Anda di halaman 1dari 10

Tradisi Upacara Adat Tandur dan Methik Sebagai

Simbol Rasa Syukur Masyarakat Pedesaan


Kepada Sang Pencipta
Indonesia merupakan negara yang memiliki aneka ragam kebudayaan. Setiap
daerah di Indonesia memiliki budaya yang berbeda-beda antara daerah satu dengan
daerah lain. Kebudayaan yang berada di masing-masing daerah merupakan warisan
dari nenek moyang. Kebudayaan tersebut dapat berupa bahasa, pakaian, kesenian,
serta upacara adat. Upacara adat merupakan suatu ritual atau rangkaian kebiasaan
masyarakat yang dilakukan atas dasar makna dan tujuan tertentu.

Sumber: Dokumen Pribadi


Setiap daerah memiliki bermacam-macam ritual kebiasaan atau upacara
adat. Seperti halnyaKabupaten Blitar memilki upacara adat yang sudah banyak dikenal
masyarakat, yaitu Upacara Pemandian Pusaka Gong Kyai Pradah. Selain itu,
terdapat banyak upacara adat yang masih tetap dilestarikan oleh masyarakat
Kabupaten Blitar. Misalnya upacara adat tandur dan methik yang sering dilakukan
setiap enam bulan sekali.

Tandur dan methik merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang


berarti “menanam”dan “memetik” atau dengan istilah lain dapat disebut “memanen”.
Upacara adat atau ritualtandur merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
sebelum acara menanam padidimulai. Sedangkan ritual methik dilakukan ketika tiba
saatnya memanen padi. Rangkaian upacara adat ini diberlakukan untuk
sawah bengkok (suatu bidang tanah yang dapat digunakan oleh perangkat desa
dengan waktu kepemilikan hanya selama menjabat) milik kepala desa.
Sebelum prosesi upacara adat tandur dimulai, sawah milik masyarakat yang
berada di sekitar sawah bengkok milik kepala desa setempat belum boleh melakukan
penanamanpadi. Begitu juga degan upacara adat methik, apabila belum dilakukan ritual
methik maka masyarakat belum boleh memulai pemanenan padi.
Di dalam upacara adat tandur dan methik terdapat ritual-ritual khusus yang
harus dilakukan. Pada saat upacara adat tandur kegiatan yang dilakukan adalah
kenduri di tempat yang disebut awong. Setelah kegiatan kenduri selesai dilakukan
maka sawah siap untuk ditanami padi. Menurut informasi dari Bapak Arif yang
merupakan Kepala Desa Genengan, di dalam upacara adat methik ada sedikit
perbedaan yaitu sebelum dilakukannya kenduri maka terlebih dahulu dilakukan
ritual temu manten atau ritual mempertemukan Dewi Sri dan Joko Sedono yang
disimbolkan oleh padi betina dan padi jantan. Ritual temu manten tersebut dilakukan di
tempat yang bernama Tarub Agung. Padi yang digunakan temu manten tersebut di
bawa pulang ke rumah kepala desa untuk digunakan sebagain pertanda
dimulainya pemanenan padi namun masih secara simbolis. Setelah kegiatan kenduri
tersebut dilakukan maka panen raya siap dimulai.
Selain ritual diatas, ada jenis makanan yang digunakan sebagai syarat dalam
kenduri atau slametan adat desa yang berarti syukuran adat desa. Makanan tersebut
adalah ambengan yang berupa nasi dan ayam ingkung. Selain itu, juga ada jajanan
khas Jawa yaitu jenang, wajik, dan jadah. Dalam memasak makanan untuk upacara
adat tandurdan methik ada beberapa hal yang wajib diperhatikan, yaitu orang yang
memasak harus suci dari hadast besar serta makanan yang telah selesai dimasak tidak
diperkenankan untuk dicicipi. Bagi orang yang hendak menanam dan memanen padi
juga harus dalam keadaan suci dari hadast besar.

Upacara adat tandur dan methik dilakukan sebagai ungkapan atau simbol rasa
syukur masyarakat kepada Allah SWT atas segala kenikmatan dan berkah yang telah
diberikan. Selain itu, upacara adat ini digunakan sebagai tolak bala untuk menjauhkan
dari berbagai macam bencana dan gangguan. Upacara adat tandur dan methik ini
secara tidak langsung memiliki manfaat sebagai salah satu alat untuk menjaga
kerukunan dan kesejahteraan masyarakat.
Sumber: Dokumen Pribadi

Pelaksanaan “selametan methik pari” di desa Sukosono yang dahulu dilaksanakan disawah
yang akan dipanen, kini seiring perkembangan zaman selametan tersebut tidak lagi dilaksanakan
disawah tetapi dilaksanakan dirumah orang yang akan mengadakan panen, prosesi “selametan
methik pari” ini mengundang para tetangga sekitar rumah untuk kemudian berkumpul dan berdo’a
bersama-sama yang dipimpin oleh sesepuh desa atau tokoh masyarakat.[2] Ketika pelaksanaan
prosesi selametan terdapat ubo rampe yang perlu dipesiapkan, antara lain :
a. Sego bucet
b. Bubur merah-bubur putih
c. Dekem
d. Kupat-lepet
e. Pisang raja setangkep
f. Jajan pasar
g. Makanan hasil pertanian (singkong, ubi, ganyong, gembili, kaerut, dll)
Upacara yang dilaksanakan merupakan wujud dari suatu doa. Dan doa-doa tersebut
dilambangkan dalam dalam ubo rampe yang disediakan, jadi setiap ubo rampe memeiliki do’a dan
makna tersendiri, antara lain :[3]
 Sego bucet, merupakan nasi yang dibentuk menyerupai kerucut dan membentuk seakan-akan
gunung kecil. Ini merupakan lambang hubungan antara manusia dengan Allah (habluminallah)
dan hubungan antara manusia dengan sesama manusia (habluminannas).
 Bubur merah-bubur putih, merupakan lambang dari bibit asal usul kejadian manusia dari Nabi
Adam dan Siti Hawa yang diciptakan Allah melalui perantara darah merah dan darah putih,
harapan dari bubur merah dan putih ini agar orang yang mempunyai hajat terlepas dari segala
bahaya, dan dimudahkan ketika pelaksanaan panen.
 Dekem, dekem ini untuk menghormati para leluhur, dan mempunyai arti untuk menyucikan orang
yang mempunyai hajat maupun tamu yang hadir pada acara selametan.
 Kupat-lepet, ketupat dalam bahasa Jawa berasal dari singkatan “ngaku lepat” yang berartii
mengakui kesalahan, maknanya dengan adanya ketupat diharapkan setiap orang mau mengakui
kesalahan, sehingga memudahkan diri untuk memaafkan kesalahan orang lain.
Sedangkan lepet artinya luput atau keliru, artinya agar orang yang mempunyai hajat dijauhkan dari
kesalahan dan kekeliruan.
 Pisang raja setangkep, adanya pisang raja setangkep karena pisang raja adalah pisang yang paling
enak dan manis, dan merupakan pisang suguhan untuk para raja pada zaman dahulu. Jadi karena
selametan merupakan bentuk shodaqoh untuk para sesama manusia maka shodaqoh harus
memberikan yang terbaik.[4]
 Jajan pasar, mempunyai arti gotong royong dan mempererat tali persaudaraan.
 Makanan hasil pertanian, sebagai perwujudan dari hasil yang didapatkan dari para petani setelah
panem.

UPACARA METHIK SEBAGAI BENTUK PENGHORMATAN KEPADA DEWI SRI

Bercocok tanam adalah salah satu dari kegiatan mata pencaharian yang sudah lama dikenal oleh
sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia dikenal sebagai negara agraris.
Iklim yang teratur, curah hujan, aliran sungai serta kondisi tanah yang subur, merupakan faktor-faktor
pendukung yang sangat penting.

Pada budaya bercocok tanam, masyarakat Jawa sejak lama telah mengenal dan mematuhi berbagai ilmu
pengetahuan lokal, baik terkait dengan pranata mangsa, pola tanam, sistem olah sawah, dan pengairan,
pembibitan, pemupukan, pemanenan, penyimpanan.

Dalam kehidupan agraris di Indonesia, aspek kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib tidak dapat
diabaikan begitu saja. Ada kepercayaan yang timbul secara turun-temurun terhadap adanya suatu
kekuatan yang baik dan yang buruk. Kekuatan tersebut dianggap berada di tiap benda di sekitar manusia
dan di dalam diri manusia itu sendiri.

Kepercayaan ini tersebar luas di kalangan masyarakat desa, terutama yang bertempat tinggal di daerah
terpencil. Bagi masyarakat pendukung kebudayaan agraris kekuatan tersebut dapat mempengaruhi hasil
panen para petani. Oleh karena itulah diadakan pemujaan, dengan maksud menambah hasil panen dan
menjaga keselarasan hidup di dunia.

Pada beberapa pendukung masyarakat agraris muncul kepercayaan bahwa tanaman padi berasal dari
tubuh seorang wanita. Misalnya dari kesusateraan Sunda, tentang asal usul tanaman padi terdapat
dalam cerita Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Di Flores terdapat cerita asal usul tanaman padi dari seorang
gadis bernama Ine Pane atau Ine Mbu. Atas permintaan sendiri gadis tadi dikorbankan dan dari
tubuhnya keluar tanaman padi.

Sebutan Sri yang dalam bahasa Kawi artinya rejeki, dipercaya sebagai daya hidup dan kualitas kesubran
untuk keselamatan menyeluruh para petani yang secara tidak langsung terkait dengan kesuburan dari
dewi Sri. Dewi Sri dipercaya pula sebagai perwujudan daya hidup yang berasal dari Dewa atau Tuhan
yang dipersonifikasikan sebagai seorang wanita yang cantik jelita dan subur. Daya hidup dan kesuburan
yang disajikan petani dihadirkan sebagai metamor dalam wujud imajiner, sebagai seorang Ibu. (Paina
Partana. 2011. Hal; 153)
Sebagian masyarakat yang hidup di daerah agraris khususnya penggarap sawah di Jawa dan Bali, percaya
mitos tentang adanya daya alam dan kekuatan ajaib yang berkaitan dengan kesuburan secara verbal
dipresentasikan melalui figur seorang wanita bernama Dewi Sri atau Nyi Pohaci yaitu seorang Dewi Padi
yang dipercayai dapat menjaga sawah dari ancaman bencana alam.

Mitologi Dewi Sri memang termasuk dongeng yang cukup banyak dikenal di Indonesia. Dewi Sri
dianggap sebagai ‘ruh’ yang menghadirkan kesukacitaan, kebahagiaan dan kemakmuran. Sosok Dewi Sri
selalu digambarkan cantik jelita, bisa terbang dan senantiasa menyunggingkan senyum yang anggun,
dilukiskan bukan sebagai dewi pangan saja, tapi juga lambang wanita yang cantik rupawan, simbol
kecantikan isi bumi.

Dewi Sri muncul setelah sebagian besar masyarakat mulai mengenal padi. Padi itu ditanam di dalam
alam oleh Ruh Agung yang bernama Dewi Sri. Semua orang mempercayai, Dewi Sri sesungguhnya
perpanjangan tangan Sang Hyang Widhi

Kisah Dewi Sri terkait dengan mitos asal mula terciptanya tanaman padi. Salah satu kisah mengenai
Dewi Sri sebagai dewi padi ditemukan di “Wawacan Sulandana”.

Dahulu kala, di Kahyangan, Batara Guru yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan langit memerintahkan
segenap para dewa dan dewi untuk bergotong royong membangun istana baru. Siapa yang tidak
mentaati perintah ini akan dipotong tangan dan kakinya. Mendengar perintah ini, Antaboga (Anta) sang
dewa ular sangat cemas. Karena dia tidak mempunyai tangan dan kaki. Karena sangat ketakutan, ia
meminta nasehat kepada Batara Narada. Akan tetapi Batara Narada pun tidak bisa menemukan cara
untuk membantunya. Akhirnya Dewa Anta pun menangis.

Tetesan air mata Dewa Anta jatuh ke tanah, ajaibnya tiga tetes air mata berubah menjadi mustika yang
berkilau bagai permata. Butiran itu sesungguhnya adalah telur yang mempunyai cangkang yang indah.
Batara Narada meyarankan agar butiran mustika itu dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai
bentuk permohonan agar beliau memahami dan mengampuni kekurangan Dewa Anta yang tidak bisa
ikut bekerja membangun istana. Dengan mengulum tiga butir telur mustika, berangkatlah Dewa Anta
menuju istana. Dalam perjalanannya ke istana Dewa Anta bertemu seekor burung gagak yang
meyapanya dan bertanya kemana ia hendak pergi. Karena mulutnya penuh dengan telur, ia tidak bisa
menjawab pertanyaan si gagak. Sang gagak mengira Anta sombong sehingga ia amat tersinggung dan
marah. Burung itupun lalu menyerang Anta, akibatnya dua butir telur mustika pecah. Dengan ketakutan
Anta melata melarikan diri menyelamatkan sebutir telur yang masih tersisa.

Akhirnya Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu. Batara Guru
dengan senang hati menerima telur itu, dan memerintahkan kepada Anta untuk mengerami telur itu
hingga menetas. Akhirnya telur itu menetas, dan yang keluar adalah seorang bayi perempuan yang
sangat cantik dan lucu. Bayi itupun diangkat sebagai anak oleh Batara Guru dan permaisurinya. Bayi itu
diberi nama Nyi Pohaci Sang Hyang Sri. Seiring berjalannya waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi
seorang gadis yang cantik luar biasa. Lemah lembut, baik hati, halus tutur kata dan budi bahasanya,
memikat semua insan. Bahkan Batara Guru pun terpikat kepada anak angkatnya itu. Diam-diam Batara
Guru hendak mempersunting Nyi Pohaci menjadi istrinya. Melihat gelagat ini, para dewa khawatir. Maka
para dewa berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dengan Nyi Pohaci.
Demi menjaga keselarasan rumah tangga sang penguasa kahyangan dan menjaga kesucian Nyi Pohaci.
Para dewa mengumpulkan berbagai macam racun untuk membunuh Nyi Pohaci. Nyi Pohaci pun mati
keracunan. Para dewa ketakutan karena sudah membunuh gadis suci yang tak berdosa. Maka jenasah
sang dewi dibawa turun ke bumi dan dikuburkan di tempat yang jauh dan tersembunyi.

Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, karena kesucian dan kebaikan budi sang dewi, maka dari
kuburnya muncul beraneka tumbuhan yang sangat berguna bagi manusia. Dari kepalanya muncul pohon
kelapa, dari hidung, bibir dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah dan sayur mayur, dari
rambutnya muncul rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan harum, dari tangannya tumbuh
tanaman buah-buahan. Dari pusarnya muncul tanaman padi.

Sejak saat itu umat manusia mulai memuja, memuliakan dan mencintai sang dewi yang baik hati. Karena
dengan pengorbanannya yang luhur telah memberikan berkah kebaikan alam, kesuburan. Salah satu
bentuk penghormatan para petani kepada Dewi Sri adalah dalam wujud upacara Methik.

Upacara ini dilakukan saat para petani akan memanen padinya. Kata Methik itu sendiri berasal dari kat
“Methuk” yang artinya menjemput. Hal ini bisa diartikan bahwa upacara Methik adalah upacara untuk
menjemput Dewi Sri.

Selain dipercaya bahwa upacara ini dilakukan untuk menghormati Dewi Sri, upacara Methik juga
merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkahnya dan merupakan bentuk
pengharapan agar saat panen dilaksanakan nati akan mendapat hasil yang memuaskan.

Seperti halnya setiap upacara tradisional di Jawa, upacara Methik juga menggunakan beragam
perlengkapan. Perlengkapan untuk upacara Methik antara lain;

· Nasi tumpeng serta nasi golong dan lauk pauknya.

· Ayam panggang,

· Air dalam kendi,

· Pisang setangkep,

· Sebatang tebu,

· Wedhak ripih: gembili, uwi, kacang-kacangan, jadah putih, jadah abang, ketupat, pondoh, mlinjo,
linthingan kathul, lepat lepet (ketan dibungkus kecil-kecil)

· Pencok bakal; kembang ampo, kembang wangi, sambel gepeng, cengkaruk gimbal, gula kelapa,
parem (kunyit dan injet, diparut)

· Godhongan (dedaunan); daun pulutan, daunturi, daun bentis, daun dadap serep.

Waktu pelaksanaan upacara ini biasanya dilakukan setelah melakukan penghitungan tertentu
berdasarkan pakem adat Jawa. Akan tetapi pada sebagian masyarakat petani Jawa yang masih
melaksanakan upacara Methik, waktu pelaksanaannya adalah saat pagi hari sebelum matahari terbit.

Saat ini, upacara Methik sudah jarang dilakukan, hanya beberapa petani di pedesaan yang masih
melakukannya, hal ini juga dipengaruhi seberapa luas area pertaniannya, karena biasanya yang
melakukan upacara Methik adalah orang yang bisa dibilang mempunyai sawah dengan area yang cukup
luas.

Methik dilakukan di salah satu sawah yang terluas, kemudian setelah rangkaian ritual selesai, sebagian
perlengkapan upacara akan disebarkan ke sawah yang lainnya. Selain disebarkan ke sawah yang lain,
perlengkapan upacara juga diletakkan di setiap perempatan atau pertigaan jalan yang tadi dilalui oleh
pelaku upacara. Selain itu juga membagikan makanan yang ada kepada tetangga-tetangga dekat
rumahnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan membagi kegembiraan yang ada sekaligus memohon doa
agar panen membuahan hasil maksimal, menjaga silaturahmi dan bersedekah.

Upacara Methik juga disempurnakan dengan melemparkan berbagai jenis makanan (umbul-umbul) dari
pala kependhem, pala gumantung, pala kesimpar, pala adheng, dan lain-lain ke tengah sawah. Upacara
ini sebagai perlambang perlunya mengembalikan sebagian hasil panen ke lahan sawah untuk menjamin
kehidupan biota tanah dalam menjaga siklus hara sehingga keberagaman hayati terpelihara dan
produksi pertanian dapat berkesinambungan. Perlunya berbagai jenis pala juga mengisyaratkan
pentingnya sistem bercocok tanam lain, tidak hanya persawahan saja, dan adanya saling ketergantungan
antar sistem tersebut.

Pada upacara Methik juga dilakukan pemetikan padi unggulan untuk kemudian disimpan sebagai bibit
untuk masa tanam berikutnya. Hal ini dimaksudkan untuk agar petani selalu menjaga varietas-varietas
padi lokal dengan tetap melakukan seleksi terhadap individu-individu yang tetap unggul sesuai dengan
perubahan lingkungan setempat.

Jadi, pada intinya upacara Methik merupakan bentuk penghormatan kepada Dewi Sri, karena Dewi Sri
dipercaya sebagai sumber dari tanaman padi, juga karena dipercaya dewi Sri adalah penjaga tanaman
padi selama masa tanam tersebut. Tujuannya adalah agar hasil panen baik dan melimpah. Juga
diharapkan agar sawah mereka terhindar dari segala malapetaka dan gangguan roh-roh jahat dan
bencana. Selain itu upacara ini juga dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
IKI BOSO JOWONE
Tradisi Upacara Adat Tandur uga Methik dados Simbo
l raos SyukurMasyarakat pandhusunan
dhateng Sang Pencipta
Indonesia ngrupikaken nagari ingkang
nggadhahi aneka ragam kebudayaan.saben daerah ing Indonesia nggadhahi budaya ingka
ng benten-beda antawis daerah setunggal kaliyan daerah benten. Kebudayaan ingkang
wonten ing masing-masing daerah ngrupikaken warisan saking eyang
putri moyang. Kebudayaan kesebat saged berupa basa,
rasukan, kesenian, mawi upacara adat. Upacara adat ngrupikaken
mukawis ritual utawi rangkaiankebiyasan masyarakat ingkang dipuntumindakake
inggil dasar jarwi uga tujuan tertentu.

Sumber: Dokumen Pribadi


saben daerah nggadhahi ngrupi-rupi ritual kebiyasan
utawi upacara adat.kados halnyaKabupaten Blitar memilki upacara adat ingkang sampun
kathah
dipuntepang masyarakat, yaiku Upacara pangadusan Pusaka Gong KyaiPradah. kajawi
punika, enten kathah upacara adat ingkang taksih tetapdipunlestantunaken
dening masyarakat Kabupaten Blitar. kados ta upacaraadat tandur uga methik ingkang
asring dipuntumindakake saben enem wulan pisan.

Tandur uga methik ngrupikaken istilah lebet basa Jawi ingkang nduwe
artos “menanam”dan “mendhet” utawi kaliyan istilah benten saged
kanaman “memanen”. Upacara adat utawi ritualtandur ngrupikaken mukawis rerangken
kengungkukan ingkang dipuntumindakake sadereng acara nanem pari
diwiwiti. sawegaken ritual methik dipuntumindakake
nalika tiba kalanipun memanen pantun. Rangkaian upacara adat niki diberlakukan konjuk
sabin bengkok (mukawis bidang siti ingkang saged dipunginakaken
dening perangkat dhusun kaliyan wanci kepemilikan namung salebetipun menjabat)gadhah
sirah dhusun.
sadereng prosesi upacara adat tandur dipunawiti, sabin gadhah masyarakatingkang wonten
ing sekitar sabin bengkok gadhah sirah dhusun sapanggen dereng angsal
numindakake penanamanpadi. mekaten ugi degan upacaraadat methik, menawi dereng
dipuntumindakake ritual methik mila masyarakat dereng angsal
ngawiti pemanenan pantun.
ing lebet upacara adat tandur uga methik enten ritual-ritual khusus ingkang kedah
dipuntumindakake. ing kala upacara adat tandur kengungkukan ingkang dipuntumindakake
yaiku kenduri ing panggen ingkang kanaman awong. saksampune
kengungkukan kenduri rampung dipuntumindakake mila sabin jagi konjuk dipuntanemi
pantun. miturut informasi saking BapakArif ingkang ngrupikaken sirah
dhusun Genengan, ing lebet upacara adatmethik enten sekedhik bedan yaiku sadereng
dipunpajengaken piyambakipun kenduri mila riyen
dipuntumindakake ritual panggih mantenutawi ritual manggihaken Dewi Sri uga Joko Sedon
o ingkang disimbolkandening pantun estri uga pantun
jaleran. Ritual panggih manten kesebat dipuntumindakake ing panggen ingkang nduwe
nami Tarub Agung. pantun ingkang dipunginakaken panggih manten kesebat ing bekta
mantuk datheng griya sirah dhusun konjuk
dipunginakaken sebagain pertandadipunawitinipun pemanenan pantun nanging taksih
sacara simbolis.saksampune kengungkukan kenduri kesebat dipuntumindakake
mila panenraya jagi dipunawiti.
kajawi ritual dipuninggil, enten jenis tedhan ingkang dipunginakaken
dados syarat lebet kenduri utawi slametan adat dhusun ingkang nduwe
artos syukuran adat dhusun. tedhan kesebat yaiku ambengan ingkang berupasekul uga
ayam ingkung. kajawi punika, ugi enten jajanan khas Jawi
yaiku jenang, wajik, uga jadah. lebet mangsak tedhan
konjuk upacara adattandurdan methik enten beberapa hal ingkang wajib dipunmirengaken,
yaiku tiyang ingkang mangsak kedah suci saking hadast ageng mawi tedhan ingkang
sampun rampung dipunmangsak mboten diperkenankan konjuk dipunicipi. kunjuk tiyang
ingkang badhe nanem uga memanen pantun ugi kedah lebet
kawontenan suci saking hadast ageng.

Upacara adat tandur uga methik dipuntumindakake


dados ungkapan utawi simbol raos syukur masyarakat dhateng Allah SWT inggil
samukawis kenikmatan uga berkah ingkang sampun dipunsukakna. kajawi
punika, upacara adat niki dipunginakaken dados tolak bala konjuk nebihaken saking
macem-macem macam bencana uga pambengan. Upacara adat tandur uga methik niki
sacara mboten lajeng nggadhahi gina dados salah satunggal pirantos konjuk
njagi kerukunan uga kesejahteraan masyarakat.

pamontenan “selametan methik pari” ing dhusun Sukosono ingkang riyen dipunwontenaken
dipunsabin ingkang badhe dipanen, sakmenika
sairing perkembangan zaman selametan kesebat mboten malih dipunwontenaken
dipunsabin nanging dipunwontenaken dipungriya tiyang ingkang badhe
ngawontenaken panen, prosesi “selametan methik pari” niki nimbal paratanggi sekitar griya
konjuk lajeng ngempal uga berdo’a sesarengan ingkang dipunpangagengi dening misepuh
dhusun utawi tokoh masyarakat.[2] nalika
pamontenan prosesi selametan enten ubo rampe ingkang betah dipesiapkan, antawis
benten :
a. Sego bucet
b. Bubur abrit-bubur pethak
c. Dekem
d. Kupat-lepet
e. pisang ratu setangkep
f. Jajan peken
g. tedhan pikantuk pertanian (singkong, telo, ganyong, gembili, kaerut, dll)

Anda mungkin juga menyukai