Anda di halaman 1dari 6

Upacara Adat Susuk Wangan Sebagai Budaya Kearifan Lokal Di Desa Setren Slogohimo Wonogiri A.

Upacara Susuk Wangan Susuk Wangan merupakan upacara ritual yang dilaksanakan setiap hari Sabtu kliwon pada setiap bulan besar yang bertempat di Obyek Wisata Setren terdapat Girimanik, di wisata Kecamatan Girimanik Slogohimo. Keindahan alam yang diantaranya Panorama alam, Sendang Drajat, Sendang Nglambreh, Air Terjun Manikmoyo, Tejomoyo, Condromoyo serta udara sejuk dan dingin dari lereng pegunungan Lawu. Kondisi Aksesibilitas berupa : 1. Transportasi kendaraan umum
2. Prasarana jalan baik/memadai untuk kendaraan roda 4 (empat) maupun 2

(dua)
3. Jarak tempuh dari Kota Wonogiri adalah 40 Km 4. Telekomunikasi Radio dan sinyal Handphone bagus

Fasilitas wisata berupa : 1. Rumah Makan 2. Tempat Ibadah 3. Sarana MCK 4. Area Parkir Upacara yang digelar di wisata Girimanik tersebut merupakan wujud syukur kepada Sang Pencipta oleh masyarakat yang mendapat manfaat air baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk pertanian. Prosesi acara ritual dimaksud, setelah diadakan upacara selamatan, masyarakat bersama-sama membersihkan saluran air yang mengalir dari mata air pegunungan sampai ke desa dengan harapan agar air selau mengalir dan bermanfaat bagi masyarakat.

Cerita tentang Susuk Wangan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang, sebuah desa di dekat gunung yaitu desa Setren, konon terdapat sebuah adat istiadat yang sangat langka berupa acara adat tradisional bernama Susuk Wangan (Bahasa Jawa). Pada zaman dahulu acara tersebut hanya sebuah kiasan, akan tetapi setelah zaman modern ini dibesarkan menjadi sebuah acara ritual-spiritual yang dihadiri banyak pengunjung. Susuk Wangan pada zaman dahulu kegiatannya adalah sebagai berikut beberapa orang membawa panggang ayam kampung dan tumpeng yang dibawa ke sumber air, serta disajikan dan mohon doa restu kepada Allah Yang Maha Kuasa. Hal itu dimaksud agar air yang digunakan warga masyarakat Desa Setren menjadi sangat berarti dan bermanfaat serta berhikmah besar bagi segenap warga masyarakat semuanya. Oleh karena itu, warga masyarakat dan para pengunjung berdoa bersama di dekat sumber air tersebut. Demikianlah pelaksanaan acara adat Susuk Wangan di zaman dahulu, tidak hanya ditujukan pada sumber air bersih (air minum), tetapi juga diarahkan pada sumber air yang bermanfaat untuk mengaliri sawah-sawah. Oleh karena itu, para pemilik sawah juga membawa panggang ayam kampung dan tumpeng ke sumber air tersebut di atas. Sampai sekarangpun upacara tersebut masih tetap digelar tiap tahunnya meskipun dengan sedikit perbedaan. B. Kearifan Lokal Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali dalam http://www.balipos.co.id, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa : nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum

adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya bermacam-macam. Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu : 1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam. 2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate. 3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji. 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. 5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat. 6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian. 7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan

menjadi

patron client.

C. Hubungan Upacara Susuk Wangan dengan Kearifan Lokal Dengan adanya acara ritual Susuk Wangan tersebut menjadikan warga masyarakat desa Setren bertambah lebih bersemangat dan lebih percaya diri serta meyakini bahwa desa Setren mempunyai potensi alam yang luar biasa. Terlihat indah karena desa Setren mempunyai kondisi alam yang masih asli (virgin), utuh, banyak tanaman langka (flora), banyak marga satwa yang perlu dilestarikan (misal : Burung Elang dan Kera Ekor Panjang). Beriklim sejuk, karena udara bersih masih alami di ketinggian kurang lebih 1.500 m dpl (di atas permukaan laut). Keadaan airnya bersih dan jernih, belum tercemar oleh zat polutan.

Berdasarkan deskripsi di atas menunjukkan bahwa masyarakat di sekitar wisata Girimanik sangat memperdulikan keasrian lingkungan. Dengan kesederhanaan pemikiran mereka yang menganggap alam telah menyediakan segala kebutuhan mereka, maka masyarakat berusaha menjaga kemurniannya, terutama adalah air. Kebiasaan yang diterapkan masyarakat tersebut dinamakan kearifan lokal. Kearifan lokal sudah ada sejak zaman nenek moyang kita yang juga merupakan cara adaptasi pada zaman masing-masing yang terus diturunkan hingga saat ini. Seiring dengan perkembangan IPTEK sangat banyak sekali teknologi canggih dan moderen yang mendominasi para generasi muda saat ini. Segala sesuatu diciptakan dengan mudah tanpa memperhatikan alam. Pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan ini telah menimbulkan berbagai dampak yang baru dirasakan sesudahnya. Sebagai salah satu contoh adalah penebangan pohon di hutan untuk keperluan pembangunan. Namun hal ini tidak terjadi di desa Setren, masyarakat sangat menjaga potensi alam tersebut. Dengan kesederhanaan dan kepercayaan mereka terhadap leluhur mereka tersebut secara tidak langsung telah menerapkan konservasi alam dan pelestarian sumber daya alam. Masyarakat di desa Setren menganggap diri mereka sebagai penghuni asli, kondisi demikian dapat menyebabkan perbedaan rasa kepemilikan antara masyarakat asli/pribumi dengan penghuni baru yang berasal dari luar, sehingga mereka merupakan rekan yang tepat dalam konservasi. Di sebagian besar penjuru dunia, semakin banyak masyarakat setempat telah berinteraksi dengan kehidupan modern, sehingga sistem nilai mereka telah terpengaruh, dan diikuti penggunaan barang dari luar. Pergeseran nilai akan beresiko melemahnya kedekatan masyarakat asli dengan alam sekitar, serta melunturkan etika konservasi setempat. Masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan di sekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang ada di Indonesia, dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam

secara berkelanjutan. Dengan demikian masyarakat di sekitar wisata Giriamanik melalui tradisi Susuk Wangan yang juga menjadi kearifan lokal telah membantu menjaga keasrian Hutan Wisata Giri Manik. Jika digali lebih jauh mungkin mereka tidak mengerti akan arti etika lingkungan namun tradisi nenek moyang yang telah mengajarkan kebaikan tersebut membuat masyarakat mewarisinya hinngga saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kebudayaan, Pariwisata Pemuda dan Olahraga. 2011 . Setren Girimanik. http://www.pariwisata.wonogirikab.go.id/home.php? mode=content&id=234. Diakses pada Tanggal 24 Januari 2012. Sartini. 2012. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41. Diakses pada Tanggal 24 Januari 2012. Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Ir.%20Suhartini, %20MS/Shtn%20Semnas%20MIPA%2009%20Kearifan%20Lokal.pdf. Diakses pada Tanggal 24 Januari 2012.

Anda mungkin juga menyukai