Anda di halaman 1dari 12

Tradisi Rasulan Di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta

Makna Relijius Dalam Ritual Adat Masyarakat


Rifqi Fauzan Al-Anshori (2204036023)
Studi Agama - Agama, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo Semarang

PENDAHULUAN

Masyarakat muslim Gunung Kidul sangat lekat bahkan akrab dengan kebudayaan
Jawa. Budaya itu sebagai rupa jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan
rasa, asalnya dari bahasa sansakerta, namun bisa juga bisa berarti pengolahan, pengerjaan,
penyuburan, dan pengembangan tanah dengan pertanian. Banyak peneliti kemudian
mengartikannya sebagai, “Keseluruhan kompleksitas, yang didalamnya terkandung ilmu
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain
serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai angggota masyarakat.” Berbagai tradisi dan
budaya Jawa pra Islam masih berjalan sampai saat ini meskipun digempur oleh berbagai
budaya asing. Salah satu tradisi berbau animisme dan dinamisme yang masih dijalankan oleh
para muslim pesisir Gunungkidul adalah “rasulan”.1

Tradisi ini juga dijalankan oleh masyarakat muslim Gunungkidul sebagai bentuk
pengakuan terhadap kekuatan ghaib serta media mengungkapkan syukur kepada sang pencipta
yang telah memberikan panen berlimpah. Tradisi ini sebenarnya juga ada di daerah-daerah
lainnya, namun dengan sebutan yang berbeda-beda, seperti bersih desa, selametan dan merti
Desa. Meskipun di daerah lain ada tradisi yang mirip, namun nuansa mistik dan corak tradisi
pra-Islam jelas berbeda dengan rasulan di wilayah pesisir mempunyai keunikan tersendiri.
Kebudayaan ini sebenarnya sudah lama dijalankan oleh masyarakat Gunungkidul bahkan
sebelum kedatangan Islam.2

1
Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2012), 27.
2
Rohiman Notowidagdo, Ilmu budaya dasar berdasarkan al-qur’an dan hadits, 1 ed. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), 25; M Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar (Bandung: PT Refika Aditama, 2012),
67.
Awalnya, kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk terima kasih warga masyarakat kepada
dewi sri/dewi kesuburan atas limpahan panen yang mereka terima. Sebagai bentuk rasa terima
kasih itu, maka masyarakat membuat berbagai macam sesaji, gunungan, tumpeng dan
makanan lainnya. Selain sesaji, mereka juga mengadakan ritus lainnya, seperti tarian dan
wayangan. Setelah agama Islam meresap dalam kehidupan masyarakat, tradisinya masih
berjalan hingga sekarang meski ada beberapa penyesuaian dengan nilai-nilai Islam. 3
Mengingat dalam tradisi rasulan ada perpaduan antara Budaya Jawa dengan Islam, maka
tradisi ini banyak dikritik oleh beberapa lembaga keagamaan Islam. Meskipun telah dilakukan
berbagai macam perubahan, baik dalam hal ritus maupun nilai tradisi “rasulan”, namun tetap
saja banyak lembaga maupun ormas Islam yang mengkritik tradisi tersebut karena dianggap
menyimpang dari ajaran tauhid. Ritus ini berbau animisme dan dinamisme yang jika
dijalankan secara terus menerus bisa mengganggu keimanan umat Islam.4

Fanatisme masyarakat muslim Gunung Kidul terhadap tradisi ini jelas mengusik
peneliti untuk melakukan penelitian agar bisa menyibak berbagai macam faktor yang
menyebabkan masyarakat di sana sangat fanatik serta mempercayai nilai-nilai yang
terkandung dalam ritus-ritus tradisi rasulan. Dengan mengetahui latar belakang sejarah, nilai
yang ada serta keyakinan yang tinggi terhadap tradisi ini, maka akan diketahui apakah tradisi,
nilai serta keyakinan masyarakat di sana terkait dengan tradisi “rasulan” sesuai dengan Islam
atau tidak.5

PEMBAHASAN

A. Profil Tradisi Rasulan

Rasulan berarti bersih desa (selamatan rasul/metri desa) berkaitan dengan upacara
massal. Tradisi rasulan merupakan ungkapan rasa syukur terhadap hasil panen yang melimpah

3
Alifah Yuliana dan Purwanto, “Mempertahankan Tradisi Rasulan Studi Tentang Perayaan Tradisi
Rasulan oleh Masyarakat Dusun Legundi, Kelurahan Planjan, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, D.I
Yogyakarta” (Universitas Gadjah Mada, 2013); Nurti Rahayu, “A Descriptive Study On Rasulan In
Gunungkidul, Yogyakarta Special Region,” Kepariwisataan: Jurnal Ilmiah 13, no. 02 (2019): 15–30.
4
Erviana Wulandari, Annisa Fitri Nurkholidah, dan Cahyani Solikhah, “Penguatan Nilai Budi Pekerti
Melalui Tradisi Rasulan Gunungkidul,” Habitus: Jurnal Pendidikan, Sosiologi, & Antropologi 2, no. 1 (Maret 28,
2018): 139–150.
5
Rini Harjanti dan Sunarti, “Partisipasi masyarakat dalam tradisi upacara ‘rasulan’ di desa baleharjo,
kecamatan wonosari kabupaten gunungkidul,” Jurnal Sosialita 11, no. 1 (2019): 107–122.
yang diperoleh selama tahun, tradisi ini juga untuk memohon keselamatan dan menolak
bahaya. Tradisi rasulan diadakan setahun sekali setelah panen, yang dilakukan di hampir
seluruh desa di daerah Gunung Kidul.6

Kata rasulan mirip bahasa Arab, namun sebenarnya dalam konteks rasulan di
Gunungkidul, tidak ada hubungannya secara langsung. Kata rasulan sendiri bukanlah suatu
kegiatan yang berhubungan dengan peringatan terhadap suatu moment hidup Nabi
Muhammad SAW, seperti Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj. Tradisi ini muncul dalam kehidupan
masyarakat di desadesa di Gunungkidul sebagai bentuk bakti manusia terhadap tuhannya.
Rasulan merupakan salah satu bentuk tradisi perayaan pasca-panen yang diselenggarakan oleh
masyarakat Jawa. Tradisi ini biasa diselenggarakan masyarakat sebagai bentuk rasa syukur
terhadap panen hasil bumi yang melimpah sekaligus untuk merti atau bersih desa mengharap
keselamatan dan menolak mara-bahaya terhadap seluruh warga desa.7

Waktu pelaksanaan tradisi rasulan pun berbeda-beda, tergantung pada weton


padukuhan tersebut, ada yang hari Senin Pahing, ada yang hari Rabu Kliwon. Biasanya
Rasulan ini tidak ditetapkan tanggal berapa sesuai dengan hari atau weton pasaran, yang
pastinya selalu diadakan pada bulan Agustus setelah 17-an. Perayaan Rasulan biasanya
dilaksanakan satu Kelurahan yaitu Mberjo, Mengger, Nglipar lor, Nglipar Kidul, Ngaliyan dan
Kedungranti yang pada kesempatan kali ini tidak dilaksanakan kegiatan tersebut. Kepanitiaan
dari rasulan ini adalah tokoh masyarakat masing-masing Desa dengan pelaksana teknis adalah
pemuda karang taruna setempat.

Rangkaian perayaan upacara rasulan ini biasanya di awali pada saat panen pertama
atau pada waktu memetik padi untuk yang pertama kali. Bahan-bahan yang dijadikan sesaji
antara lain: janur kuning, kembang setaman (bunga 7 rupa), kaca, sisir, air dalam kendhi
(tempat air dari tanah liat), jajan pasar, nasi dan pisang. Sesaji itu kemudian didoakan secara
bersama-sama yang dipimpin oleh sesepuh desa atau biasa disebut dengan “kaum”.

Masing-masing benda itu mempunyai fungsi dan makna yang berbeda-beda, di


antaranya; Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur; Ingkung, sebagai lambang
6
Dini Daniswari. (2022). “Mengenal Rasulan, Tradisi Pasca Panen di Gunung Kidul”. Kompas.com.
7
Harjanti, Rini, dan Sunarti. 2019. “Partisipasi masyarakat dalam tradisi upacara ‘rasulan’ di desa
baleharjo, kecamatan wonosari kabupaten gunungkidul.” Jurnal Sosialita 11(1):107–22.
manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang kepasrahan pada Yang Maha Agung; Jajan
Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah. Buah berupa pisang Raja juga
disajikan, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa kehidupan; Nasi
Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung; Jenang, berupa
jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang (penolak marabahaya);
Tumpeng, berupa tumpeng lanang (lambang Yang Maha Agung) dan tumpeng wadon
(lambang penghormatan pada leluhur) yang ukurannya lebih kecil; makanan tradisional lain
berupa Ketan Kolak Apem, untuk memetri pada dhanyang yang ada di wilayah desa tersebut.8

Makanan dan sesaji tersebut harus ada dalam pelaksanaan rasulan karena masing-
masing makanan dan sesajen mempunyai makna dan nilai spiritual yang berbeda-beda.
Disinilah uniknya tradisi rasulan yang ada di masyarakat pesisir Gunungkidul. Meskipun
zaman sudah berubah, namun tradisi leluhur masih tetap terjaga dan menjadi magnet tersendiri
bagi para pendatang.

B. Sejarah Tradisi Rasulan

Rasulan merupakan salah satu bentuk tradisi perayaan pasca-panen yang


diselenggarakan oleh masyarakat Jawa di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta termasuk di kecamataan Nglipar. Latar belakang munculnya tradisi Rasulan di
Desa Kepek, Wonosari, Gunungkidul yaitu dulu masyarakat petani ketika masa panen
memperoleh hasil yang melimpah. Sehingga masyarakat petani mengadakan syukuran yang
dulu masih sederhana hanya dengan makan bersama. Tradisi ini biasa diselenggarakan
masyarakat sebagai bentuk rasa syukur terhadap panen hasil bumi yang melimpah sekaligus
untuk merti atau bersih desa mengharap keselamatan dan menolak mara-bahaya terhadap
seluruh warga desa. Tradisi ini dapat ditemui di hampir seluruh desa di Gunungkidul bahkan
beberapa desa juga menyelenggarakannya dalam level pedukuhan. Waktu pelaksanaannya tak
selalu sama antar wilayah karena Rasulan diselenggarakan atas kesepakatan warga desa
setelah mendapat penentuan atau persetujuan waktu pelaksanaan dari panitia-panitia desa
setempat, biasanya diselenggarakan setelah panen raya atau menjelang musim kemarau.

8
Subarkah, “wawancara,” n.d.; Hardo Adriyanto dan Eny Kusdarini, “The Rasulan Tradition from
Gunung Kidul as a Character Education Means of Mutual Cooperation Values Among Youth,” International
Journal of Multicultural and Multireligious Understanding 7, no. 11 (Desember 21, 2020): 450–459.
Di Dusun Jambu, Plajan, Saptosari, Gunungkidul terdapat cerita yang melatarbelakangi
munculnya tradisi rasulan. Awalnya nenek moyang pada 140 zaman dahulu membangun
kebun dan rumah di dusun Sinthok. Ketika membangun kebun dan rumah tersebut diberi
keselamatan dan ketentraman oleh mbaurekso (yang berkuasa). Karena keselamatan dan
ketentraman yang telah diberikan, maka diadakan rasulan setiap satu tahun sekali yang artinya
diadakan slametan sebagai wujud syukur. Rasulan diadakan pada hari Senin Pon setiap satu
tahun sekali. Hal ini terjadi karena pemilik rumah tersebut pertama kali menempatinya pada
hari tersebut. Sehingga sampai saat ini setiap satu tahun sekali pada hari Senin Pon diadakan
tradisi rasulan. Tradisi rasulan diadakan supaya oleh mbaurekso (yang berkuasa) diberi
keselamatan, ketentraman, kesehatan, rezeki yang lancar sampai anak cucu. Menurut
kepercayaan masyarakat di dusun Jambu, apabila tidak mengadakan rasulan maka akan ada
akibatnya yaitu terdapat orang yang sakit dan meninggal.9

Meskipun latar belakang tradisi rasulan di tempat tersebut berbeda, terdapat persamaan
tujuan yang dimiliki dengan adanya tradisi Rasulan. Sebagai sarana untuk menyampaikan rasa
syukur merupakan salah satu yang dimiliki dalam pelaksanaan tradisi Rasulan. Uniknya,
meskipun ditengah perkembangan zaman yang terjadi, masyarakat tetap melaksanakan tradisi
Rasulan secara turun-temurun dan tidak ada masyarakat yang ingin menghilangkan tradisi
tersebut. Adanya pewarisan kebudayaan Rasulan dari para sesepuh setempat kepada generasi
baru memberikan peran penting. Sehingga, tradisi Rasulan dapat dinikmati masyarakat setiap
tahunnya. Pewarisan tradisi rasulan yang terdapat di Gunungkidul dilakukan oleh para
generasi tua kepada generasi selanjutnya. Sehingga, meskipun kini dalam era modernisasi,
tradisi Rasulan masih menjadi tradisi yang dijunjung oleh masyarakat Gunungkidul beserta
pemerintah setempat menjadi agenda tahunan. Selain adanya pemerintah memberikan fasilitas,
sosialisasi menjadikan tradisi rasulan dilaksanakan setiap tahunnya.

C. Aktivitas / Tradisi Upacara Rasulan di Nglipar Gunungkidul

9
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers Supraptiningrum dan
Agustini, (2015), Membangun Karakter Siswa melalui Budaya Sekolah di Sekolah Dasar. Jurnal
Pendidikan Karakter, Tahun V No. 2 Oktober 2015
Dalam teknis pelaksanaannya pemerintah desa membentuk panitia Rasulan dan
kemudian panitia rasulan merencanakan acara ,waktu pelaksanaan serta jumlah biaya yang
dibutuhkan . Setelah teknis pelaksanaan di putuskan kemudian biaya pelaksanaan dibebankan
kepada warga masyarakat perkeluargaRangkaian acara Rasulan yang biasanya selalu diadakan
di Kelurahan Nglipar Gunungkidul:

1. Hari pertama, diadakan bersih desa dan Gendurenan biasanya diadakan lomba
menghias sego ingkung se menarik mungkin per desa tempak pelaksanaanya diadakan
di Kelurahan Nglipar.
2. Hari kedua biasanya diadakan Lomba-lomba antar desa, sepak bola, volley, dan
badminton yang diadakan di lapangan Nglipar.
3. Hari ke tiga biasanya diadakan jalan sehat se kelurahan Nglipar tua muda campur dan
ada pembagian dorprice untuk peserta jalan sehat.
4. Hari ke empat biasanya diadakan Karnaval atau kirab budaya se kelurahan Nglipar dan
pada malamnya diadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk.

Inti dari kegiatan diatas adalah wujud rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
juga sebagai sarana dan upacara adat membersihkan wilayah Kelurahan Nglipar, tidak
hanyamembersihkan lingkungan desa, puncak dari tradisi rasulan disemarakkan dengan
berbagai rangkaian kegiatan olahraga dan pertunjukan seni budaya. Rasulan telah dikemas
menjadi salah satu event budaya khas lokal dan pengembangan wisata di kawasan Desa
Nglipar.Pada tradisi rasulan, puncak keramaian biasanya terjadi pada saat diselenggarakannya
kegiatan kirab dan Pagelaran Wayang Kulit. Kirab adalah semacam karnaval atau arakarakan
mengelilingi desa dengan membawa tumpengan atau sajian berupa hasil panen seperti pisang,
jagung, padi, dan sebagainya.

Setelah upacara persembahan tumpengan atau kirab, rasulan dilanjutkan dengan


melakukan doa bersama di balai padukuhan untuk ketentraman dan keselamatan seluruh
warga. Tradisi rasulan merupakan aset budaya yang harus dipertahankan, karena dengan jiwa
kebersamaan dan semangat gotong-royong, maka keharmonisan masyarakat dapat terwujud.
Selain sebagai sarana untuk memupuk semangat kekeluargaan, tradisi ini juga menjadi salah
satu wadah untuk melestarikan kesenian daerah khususnya Desa Nglipar.
D. Nilai Moral Tradisi Rasulan

Dalam tradisi rasulan terkandung nilai-nilai moral yang dapat dipraktikkan oleh setiap
individu. Nila-inilai budi pekerti diwariskan kepada individu dalam masyarakat. Keluarga di
Gunungkidul, khususnya desa dan dusun terkait selalu mengajarkan anaknya untuk berbagi
dengan menyuruh mengundang teman-temannya untuk makan di rumahnya. Kemudian
pembagian tugas dan peran dalam pelaksanaan tradisi rasulan juga memberikan nilai-nilai
yang dapat diterapkan dalam kehidupannya. Sehingga nilai budi pekerti yang dapat diperoleh
adalah tanggung jawab, keikhlasan, toleransi, dan peduli terhadap sesama. Penguatan nilai-
nilai budi pekerti tersebut diperoleh melalui serangkaian tradisi rasulan. Masyarakat dan anak-
anak yang ikut serta dalam rangkaian kegiatan tradisi rasulan diharapkan dapat menerima
nilai-nilai budi pekerti tersebut yang selanjutnya dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari.10

Terdapat banyak nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi Rasulan. Diantaranya nilai
keikhlasan, gotong royong, tanggung jawab, rasa syukur, toleransi, dan rasa peduli terhadap
sesama. Penguatan nilai-nilai budi pekerti tersebut diajarkan memalui beberapa media,
misalnya adalah melalui keluarga, pemerintah, sekolah, maupun masyarakat sekitar.

Keluarga sebagai tempat pertama individu bersosialisasi. Dalam hal ini, keluarga
memiliki peran utama dalam mensosialisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
rasulan kepada anak-anaknya. Keluarga merupakan kelompok terkecil di masyarakat sebagai
tempat pertama kali individu memperoleh pembelajaran atau pewarisan nilai. Nilainilai dasar
telah diajarkan pada lingkungan keluarga. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan individu
tersebut agar dapat diterima dan mampu hidup di lingkungan masyarakat. Penguatan nilai
yang terkait dengan nilai-nilai dalam tradisi Rasulan juga di ajarkan oleh keluarga. Ketika
diadakan Rasulan, setiap keluarga menyediakan berbagai makanan untuk dihidangkan kepada
tamu yang datang. Melalui tradisi rasulan keluarga mengajarkan kepada anak-anaknya untuk
berbagi dengan mengundang temantemannya dan makan bersama di rumahnya. Selain itu,

10
Ruyadi, Yudi. (2010). Model Pendidikan Karakter Berdasarkan Budaya Lokal. Proceding of The 4 th
International Conference on Teacher Education, November, Bandung
keluarga juga mengajarkan tanggung jawab kepada anak-anaknya untuk melaksanakan
tugasnya baik sebagai anggota keluarga maupun anggota msyarakat. 11

Teman sebaya menjadi salah satu sosialisasi yang cukup dekat ketika individu mulai
keluar dan berinteraksi dengan masyarakat luar. Dengan adanya kebiasaan berbagi makanan
ketika dilaksanakan Rasulan, terdapat penguatan nilai mengenai keikhlasan dan peduli dengan
sesama. Mengundang dan mempersilahkan tamu untuk makan hidangan yang telah disediakan
oleh setiap keluarga, mengajarkan individu tersebut untuk ikhlas dan peduli. Selain itu
lingkungan masyarakat, media massa, pemerintah, serta lembaga pendidikan memberi
kontribusi pula pada proses sosialisasi tradisi Rasulan padaindividu. Pada lingkungan
masyarakat terdapat solidaritas yang tercipta dengan adanya kesadaran yang sama mengenai
tradisi Rasulan yang harus terus dilestarikan. Misalnya adalah gotong royong, yang berarti
bersama-sama mengerjakan sesuatu atau membuat sesuatu untuk mencapai suatu hasil.
Budaya gotong royong dilandasi oleh manusia terkait dengan lingkungan sosialnya, manusia
sebagai makhluk sosial, manusia perlu menjaga baik dan selaras dengan sesamanya, manusia
perlu menyesuaikan diri dengan anggota masyarakatnya Tradisi rasulan yang setiap tahunnya
diadakan dapat terlaksana karena dilakukan bersama-sama. Mulai dari persiapan sampai
pelaksanaan rangkaian kegiatan rasulan masyarakat saling bekerjasama melaksanakan tradisi
rasulan. 12

Terdapat berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan rasulan diantaranya warga
masyarakat, pemudapemudi karang taruna, pemerintah yang saling bergotong royong dan
mendukung untuk mensukseskan kegiatan tradisi rasulan. Kemudian nilai toleransi yaitu sikap
saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Dalam tradisi Rasulan sikap toleransi antar
masyarakat itu diwujudkan dalam pelaksanaan tradisi rasulan, bahwa tradisi rasulan itu diikuti
oleh semua umat beragama. Seperti yang terdapat di Desa Kepek, Wonosari, Gunungkidul,

11
Mixdam dan Hidayah. 2015. Sosialisasi Adat Rasulan di Kalangan Anak-anak pada Era Modernisasi di
Daerah Playen Gunungkidul. Jurnal Pendidikan Sosialisasi

12
Chakim, Sulkhan. (2015). “Potret Islam Sinkretisme: Praktik Ritual Kejawen?” Komunika: Jurnal
Dakwah dan Komunikasi 3 (1): 1-9.
tradisi rasulan dilaksanakan oleh seluruh warga masyarakat dari latar belakang agama yang
berbeda. Seperti umat Islam mengadakan pengajian yang dilaksanakan sebelum kegiatan
tradisi rasulan. Kemudian bagi umat beragama lain diberikan waktu atau kesempatan untuk
mengadakan renungan. Masyarakat saling menghormati perbedaan diantara mereka dengan
memberikan kesempatan bagi masyarakat lainnya untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan
agamanya. Sehingga pelaksanaan tradisi Rasulan menjadi tali pengikat masyarakat yang
memiliki berbagai perbedaan karena Rasulan tidak dimiliki oleh umat Islam saja, melainkan
milik masyarakat yang beragama lain juga. Selain itu, nilai lain yang terkandung dan diajarkan
dalam tradisi rasulan adalah keikhlasan. Keikhlasan merupakan suatu bentuk dari
perwujudantindakan yang dilakukan oleh individu atau masyarakat dengan dilandasi hati
nurani tanpa mengeluh ataupun meminta imbalan dalam melakukan tindakannya.Berdasarkan
perkembangan yang ada dalam masyarakat, meskipun sudah termasuk masyarakat yang
modern, tradisi Rasulan masih dipegang kuat oleh masyarakat Gunungkidul, khususnya di
Desa Kepek, Wonosari dan Dusun Jambu, Plajan, Saptosari. 13

Tidak terlepas dari pendidikan, tradisi Rasulan tersebut merupakan salah satu upaya
dalam penguatan nilai budi pekerti. Sumber nilai budi pekerti yang dimaksud berasal dari para
sesepuh yang masih melestarikan tradisi Rasulan dengan mempertahankan nilai-nilai
tradisional dan budi pekertinya. Selanjutnya diinovasi oleh generasi penerusnya tanpa
menghilangkan nilai yang terkandung. Sesuai dengan yang diungkapkan sebelumnya bahwa
pendidikan memiliki fungsi manifes (nyata) yaitu mengembangkan bakat perseorangan demi
kepuasan pribadi dan untuk kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat diantaranya
untuk melestarikan kebudayaan yang ada di masyarakat tersebut karena pendidikan akan
mengubah pola pikir masyarakat untuk tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan yang
dimilikinya. Maka melalui pendidikan, masyarakat dapat lebih memahami mengenai
pentingnya menjaga dan melestarikan tradisi kebudayan yang ada yaitu seperti tradisi rasulan
yang dilaksanakan masyarakat Gunungkidul. 14

13
Ruyadi, Yudi. (2010). Model Pendidikan Karakter Berdasarkan Budaya Lokal. Proceding of The 4 th
International Conference on Teacher Education, November, Bandung

14
Dwiningrum, Siti Irene Astuti. 2016. Pendidikan Sosial Budaya. Yogyakarta: UNY Press
KESIMPULAN

Tradisi rasulan merupakan ungkapan rasa syukur terhadap hasil panen yang melimpah
yang diperoleh selama tahun, tradisi ini juga untuk memohon keselamatan dan menolak
bahaya. Tradisi rasulan diadakan setahun sekali setelah panen, yang dilakukan di hampir
seluruh desa di daerah Gunung Kidul. Namun memiliki latar belakang yang berbedabeda di
setiap tempat pelaksanaannya. Meskipun demikian, masing-masing pelaksanaannya memiliki
tujuan yang sama yaitu sebagai sarana untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan atas
segala nikmat yang telah diberikan selama satu tahun ini. Dalam tradisi Rasulan terkandung
nilai-nilai budi pekerti yang dapat dipraktikkan oleh setiap individu di kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai tersebut antara lain adalah tanggung jawab, rasa syukur, keikhlasan, gotong royong,
toleransi, dan kepedulian antar sesama. Nilai budi pekerti diwariskan kepada individu dalam
masyarakat melalui sosialisasi. Sosialisasi menjadi hal yang penting untuk penguatan nilai
budi pekerti dalam masyarakat melalui tradisi Rasulan. Penguatan nilai budi pekerti tersebut
diajarkan melalui beberapa media, seperti keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat
sekitar. Adanya media sosialisasi yang dilakukan dalam berbagai media memberikan pengaruh
kepada karakter Masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Alifah Yuliana dan Purwanto, “Mempertahankan Tradisi Rasulan Studi Tentang Perayaan
Tradisi Rasulan oleh Masyarakat Dusun Legundi, Kelurahan Planjan, Kecamatan
Saptosari, Kabupaten Gunungkidul, D.I Yogyakarta” (Universitas Gadjah Mada,
2013); Nurti Rahayu, “A Descriptive Study On Rasulan In Gunungkidul, Yogyakarta
Special Region,” Kepariwisataan: Jurnal Ilmiah 13, no. 02 (2019): 15–30.
Chakim, Sulkhan. (2015). “Potret Islam Sinkretisme: Praktik Ritual Kejawen?” Komunika:
Jurnal Dakwah dan Komunikasi 3 (1): 1-9.

Dini Daniswari. (2022). “Mengenal Rasulan, Tradisi Pasca Panen di Gunung Kidul”.
Kompas.com.

Dwiningrum, Siti Irene Astuti. 2016. Pendidikan Sosial Budaya. Yogyakarta: UNY Press

Elly M. Setiadi, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Kencana, 2012), 27.

Erviana Wulandari, Annisa Fitri Nurkholidah, dan Cahyani Solikhah, “Penguatan Nilai Budi
Pekerti Melalui Tradisi Rasulan Gunungkidul,” Habitus: Jurnal Pendidikan, Sosiologi,
& Antropologi 2, no. 1 (Maret 28, 2018): 139–150.

Gunawan, I. (2013). Metode penelitian kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara, 143.

Harjanti, Rini, dan Sunarti. 2019. “Partisipasi masyarakat dalam tradisi upacara ‘rasulan’ di
desa baleharjo, kecamatan wonosari kabupaten gunungkidul.” Jurnal Sosialita
11(1):107–22.

Mixdam dan Hidayah. 2015. Sosialisasi Adat Rasulan di Kalangan Anak-anak pada Era
Modernisasi di Daerah Playen Gunungkidul. Jurnal Pendidikan Sosialisasi

Rini Harjanti dan Sunarti, “Partisipasi masyarakat dalam tradisi upacara ‘rasulan’ di desa
baleharjo, kecamatan wonosari kabupaten gunungkidul,” Jurnal Sosialita 11, no. 1
(2019): 107–122.

Rohiman Notowidagdo, Ilmu budaya dasar berdasarkan al-qur’an dan hadits, 1 ed. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000), 25; M Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar
(Bandung: PT Refika Aditama, 2012), 67.

Ruyadi, Yudi. (2010). Model Pendidikan Karakter Berdasarkan Budaya Lokal. Proceding of
The 4 th International Conference on Teacher Education, November, Bandung

Sartini, Ni Wayan. (2009). “Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan
(Bebasan, Saloka, dan Paribasa)” Logat: Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra 5 (1): 28-37.
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers Supraptiningrum
dan Agustini, (2015), Membangun Karakter Siswa melalui Budaya Sekolah di Sekolah
Dasar. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun V No. 2 Oktober 2015

Subarkah, “wawancara,” n.d.; Hardo Adriyanto dan Eny Kusdarini, “The Rasulan Tradition
from Gunung Kidul as a Character Education Means of Mutual Cooperation Values
Among Youth,” International Journal of Multicultural and Multireligious
Understanding 7, no. 11 (Desember 21, 2020): 450–459

Anda mungkin juga menyukai