Anda di halaman 1dari 14

WIWITAN

DOSEN PENGAMPU :
GUNAWAN HADI PIRWANTO S.H.,MH
MATA KULIAH
HUKUM ADAT DAN WARIS ADAT
DISUSUN OLEH
M RIFQI AL KHANIF(22-74201-1-147)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BOJONEGORO
SEMESTER GANJIL AKADEMIK 2023/2034
ABSTRAK
Tradisi Wiwitan merupakan ritual persembahan yang dilakukan oleh
masyarakat petani suku jawa sebagai wujud rasa syukur dan untuk
memperoleh keselamatan serta hasil panen yang melimpah. Tradisi
tersebut sudah ada dalam masyarakat Petani Suku Jawa desa Jati Baru
dan dijaga hingga turun temurun sehingga menjadi bagian dari Ritual
Keagamaan yang harus dilakukan. Adapun permasalahan dalam penelitian
ini adalah proses ritual tradisi wiwitan serta segala bentuk perilaku
keagamaan yang dilihat dari sakral dan profane seperti dalam praktek-
praktek “magis”; “mitos” dalam ritual tradisi wiwitan yang dilakukan oleh
masyarakat petani suku jawa desa Jati Baru Kecamatan Tanjung Bintang
Kabupaten Lampung selatan. Pada penelitian ini metode yang digunakan
adalah metode kualitatif bersifat deskriptif menjelaskan atau
menggambarkan kondisi masyarakat berdasarkan keadaan lapangan
dengan apa adannya sesuai denga hasil observasi, wawancara dan
dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Tradisi wiwitan
sebagai bentuk perilaku keagamaan masyaraat petani suku jawa yang
terkait dengan sinkretisme. Perilaku keagamaan dalam ritual tradisi
wiwitan terdapat sesuatu yang sakral dan profane seperti Dewi Sri yang
dianggap sakral bagi masyarakat petani suku jawa yang masih melakukan
ritual tradisi wiwitan sedangkan masyarakat yang sudah tidak melakukan
ritul tradisi wiwitan menganggap bahwasanya Dewi Sri sesosok yang tidak
sakral (profane)
PENDAHULUAN
Tradisi Wiwitan merupakan ritual yang dilakukan masyarakat petani suku
jawa sebelum panen padi.1 Tradisi Wiwitan yang di maksud dalam
penelitian ini adalah ritual persembahan yang dilakukan oleh masyarakat
petani suku jawa sebagai wujud rasa syukur dan untuk memperoleh
keselamatan serta hasil panen yang melimpah. Tradisi tersebut sudah ada
dalam masyarakat Petani Suku Jawa dan dijaga hingga turun temurun
sehingga menjadi bagian dari Ritual Keagamaan yang harus dilakukan.
Perilaku keagamaan adalah berkaitan dengan kepercayaan serta berbagai
praktik ritualnya yang diwujudkan dalam bentuk tingkah laku berdasarkan
nilai-nilai agama.2 Perilaku keagamaan dalam penelitian ini adalah segala
bentuk tingkah laku kelompok dalam praktikpraktik “magis”; “mitos”
(membaca doa-doa dan menyediakan sesajen diarea persawahan) serta
sistem kepercayaan yang diakui dan dipercayai oleh masyarakat petani
suku jawa. karakteristik masyarakatnya tradisional, beragama Islam dan
Hindu, bersuku Jawa, Lampung, Sunda dan Batak. Sebagian besar
penduduk berprofesi sebagai petani (agraris) dan masih melestarikan
tradisi-tradisi leluhur seperti salah satunya tradisi wiwitan Dalam
masyarakat agraris banyak dijumpai adanya tradisi yang masih
dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya. Terutama
pada masyarakat jawa yang sebagian besar bermata pencarian bercocok
tanam atau bertani. Cara hidup bertani masyarakat suku jawa pada
umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional baik dalam mengolah
pertanian maupun yang berkaitan dengan sistem kepercayaan yaitu
penyelenggaraan upacara-upacara yang berkaitan dengan kegiatan
pertanian yang dilakukan oleh masyarakat petani. Masyarakat petani yang
masih menjalankan tradisi dan berhubungan dengan alam lingkungan
yaitu masyarakat petani suku jawa sebelum menanam padi, seperti
menentukan hari dan tanggal baik beradasarkan hari dan tanggal (weton)
petani yang ingin menanam padi, yang kedua ada tahap wiwitan yaitu
ritual yang dilakukan sebelum memanen padi. Ritual tradisi wiwitan
merupakan wujud kebudayaan turun menurun leluhur masyarakat Jawa.
Wiwit adalah tradisi leluhur masyarakat petani suku jawa yang
dilaksanakan menjelang panen padi, saat padi sudah menguning dan siap
panen. Ritual tradisi wiwitan dilakukan sebelum memotong padi dan
menyantap bersama hidangan uborampe upacara, para petani berkumpul
untuk berkarnaval menuju areal persawahan. Mereka membawa
uborampe (perlengkapan) seperti ingkung ayam, jajan pasar dan
tumpeng. Kemudian Orang tertua atau Mbah Kaum yang memulai prosesi
dengan berdoa, lalu dilanjutkan memotong sebagian padi sebagai tanda
padi sudah siap dipanen. Tetapi sebelum Mbah Kaum datang, petani
sudah menyiapkan peralatan yang dipakai untuk ritual tradisi wiwitan
seperti kendil yang berisi air, ani-ani (alat untuk memotong padi), bunga
mawar, menyan serta kain jarik untuk membungkus hasil padi yang sudah
dipetik Mbah Kaum.7 Kepercayaan pada Dewi Sri sebagai dewi padi, hidup
dalam cerita rakyat dengan berbagai versi. Cerita kelahiran Dewi Sri ke
bumi sangat bervariasi, sebanyak legendanya. Masyarakat Jawa Barat
percaya menyebutkan bahwa dewi sri berasal dari sebuah telur yang
menetas dan menjelma menjadi gadis cantik yang merupakan ibu dari
segala tumbuhan di alam raya ini. Sementara legenda yang mengalir di
Jawa dan Bali menyebutkan bahwa Dewi Padi ini merupakan jelmaan ular
sawah yang menguntungkan petani, karena ular ini membasmi berbagai
macam hama di ladang dan sawah.8 Namun pada intinya kemunculan dan
keberadaan Dewi Sri di bumi ini adalah sosok dewi yang selalu membawa
berkah, dewi pembawa kesuburan, dewi panen, dewi bumi, dewi benih
dan memberikan keberhasilan serta kemakmuran serta diharapkan agar
sawah mereka terhindar dari segala malapetaka dan gangguan roh-roh
jahat dan bencan
Prosesi Pelaksanaan Tradisi Wiwitan
Pelaksanaan tradisi wiwitan oleh masyarakat umumnya beragam dan telah
dimodifikasi, misalnya terdapat pergantian uborampe. Prosesi tradisi
wiwitan disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, umumnya
dilaksanakan di area sawah yang mengandung aura mistis saja,
sedangkan lahan yang sudah strategis tidak perlu di gelar wiwitan.
Penyesuaian yang dilakukan umumnya pada perlengkapan yang
digunakan, misalnya penggunaan ayam ingkung yang opsional dan
penggantian jenis pisang. Doa yang dibacakan saat wiwitan di tiap
daerahpun berbeda, karena tidak ada aturan khusus terkait doa yang
dibacakan. Pelaksaan memiliki beberapa rangakaian yaitu
Prosesi Pertama adalah penentuan hari mencari hari yang baik untuk
dilaksanakanya upacara tradisi wiwitan dan memanem padi. Menurut
Mbah Yai Djasmani tidak boleh sembarangan dalam penentuan hari.
“acara wiwitan tidak boleh sembarangan dilaksnakan perlu dilakukanya
perhitungan hari yang di nilai baik, agar hasil panen semakin barokah
Orang zaman dahulu tidak asal dalam memutuskan sesuatu yang
dianggap sakral,seperti ingin menikahkan anaknya, membuat rumah,
hajatan, menanam padi mamanen padi ataupun jenis tanaman yang lainya
harus menggunakan perhitunga Bagi masyarakat jawa nama pasaran
tidaklah asing mereka mempunyai perhitungan sendiri dalam penamaan,
mislanya Senin Pahing,Selasa Pon,Minggu Wage dan lainya perhitungan
hari sudah ada sejak zaman dahulu. Orang terdahulu juga percaya tidak
boleh melaksanakan sesuatu kegiatan yang dimana jatuh pada hari
kematian orang tuanya, sebaiknya dalam dihari kematian orang tuanya
digunakan untuk berduka dan focus emanjatkan doa-doa bukan malah
menggelar pesta yang penuh hingar binar. Dipercaya atau tidak tetapi
memang harus diugemi ( dipercayai) pada saat dilaksnakanya panen raya
dimana saat itu juga hari pasaranya sama dengan kematian orang tuanya
dipercayai bahwa hasil panenya akan rusak atau jika dijual hanya laku
sedikit tidak mendapatkan untung tetapi malah rugi.Untuk menggelar
hajatan atau upacara tradisi juga tidak boleh dilaksanakan dalam bulan
yang dianggap tidak baik. Ada bulan-bulan tertentu yang menjadi
pantangan masyarakat jawa kemudian juga ada bulan-bulan yang
dianjurkan untuk melaksanaknya hajatan atau upacara tradisi, misalnya
bagi orang jawa bulan yang dianggap kurang baik untuk melaksanakan
hajatan atau upacara tradisi yaitu Bulan Sura,Sapar,Mulud,Rojab dan
Puasa tidak baik untung melakukan pindah rumah sedangkan bulan Bakda
Mulud,Besar, Dzulkho’dah dianggap baik untuk membangun rumah
Prosesi yang Kedua dalam tradisi wiwitan yaitu ider-ider dan
pemasangan cok bakal,janur kuning disetiap sudut sebagai petanda
pemeberitahuan atau meminta izin kepada penunggu sawah dan
dilakukan pada malam hari . Sehubungan dengan hal tersebut Bapak
Muhammad Ji’an mengemukakan “orang jawa meyakini bahwa setiap
tempat terdapat penunggunya, jadi kita harus punya unggah-ungguh
untuk meminta izin yang menunggui tempat tersebut agar tidak terjadi
hal tidak diinginkan ketika melaksanakan tradisi wiwitan. Dalam tradisi
wiwitan terdapat umborampe yang melengkapi cok bakal yaitu berupa
Tumpeng, Ingkung,Telur ayam kampong, Pisang,Jajanan Paasar,
Klubanan,Kembang Setaman,Kinang atau Rokok,Cermin dan Sisir, Kendi,
Gula Jawa, Cabe,Bawang Merah,Bawang Putih, Ketupat, Takir, Kloso ”
Ritual cok bakal dilaksanakan petani dengan harapan untuk agar
mendapat berkah dari Dewi Kesuburan atau kepada roh penjag tanah agar
merka menjaga tanaman sehingga diperoleh hasil panen
melimpah.masyarakat desa tetap percaya melaksanakannya dengan sakral
tanpa merubah tradisi yang sudah ada, karena masyarakat percaya bila
ritual tidak dilakukan atau dirubah maka dapat terjadi musibah yang
tidakdiharapkan yang merugikan misalnya tanaman rusak, gagal panen
atau bahkan hingga kematian. Namun umborampe sedikit disesuaikan,
misalnya pada penggunaan ayam ingkung dan perbedaan jenis pisang.
Prosesi Ketiga yaitu tirakatan (melek bengi) dengan mengundang para
sesepuh dirumah pemilik sawah dilakukan pada malam hari sebelum
dilakukan tradisi wiwitan. Tirakatan (melek bengi) tidak sekadar menahan
rasa kantuk, tetapi akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan,
memperbanyak doa, berdzikir, dan menahan hawa nafsu, serta menambah
kejelasan hati. Tirakat menurut bahasa Arab disebut “riyadloh” artinya
“olah batin” yaitu usaha atau kegiatan mengolah batin melalui ritual
seperti puasa maupun meditasi untuk mendapat kemudahan untuk
mencapai apa yang diinginkan. Pada tradisi jawa, laku prihatin dan tirakat
adalah upaya spiritual melalui keprihatinan jiwa raga dan laku tertentu,
agar memperoleh keselamatan dan keberkahan hidup, kesejahteraan lahir
batin, keberkahan, ilmu/kesaktian tertentu, kekayaan, pangkat dan
sebagainya. Kegiatan ini, adalah usaha dan doa kepada Tuhan dan
merupakan ‘keharusan’ yang telah menjadi tradisi warisan pendahulu
Prosesi Keempat yaitu prosesi yang terpenting dilaksanakan tradisi
wiwitan,yaitu prosesi kenduri atau selametan yang dilaksanakan di sawah.
setelah semua peralatan disiapkan para petani dan masyarakat
berbondong-bendong menuju sawah area persawahan kemudian
dilaksanakan prosesi tradisi wiwitan dan memulai tradisi wiwitan
Sehubungan dengan ini bapak Muhammad Dji’an mengemukakan :“
Dalam Prosesi tradisi wiwitan sebelum dilaksanakan panen padi yaitu
melakukan ritual kenduri, ritual kenduri bisa dilakukan di rumah pemilik
sawah yang akan panen adi, dimasjid, dan bisa juga di sawah. Ritual
kenduri ini bertujuan untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas hasil panen padi yang diberikan”
Fungsi dan Tujuan Tradisi Wiwitan
Upacara Wiwitan artinya memulai. Dalam konteks budaya dikonsepsikan
sebagai upacara untuk menandai dimulainya memanen padi agar tercapai
ketentraman batin dan mendapatkan Ridho sang pencipta Adanya upacara
di desa bermaksud agar masyarakat mendapat nilai yang tidak bisa dilihat
dalam kehidupan sehari-hari, upacara merupakan pengingat manusia
terkait eksistensi dan hubungan terhadap lingkungan, dan masyarakat
lainnya. Selain memuat ucapan syukur juga memuat interaksi sosial antara
manusia dengan tuhan, manusia dengan leluhur
Terdapat dua fungsi wiwitan Yaitu
1.Fungsi Spiritual
Fungsi spiritual yaitu agar tercapai ketentraman hati. Masyarakat
yakin bahwa prosesi tradisi Wiwitan dapat menjadi jalan untuk
berkomunikasi dengan roh leluhur agar hasil panen berhasil dengan
perantara berupa sesajidan panjatan doa agar jauh dari kekuatan gaib
yang menganggu,pada fungsi spiritual ini juga emilik sawah yakin jika
tidak melaksanakan ritual tidak dilaksanakan maka akan membawa
malapetaka, pemilik sawah akan terkena penyakit non-medis
berkelanjutan, atau kebangkrutan mendadak. Sehingga prosesi wiwitan
adalah penolak malapetaka. Wujud dapat dibuktikan melalui prosesi
pemotongan padi pertama yaitu pemilik sawah memotong padi pertama
atau mojoki dengan membawa sesaji dan umborampe yang sudah
disiapkan. Nilai pendidikan spritual yaitu keEsaan Tuhan, agama Islam
hanya mengakui satu Tuhan yaitu Allah dalam Kalimat Tauhid
“Lailahaillallah”. Atas karunia Allah, manusia mendapat kemudahan dan
kenikmatan rizki, maka wajiblah manusia bersyukur atas karunia tersebut
2. Fungsi Sosial
Tradisi Wiwitan juga mengandng fungsi sosial yaitu pemenuh kebutuhan
jasmani dan rohani, dan pemelihara solidaritas sosial, misalnya pada relasi
internal pemilik sawah dengan keluarganya maupun relasi pemilik sawah
dengan masyarakat.
a. Relasi internal
Tradisi Wiwitan berfungsi sebagai sarana mempererat relasi antar
masyarakat. Saat tradisi wiwitan, para kerabat keluarga datang membantu
seluruh perpersiapan tradisi wiwitan meskipun tidak ikut dalam upacara
wiwitan tersebut. Kedatangan kerabat mencerminkan adanya uapaya
mempererat hubungan antar keluarga.
B. Relasi Eksternal
Tradisi Wiwitan berfungsi pula sebagai wujud kerukunan dan
keharmonisan antar masyarakat Desa Beged. Dalam kehidupan sehari-
hari, interaksi masyarakat Desa Beged memang rukun dan harmonis.
Warga setempat berpartisipasi dan memeriahkan tradisi wiwitan. Hal itu
menjadi bukti bahwa tradisi wiwitan mempererat hubungan sosial antar
tetangga, meningkatkan keharmonisan, dan mempererat keakraban.
Pendapat
Bila ditelisik lebih jauh, tradisi wiwitan yang sudah berlangsung turun
temurun secara patrimonial dari berbagai generasi tersebut mengandung
nilai moral yang sangat berguna bagi generasi milenial saat ini, baik
secara individu maupun sosial. Secara individu, tradisi ini memiliki nilai
moral tanggung jawab dalam dalam menjaga keselarasan alam, patuh
dalam mengikuti beberapa tahapan yang sudah disepakati, serta melatih
kesabaran dalam pengolahan nafas spiritual atau batin.
Adapun nilai-nilai moral dari perspektif sosial dari tradisi wiwitan ini dapat
menjadikan nilai kebaikan dan pesan-pesan moral bagi banyak komunitas,
di antaranya pada aspek pertama, nilai toleransi. Ketika pelaksanaan
tradisi wiwitan tumbuh pertama kali dan dihidupkan sampai sekarang,
masyarakat desa yang mempunyai hajat wajib mengundang tetangga atau
saudara yang berkeyakinan lain untuk bersantap bersama atau sekadar
bersilaturahmi sebagai wujud rasa hormat kepada orang yang lain adat
atau kepercayaannya.
Kedua, nilai gotong royong. Dalam setiap kegiatan di desa, gotong royong
sudah merupakan bagian dari kehidupan kultural masyarakat. Ketika
berlangsung perhelatan desa, baik yang religius atau fisik, semua bahu-
membahu, tolong menolong satu sama lain, dengan slogan bahwa seberat
apapun jenis pekerjaan, apibila dikerjakan dalam semangat kebersamaan
dan juga dilambari rasa ikhlas, maka pekerjaan akan terasa mudah.
Ketiga, nilai spiritual. Dalam tradisi wiwitan mulai dari proses awal,
perlengkapan yang dibutuhkan, dan berbagai hal yang terkait dengan
teknis maupun non teknis, membutuhkan kekhusukan dalam menjalani.
Mereka meyakini, bahwa tradisi peninggalan leluhur tersebut harus tetap
hidup sampai kapanpun. Oleh karena itu, mereka menjalani dengan
sepenuh hati, terutama mereka selalu mengedepankan aspek-aspek
spiritual, seperti doa bersama, menjalankan kegiatan dengan
mengerahkan semua energi positif yang dimiliki agar perhelatan
terselenggara sesuai rencana
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Sinta Indi, Septo Pawelas Arso, and Putri Asmita Wigati. 2015.
“Islam Agama Rahmatan

Lil’Alamin.” Analisis Standar Pelayanan Minimal Pada Instalasi Rawat Jalan


di RSUD Kota Semarang 3: 103–11.

Badawi, Dato’ Seri Abdullah Bin Haji Ahmad. 2008. “Islam Sebagai
‘Rahmatan Lil ‘Alamin.’” Jurnal Hadhari Edisi Khas(1): 1–8.

Bawani, Imam. 1998. Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam. Surabaya:


Al- ikhlas. ISSN 2962-9209 Amorti: Jurnal Studi Islam Interdisipliner 67
Vol. 1, No. 1, Juli 2022, pp. 55-67

M. Daud Yahya, et.al (Akulturasi Budaya pada Tradisi…)

Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan


Hidup Kyai. LP3ES.

Hatsin, Abu. 2007. Islam Dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam


Di Tengah Krisis

Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Husna Nashihin. 2017. Pendidikan Akhlak Kontekstual. CV. Pilar Nusantara.
https://books.google.co.id/books?id=UBWiDwAAQBAJ.2022.
“KONSTRUKSI PENDIDIKAN PESANTREN BERBASIS TASAWUF.”

Edukasi Islami :
Jurnal Pendidikan Islam: 1163–76.
Nasaruddin Umar. 2021. Islam Nusantara: Jalan Panjang Moderasi
Beragama Di Indonesia. PT Elex Media Komputindo.
https://books.google.co.id/books?id=uhceEAAAQBAJ. Nashihin, H. 2019.
Analisis Wacana Kebijakan Pendidikan (Konsep Dan Implementasi). CV.
Pilar

Nusantara. https://books.google.co.id/books?id=SXcqEAAAQBAJ.
Nashihin,
Husna. 2017a. “Mengikis Budaya Patriarkhi-Domestic Melalui Pendekatan

Pengkajian Islam Perspektif Gender.” Cita Ilmu.

2017b. Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Pesantren. Formaci.


https://books.google.co.id/books?id=X27IDwAAQBAJ.

2019. Proceedings of 2nd International Conference on ASIC. Nasihin,


Husna, and Puteri Anggita Dewi. 2019. “Tradisi Islam Nusantara Perspektif
Pendidikan Multikultural.” Islam Nusantara 03(02): 417–38.
https://jurnalnu.com/index.php/as/article/view/135.

Nindynar Rikatsih, M K et al. 2021. Metodologi Penelitian Di Berbagai


Bidang. Media Sains
Indonesia. https://books.google.co.id/books?id=cqFIEAAAQBAJ.
Rasyid, Muhammad Makmun. 2016. “Islam Rahmatan Lil Alamin Perspektif
Kh. Hasyim

Muzadi.” Epistemé: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman 11(1): 93–116.


Santosa. 2019. Buku Ajar Metodologi Penelitian. PT Penerbit IPB Press.
https://books.google.co.id/books?id=MbsREAAAQBAJ.

Sugiyono. 2017. Metode Peneletian. Yayasan Obor Indonesia.

Sukardi. 2021. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetensi Dan


Praktiknya (Edisi Revisi)

Bumi Aksara. https://books.google.co.id/books?id=gJo%5C_EAAAQBAJ.


Wahyudi, Dedi, and Kurniasih Novita. 2021. “Literasi Moderasi Beragama
Sebagai Reaktualisasi.” Jurnal Moderasi Beragama 01(1): 1–20.

Yayah, and Sumadi. 2017. “Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Tradisi Islam


Nusantara.” Jurnal

Penelitian Penididikan Islam 5(1): 67–86

https://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_Wetonan
https://repository.unair.ac.id/101910/4/4.%20BAB%20I%20PENDAHULUA
N.pdf
https://jayapanguspress.penerbit.org/index.php/cetta/article/download/45
7/452/860
http://repository.syekhnurjati.ac.id/6966/3/BAB%20V.pdf
https://regional.kompas.com/read/2023/09/19/230954478/
mengenaltradisi-wetonan-di-jawa-latar-belakang-waktu-pelaksanaan-
dantata?page=all

Anda mungkin juga menyukai