasulan dan kemudian
panitia Rasulan merencanakan acara, waktu pelaksanaan serta jumlah biaya yang dibutuhkan. Setelah
teknis pelaksanaan diputuskan kemudian biaya pelaksanaan dibebankan kepada warga masyarakat
perkeluarga. Besar kecilnya biaya yang ditanggung warga tergantung beberapa hal, seperti Dhalang
yang di undang : terkenal, atau dhalang biasa.
Jumlah acara yang akan dilaksanakan, seperti Wayang kulit, kethoprak, ledhek (tayub) reog,
olahraga dan kesenian lainnya. Bila dhalang wayang kulit yang diundang dhalang yang sudah terkenal
di tingkat nasional maka biaya untuk dhalang dan perangkatnya bisa mencapai 20 juta atau lebih.Tetapi
bila dhalang yang diundang dhalang biasa maka biaya agak lebih murah. Bila tambahan acara lebih
banyak maka dana yang ditanggung warga masyarakat pun akan bertambah besar pula.
Selain biaya untuk pelaksanaan acara Rasulan tersebut para warga juga harus menyediakan
masakan-masakan khas Rasulan ; Nasi uduk, peyek, jangan lombok, abon atau srondeng, gudheg,
mie, daging ayam atau telur untuk ingkung dan sebagainya. Pengeluaran lain adalah untuk menjamu
tamu yang datang dari luar daerah seperti teman-teman anaknya yang sekolah di luar kelurahannya,
famili yang berdomisili di luar kelurahannya.
Apa sesunggunya maksud dan tujuan adanya Rasulan dari beberapa sumber orang tua
maksud Rasulan upacara yang dipersembahkan untuk Dewi Sri (dewi Kesuburan) atas hasil panen
yang telah dilaksanakan oleh warga. Berbagai macam tarian tradisonal juga menjadi menu wajib dari
acara Rasulan ini, seperti jathilan dan jangrung.
Bersih Desa atau Rasulan adalah sebuah ritual dalam masyarakat Gunungkidul Daerah
Istimewa Yogyakarta. Bersih Desa merupakan warisan dari nilai-nilai luhur lama budaya yang
menunjukkan bahwa manusia jadi satu dengan alam. Ritual ini juga dimaksudkan sebagai bentuk
penghargaan masyarakat terhadap alam yang menghidupi mereka.
Acara ritual Bersih Desa ini biasanya berlangsung satu kali dalam setahun. Acara ini dibagi
dalam serangkaian acara. Hari pertama biasanya dikhususkan untuk ritual sesaji dan persiapan-
persiapan segala hal untuk hari berikutnya. Sesaji ditaruh di titik yang meliputi pusat-pusat desa,
tempat-tempat keramat, tempat-tempat yang berkaitan dengan air (sumur, sungai, mata air), batas-
batas desa (utara, selatan, timur, barat), setiap perempatan, dan setiap pertigaan di wilayah tersebut.
Hari kedua, acara berisikan kesenian-kesenian budaya lokal. Acara-acara seperti warok, kuda
lumping, dan tari-tarian mendominasi. Di hari ini pula ada acara makan bersama, dimana setiap warga
memasak makanan masing-masing, lalu dibawa ke tempat berlangsungnya acara kesenian, dan
makan bersama-sama.
Rangkaian perayaan upacara bersih desa ini biasanya di awali pada saat panen pertama atau
pada waktu memetik padi untuk yang pertama kali. Bahan-bahan yang dijadikan sesaji antara lain :
janur kuning, kembang setaman (bunga tujuh rupa), kaca, sisir, air dalam kendhi (tempat air dari tanah
liat), jajan pasar, nasi dan pisang. Sesaji itu kemudian didoakan secara bersama-sama yang dipimpin
oleh sesepuh desa atau biasa di sebut dengan “kaum”. masing-masing benda itu mempunyai fungsi
dan makna yang berbeda-beda antara lain :
1. Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur
2. Ingkung, sebagai lambang manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang
kepasrahan pada Yang Maha Agung
3. Jajan Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah
4. Pisang Raja, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa
kehidupan,
5. Nasi Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung
6. Jenang, berupa jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang
(penolak marabahaya)
7. Tumpeng, berupa tumpeng lanang (lambang Yang Maha Agung) dan tumpeng wadon
(lambang penghormatan pada leluhur) yang ukurannya lebih kecil, dan
8. Ketan Kolak Apem, untuk memetri pada dhanyang yang ada di wilayah desa tersebut
Upacara bersih desa ini sering dikaitkan dengan cerita Dewi sri yaitu sebagai dewanya para
petani. Karena menurut masyarakat keberhasilan panen itu karena pemberian dari dewi Sri yang
senantiasa menjaga tanaman mereka dari hama dan gangguan lainnya. Upacara tersebut timbul
karena adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan
mencari hubungan dengan dunia gaib (perilaku keagamaan). Dalam hal ini manusia dihinggapi oleh
suatu emosi keagamaan, dan ini merupakan perbuatan keramat, semua unsur yang ada didalamnya
saat upacara, benda-benda seperti alat upacara, serta orang-orang yang melakukan upacara,
dianggap keramat.
Upacara bersih desa itu merupakan sistem aktifitas atau rangkaian tindakan terstruktur yang
ditata oleh adat yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa
tetap yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Kegiatan upacara bersih desa tidak
lepas dari interaksi sosial masyarakat karena interaksi sosial melibatkan banyak orang sehingga
mempunyai hubungan timbal balik antara pelaku dan upacara yang akan dilakukan serta unsur-unsur
yang mendukungnya. Oleh karena itu interaksi sosial menjadi faktor terpenting dalam hubungan
dengan orang lain dan menyangkut keberhasilan suatu upacara, hal ini menunjukkan adanya gotong-
royong dan kerja sama. Adat dan budaya manusia tidak dapat dipungkiri peranannya sebagai ritual
atau kepercayaan masyarakat.
Sedangkan nilai yang dipahami oleh masyarakat dari upacara adat bersih desa atau Rasulan
antara lain :
1. Nilai kebersamaan/sosial yaitu masyarakat secara bersama-sama bekerja bakti
membersihkan makam dan membuat umbul-umbul sehingga kebersamaan antar
mereka tetap terjalin dengan baik.
2. Nilai religi yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dapat terjalin dengan baik jika
mereka menjalankan agama dan tradisi upacara bersih desa setiap tahunnya.
3. Nilai keamanan yaitu masyarakat bisa terbebas dari pagebluk dan seluruh desa akan
merasa aman
4. Nilai ekonomi yaitu dengan tetap melaksanakan upacara masyarakat akan lebih
mudah dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, serta hasil panen akan meningkat di
tahun depan.
Tujuan tradisi bersih desa atau Rasulan antara lain :
1. Sebagai perwujudan syukur kepada Tuhan yang telah memberikan hasil panen yang
melimpah
2. Sebagai wujud ungkapan terimakasih kepada Dewi Sri yang telah menjaga tanaman-
tanaman pertanian sehingga terhindar dari hama
3. Untuk menjaga keselamatan para warga desa dari gangguan hal-hal gaib seperti roh
atau arwah yang masih gentayangan
4. Agar terhindar dari gangguan-gangguan penyakit, keamanan dan bencana
5. Untuk sarana membersihkan desa dan warganya dari musibah atau kesengsaraan
agar desa tersebut menjadi aman dan tentram.
Meskipun kebanyakan masyarakat Gunungkidul sudah memeluk agama Islam, namun
kebanyakan dari mereka masih mempercayai kekuatan roh nenek moyang dan kekuatan para dewa
sebagai kekuatan yang bisa mempengaruhi kebaikan dan keburukan dalam kehidupan mereka. Hal ini
dilakukan karena masyarakat Jawa memang masyarakat yang sangat percaya terhadap alam ghaib
yang dihuni oleh roh-roh, jin, syaitan dan lain sebagainya.
Dalam sejarah, karena masyarakat di Pegunungan Kidul masih sangat fanatik terhadap
agama-agama lama, maka para wali melakukan manuver islamisasi dengan cara dakwah bil hikmah,
seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Memang Sunan Kalijaga dan Sunan
Kudus bukanlah orang yang secara langsung mengislamkan masyarakat di Pegunungan Kidul
(Gunung Kidul), namun Ki Ageng Girig dan Ki Ageng pemanahan adalah wali yang sangat erat
kaitannya dengan Sunan Kalijaga. Mengingat sejarah Islamisasi yang dilakukan oleh para wali nukiba
di Gunungkidul bersifat akomodatif dan dengan cara dakwah bil hikmah, maka berbagai macam adat
istiadat, ritual-ritual keagamaan serta berbagai macam budaya asli masyarakat Gunungkidul masih
dilaksanakan dengan khidmat sampai sekarang.
Namun seiring dengan perjalanan waktu, kepercayaan tersebut lambat laun sudah berubah
sesuai dengan agama dan kepercayaan masyarakat di Gunungkidul. Meskipun bertentangan dengan
akidah Islam, berbagai macam ritual beserta ubo rampenya tetap dipertahankan karena tidak
melanggar maqashid syari’ah. Selain tidak bertentangan dengan maqashid syari’ah, berbagai macam
ritual tersebut juga akan menjadi ciri khas dari masyarakat Islam Gunungkidul (pesisir selatan) yang
mendatangkan berbagai keuntungan seperti bisa mendatangkan turis – baik lokal maupun
internasional-, bisa dijadikan sebagai sarana untuk bersilaturrahim warga serta sebagai prosesi
persembahan syukur kepada Allah SWT. Berbagai macam sarana tersebut jelas sesuai dengan nilai-
nilai Islam sehingga perlu dilestarikan.

Tradisi Gumbregan pada Masyarakat Gunungkidul


Apabila sekarang ini terdapat aktivitas makan-makan bersama teman, rekanan, atau tetangga
di sebuah restoran maupun rumah makan. Sejatinya, sudah sejak lama masyarakat kita pun
mempunyai tradisi mengungkapkan rasa syukur tersebut. Sebagai contoh yaitu dengan cara
mengundang tetangga untuk mengadakan syukuran, dapat berbentuk kenduri (gendhuren), bancaan,
tumpengan, serta masih banyak yang lainnya.

Syukuran rejeki ternak


Rangkaian utama dalam syukuran yaitu ungkapan doa bersama baik dalam rangka meminta
maupun berterima kasih atas rejeki ternak yang dipelihara. Rasa syukur tersebut sangatlah penting dan
menjadi tradisi. Sebab keberadaan ternak baik yang berwujud unggas, kerbau, sapi, kambing, dan lain
yang lainnya sangat membantu taraf hidup.

Kotoran sebagai pupuk


Untuk para petani, mempunyai binatang piaraan bukan saja akan memperoleh keuntungan
ketika dijual. Lain dari itu kotoran yang dihasilkan darinya pun mempunyai manfaat lebih, yakni sebagai
pupuk untuk menyuburkan tanah demi memperoleh hasil yang bagus pada tanaman-tanamannya.

Mengolah sawah
Petani padi sudah sejak lama punya tradisi membajak sawah dengan bantuan dari binatang
peliharaannya, baik kerbau atau sapi. Binatang-binatang tersebut yang memberi manfaat ganda untuk
kehidupan manusia, bahkan bagi lingkungan. Pasalnya, binatang piaraan tetap ramah terhadap
lingkungan serta jauh dari risiko pengrusakan.

Jasa angkutan
Sebelum dunia tercemar oleh bahan bakar minyak sebagai hasil buang dari kendaraan.
Binatang ternak menjadi satu tenaga handal yang dapat Anda gunakan sebagai alat transportasi. Ada
kereta (kuda), dokar, pedati, dan masih banyak lagi.
Meninjau banyaknya manfaat dari binatang peliharaan, ada masyarakat yang hingga kini
masih tetap melakukan acara syukuran atas rezeki dari binatang tersebut, yaitu sebagian masyarakat
Gunung Kidul, Provinsi Yogyakarta, dengan melaksanakan tradisi Gumbregan.

Apa itu Gumbregan?


Gumbregan adalah tradisi ‘syukuran’ atas rezeki binatang peliharaan yang tetap
diselenggarakan oleh sebagian masyarakat Gunungkidul. Pelaksanaannya yaitu pada Wuku Gumbreg.
Wuku Gumbreg ini salah satu tahunnya terdapat dua kali.
Wuku merupakan nama sistem penanggalan Jawa juga Bali, yang memperlihatkan periode
selama tujuh hari. Setiap periode dalam wuku ini semuanya berjumlah 30 wuku, di mana dalam setiap
periode mempunyai nama masing-masing, salah satunya yaitu Gumbreg.

Sedekah Bumi
Khasnya tradisi Jawa yaitu dengan adanya sedekah bumi. Begitu juga di dalam syukuran
Gumbregan ini, terdapat beragam hasil bumi, di antaranya merupakan jenis umbi-umbian; singkong,
ubi, gembili, talas (kimpul). Bukan hanya itu saja, terdapat juga ubarampe among-among berwujud
jadah, ketupat, dan tidak lupa adalah tumpeng.
Sedekah bumi tersebut selain sebagai bentuk ungkapan rasa syukur adalah juga merupakan
simbol terima kasih warga Gunungkidul terhadap Tuhan yang meyakini bahwa lewat Nabi Sulaiman
binatang-binatang tersebut mampu dijadikan media untuk memperoleh rezeki.

Kebersihan dan Kebersamaan


Gumbregan tak hanya berhenti disitu saja. Selain memperlihatkan simbol memberi makan dan
minum kepada binatang piaraan, ada pula aktivitas untuk membersihkan kandang dan lingkungan di
sekitarnya. Tujuannya yaitu supaya binatang peliharaan tersebut selalu terpelihara kesehatannya dan
merasa nyaman dengan tempat tinggalnya.
Manfaat lain yang diperoleh dari ‘nguri-uri’ tradisi Gumbregan ini yaitu masyarakat secara tidak
langsung mempunyai media untuk saling merekatkan kebersamaan antara satu dan lainnya. Terdapat
kumpul bareng, ada kerjasama, dilakukan doa bersama, dan ada juga kegiatan makan bersama.
Bahkan dalam pengadaannya, antara warga satu dengan yang lainnya juga saling sokong, baik
berwujud uang maupun barang.

NGALANGI
Acara Ngalangi sendiri adalah sebuah upacara tradisi khas warga yang digelar oleh penduduk
desa Jepitu, kecamatan Girisubo, kabupaten Gunungkidul sebagai ungkapan rasa syukur pada Tuhan
atas anugerah yang diberikan dan memohon rejeki untuk masa datang. Anugerah yang dimaksud
terutama adalah hasil tangkapan ikan yang jumlahnya lumayan banyak, hingga bisa mencukupi
kebutuhan masyarakat setempat.
Upacara tradisi Ngalangi ini secara rutin diadakan di Pantai Wediombo dan diikuti oleh
pemerintah setempat dan ratusan warga baik yang berprofesi sebagai nelayan maupun petani.
Beberapa dari mereka menggunakan pakaian adat Jawa. Mereka percaya dari hasil alam yang
berlimpah merupakan bentuk wujud kecintaan Tuhan kepada makhluknya. Mereka juga yakin dengan
menyisihkan sebagian hasil panen dan mengembalikannya ke alam merupakan cara menjaga suatu
ikatan antara manusia dengan alam untuk saling memberi perlindungan dan rasa syukur atas apa yang
telah diperoleh.
Prosesi upacara Ngalangi (seharusnya) di awali dengan acara merentangkan gawar atau jaring
yang dibuat dari pohon wawar. Jenis jaring ini konon digunakan untuk menangkap ikan sebelum
adanya jaring dari senar yang dipakai sekarang. Gawar direntangkan dari bukit Jungwok hingga
wilayah pasang surut pantai. Perentangan dilakukan saat air pasang, tujuannya adalah menjebak ikan
yang terbawa ombak sehingga tak dapat kembali ke lautan –tapi secara simbolis, saat ini dilakukan
hanya dengan menangkap ikan dengan jaring biasa–. Setelah air surut, ikan-ikan diambil. Warga
kemudian sibuk membersihkan dan memasak ikan tangkapan.
Dengan diiringi alunan bende dan gerakan reog gegrak. Warga membawa sesaji yang
dibungkus anyaman daun kelapa berjalan melewati jalan yang naik turun melintasi persawahan dari
pantai Jungwok menuju tepi pantai Wediombo dengan diiringi keprajuritan khas dari Gunungkidul.
Kirab tersebut dilanjutkan dengan menyisir area tepi Pantai Wediombo ke arah selatan. Tidak
lama kemudian arak-arakan atau kirab berhenti di pelataran Semar yang disakralkan penduduk sekitar.
Area pelataran Semar saat ini telah dibikin sebuah pondasi permanen yang lebih tinggi yang
dipergunakan selama acara Sedekah Laut Ngalangi Pantai Wediombo berlangsung.
Nasi kenduri dan bungkusan makanan yang dibawa warga ditaruh ditengah-tengah pelataran
kemudian warga yang mengikuti prosesi sedekah laut ngalangi duduk melingkarinya. Beberapa ibu-ibu
yang membawa selendang kain menggantungkan selendangnya di bagian depan dekat pohon yang
dikeramatkan sebagai syarat dimulainya prosesi Upacara Adat Tradisi Ngalangi Pantai Wediombo.
Prosesi Ngalangi Pantai Wediombo dimulai dengan ritual doa menghadap pohon tua yang
dipercaya sebagai pepunden dan dikeramatkan di area pelataran Semar. Selendang digantungkan di
sebuah tali di bawah pohon besar di pinggir pantai yang menjadi pusat ritual. Kemudian minyak wangi
diusap-usapkan di seluruh selendang. Bau menyan tiba-tiba cukup tajam saat pemuka adat atau juru
kunci membakarnya bersamaan dengan peletakan sesaji dan melantunkan mantera dalam hati. Ritual
itu menjadi pembuka dalam upacara Ngalangi.
Kemudian acara dilanjutkan dengan beberapa sambutan dari pemuka adat setempat
dilanjutkan dengan sambutan-sambutan lainnya dari wakil pemerintah daerah. Acara doa di pelataran
ditutup dengan doa bersama yang dilakukan seluruh masyarakat yang hadir dalam prosesi tersebut.
Upacara Adat Ngalangi Pantai Wediombo dilanjutkan dengan makan bersama antara
masyarakat yang menjalankan prosesi ini dengan penonton yang hadir dalam acara tersebut.
Bungkusan makanan dan nasi kenduri yang diletakkan ditengah-tengah langsung dibagian kesemua
orang yang hadir dalam acara tersebut. Selanjutnya mereka membuka bungkusan makanan tersebut
dan langsung memakannya secara bersama-sama. Bungkusan makanan dan kenduri yang ada berisi
hasil bumi yang dipanen oleh masyarakat sekitar. Saat bungkusan tersebut dibuka berisi nasi dan lauk
berupa tempe, serundeng, ikan laut, dan masakan khas desa yang diolah dari hasil bumi yang mereka
panen.
Prosesi larung sesaji Upacara Adat Ngalangi Pantai Wediombo dilanjutkan setelah selesai
acara makan kenduri bersama. Tandu berisi sesaji hasil bumi masyarakat sekitar yang diletakkan
ditengah pelataran dibawah ke arah utara menuju tempat perahu nelayan yang sedang bersandar.
Tandu sesaji tersebut dinaikkan ke atas perahu kemudian perahu dibawa ke tengah laut atau sejauh
kurang lebih lima kilometer dari bibir pantai untuk dilabuh atau dilarung.
Prosesi larung sesaji Upacara Adat Ngalangi Pantai Wediombo ini hanya menggunakan satu
buah perahu nelayan saja. Perwakilan masyarakat dan nelayan ikut dalam perahu nelayan untuk
melakukan proses larung sesaji di tengah laut. Tidak banyak yang mengetahui bagaimana prosesi
larung sesaji Tradisi Ngalangi Pantai Wediombo karena hanya menggunakan satu perahu yang
terbatas kapasitas penumpangnya. Masyarakat sekitar percaya bahwa laut selatan dibawah kekuasaan
Nyi Roro Kidul sehingga upacara sedekah laut juga dipersembahkan kepada Nyi Roro Kidul.
Upacara Adat Ngalangi ini merupakan salah satu tradisi yang masih dipertahankan oleh
masyarakat pesisir pantai kabupaten Gunungkidul khususnya masyarakat sekitar Pantai Wediombo.
Tradisi ini memiliki banyak kesamaan dengan sedekah laut namun terdapat perbedaan dimana di
bagian acaranya terdapat permohonan seorang yang memiliki hajat tersendiri dengan mempersiapkan
larung sesaji sendiri yang diikutkan bersama-sama dalam prosesi larung sesaji.

Anda mungkin juga menyukai