Anda di halaman 1dari 5

Human Basic Needs Maslow dalam Tradisi Upacara Adat Sebaran Apem di Desa

Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah


Disusun untuk Memenuhi Tugas Antropologi
Dosen pengampu: Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A.

oleh:
Muhamad Nasrullah Al-Kafil Fatih
(53010220067)

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA
2023
Indonesia memiliki banyak ragam budaya dan tradisi yang mengandung nilai-nilai lokal
dan keunikan yang berbeda-beda. Di Indonesia, kebudayaan khususnya makanan sangat
berpengaruh terhadap kebiasaan masyarakat karena masyarakat mengonsumsi makanan dari
hasil alam daerah itu sendiri. Banyak tradisi khas daerah yang lahir dari kebiasaan masyarakat
mengkonsumsi makanan dan bertahan hingga sekarang. Seperti tradisi yang berada di Desa
Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Tradisi yang berada di Desa Jatinom dinamakan Upacara “Ya Qowiyyu” yang
dilaksanakan pada tiap bulan Safar antara tanggal 12-18. Upacara ini dilakukan dengan
menyebarkan apem kepada pengunjung untuk mewujudkan rasa syukur terhadap nikmat dan
karunia yang telah diberikan Sang Pencipta. Karena dilaksanakan di bulan Safar dalam
penanggalan Islam maka Upacara Adat ini juga dinamakan “Saparan”.
Menurut sejarahnya Upacara ini untuk mengingat salah satu tokoh penyebar agama
Islam yaitu Ki Ageng Gribig yang juga sebagai cikal bakal Desa Jatinom. Upacara adat ini
diawali dari suatu peristiwa pembagian kue apem oleh Ki Ageng Gribig pada 15 Sapar 1511
H, pada waktu itu Ki Ageng Gribig baru saja pulang dari tanah suci Makkah setelah
menunaikan rukun Islam yang kelima. Beliau membawa oleh-oleh roti yang terbuat dari tanah
liat dari Arofah dan dibagi-bagikan kepada tetangga dan sanak saudara yang ada lalu mereka
mendengarkan wejangan-wejangan ilmu dari beliau. Akan tetapi oleh-oleh tadi tidak
mencukupi untuk semua yang hadir. Maka dari itu beliau menyuruh istrinya Nyai Ageng untuk
memasak kue tadi menjadi lebih banyak agar semua yang hadir mendapat oleh-oleh.
Kue yang dibawa Ki Ageng Gribig dinamakan “Apem” yang berasal dari bahasa Arab
“Afwan” memiliki makna “Ampunan” dengan tujuan agar masyarakat selalu ingat untuk
memohon ampunan kepada Allah SWT. Sedangkan untuk penamaan upacara ini adalah
upacara “Ya Qowiyyu” yang diambil dari doa Ki Ageng Gribig sebagai penutup pengajiannya.
Doa yang berbunyi : Ya Qowiyu Yaa Aziz Qowina wal Muslimin yang artinya : Ya Tuhan,
dzat yang maha kuat, ya Allah dzat yang maha menang, mudah-mudahan memberikan
kekuatan kepada kami dan kaum muslimin. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa Ki
Ageng Gribig melemparkan kue apem tersebut pada semua warga sambil melafalkan ayat Al-
Qur’an “Yaqowiyyu” yang artinya Ya Allah berilah kami kekuatan. Karena hal itu, upacara ini
juga bisa dinamakan upacara Yaqowiyyu.
Berangkat dari kharisma Kyai Ageng dan kejadian itu, maka tradisi yang spontan itu
menjadi tradisi yang dianggap “bermakna” sehingga “makna” yang ada memberi arti dan kesan
dalam sanubari masyarakat setempat. Oleh karena itu, tradisi saparan yaqowiyu masih terus
dilestarikan hingga sekarang, bahkan bagi masyarakat Jatinom itu sudah merupakan satu
keharusan yang tidak bisa ditinggalkan. Pada masa sekarang, untuk memperlancar jalanya
upacara perayaan ini, telah dibentuk panitia gabungan, yaitu panitia yang terdiri dari tokoh
masyarakat dan sesepuh upacara dengan para pejabat pemerintah setempat.
a. Kebutuhan Fisiologis
Kue roti yang dinamakan apem dalam Upacara Ya Qowiyyu merupakan simbol yang
mempunyai makna. Kue Apem dalam arti lain, agar manusia diberikan ampunan oleh Tuhan
Yang Maha Esa, merujuk pada bahasa Arab “Afwan” yang berarti ampunan. Menurut
kepercayaan masyarakat Jatinom dan sekitarnya, kue apem kekuatan supranatural yang bisa
membawa kesejahteraan bagi yang berhasil mendapatkannya. Mereka percaya bahwa kue
apem bisa menjadi tolak balak atau syarat untuk berbagai tujuan, contoh bagi petani yang
berhasil mendapat kue apem maka mereka akan menanam kue tersebut disawah dengan
maksud agar tanamannya selamat dari segala bencana atau hama penyakit. Bahkan, mereka
percaya ketika bisa mendapatkan kue apem yang banyak akan memperoleh rezeki melimpah.
Selanjutnya ada apem yang dibuat menjadi gunungan yang dikenal dengan gunungan
lanang bernama Ki Kiyat dan gunungan wadon bernama Nyi Kiyat. Apem yang disusun seperti
sate dengan urutan 4-2-4-4-3 mempunyai makna jumlah raka’at sholat yaitu sholat
isya’/subuh/dhuhur/ashar dan maghrib. Disamping itu jika ditarik kembali mempunyai tiga
makna yaitu pertama, gunung diartikan sebagai tempat tertinggi dan sesuatu yang letaknya
tinggi dianggap suci karena dihubungkan dengan langit dan Tuhan. Kedua, gunungan lanang
Ki Kiyat dihubungkan dengan alat vital laki-laki sebagai asal muassal kehidupan manusia.
Selain itu yang tercakup didalam isinya dengan berbagai unsur didalamnya memiliki gambaran
tentang dunia seisinya seperti bumi, langit, api, angin, tumbuh-tumbuhan, dan manusia yang
digambarkan sebagai Ksatria Utama karena merupakan figur ideal bagi orang jawa yang
memiliki sifat-sifat mulia. Ketiga, gunungan wadon Nyi Kiyat memiliki makna yang
dihubungkan dengan konsep induk yakni sebagai sifat seorang ibu yang mengatur, mendidik,
dan mengayomi anak, dan jika ditarik lebih dalam hal ini juga dimaksudkan agar manusia bisa
mengayomi alam mapun mengatur alam supaya keseimbangan hidup bisa terwujud.
b. Kebutuhan sosial
Upacara adat Ya Qowiyyu atau Tradisi Saparan dapat menarik berbagai macam
golongan dan darinya tradisi ini begitu ramai dihadiri masyarakat baik yang berada di daerah
Jatinom maupun diluar daerah. Mereka datang dengan tujuan mendapatkan keberkahan atau
hanya sekedar bertemu dengan teman sanak saudara maupun keluarga untuk menyambung
silaturahmi. Banyaknya pengunjung dalam Tradisi Ya Qowiyyu maka di gunakan masyarakat
sekitar sebagai obyek pariwisata. Secara langsung maupun tidak langsung masyarakat telah
bermitra usaha yaitu dengan membuka warung makanan maupun minuman. Selain itu apabila
warga yang mempunyai pekarangan rumah yang luas dan berdekatan dengan tempat upacara
banyak yang menyewakan tempat serta peralatan listrik untuk keperluan membuka warung
jajanan maupun sebagai tempat parkir.
Upacara adat sebar apem atau Tradisi Ya Qowiyyu yang dulunya merupakan ritual yang
penuh dengan khidmat ternyata mampu menarik masyarakat, mulai dari keluarga, sanak
saudara, teman maupun pengunjung diluar daerah. Kini Tradisi ini berkembang menjadi tempat
obyek pariwisata yang dengannya mampu berdampak pada ekonomi masyarakat.
c. Kebutuhan aktualisasi
Keberhasilan para Wali Songo dalam proses Islamisasi di kepulauan Indonesia
khususnya jawa, salah satunya adalah disebabkan penafsiran mereka terhadap Islam yang
kemudian di kulturalisasikan antara mistik Hindu Budha dan mistisisme Islam. Dengan
demikian maka berdampak terhadap masyarakat di wilayahnya untuk menerima Islam dengan
pola-pola adat dan kepercayaan lokal.
Selanjutnya dengan menggunakan pola-pola inilah para Wali Songo mengembangkan
berbagai cara dakwah sebagai strategi untuk memberikan pengertian, pemahaman maupun
contoh mengenai ajaran Islam. Salah satu cara dakwah yang dipadukan antara kebudayaan
masyarakat dengan ajaran Islam adalah Upacara ritual Ya Qowiyu
d. Kebutuhan Safety
Upacara tradisi Ya Qowiyu juga mengandung nilai-nilai keselamatan dan kedamaian.
Dalam kepercayaan Jawa, tradisi ini memiliki nilai keseimbangan dan keselarasan antara
“Jagat Gede” dengan “Jagat Cilik” yang kemudian diwujudkan dalam bentuk tata cara “kosmis
religius magis” yang inti maknanya adalah keselamatan dan ketentraman.
Masyarakat percaya terhadap sesuatu yang bersifat sakral atau alam ghoib dan mereka
meyakini bahwa mereka hidup berdampingan juga tidak lepas dari roh-roh yang mengawasi
kehidupan manusia. Dengan ini maka perbuatan apapun bentuknya mereka juga percaya akan
selalu ada imbalan dan hukuman. Hal inilah yang kemudian menjadikan Tradisi Ya Qowiyyu
sebagai objek untuk “ngalap berkah” dengan harapan terwujudnya rasa aman, tenteram
maupun mendapat keselamatan.
e. Kebutuhan dihargai atau diakui-esteem
Masyarakat Jawa mengenal banyak sekali tokoh-tokoh keramat. Sebagai bentuk
penghormatan terhadap tokoh-tokoh leluhur mereka, orang jawa mengadakan suatu upacara
keagamaan. Tradisi Saparan merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap arwah Ki
Ageng Gribig sekaligus untuk mengingat jasa-jasa beliau.
Pada saat tradisi Saparan makam Ki Ageng Gribig senantiasa dipenuhi oleh para
pengunjung, mereka berziarah sambil menaburi bunga yang diiringi dengan pembacaan do’a
sambil membakar dupa. Hal ini dilakukan mereka untuk memohon do’a restu kepada arwah
maupun dimintai nasehat tentang persoalan rohaniah, terutama bila seseorang tersebut
menghadapi tugas berat, berkeinginan memperoleh jabatan atau sesuatu yang lain.
Kesimpulan
Selama perkuliahan yang saya pahami terkait materi Antropologi adalah Human Basic
Needs Maslow yang kemudian saya refleksikan kedalam Tradisi Upacara Adat Sebaran Apem
di Desa Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, karena dalam perenungan dan pemikiran
saya tradisi tersebut terdapat nilai atau fungsi tentang yang terkandung dalam materi Human
Basic Needs Maslow. Diantara cakupan materi Human Basic Needs Maslow dan terdapat
dalam Tradisi Upacara Adat Sebaran Apem di Desa Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
adalah:
1. Kebutuhan Fisiologis, yang mana didalam tradisi tersebut terdapat kue apem sebagai
makanan, selain itu dengan makna yang terkandung didalamnya kue apem tersebut
dapat menarik khalayak ramai yang kemudian juga dijadikan sebagai ikon Desa
Jatinom.
2. Kebutuhan sosial, tradisi sebar apem yang berhasil mengumpulkan masyarakat dari
dalam daerah maupun luar daerah membuat masyarakat dari desa Jatinom turut
bersama-sama melancarkan tradisi tersebut seperti meminjamkan alat listrik atau
tempat parkir, membuat panggung acara, dan keamanan bagi para pendatang. Selain
itu, dampak dari para pengunjung juga dapat menaikkan ekonomi masyarakat desa
Jatinom.
3. Kebutuhan aktualisasi, didalam tradisi ini acara-acara yang disuguhkan juga terdapat
pengembangan diri terhadap ajaran islam, diantarannya bersholawat, pembacaan dzikir
dan mauidzoh hasanah yang dibawakan oleh para tokoh agama.
4. Kebutuhan Safety, selanjutnya dalam tradisi ini juga terdapat rasa aman karena para
pengunjung yang berdatangan memiliki tujuan “ngalap berkah”. Dari tujuan ini mereka
berharap bahwa dalam kehidupan senantiasa diberikan ketentraman dan keselamatan
dari Allah SWT.
5. Kebutuhan dihargai atau diakui-esteem, berangkat dari kharisma Ki Ageng Gribig
masyarakat yang berdatangan percaya akan kekeramatan beliau. Oleh karena itu, saat
tradisi ini berlangsung makam Ki Ageng Gribig akan selalu dipenuhi masyarakat untuk
berdo’a atau berziarah. Tujuannya adalah memohon do’a restu karena dengan Ki Ageng
Gribig sebagai perantara dalam do’a terhadap Sang Pencipta, mereka percaya akan
segera dikabulkan atau tercapai hajatnya. Diantara hajat dari para peziarah adalah
dimudahkan dalam mendapat pekerjaan, diberi rizki, segera bertemu jodoh, bahkan
bagi mereka yang berkeinginan memperoleh jabatan, dsb.

Anda mungkin juga menyukai