Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH FILSAFAT ILMU

LANDASAN PENELAAHAN ILMU


“SEDEKAH BUMI”

DOSEN PENGAMPU
Prof. Dr. Dra. Hj. Nurfina Aznam, APT, SU.

DISUSUN OLEH
SYIFA UNISA PUTRI
18728251030

PENDIDIKAN KIMIA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang memiliki ragam suku bangsa dan kebudayaan yang masih
hidup sampai saat ini. Salah satu unsur dari kebudayaan adalah tradisi. Tradisi merupakan suatu
kegiatan yang berbau seni, agama, dan dilakukan secara turun temurun. Tradisi dipengaruhi oleh
kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. Tradisi
biasanya dilakukan untuk memperingati suatu kejadian yang sacral pada masa lampau ataupun
dilakukan untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang telah
diberikan. Tradisi di setiap daerah di Indonesia berbeda dengan daerah lainnya. Setiap daerah
memiliki nilai tradisi yang beragam dan unik.
Salah satu pulau di Indonesia yang kaya akan tradisi Jawa. Pulau jawa terkenal dengan
beragam jenis tradisi budaya yang ada di dalamnya, baik tradisi kultural yang bersifat harian,
bulanan hingga yang bersifat tahunan, semuanya ada dalam tradisi budaya Jawa. Sangat
beragamnya macam tradisi yang ada di masyarakat Jawa, hingga sangat sulit untuk mendeteksi
serta menjelaskan secara rinci terkait dengan jumlah tradisi kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Jawa tersebut.
Salah satu tradisi masyarakat Jawa yang hingga sekarang masih tetap eksis dilaksanakan
dan sudah mendarah daging serta menjadi rutinitas masyarakat Jawa pada setiap tahunnya adalah
“Sedekah Bumi”. Sedekah bumi merupakan salah satu tradisi yang dilakukan masyarakat di suatu
daerah tertentu sebagai ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah yang telah
diberikan. Sedekah Bumi berarti menyedekahi bumi atau niat bersedekah untuk kesejahteraan
bumi. Ritual sedekah bumi merupakan salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat pulau Jawa
yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang orang Jawa terdahulu, mereka
masih meyakini akan manfaat dari pelaksanaan upacara adat dan dianggap penting di suatu daerah,
sehingga mereka masih melestarikan upacara-upacara adat. Kepercayaan tersebut juga kerap
dianut oleh masyarakat dengan alasan untuk menghormati leluhur atau melestarikan kebudayaan
yang ada pada suatu daerah.

2
BAB II

ISI

1. LANDASAN ONTOLOGI

Kata sedekah sebenarnya berasal dari bahasa arab yakni shodaqoh. Dalam kamus bahasa arab
marwabi kata shodaqoh itu diartikan sebagai pemberian dengan tujuan mendapat pahala (dari
Tuhan). Dalam pengertian inilah sedekah yang dimaksudkan secara umum oleh masyarakat Jawa-
Islam, yakni pemberian secara sukarela tanpa imbalan apapun sebagai bantuan kepada siapapun,
utamanya kepada mereka yang sedang dalam keadaan kekurangan, kesempitan ataupun menderita.
Sedekah bumi atau bersih desa adalah suatu ritual budaya peninggalan nenek moyang sejak
ratusan tahun lalu. Dahulu pada masa Hindu ritual tersebut dinamakan sesaji bumi / laut. Pada
masa Islam, terutama masa Walisongo (500 tahun yang lalu) ritual budaya sesaji bumi tersebut
tidak dihilangkan, justru dipakai sebagai sarana untuk melestarikan / mensyiarkan ajaran Allah
yaitu ajaran tentang iman dan taqwa atau didalam bahasa jawa diistilahkan eling lan waspodo yang
artinya tidak mempersekutukan Allah dan selalu tunduk dan patuh mengerjakan perintah dan
menjauhi larangan AIIah. Untuk mensyiarkan dan melestarikan ajaran iman dan takwa, maka para
Wali memakai ritual budaya sesaji bumi / laut yang dulunya untuk alam diubah namanya menjadi
sedekah bumi yang diberikan kepada manusia khususnya anak yatim dan fakir miskin tanpa
membedakan suku, agama, ras, atau golongan (Slamet, 1984).
Sedangkan pengertian sedekah yang dipahami oleh orang jawa adalah sesuatu yang masih
mengacu pada bentuk-bentuk pemberian. Hanya saja dalam konteks sedekah pada beberapa
upacara tradisi Jawa motivasi atau tujuan serta cakupan dari sasaran pemberian menjadi berubah
atau mengalami reformasi. Motivasi atau tujuan bukan lagi sebagai bentuk bantuan, tetapi lebih
cenderung merupakan persembahan, yang dengan persembahan itu diharapkan akan mendapat
imbalan berupa ‘pahala’ dari yang diberi persembahan.
Sedekah atau slametan diyakini sebagai sarana spiritual yang mampu mengatasi segala
bentuk krisis yang melanda serta bisa mendatangkan berkah bagi manusia. Adapun objek yang
dijadikan sarana pemujaan dalam slametan adalah ruh nenek moyang yang dianggap memiliki
kekuatan magis. Di samping itu, slametan juga sebagai sarana mengagungkan, menghormati, dan

3
memperingati roh leluhur, yaitu para nenek moyang (Karkono, 1995). Sedangkan sedekah
bumi merupakan upacara sedekah yang banyak dilakukan oleh masyarakat jawa diberbgai desa.
Tujuan dari upacara ini pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan persembahan kepada roh
leluhur yang telah meninggal dunia, dan ketika masih hidup diyakini oleh masyarakat desa yang
bersangkutan sebagai cikal bakal pendiri desa. Roh leluhur itu biasa disebut dhanyang yang
menempati dikuburan (pesareyan) khusus tempat pendiri dea itu dimakamkan, atau kuburan
umum bersama-sama warga masyarakat lainnya. Dhanyang diyakini yang menjaga dan mengawasi
seluruh masyarakat desa, dusun atau kampung.
Tradisi sedekah bumi ini, merupakan salah satu bentuk ritual tradisional masyarakat di
pulau jawa yang sudah berlangsung secara turun-temurun dari nenek moyang orang jawa
terdahulu. Ritual sedekah bumi ini biasanya dilakukan oleh mereka pada masyarakat jawa yang
berprofesi sebagai petani yang menggantungkan kehidupan keluarga dan sanak famili mereka dari
mengais rezeki dengan memanfaatkan kekayaan alam yang ada di bumi. Bagi masyarakat jawa
khususnya para kaum petani, tradisi ritual tahunan semacam sedekah bumi bukan hanya
merupakan sebagai rutinitas atau ritual yang sifatnya tahunan belaka. Akan tetapi tradisi sedekah
bumi dimaknai sebagai salah satu bagian yang sudah menyatu dengan masyarakat yang tidak akan
mampu untuk dipisahkan dari budaya jawa. Tradisi sedekah bumi sudah menjadi salah satu bagian
yang sudah menyatu dengan masyarakat yang tidak akan mampu untuk dipisahkan dari kultur
(budaya) Jawa yang merupakan simbol penjagaan terhadap kelestarian serta kearifan lokal (Local
Wisdom) khas bagi masyarakat agraris yang ada di pulau Jawa (Mulder, 1981).
Upacara sedekah bumi dibeberapa tempat disebut juga dengan upacara baritan atau
upacara bersih desa, bersih dusun karena memang terdapat kegiatan membersihkan jalan dan
lingkungan (kerig), terutama kebersihan makam kuburan leluhur. Pengertian kebersihan dalam
hal ini dalam arti tidak saja bersih secara pisik, tetapi bersih dri gangguan roh jahat.
Tradisi Sedekah Bumi dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah :
a. Sedekah Gunung
Sedekah Gunung merupakan aktivitas budaya yang dilaksanakan masyarakat (khususnya
masyarakat pedesaan) yang dilaksanakan setahun sekali atau setiap terjadi peristiwa yang tidak
menyamankan kehidupan sosialnya. Sepeti musibah berupa penyakit yang diderita warga atau
wabah hama tanaman. Munculnya kata ’bumi’ diidentikkan dengan pelaksanaan ritual budaya
yang bernuansa agamis karena mensyukuri anugerah Ilahi yang bersumber dari hasil bumi,

4
aktivitas yang bergantung keramahan bumi (alam) atau panen hasil peternakan. Seperti
pascapanen tanaman atau menjelang panen. Sedekah bumi dilaksanakan masyarakat yang
berpenghasilan sebagai petani, petani dan pelaut, petambak, dan petambak yang juga petani.
b. Sedekah Laut
Lazimnya pelaksanaan sedekah laut dilakukan warga masyarakat yang berprofesi sebagai
nelayan, dilaksanakan menjelang musim panen laut (berdasarkan prediksi pelaut) atau pasca
panen hasil laut. Ada juga sedekah laut disertakan bersama peringatan wafatnya tokoh desa atau
tetua adat desa.
Munculnya pelaksanaan sedekah laut dengan pertimbangan, pertama, ungkapan syukur
kepada Tuhan yang menganugerahi sumber kehidupan dari laut. Kedua, permisi (ungkapan
izin) sebagai bentuk interaksi dengan sesama penghuni laut agar tercipata keselamatan selama
mengais rizki di laut agar tidak diusik kenyamanannya. Penunggu laut dalam konteks ini
diyakini oleh pelaut bahwa hamparan laut tidak hanya dihuni pelaut dalam mengais rizki, tetapi
juga dihuni makhlus halus. Agar interaksi antara pelaut dengan penghuni lainnya tercipta
interaksi (yang tidak kasat mata) secara harmonis, maka sedekah laut dijadikan mediasi
(perantara) keakraban secara psikis dan tidak langsung antara penguasa laut (Tuhan), penghuni
laut (makhluk gaib), komunitas laut (makhluk alam laut), dan pengais rizki dari laut (nelayan).
c. Nyadran
Upacara bersih desa didesa ini dilaksanakan pada setiap bulan Apit. Inti pelaksanaan
upacara adalah selamatan yang disebut selamatan nyadran. Selamatan biasanya diadakan
disekitar atau dilingkungan kuburan. Upacara diawali dengan penyembelihan kambing
sebanyak dua atau tiga ekor kambing yang tidak cacat. Daging kambing kemudian dimasak,
tetapi kepala kambing tidak diikut olahkan. Kepala-kepala kambing tersebut dibawa dan
diletakkan disamping kuburan yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat. Setelah ashar
orang-orang kampung secara bersama-sama pergi ketempat kuburan keramat itu. Daging
kambing yang sudah dimasak dibawa serta. Masing-masing warga membawa satu bakul nasi
dan panci berisi sayuran dan lauk pauk. Sayuran itu harus beraneka macam dan warna-warni
terdiri dari sembilan macam sayuran, dan harus disertai dengan ketan salak (ketan yang
berwarna coklat). Ketika orang pembaca tahlil bersama yang dipimpin oleh modinsetempat.
Setalah tahlil selesai mereka mulai membagi-bagikan makanan yang dibawa dari rumah. Akan
tetapi sebelum daging kambing dibagikan, terlebih dahulu modin mengambil nasi dan daging

5
kambing, masing-masing satu piring dan kemudian diletakkan diatas makam keramat itu.
Bersama-sama dengan pembagian daging kambing, warga kampung saling tukar menukar nasi
ataupun lauk pauk yang mereka bawa dari rumah. Tujuan dari semua kegiatan itu agar mereka
terhindar dari penyakit, malapetaka dan tanaman padi yang ditanam terbebas dari serangan
hama padi.
d. Bersih Desa
Upacara Bersih Deso merupakan upacara annual (tahunan) yang dilaksanakan seusai
panen padi, tepatnya pada tanggal 27 Dzulqa’dah. Pada hakekatnya upacara-upacara tersebut
mempunyai tujuan yang sama yaitu sebagai ungkapan dari rasa syukur masyarakat pedesaan
atau pedusunan atas nikmat atau keselamatan yang mereka peroleh selama ini. Rasa syukur
tersebut belum puas tersa jika belum mengadakan sebuah ritual atau upaca adat. Dalam
melakukan upacara Bersih Dusun seluruh masyarakat desa membersihkan diri dari kejahatan,
dosa, dan segala yang menyebabkan kesengsaraan. Dalam perayaannya, upacara ini
mengandung undur-unsur simbolik untuk memelihara kerukunan warga masyarakat. Dalam
perayaan upacara bersih dusun juga menandakan adanya sisa-sisa adat penghormatan terhadap
roh nenek moyang (Koentjaraningrat, 1984).
Selain sebagai wujud ungkapan rasa syukur masyarakat atas nikmat yan di berikan Tuhan,
upacara bersih desa ini juga merupakan sarana bagi masyarakat untuk bersosialisasi dan
berkomunikasi. Selain itu upacara ini juga bertujuan untuk mendo’akan para leluhur dusun,
seperti yang dijelaska oleh Denys Lombard bahwasannya selamatan bersih desa atau bersih
dusun merupakan selamatan yang sangat penting.

2. LANDASAN EPISTEMOLOGI

Secara umum dalam tradisi sedekah seluruh masyarakat sekitar membuat tumpeng,
berkumpul, dan membawa tumpeng tersebut di balai desa atau tempat-tempat yang telah disepakati
oleh seluruh masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut. Diantara
makanan yang menjadi makanan pokok yang harus ada dalam tradisi ritual sedekah bumi adalah
nasi tumpeng dan ayam panggang, minuman, buah-buahan dan lauk-pauk. Kemudian masyarakat
membawa tumpeng tersebut ke balai desa atau tempat-tempat untuk didoakan oleh tetua adat atau
sesepuh yang sudah sering dan terbiasa memimpin jalannya ritual tersebut.

6
Usai didoakan oleh sesepuh atau tetua adat, tumpeng tersebut kembali diserahkan kepada
masyarakat setempat yang membuatnya sendiri kemudian dimakan secara ramai-ramai oleh
masyarakat yang merayakan acara sedekah bumi itu. Masyarakat juga ada yang membawa pulang
nasi tumpeng tersebut untuk dimakan beserta sanak keluarganya di rumah masing-masing, selain
itu ada juga masyarakat di luar desa yang mengikuti upacara sedekah bumi.
Mengenai pelaksanaan sedekah bumi di Jawa, setiap daerah memiliki tata cara sendiri-
sendiri, misalnya saja di Kabupaten Brebes yang merupakan salah satu daerah yang berada dijalur
pantura dimana para penduduknya menggantungkan hidupnya dari hasil laut dan pertanian,
sebagian besar warga Brebes bekerja sebagai petani dan nelayan. Dengan adanya dua profesi
tersebut maka sebagai bentuk ungkapan rasa sukur kepada Sang Pencipta, masyarakat Brebes yang
menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian biasanya mengadakan sedekah bumi, sedangkan
masyarakat yang berada diwilayah pantai mengadakan sedekah laut. Ritual tersebut biasanya
diadakan setahun sekali dibulan Muharram ( Syura ).
Tradisi sedekah bumi yang ada di desa Dukuh Salam Kecamatan Losari Kabupaten Brebes
biasanya dilakukan setiap satu tahun sekali biasanya setelah panen raya, namun seiring berjalannya
waktu tradisi ini tidak menentu proses penyelenggaraannya tergantung kebijakan dari kepala
desanya, jika kepala desa mengehendaki tradisi ini dilakukan pada awal tahun maka bisa saja
tradisi ini dilakukan pada awal tahun.
Penyelenggaraan tradisi sedekah bumi di buka oleh kepala desa dilanjutkan dengan
pengumpulan berkat yang di lakukan secara swadaya oleh masyarakat desa. Berkat atau
masyarakat menyebutnya dengan bogana, berisi bahan makanan pokok seperti nasi, lauk pauk
(telor, ikan asin, dan urab), jika memiliki uang lebih bisa ditambahkan dengan ayam panggang
atau ikan bandeng. Kemudian semuanya disajikan dengan menggunakan ceting/bakul (sejenis
wadah yang terbuat dari anyaman bambu). Bogana dikumpulkan di balai desa untuk selanjutnya
di do’akan oleh sesepuh desa, kemudian setelah pembacaan do’a selesai bogana dibagikan ke
warga desa. Pembagian ini dilakukan secara acak. Tradisi seperti ini dapat menghadirkan rasa
semangat untuk selalu menjunjung tinggi tali silaturahmi antar warganya, sehingga akan terhindar
dari permusuhan antar warga.
Sedangkan masyarakat wilayah pesisir biasanya mengadakan ritual sedekah laut.
Masyarakat di Desa Grinting Kecamatan Bulakambacontohnya, mereka menggelar acara sedekah
laut dan balong (tambak). Warga membuat tumpeng dan sesaji yang berisi hasil bumi, sedekah

7
laut bagi warga Grinting terutama yang bekerja sebagai nelayan merupakan tradisi yang secara
turun temurun telah dilaksanakan setiap tahunnya, yaitu dengan melarung sesaji yang berisi hasil
bumi dan kepala kerbau yang sebelumnya di doakan oleh sesepuh desa tersebut.
Sesaji diletakan didalam miniatur Perahu yang dibuat secara gotong royong oleh warga
dan diarak dari kantor desa Grinting kecamatan Bulakamba menuju utara desa yang selanjutnya
dibawa menggunakan perahu nelayan untuk dibawa ketengah laut, kemudian sesaji diletakkan
ditengah laut dan dihanyutkan. Dalam perjalananya menuju laut, sesaji dikawal dengan
puluhan perahu nelayan yang membawa masyarakat desa sekitar yang memang ingin menyaksikan
acara pelarungan sesaji secara langsung. Setelah itu warga kembali dan bersama-sama makan
tumpeng yang telah dibuat.
Di Kota Jepara tepatnya di desa Singorojo kecamatan Mayong, sedekah bumi dilaksanakan
setahun sekali pada bulan besar setelah hari raya idul adha. Masyarakat melaksanakannya dengan
selametan (kenduri) pada siang hari dan pada malam harinya mengadakan pertunjukan wayang
yang tidak jauh berbeda dengan desa Johorejo kecamatan Gemuh Kendal, hanya saja masyarakat
Johorejo mengadakan pengajian pada malam hari dan diadakan setahun sekali di bulan Muharam
(Sura).
Di Kabupates Kendal desa Tampingwinarno kecamatan Sukorejo, masyarakat
mengenalnya dengan istilah baritan atau nyaur tanah,dilaksanakan pada malam satu sura dan pada
rabu pungkasan (hari rabu terakhir di bulan Muharram). Pada zaman dahulu masyarakat
memperingati baritan ini dengan cara selamatan membawa kupat-lepet di perempatan tengah
kampong, namun setelah datang seorang ulama yang menjelaskan bahwa hal tersebut kurang baik
menurut islam kemudian istilah baritan ini mulai kurang dikenal dan hanya dikenal dengan istilah
slametan. Pelaksanaannyapun pindah tak lagi di perempatan desa dan menjadi serambi surau /
masjid disertai doa dan mengaji bersama. Masyarakat juga mempercayai hal tersebut sebgai tolak
bala, maka pada hari rabu pungkasan ini menurut para leluhur terdapat larangan-larangan seperti
dilarang bepergian jauh dan diarang memanjat pohon.
Sedangkan di Desa Dorokandang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang setiap warga
membuat makanan pokok, di antara makanan yang menjadi makanan pokok yang harus ada dalam
tradisi ritual sedekah bumi adalah nasi tumpeng dan ayam panggang. Sedangkan yang lainnya
seperti minuman, buah-buahan dan lauk-pauk hanya bersifat tambahan saja, tidak menjadi
perioritas yang utama. Dan pada acara akhir, nantinya para petani biasanya menyisakan nasi,

8
kepala dan ceker ayam, ketiganya dibungkus dan diletakkan di sudut-sudut petak sawahnya
masing-masing. Dalam puncak acara ritual sedekah bumi di akhiri dengan melantunkan do’a
bersama-sama oleh masyarakat setempat dengan dipimpin oleh tetua adat. Do’a dalam sedekah
bumi tersebut umumnya dipimpin oleh tetua adat atau sesepuh kampung yang sudah sering dan
terbiasa memimpin jalannya ritual tersebut. Ada yang sangat menarik dalam lantunan do’a pada
ritual tersebut. Yang menarik dalam lantunan doa tersebut adalah kolaborasi antara lantunan
kalimat-kalimat Jawa dan yang dipadukan dengan khazanah-khazanah doa yang bernuansa Islami

3. LANDASAN AKSIOLOGI

Tujuan tradisi Sedekah Bumi adalah memberikan persembahan dan penghormatan


yang berupa sesaji hasil bumi yang ditunjukkan kepada sang maha p encipta yang telah
menjaga bumi yang ditempati dalam keadaan aman, tenteram, sejahtera dan jauh dari segala
macam persoalan-persoalan dan masalah. Serta diadakan karena ingin mengucapkan rasa
syukur atas rizki yang telah diberikan. Dan warga masyarakat agraris diharapkan memiliki
keteraturan dalam bercocok tanam dan agar meningkatkan keseimbangan lingkungan
dengan kehidupan manusia, terutama dalam stabilitas pangan, selain itu masyarakat
mengharapkan keberlangsungan keteraturan social. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat, jika upacara sedekah bumi tidak dijalankan akan terjadi bencana, seperti gagal panen
dan banyak warga yang sakit-sakitan, dan ini konon pernah terjadi.
Tradisi sedekah bumi pada masyarakat Jawa mempunyai beberapa manfaat ataupun
kelebihan, diantaranya adalah :
a. Pertama, sebagai sarana bersyukur pada sang pencipta karena selama satu tahun masyarakat
talah diberi rezeki hasil panen. Kedua sebagai media pembelajaran bagi setiap pemimpin desa
bagaimana menempatkan dirinya menjadi seorang pemimpin yang baik.
b. Mampu mengayomi dan menciptakan ketentraman dan kasejahteraan seluruh masyarakat.
c. Memberikan hiburan kepada masyarakat pringamba maupun sekitarnya. Karena dalam acara
sedekah bumi banyak sekali mempertunjukan kesinian , yaitu kesenian ronggeng,kuda kepang,
ceping. Sehinga acara tersebut sangan dinanti oleh masayrakat pringamba maupun sekitarnya.
d. Pada saat dilakukan sedekah tersebut biasanya muncul usaha-usaha sampingan penduduk baik
dalam bentuk jasa maupun makanan kecil, sebagai cara untuk menambah pendapatan penduduk

9
e. Sebagai sarana untuk mengingat perjalan sejarah desa, baik yang berupa cerita rakyat maupun
yang sudah dapat dibuktikan kebenarannya.
f. Dengan sedekah bumi, semua masyarakat tumpah ruah dalam satu semangat. Mereka sama-
sama menginginkan agar kampungnya dihindarkan dari bala, penyakit, pageblug dan azab.
Berkumpulnya semua elemen masyarakat dalam tradisi sedekah bumi membuat tali silaturahmi
semakin meningkat.
g. Dengan terlibatnya masyarakat secara merata membuat tradisi ini mampu terpelihara dari waktu
ke waktu dengan berbagai nuansa-nuansa baru dengan tetap mempertahankan persyaratan
upacara yang dianggap harus ada, baik dari segi peralatan maupun langkah- langkah yang harus
dilalui.
Tradisi sedekah bumi pada masyarakat Jawa juga mempunyai beberapa kerugian ataupun
kekurangan, diantaranya adalah :
a. Seringkali kegiatan sedekah bumi di beberapa daerah diniati sebagai sesaji kepada Dewi Sri,
kepara para dewa atau para danyang, atau diniati sebagai persembahan kepada jin penjaga
keamanan desa hukumnya adalah haram karena mengandung nilai kemusyrikan.
b. Dikalangan masyarakat yang tidak tahu tentang tradisi sedekah bumi hanya menganggap tradisi
tersebut sebagai tontonan atau hiburan tanpa memahami atau mengerti dari tujuan
dilaksanakannya sedekah bumi.

10
BAB III

PENUTUP

Sedekah bumi atau bersih desa adalah suatu ritual budaya peninggalan nenek moyang sejak
ratusan tahun lalu. Dahulu pada masa Hindu ritual tersebut dinamakan sesaji bumi / laut. Pada
masa Islam, terutama masa Walisongo ritual budaya sesaji bumi tersebut tidak dihilangkan, justru
dipakai sebagai sarana untuk mensyiarkan ajaran Allah. Ritual budaya sesaji bumi / laut yang
dulunya untuk alam diubah namanya menjadi sedekah bumi yang diberikan kepada manusia
khususnya anak yatim dan fakir miskin tanpa membedakan suku, agama, ras, atau golongan.
Secara garis besar seluruh masyarakat sekitar membuat tumpeng, berkumpul, dan
membawa tumpeng tersebut di balai desa atau tempat yang telah disepakati dan didoakan oleh
sesepuh desa dan dimakan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang merayakannya. Mengenai
pelaksanaan, setiap daerah memiliki nama dan waktu pelaksanaan sendiri. Tujuan dari upacara ini
pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan persembahan kepada roh leluhur yang telah
meninggal dunia, dan ketika masih hidup diyakini oleh masyarakat desa yang bersangkutan
sebagai cikal bakal pendiri desa.
Secara umum dalam tradisi sedekah seluruh masyarakat sekitar yaitu membuat tumpeng,
berkumpul, dan membawa tumpeng tersebut di balai desa atau tempat-tempat yang telah disepakati
oleh seluruh masyarakat setempat untuk menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut. Diantara
makanan yang menjadi makanan pokok yang harus ada dalam tradisi ritual sedekah bumi adalah
nasi tumpeng dan ayam panggang, minuman, buah-buahan dan lauk-pauk. Kemudian masyarakat
membawa tumpeng tersebut ke balai desa atau tempat-tempat untuk didoakan oleh tetua adat atau
sesepuh yang sudah sering dan terbiasa memimpin jalannya ritual.

11
DAFTAR PUSTAKA

Karkono, Kamajaya. (1995). Kebudayaan Jawa: Perpaduan dengan Islam. Yogyakarta: Ikatan
Penerbit Indonesia.
Koentjaraningrat. (1984). Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI Press.
Mulder, Niels. (1981). Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Slamet DS, 1984. Upacara Tradisional Dalam Kaitan Peristiwa Kepercayaan, Depdikbud.

12

Anda mungkin juga menyukai