Anda di halaman 1dari 13

Alam Terkembang Jadi Guru

Written by Hifni HFD Monday, 25 February 2008

1. Manusia dan Individu Alam terkembang jadi guru, demikian falsafah yang dianut oleh suatu etnis dari beberapa etnis besar yang ada di Indonesia. Falsafah ini unique, karena sebagai panutan dan pelajaran hidup manusia dan individu, memetik dari suatu kejadian, peristiwa dan proses alam. Manusia adalah subyek hukum yang memiliki fungsi dan peran yang berbeda menurut kodrat dan dan harkat yang diberikan alam kepadanya. Secara sosio psikologi, kemampuan munusia dalam berbuat sesuatu tidaklah sama. Seperti halnya contoh yang diberikan alam, ada bermacam-macam buah yang berbeda bentuk dan rasanya. Begitu pula bagi makhluk hewan, ada yang jinak dan ada yang buas. Secara berkelompok atau sendiri-sendiri, manusia memerlukan sandang, pangan dan papan untuk memenuhi kebutuhan lahir dan bathin. Bagi manusia pembedaan pandangan terhadap setiap individu, ditentukan oleh prestasi dalam berusaha dan berikhtiar, agar ia menjadi mulia, ternama, pintar dan kaya. Namun dari sisi budi daya, setiap manusia atau orang dipandang dalam status yang sama. Dalam falsafah berguru kepada alam, maka setiap manusia menempati posisi tegak sama tinggi dan duduk sama rendah, begitu kata petuah mereka. Lebih lanjut petuah itu memberi arahan kepada individu,bahwa sebagai makhluk sosial agar masingmasing individu dapat mencapai kemuliaan dengan petuah yang terurai sebagai berikut Jika hendak mulia harus suka memberi, jika ingin ternama (terkenal) dirikan kemenangan, jika mau pandai rajin berguru, jika ingin kaya harus kuat berusaha.

Bila kita kembalikan kepada falsafah alam, apakah pencapaian prestasi ini semata-mata usaha dan upaya manusia ? Contoh yang diberikan, menunjukkan dari pohon yang jenisnya sama akan dihasilkan buah yang sama. Namun ternyata kualitas yang dihasilkan tidak selalu sama. Mengapa ? Karena dibutuhkan pupuk dan cara pengolahannya. Demikian pula dengan manusia yang menjadi besar karena dibesarkan. Maksudnya seseorang yang mencapai prestasi karena dibantu dan ditopang orang lain. Menurut strukturnya, seseorang adalah individu. Semua individu adalah anggota masyarakat etnis dan lingkungan sosial. Setiap individu pada masyarakat yang komunal seperti di Ranah Minang, misalnya, maka setiap individu adalah milik masyarakatnya dan masyarakat itu adalah milik bersama bagi setiap individu. Oleh karena saling memiliki, maka kedua belah pihak tidak dapat saling menguasai. Hal ini dapat ditunjukkan pada pemilikan harta yang berada dalam aturan dan ketentuan yang unik. Untuk menghindari disharmoni yang tidak sesuai dengan ajaran alam, maka secara unik dibentuk sistem kekerabatan dan ekonomi komunal berdasarkan paham etnis yang menganut stelsel matrilinial serta sistem perkawinan antar etnis dengan cara eksogami. 2. Harga Diri pada Individu yang berguru kepada Alam : Sifat ego manusia timbul manakala meletakkan seseorang, agar menjadi berarti dan penting atau setidak-tidaknya sama dengan orang lain, ketika timbul amanat agar hidup bersaing terus menerus dalam mencapai kemuliaan, kepintaran, dan kekayaan seperti yang dimiliki oleh orang lain. Petuah alam itu menyatakan: Ingin mulia bertabur urai. Ingin ternama dirikan kemenangan. Ingin pintar rajin berguru. Ingin kaya kuat berusaha. Akibatnya nilai yang dicapai pada persaingan itu adalah melawan dunia orang. Yaitu bila orang mampu tentu kita mampu pula. Sebaliknya bila kita mampu tentu orang lain mampu pula. Melawan dunia orang adalah

suatu sikap yang menanamkan bawa persaingan hidup itu penting, akan tetapi banyak petuah yang mengingatkan agar setiap individu menjaga keseimbangan yaitu; kurang adalah kesia-sian dan berlebih adalah kegilaan. Artinya kesia-siaan bila merasa kurang dari orang lain. Ini yang disebut rendah diri. Akan tetapi juga adalah suatu kegilaan bila menganggap diri lebih dari orang lain. Sebab manusia mempunyai keterbatasan, yaitu; Bila menjangkau hanya serentang tangan, Memikul sekuat badan, Melompat seayun langkah, Berkata sepanjang akal Maksudnya; dalam hidup persaingan diperlukan pengetahuan atas

kemampuan diri, yang lazim disebut tahu diri (mawas diri). Oleh karena itu ada petuah memberi peringatan : yang besar jangan melanda, yang maksudnya mentang-mentang orang besar atau kuat jangan meremehkan orang yang kecil dan lemah, karena orang kecil itupun tahu harga dirinya. Jadi harga diri pada setiap individu yang berguru kepada alam adalah sifat individu yang senantiasa menjaga keserasian antara keinginan (ego) dan kedudukannya serta mengukur antara kemampuan yang dimiliki dengan keinginan melakukan persaingan dengan pihak lain. 3. Malu yang tidak dapat dibagi : Apabila merasa tidak percaya diri berarti merasa diri kurang berharga dan ini merupakan kesia-siaan. Sedangkan terlalu percaya diri berarti merasa diri lebih berharga dan ini merupakan kegilaan. Harga diri pada setiap individu yang berguru kepada alam adalah sifat individu yang senantiasa menjaga keserasian antara keinginan (ego) dan kedudukannya serta mengukur antara kemampuan yang dimiliki dengan keinginan melakukan persaingan dengan pihak lain. Bagaimana bila harga diri yang telah dimiliki ini menjadi jatuh?, yaitu meletakkan harga diri lebih rendah dari pada orang lain. Tingkah laku ini, merupakan sesuatu yang memalukan dan aib menurut ukuran moral dan

etika. Keaiban tidak bisa dimaafkan. Tidak dapat dibayar dan tidak dapat dibagi-bagi. Ukuran manakah yang menyatakan malu yang tidak dapat dibagi itu?, yaitu mengemis dan menjadi budak, berbuat kriminal dan melacur yang sama dengan menjual diri. Rasa malu ini akan melibatkan seluruh kerabat dan lingkungan masyarakat. Untuk menutup rasa malu dan menjaga harga diri, maka setiap individu diajarkan agar mampu memikul resiko dan konsekwensinya. Begitu pula pada masyarakat komunal yang disebut Kaum, agar harga diri tidak jatuh dan malu tidak dapat dibagi, maka mengupayakan agar dapat ditebus dengan apa saja. Sebagaimana pepatah yang menyatakan : Jika tidak air talang yang dipancung, tak ada kayu jenjang yang dikeping, tak emas bungkahan yang diasah . Pepatah ini dapat diartikan secara harfiah atau secara kiasan. Apabila mengalami harga diri yang dijatuhkan serta malu yang tidak dapat dibagi dengan cara penghinaan, maka beberapa pepatah menunjukkan bahwa setiap individu dapat melakukanlah pembalasan sebagai pepatah yang menyatakan musuh tidak perlu dicari, bertemu pantang dielakkan, terbujur lalu, terlintang patah. Maksudnya kalau tidak mampu membalas biasa maka balasnya dengan cara yang tidak biasa. Caranya? Mancido ( mencederai lawan ), yaitu memukul dari belakang dengan menggunakan alat keras tanpa diketahui orang lain. Akan tetapi hal ini bertolak belakang dengan ajaran alam terkembang jadi guru. Oleh karena itu gunakanlah ilmu dan akalmu, daripada berbuat kriminal. Hidup berakal, mati beriman, hingga mencapai tingkat kesabaran yang tinggi. Ilmu yang tinggi adalah sabar dan ilmu yang paling rendah adalah emosi. 4. Awak Sama Awak : Tidak ada kehidupan didunia ini yang tidak berkelompok, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup di alam raya. Perhatikan semut beriringan, burung berterbangan dan ikan-ikan berenang, bahkan binatang buas seperti harimau sekalipun akan membentuk kelompoknya. Dengan berguru kepada alam inilah, setiap individu membentuk kelompok sosial maupun dalam usaha.

Awak artinya sama dengan anggota atau kita. Awak dapat digunakan sebagai kata ganti orang pertama, orang kedua dan orang ketiga tunggal atau jamak dan lazim diikuti kata ganti personalnya, yaitu awak (den), awak (ang), awak (kau), awak (nyo). Setelah dikaitkan dengan personalnya, maka asal awak dilukiskan seperti setetes air akan menjadi air beriak, riaknya itu menumbuhkan lingkaran-lingkaran yang kian meluas. Lingkaran itu berbaur dengan lingkaran lain yang dimulai dari asal tetesan air itu. Tiap individu hingga menjadi kelompok menamakan dirinya awak. Segalanya bermula dari awak, oleh awak, untuk awak, demi awak. Pola ini melahirkan istilah awak sama awak dalam lingkaran komunitas yang menuntut kebersamaan dan menyelesaikan setiap kesulitan. Setiap kesulitan , kepentingan, kejayaan individu, kerabat, kaum, suku kampung, nagari bahkan sealam Minang kabau merupakan kesulitan, kepentingan, kejayaan individu , kerabat, kaum, suku kampung, nagari awak . 5. Rasa dan Periksa : Setelah mengukur ego dengan melawan dunia orang (harga diri), maka individu diharuskan menjaga keseimbangan yang harmonis dengan memakai ukuran, yang disebut rasa dan periksa. Artinya rasa berdasarkan ukuran perasaan yang sama, sedangkan periksa adalah ukuran pemeriksaan yang senilai. Rasa dapat diukur ketika rasa sakit dan rasa senang. Rasa sakit dapat kita ukur apabila kita sakit dicubit maka orang lain pun akan sakit. Oleh karena itu janganlah menyakiti orang lain. Pepatah menyebutkan soal ini: sakit bagi kita sakit pula bagi orang lain. Senang dapat diukur dengan pepatah : enak bagi, kita suka bagi orang. Periksa akan memakai nilai : alur dan patut. Istilah sekarang rasa dan periksa ini, adalah sesuai dengan sistem dan prosedur !. Bila sepanjang memenuhi sistem dan prosedur, maka pertimbangkan pula rasa kepantasan (kepatutan). Kepatutan ini dipertimbangkan lagi dengan hati nurani. Dalam sistem pemilihan pejabat negara menggunakan Uji kelayakan dan kepatutan (Fit and Proper test) tidak lain untuk menerapkan rasa dan periksa seorang pemimpin , sehingga ia dianggap mempunyai kemampuan bila telah

melalui pengujian ini. Bila seandainya raso jo pareso itu, tidak mungkin dilaksanakan, maka dapat memakai cara lain. Pepatah mengungkapkan ;kita mendapat, orang tidak kehilangan . Artinya, kita dapat berbuat sesuatu yang kita ingini, tetapi orang lain tidak merasa dirugikan. Tindakan ini bersifat pasif dibanding Rasa dan Periksa . Apakah itu ? ialah tenggang rasa. 6. Kesamaan dan Kebersamaan : Manusia dan individu membetuk masyarakat komunal, namun demikian tetap mempertahankan eksistensi pribadi dalam kelompoknya. Kesamaan antara kaum laki dan kaum wanita menurut falsafah alam ditunjukkan bahwa : Lakilaki memiliki kekuatan dan kekeuasaan, akan tetapi kaum laki-laki tidak mempunyai hak atas harta dan keturunan. Eksistensi pribadi akan terlihat masyarakat hidup berkampung-kampung dan bernagari-nagari, akan tetapi sebagai manusia dan inividu mereka hidup dalam bersuku-suku. Manusia dan individu hidup dalam rumah gadang, namun dalam kehidupan rumah gadang terdapat tata cara yang mengatur penempatan anggota keluarga. Masing-masing pasangan perkawinan hidup dalam bilik-bilik yang dibatasi oleh lanjar yang ada dirumah gadang itu. Pola kebersamaan dituangkan dalam pepatah yang berbunyi : Duduk seorang bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang . Apa maksudnya? Ternyata falsafah ini mengandung makna yang dalam, yaitu ketika kita hidup menyendiri terasa dunia ini sempit, karena tidak ada orang yang datang menolong atau orang yang diajak berunding, bekerjasama, atau datang membantu. Lain halnya jika hidup bersama-sama, maka tiada kesulitan yang tidak dapat diatasi, sehingga dunia teras lapang. Arti kebersamaan berbeda dengan arti persatuan, karena sama dan bersama dihimpun dalam suatu ikatan bulat untuk mejadi satu. Dalam menetapkan kesepakatan dalam hal perbedaan, maka diperlukanlah suatu kesesuaian yang dikenal dengan seiya sekata 7. Seiya Sekata :

Arti seiya adalah ber .. ya..ya.. Pasangannya adalah bertidak tidak atau ber bukan- bukan. Arti sekata adalah kebulatan kata. Seiya dan sekata mengandung arti, bahwa apabila semua individu telah menentukan kesepakatan dan kebulatan kata, maka secara sungguh-sungguh harus melaksanakannya. Bukan asal mufakat, bukan meng iya-iya saja atau mengikuti hirarkhi dalam pengambilan keputusan. Petuah alam telah menguraikan bahwa dalam suatu kelompok hirarkhi dalam pengambilan keputusan ditetapkan sebagai berikut : kemenakan beraja ke mamak. Mamak beraja ke penghulu. Penghulu beraja ke mufakat. Mufakat ber raja ke alur dan patut. Mufakat merupakan kebulatan pendapat yang diperoleh dari hasil seiya sekata tadi, sebagaimana pepatah yang berbunyi ; Bulat air karena buluh (bambu). Bulat kata karena mufakat . Dalam pengertian sosial, maka seiya sekata menunjukkan kesejajaran manusia dan individu dalam menetapkan suatu masalah. Dengan dilandasi kesamaan dan kebersamaan, maka seiya dan sekata merupakan kebulatan kata yang melahirkan mufakat. Dari pandangan demokratisasi, tidak selamanya mufakat adalah hasil dari kebulatan kata. Dapat juga berasal dari perbedaan pendapat, yang dinyatakan seperti dalam kehidupan sehari-hari, yaitu ; bersilang kayu dalam tungku, disana nasi akan masak. Maksudnya ? Api barulah akan berkobar dalam tungku, apabila kayu diletakkan saling bersilangan. Nasi yang dimasakpun akan cepat matang. Dengan demikian suatu permusyawaratan dan permufakat yang berasal dari kebulatan kata itu diperlukan pula pikiran yang berbeda, agar masalah dapat diselesaikan secara bersama-sama.

TamaT. Sumber : http://hyvny.blogspot.com

Masih ingat pelajaran Budaya Alam Minangkabau yang kalian pelajari di sekolah ?. Ada pepatah yang mengatakan ALAM TAKAMBANG JADI GURU. Nah, itu prinsip utama dalam belajar. Jadi dimanapun kalian sekolah tidak penting. Yang paling penting itu, bagaimana kalian menikmati setiap proses belajar yang ada di sekolah masing-masing sebagai sebuah proses belajar. Bukankah belajar itu adalah sebuah kegiatan yang membuat kita menjadi tahu. Nah kalau proses mencari tahu itu kalian dapatkan di sekolah dimana kalian beradawhy not !!

Tut Wuri Handayani dan Alam Takambang Jadi Guru


17/03/2012 5 Komentar

Sebuah Perbandingan Di Indonesia kita mengenal ada dua ungkapan yang sering digunakan oleh masyarakat tentang azas pendidikan, yakni pertama Tut Wuri Handayani dan stau lagi adalah AlamTakambang Jadi Guru . Yang pertama ungkapan berasal dari daerah Jawa dan satu lagi berasal dari daerah Minang Kabau alias Sumatera Barat. Dalam dunia filsafat khususnya Filsafat Pendidikan ungkapan ini sangat menarik dibicarakan, hanya saja pembahasannya belum memadai. Namun ungkapan ini sangat populer diceritakan dari mulut ke mulut (secara oral). Setiap orang Minang Kabau dengan mudahnya menangkap maksud dari ungkapan tersebut. Tulisan berikut ini secara sederhana menjelaskan hanya dari segi makna yang terkandung di dalamnya dan perbedaan yang sangat mendasar di antara keduanya. Tut Wuri Handayani Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara yang sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia adalah Tut Wuri Handayani. Di dalam konsep ini terkandung

tiga fungsi utama yakni, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang pemimpin harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi efektif bagi orang-orang yang menjadi anggota komunitasnya.. Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang artinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang - orang yang dipimpinnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan. Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah sseorang pemimpin harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat orang-orang yang dipimpinnya atau anggota masyarakat. Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan motivasi dilingkungannya dengan menciptakan suasana yang lebih kondusif untuk keamanan dan kenyamanan. Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berarti memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga Tut Wuri Handayani artinya ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang - orang yang dipimpinnya. Jadi secara tersirat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani berarti figure seorang pemimpin yang baik adalah disamping menjadi suri tauladan atau panutan, tetapi juga harus mampu menggugah semangat dan memberikan dorongan moral dari belakang agar orang - orang dipimpinnya dapat merasakan situasi yang baik dan bersahabat. Sehingga seorang pemimpin dapat menjadi manusia yang bermanfaat di masyarakat. Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara tersebut oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dibuatkan lambangnya. Lambang tersebut di tempelkan di dinding dinding sekolah, lambang pada pakaian seragam sekolah dan pada kop surat serta pada buku-buku pelajaran.

Hanya Sebagai Fungsi Pemimpin. Kalau kita cermati makna yang terkandung di dalam azas Tut Wuri Handayani ini sangat dominan dan tegas tertuju untuk menuntun sikap seorang pemimpin. Konsep dasarnya berlaku hanya di dalam masyarakat atau hanya di dalam kelompok. Tut Wuri Handayani secara logika (ilmu sistem menalar) hanya menunjukan tugas seorang pemimpin dalam kelompok atau masyarakat. Ini berarti bahwa Tut Wuri

Handayani hanya dapat dijadikan sebagai salah satu azas kepemimpinan. Azas ini bermula dari ide Ki Hadjar Dewantara yang digunakan sebagai azas pendidikan Taman Siswa. Tut Wuri Handayani telah diadopsi sebagai azas pendidikan nasional di Indonesia. Sampai saat ini masih merupakan azas pendidikan nasional Indonesia. Jika azas Tut Wuri Handayani ini di tempatkan di sekolah maknanya akan tertuju hanya kepada fungsi yang harus dijalankan oleh seorang guru. Yakni seorang yang berperan sebagai pemimpin di dalam kelompok murid-muridnya. Maka fungsi seorang guru yang harus dimainkanya adalah memberikan contoh panutan atau teladan, artinya dia harus selalu bersikap dan berpenampilan yang dapat dan seharusnya memang harus dicontoh oleh anak muridnya. Berkata selalu sopan, datang dan pulang sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan (kita maksudkan berdisiplin yang baik). Senantiasa bersama murid memberikan semangat dalam menuntut ilmu atau belajar. Sang guru juga menjalankan fungsinya memberikan motivasi dan dorongan moral kepada anak didik untuk terus maju dan berjuang menuntut ilmu. Dengan kata lain berarti juga Tut Wuri Handayani lebih kental bermakna sebagai metodologi pendekatan dalam mendidik. Kalau demikian halnya, jika hanya kalau dihubungkan dengan anak didik berarti Tutwuri Handayani pengertianya sangat terbatas. Anak hanya mencontoh apa yang ada pada guru, mengikuti apa yang sedang di kerjakan guru dan juga motivasi yang diberikan hanya sebatas apa yang dipahami oleh guru. Dengan kata lain lingkar wawasan anak hanya seputar guru. Ini tentu akan bermakna guru sebagai salah satu sumber atau menginspirasi. Tentu saja akan muncul pertanyaan, bukankah pada dasar pemikiran dan keyakinan kita terdapat, apa yang ada diluar kawasan guru jauh lebih besar dan luas ? Bahkan dengan berbagai alternatif pilihan? Tentu saja model sikap mental yang dihasilkannya suka nrimo terutama. Tingkat kepatuhan dan disiplin memang bisa tinggi. Tapi di samping itu akibat yang ditimbulkannya diantaranya adalah sang anak akan lambat mengikuti perkembangan. Hal ini juga ada kaitannya dan diperkuat oleh pengaruh Tut Wuri Handayani yang di terapkan di Luar persekolahan atau dalam masyarakat. Jika konsep Tut Wuri Handayani ini didistribusikan secara nasional, maka akan terjadi kemandegan perkembangan kemampuan berfikir. Anak akan lemah kemampuannya berinisiatif, berkreasi, dan berinovasi. Padahal, seharusnya azas pendidikan adalah merupakan tumpuan cara berfikir yang memberikan corak terhadap analisis dan praktek pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa azas pendidikan lebih memfokuskan analisa kepada cara penyelenggaraan yang didasarkan kepada pemikiran-pemikiran tentang bagaimana seharusnya dan layaknya pendidikan diselenggarakan. Dasar pemikiran tersebut berlaku untuk semua baik subjek maupun objek pendidikan, baik untuk pendidik maupun anak didik. Disamping itu juga azas pendidikan harus memungkinkan anak dapat berkembang seoptimal mungkin dimana saja dan kapan saja. Dengan kata lain apa yang harus dikerjakan guru (termasuk kedalamnya pola fikir) dan bagaimana perlakuan terhadap anak didik berpedoman kepada azas itu. Demikian pula seorang anak didik apa yang harus dikerjakannya dan bagaimana dia bersikap dalam memperoleh ilmu dan keterampilan juga berpedoman kepada pesan moral dan spririt yang ada pada azas tersebut. Sebagai contoh misalnya, pendidikan berazaskan kemanusiaan, keadilan , dan sebagainya.

Alam Takambang Jadi Guru Alam takambang jadi guru adalah pepatah yang berasal dari Minangkabau. Kalau dijadikan bahasa Indonesia, kira-kira menjadi alam terkembang dijadikan guru . Dewasa ini, pepatah tersebut masuk dalam moto pembelajaran untuk guru. Entah siapa yang memasukkan, yang jelas perangkat pembelajaran tersebut telah digandakan oleh banyak guru dan secara tidak langsung menyebarluaskan pepatah alam takambang jadi guru. Nyatanya bagi banyak guru pepatah ini sudah familiar juga.

Gerbang Universitas Negeri Padang- Sumatera Barat, Indonesia.


(Foto Jalius, menggunakan Axio Android)

Guru di daerah Sumatra Barat dan guru-guru penutur bahasa Melayu pada umumnya akan langsung mengerti makna pepatah tersebut.Di Ranah Minang ungkapan tersebut sangat komunikatif. Sementara itu, mereka yang tidak mengerti bahasa Melayu dan bahasa Minang, hanya bisa mengira dan mendiskusikan pengertiannya kepada teman sejawat. Namun mereka tidak akan banyak menemui kesulitan untuk itu. Lagi pula konsepnya sangat praktis dan universal. Pepatah AlamTakambang jadi guru ini sangat dipahami oleh setiap orang yang berasal dari Sumatra Barat. Secara turun-temurun pepatah ini diajarkan, baik secara lisan maupun melalui berbagai karya tulis, termasuk di dalamnya karya sastra. Pepatah ini

bermakna agar kita belajar pada alam dan berbagai fenomenanya yang senantiasa mengabarkan sebuah kearifan. Sejatinya pepatah atau unkapan filosofi ini mengandung makna, pertama menunjukan sikap seseorang terhadap tanggung jawab yang seharusnya ia dilaksanakan dalam rangka pengembangan diri. Kedua ungkapan ini bermakna menunjukan kepada kita apa sesungguhnya sumber dari pengetahuan dan keterampilan. AlamTakambang yakni menujukan sumber belajar yang sesungguhnya, yakni sumber belajar yang sungguh-sunguh dapat memenuhi kebutuhan semua yang sifatnya selalu ada sepanjang zaman. Alam diciptakan tidak hanya untuk dimanfaatkan, tetapi banyak juga pelajaran yang bisa diambil darinya seperti pepatah minang yang mengatakan Alam Takambang jadi Guru itu. Banyak sudah teknologi canggih yang kita gunakan sekarang ini mengambil prinsip kerjanya dari alam ini. Untuk itu kita selalu bersahabat dengan alam (lingkungan dimana kita berada) agar kita selalu dapat memetik pelajaran darinya. Alam Takambang Sebagai Sumber Belajar Alam Takambang Jadi Guru pengertian yang paling pas untuk itu adalah alam (sama juga dengan bahasa Indonesia) yang Takambang (membentang luas) ini atau alam raya ini dengan segala isinya. Jadi Guru diartikan di jadikan sebagai guru ( sama dengan bahasa Inonesia ). Guru maksudnya adalah apa yang ada yang dapat memberikan pelajaran kepada kita atau apa yang dapat kita pelajari padanya. Maka guru disini bermakna luas, berlaku untuk semua baik berupa orang dan alam sekitar di segala tempat dan keadaan. Dengan kata lain maksud guru itu adalah sumber belajar, baik untuk disekolah maupun diluar persekolahan. Anak dapat belajar dirumah dengan buku dan internet, anak dapat belajar dengan binatang piaraan dan tanaman dikebun atau air yang mengalir disungai. Orang dewasa juga demikian belajar kapan saja dan dimana saja sumber belajarnya tetap saja apa yang ada di lingungannya. AECT (Association for Education and Communication Technology) menyatakan bahwa sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh siswa dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah siswa dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu. Sumber belajar adalah bahan-bahan yang dimanfaatkan dan diperlukan dalam proses pembelajaran, yang dapat berupa buku teks, media cetak, media elektronik, narasumber, lingkungan sekitar, dan sebagainya yang dapat meningkatkan kadar keaktifan dalam proses pembelajaran. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang tersedia di sekitar atau di lingkungan belajar yang berfungsi untuk membantu optimalisasi aktifitas belajar. Optimalisasi aktifitas belajar ini dapat dilihat tidak hanya dari hasil belajar saja, namun juga dilihat dari proses pembelajaran yang berupa interaksi siswa dengan berbagai sumber belajar. Sumber belajar dapat memberikan rangsangan untuk belajar dan mempercepat pemahaman dan penguasaan bidang ilmu yang dipelajari. Kegiatan belajarnya dapat berlansung dimana saja dan kapan saja, dengan kata lain dengan sumber belajar yang bersifat sangat luas itu anak belajar tidak terikat oleh ruang dan waktu.

Hal ini berarti bahwa bahwa alam sekitar yang dijadikan sumber belajar bermakna jauh lebih luas dan lebih bervariasi jika dibandingan guru di sekolah sebagai sumber belajar. Dengan hal yang seperti itu semua orang akan mendapat peluang untuk belajar sepanjang hayat, karena didukung dengan ketersediaan sumber belajar dimana-mana. Hal ini juga mengandung makna bahwa seorang guru yang mengajar mengambil bahan pelajaran juga berasal dari Alam Takambang ini. Belajar dengan Alam Takambang akan selalu serasi dan selaras dengan perkembangan, karena belajar dengan Alam Takambang tidak akan ada dijumpai apa yang disebut dengan keterikatan, keterbelakangan, keterbatasan , kadaluarsa dan lain sebagainya. Alam Takambang dijadikan guru tidak jadi soal jauh atau dekat karena dengan bantuan teknologi banyak hal menjadi sangat mudah. Dengan prinsip-prinsip belajar dengan Alam Takambang akan menumbuhkan jiwa kemerdekaan, seseorang hanya patuh dan hormat kepada kebenaran dan patuh dan hormat kepada kebajikan, bukan patuh kepada siapa-siapa.

http://jalius12.wordpress.com/2012/03/17/tut-wuri-handayani-dan-alamtakambang-jadiguru-2/

Anda mungkin juga menyukai