Anda di halaman 1dari 10

Macam-Macam Keragaman Budaya Indonesia

1. Upacara Adat
Upacara adat adalah salah satu bentuk adat istiadat atau kebiasaan masyarakat tradisional yang
diduga masih mempunyai nilai-nilai relevan bagi kehidupan dan kebutuhan masyarakat
sekitarnya. Hal itu dirasa sebagai bentuk upaya manusia agar dapat berhubungan dengan arwah
atau roh para leluhur dan bentuk kesanggupan masyarakat sekitar untuk menyelaraskan diri akan
alam dan lingkungan luas.

Upacara adat dikenal sebagai salah satu warisan nenek moyang dari masing-masing daerah yang
telah dijaga dan dilestarikan secara turun-temurun. Meskipun perkembangan zaman semakin
maju dan canggih, akan tetapi upacara adat tak dilupakan oleh sebagian masyarakat, khususnya
masyarakat yang kental akan adat. Hal itu karena upacara adat dirasa mempunyai nilai filosofis
dan kekuatan tersendiri oleh sebagian masyarakat setempat.

Di Indonesia sendiri, tradisi upacara adat banyak dilakukan oleh masyarakat berbagai daerah
yang mana di tiap-tiap daerah tentu memiliki upacara adatnya masing-masing. Berikut dijelaskan
secara ringkas mengenai upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai daerah di
Indonesia.

Upacara Adat di Aceh

Upacara Adat Aceh Peusijuk “Khitanan” (sumber: bjpotret)

Upacara adat di Aceh, yakni Peusijuk. Peusijuk dikenal sebagai tradisi turun-temurun yang
dilakukan oleh masyarakat Aceh sebagai perwujudan syukur atas anugerah yang diberikan oleh
Allah. Umumnya, upacara adat Peusijuk diselenggarakan saat acara kelahiran, naik haji,
pernikahan, dan sebagainya

Berbagai ilmu pengetahuan lainnya terkait masyarakat Aceh yang secara detail dan rinci
digambarkan pada buku Orang Aceh yang ada dibawah ini.
Upacara Adat di Sumatera

Upacara Adat Tabuik (sumber: infobudaya)

Upacara adat di Sumatera Utara adalah Tradisi Mangokkal Holi. Tradisi ini dikenal sebagai ritual
untuk mengambil tulang belulang leluhur masyarakat dari dalam pemakaman, kemudian
disimpan dalam peti dan diletakkan di salah satu bangunan tugu yang memang disediakan secara
khusus.

Sementara upacara adat di Sumatera Barat adalah Perayaan Tabuik. Perayaan ini dilaksanakan
oleh masyarakat Pariaman (Sumatera Barat) guna memberikan peringatan meninggalkan cucu
Nabi Muhammad, yakni Hasan dan Husein.

Selanjutnya, upacara adat di Sumatera Selatan adalah Sedekah Rame. Upacara ini dilaksanakan
oleh suku Lahat dan diselenggarakan oleh para petani setempat yang berkaitan dengan kegiatan
pertanian pula.
Upacara Adat di Kepulauan Riau dan Riau

Upacara Adat Balimau Kasai (sumber: traverse)

Upacara adat di Kepulauan Riau dikenal sebagai Tepuk Tepung Tawar. Adapun maksud dan
tujuan digelarnya upacara ini guna memberikan berkah demi keselamatan dan kesejahteraan,
serta menghapus kesialan orang yang melakukan upacara adat ini.

Lalu, upacara adat di Riau dinamai sebagai upacara Balimau Kasai. Upacara adat ini dilakukan
guna menyambut bulan Ramadhan. Balimau sendiri bermakna mandi dengan air yang dicampur
dengan buah limau.
Upacara Adat Banten, Yogyakarta, dan Bali
 

Upacara Adat Sekaten (sumber: jogjaland)

Upacara adat di Banten dinamai Seren Raun yang diselenggarakan sebagai perwujudan rasa
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berbagai hasil dari bidang pertanian.

Upacara adat di Yogyakarta disebut sebagai Upacara Sekaten. Upacara Sekaten diselenggarakan
guna sebagai peringatan lahirnya Nabi Muhammad yang dilaksanakannya di alun-alun
Yogyakarta dan utara Surakarta.

Upacara adat di Bali yang terkenal ialah Ngaben. Upacara Ngaben dilaksanakan dengan
mengkremasi atau membakar jenazah di Bali. Tujuan dan maksud upacara Ngaben guna
mengantar jenazah ke kehidupan selanjutnya.
Upacara Adat di Kalimantan

Upacara Adat Naik Dango (sumber: kumparan)

Upacara adat di Kalimantan Barat dinamai Naik Dango. Upacara adat ini memang kegiatan
tahunan yang diselenggarakan oleh masyarakat Dayak sebagai ucapan syukur pada Sang
Pencipta atau mereka menyebutnya Nek Jubata atas panen padi.

Upacara adat di Kalimantan Tengah ialah Uluh Matei yang selenggarakan guna mengantar jiwa
manusia yang sudah meninggal menuju ke daerah-daerah yang berada di langit ke tujuh.

Berikutnya, upacara adat di Kalimantan Selatan adalah Aruh Bahari yang dilaksanakan setelah
masyarakat suku Dayak Dusun Halong selesai musim panen. Kemudian, upacara adat
Kalimantan Timur ialah Dahau. Dahau dikenal sebagai tradisi pemberian nama anak dari turunan
bangsawan yang berlangsung selama satu bulan disertai dengan ritual adat.

Upacara adat Kalimantan Utara adalah Nyadar yang memang tradisi masyarakat petani garam
Desa Pinggir Papas. Umumnya, dilakukan di sekitar wilayah makam leluhur.
Upacara Adat di Sulawesi dan Gorontalo

Upacara Adat Mekiwuka (sumber: inibaru)

Upacara adat di Sulawesi Utara disebut sebagai Mekikuwa yang diselenggarakan suku Minahasa
sebagai ucapan permohonan sekaligus rasa syukur pada Tuhan. Kemudian, di Sulawesi Tengah
dikenal sebagai ritual Mora’akeke sebagai bentuk permohonan agar Tuhan mengurangi sinar
matahari. Di Sulawesi Tenggara dikenal sebagai upacara adat Posuo yang memang dilaksanakan
terkait kesucian seorang wanita.

Di Sulawesi Selatan dikenal upacara adat Mappalili yang dilaksanakan guna mengawali musim
tanam di sawah. Lalu, di Sulawesi Barat dinamai Sayyang Pattu’du yang diselenggarakan
sebagai bentuk syukur anak-anak berhasil khatam membaca Al-Qur’an. Sementara di Gorontalo
terdapat upacara adat Momondo yang bermakna terhadap pengesahan kedua calon pengantin
yang hendak nikah.
Upacara Adat di Maluku dan Papua

Upacara Adat Pesta Bakar Batu (sumber: diadona)

Upacara adat di Maluku dikenal sebagai Pukul Sapu yang digelar seminggu setelah Idul Fitri
atau setiap 7 Syawal oleh para lelaki, sementara di Maluku Utara dikenal dengan Tradisi Abdau,
yakni penyambutan Idul Adha.

Upacara adat di Papua, yakni Pesta Bakar Batu yang terdiri dari 3 tahapan, di antaranya
persiapan, bakar babi, dan terakhir makan bersama. Kemudian, di Papua Barat ada Tanam Sasi,
yaitu rangkaian upacara adat kematian dengan menanam Sasi atau sejenis kayu.
Karapan sapi

Awal mula kerapan sapi dilatarbelakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan
pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan mata pencahariannya
sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk
bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang.
Suatu Ketika seorang ulama Sumenep bernama Syeh Ahmad Baidawi (Pangeran
Katandur) yang memperkenalkan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang
bambu yang dikenal dengan masyarakat Madura dengan sebutan "nanggala" atau "salaga"
yang ditarik dengan dua ekor sapi. Maksud awal diadakannya Karapan Sapi adalah untuk
memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah. Orang Madura
memelihara sapi dan menggarapnya di sawah-sawah mereka sesegera mungkin. Gagasan
ini kemudian menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera menjadi
kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya setelah menjelang musim panen habis. Karapan
Sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan
dengan diiringi musik saronen.
Karapan sapi (Madura: Kerrabhân sapè) merupakan istilah untuk menyebut perlombaan
pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang
sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan
pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi
lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat
berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota
di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap
tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di eks Kota
Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.
Pada bulan November tahun 2013, penyelenggaraan Piala Presiden berganti nama menjadi
Piala Gubernur.
Kebo-Keboan

Kebo-Keboan merupakan salah satu upacara adat yaitu berubah menjadi


kebo Banyuwangi.[2] Sesuai namanya, Kebo-Keboan dilakukan dengan berubah
menjadi kerbau. Namun, kerbau yang digunakan bukan kerbau sungguhan, melainkan
manusia yang berubah menjadi kerbau.[2] Dengan dikutuk oleh masyarakat. Upacara
adat tersebut sudah adat sejak 300 tahun yang lalu, tepatnya pada abad ke-18. Kebo-
Keboan biasa dilakukan di awal bulan Suro, penanggalan Jawa. Tujuan dari upacara
adat ini adalah bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, atas hasil panen yang melimpah
dan merupakan doa, agar proses tanam benih untuk tahun depan dapat
menghasilkan panen yang melimpah. Terdapat dua desa di Banyuwangi yang masih
melestarikan tradisi Kebo-Keboan. Desa tersebut adalah Aliyan dan Alasmalang.

Tujuan dan fungsinya sama, yang membedakan adalah alur penyajiannya. Di


desa Aliyan seluruh ritual masih dilakukan secara aturan adat, sedangkan Kebo-
Keboan di desa Alasmalang merupakan imitasi yang dilakukan dengan
tujuan pariwisata. Kerbau mempunyai simbol sebagai tenaga andalan bagi petani.
Binatang kerbau merupakan binatang yang lekat dengan kebudayaan agraris. Dalam
kehidupan agraris, kerbau dan sapi, merupakan binatang yang membantu petani dalam
mengolah lahan sawahnya. Bahkan dalam mengolah sawah kerbau dianggap lebih kuat
daripada sapi. Binatang kerbau di berbagai wilayah di Indonesia menjadi binatang
penting dalam ritual adat. Dari asalnya kebo kenanga ini sangat lah istimewa dalam
tradisi Banyuwangi
Mapasilaga tedong

Ma'pasilaga tedong atau lebih dikenal dengan Tedong Silaga merupakan salah satu


tradisi unik dari daerah Toraja. Tradisi ini rutin dilakukan pada saat upacara pemakaman
orang yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, biasa disebut Rambu Solo'. Acara
Mapasilaga Tedong ini dilakukan sebelum upacara adat di mulai. [1] Salah satu kegiatanalam
rambu solo’ yaitu Ma’pasilaga Tedong (adu kerbau).
Jenis kerbau yang di adu biasanya berasal dari jenis Tedong Pudu yang mana kulit dan
tubuhnya berwarna hitam tanpa corak. Kerbau-kerbau yang menjadi kurban akan diarak
keliling desa terlebih dahulu sebagai bentuk penghormatan dalam Upacara Rambu Solo ini.
Selanjutnya menjelang sore akan diadakan pertarungan kerbau. Kerbau-kerbau yang telah
diadu tersebut kemudian disembelih dan dagingnya kemudian dibagikan kepada orang-
orang yang telah membantu proses pelaksanaan Rambu Solo.
Ma’pasilaga tedong saat ini mengalami pergeseran nilai-nilai akibat modernisasi.[2] Ritual
ma'pasilaga tedong merupakan ritual yang dikonstruksi oleh pelakunya melampaui waktu.
Pengaruh tersebut memberikan kesan seakan-akan ritual ini hanya boleh dilakukan
golongan kaum bangsawan. Pada dasarnya makna awal ma'pasilaga tedong yang menjadi
sebuah permainan kaum gembala (golongan bawah) mampu dikonstruksi menjadi
permainan kelas atas yang mendatangkan keuntungan.

Anda mungkin juga menyukai