Anda di halaman 1dari 54

Tugas Sosiologi

nama: Welty Maniata Surya Aprianti


kelas: XII IPS 1

KEARIFAN LOKAL KABUPATEN DI SULAWESI SELATAN

1. SOPPENG
Kearifan lokal: pa#aungeng
PaHaungeng adalah salah satu ritual tahunan yang diadakan di
Soppeng,Sulawesi Selatan.
Secara eNmologi paHaungeng berasal dari kata “taung” dalam Bahasa
bugis yang arNnya tahun. Tradisi ini dilaksanakan seNap tahun secara
turun temurun, sebagai bukN bahwa
mereka senanNasa telah menjaga arwah
leluhur yang telah meninggal.
Tidak hanya itu, di tradisi inilah akan
dilakukan upacar tradisional,sebagai
realisasi pelepasan nazar setelah
mendapatkan hasil panen selama satu
tahun. Tujuan diadakannya ritual ini
adalah sebagai bentuk usaha untuk
mempertahankan warisan leluhur
Kerajaan Soppeng dan ekspresi rasa syukur atas munculnya 4 sumber
mata air.
Upacara paHaungeng dimulai dengan tabuhan gendang,gong dan
lainnya. Iringan music tersebut diikuN oleh tarian “mallangi arajang” yang
dibawakan oleh 8 orang “bissu” atau biasa disebut waria suci. Setelah itu,
dilanjutkan dengan pemotongan satu kerbau atau kambing. Kemudian
Masyarakat akan meletakkan kepala sapi di kotak bambu yang didalamnya
diberi sesajen.

2. TAKALAR
Kearifan lokal: maudu’ lompoa
Menurut sejarah, perayaan tradisi Maudu Lompoa sudah ada sejak
tahun 1621 silam.
Saat itu ulama besar Aceh bernama Sayyid Jalaludin datang ke tanah
Talakar untuk menyebarkan agama Islam. Sayyid
juga dipercaya sebagai keturunan Nabi yang
menetap di Cikoang. Pelaksanaan perayaan
Maudu Lompoa memerlukan persiapan 40 hari
sebelum acara puncak. Persiapan
diawali dengan je'ne-je'ne Sappara
(mandi pada bulan Syafar) yang
dipimpin sesepuh atau guru adat.
Persiapan lain yang juga dilakukan
adalah menyediakan ayam, beras,
minyak kelapa, telur, perahu, kertas
warna-warni, pakaian, dan hasil bumi
lainnya. Ayam-ayam yang akan dijadikan jamuan dalam puncak perayaan
harus dikurung selama 40 hari, agar sehat dan hanya mendapat makanan
yang bersih dan bagus. Selain itu, masyarakat juga mulai melakukan
prosesi angnganang baku yaitu membuat bakul beras dari daun lontar.
Selanjutnya, masyarakat menjemur padi dalam lingkaran pagar,
dilanjutkan adengka ase, yakni menumbuk padi dengan lesung .Upacara
Maudu’ Lompoa mengandung makna yang lebih mendalam.

3. TANA TORAJA
Ø kearifan lokal di Tana Toraja sama dengan yang ada di Toraja
Utara.

4. TORAJA UTARA
Kearifan lokal: ma’nene
Ma’ nene adalah cara orang Toraja mengenang leluhurnya,dengan cara
mengganN kain jenazah leluhur. Sebagai simbol ikatan keluarga tak putus
antara leluhur yang sudah maN dan keturunan yang masih. Ratusan orang
berkumpul di bawah tebing batu,segelinNr dari mereka memindahkan
tangga bambu ke beberapa sisi tebing dan memanjatnya. Di sejumlah
dinding tebing, tertutup pintu kayu. Orang-orang itu lalu membuka pintu
dan mengeluarkan peN maN batu) Lembang Tonga’ Riu, Toraja
Utara,Sulawesi Selatan,pada Agustus 2020.
Sebelum jenazah dimasukkan kedalam peN maN keluarga telah memberi
bahan pengawet. Setelah itu, mereka menyematkan pakaian kepada
jenazah dan menaruh benda-benda atau makanan kesukaan jenazah di
kuburannya. Sebelum ma’ nene digelar,seorang tetua adat membacakan
doa untuk meminta berkah dari leluhur agar musim panen berjalan baik.
Setelah itu, anggota keluarga membersihkan jenazah dengan kuas,
menjemurnya sebentar,lalu mengganN pakaian jenazahnya. Setelah
pakaian baru terpasang, jenazah dibungkus dan dimasukkan Kembali ke
patane,rumah khusus jenazah sekitar Londa. Rangkaian prosesi ma’nene
ditutup dengan anggota keluarga berkumpul di rumah adat “tongkonan”
untuk beribadah bersama.

5. WAJO
Kearifan lokal: balo lipaq sabbe’
Pada masa lampau, kain sarung sutera Bugis dianggap sebagai bahan
sandang yang berfungsi sebagai kelengkapan upacara yang bersifat sakral.
Bahkan kerap dijadikan hadiah pernikahan oleh mempelai laki-laki kepada
mempelai perempuan.Tenun mulai berkembang di suku Bugis mulai
dikenal pada abad ke-15, yakni pada saat Islam masuk ke Sulawesi Selatan.
Begitu sakralnya kain tenun Lipa Sabbe, membuat keterampilan menenun
bagi masyarakat menjadi wajib dan diharapkan diteruskan dari generasi
ke generasi.
Lipa sendiri dalam bahasa Bugis berarN sarung dan Sabbe berarN sutera.
Lipa Sabbe adalah sarung tenun yang terbuat dari kain Sutera. Disebutkan
bahwa masyarakat desa ini memiliki budaya menenun sarung sutera dan
memelihara ulat sutera yang menghasilkan benang sutera asli. AkNvitas
menenun kain sutera menjadi Lipa Sabbe hanya menggunakan alat
tradisional atau ATMB (Alat Tenun Bukan Mesin). Dalam bahasa lokal alat
tersebut disebut tennung walida atau tenun duduk.
Adapun moNf dan corak warna Lipa Sabbe ini memiliki beragam jenis,
disebutkan bahwa pada mulanya warna dasar Lipa Sabbe hanya
menggunakan warna hijau, kuning, puNh, ungu,
merah, merah muda serta biru.
6. MAKASSAR
Kearifan lokal: ka#o bokko
Kegiatan ini dilaksanakan pada akhir pekan pada bulan Maret-April seNap
tahun, dan kegiatan ini mempertemukan pemilik sawah pekerja sawah
(penggarap) dan pemuka adat untuk duduk bersama membahas masalah
pertanian. Prosesi awal menuju sawah diiringi suara “gandrang”(gendang)
dan gong. Orang-orang berkumpul di rumah adat “balla lompoa”
kemudian berjalan ke sawah tempat panen raya. Satu persatu turun ke
sawah dengan alat pemotong sawah dengan alat pemotong padi
tradisional “anai-anai” di tangan. Upacara ini sebagai pertanda panen
perdana Masyarakat setempat dengan filosofi menjaga keseimbangan
alam. Hasil panen “kaHo bokko” ini setelah melalui prosesi adat< belum
boleh dikonsumsi, tetapi akan disimpan di lumbung padi di atas loteng
rumah adat Balla Lompoa. Barulah padi
tersebut di turunkan dari loteng jika sudah
ada pengganNnya pada musim panen
berikutnya yang sekali setahun prosesi
adatnya. Tradisi ini merupakan wujud
kesyukuran pada yang maha Kuasa atas
hasil panen yang melimpah, dan untuk mengajarkan kepada genrasi muda
arN kebersamaan,berdemokrasi,dan nilai-nilai budaya yang Ndak boleh
tergerus oleh zaman.

7. MAROS
Kearifan lokal: appalili,
Upacara adat "Appalili" yang dilakukan
pihak Kerajaan Adat Marusu
menandai musim tanam di Kabupaten
Maros menjelang akhir tahun. Appalili
merupakan serangkaian upacara adat
yang inNnya adalah turunnya alat-alat
kerajaan menuju sawah kerajaan yang
bergelar 'Turannua' untuk membajak areal sawah pusaka Kerajaan
Marusu. Benda pusaka yang digunakan pada prosesi Appalili itu adalah
"pajjeko" (bajak) yang digunakan secara adat dan dilaksanakan seNap
tahun seNap tanggal 17 November. Hanya saja, jika bertepatan dengan
bulan suci Ramadhan ataupun hari keagamaan dialihkan ke tanggal lain
sesuai kondisi lapangan.Prosesi upacara adat "Appalili" ini diawali dengan
"tudang sipulung" atau silaturrahim dengan duduk bersama para dewan
adat, pemangku adat, keluarga besar. Kerajaan Marusu, pemerintah dan
masyarakat setempat pada Sabtu (16/NOVEMBER) malam Sementara
pada keesokan harinya, seusai salat Subuh, benda pusaka yakni "Pajjeko"
(bajak) diarak ke sawah adat Kerajaan Marusu oleh puluhan keluarga
kerajaan yang menggunakan pakaian adat. Selain itu, juga diiringi
penabuh gendang dan musik tradisional diantaranya pui-pui dan anak
baccing.Khusus prosesi membajak sawah dengan benda pusaka "pajjeko"
yang ditarik dengan dua ekor sapi dipimpin oleh seorang pinaN atau
pelaksana adat.Dengan selesainya prosesi membajak sawah adat itu,
maka masyarakat setempat pun siap turun sawah.

8. PANGKEP
Kearifan lokal: bissu
Bissu merupakan jejak budaya suku bugis pra-islam yang masih bertahan
sampai sekarang. Dahulu bissu bertugas sebagai penasihat pribadi dan
spiritual para raja dan penyambung lidah
antara DEWATA dan manusia. Bissu
barasal dari kara “bessi” yang berarN
bersih, itulah sebabnya mengapa
sebangian besar bissu berjenis kalamin
laki-laki tetapi berkelakuan seperN wanita
( waria ) atau di dalam bahasa bugis
disebut ( calabai ) karena laki-laki Ndak mengalami menstruasi dan Ndak
berpayudara. Golongan bissu sekarang hanya dapat dihitung jari karena
adat bissu dianggap sebagai ajaran sesat, semenjak masuknya ajaran
agama islam di sulawesi selatan. Bissu adalah bukan waria/calabai biasa
melainkan orang yang tahan dan kebal akan senjata tajam. Bissu dipercaya
dapat berbicara bersama para DEWATA karena mampu berbahasa to
rilangiq ( bugis kuno ). Untuk menjadi seorang bissu itu Ndaklah mudah
dan gampang melainkan harus fasih dan mampu berbahasa bugis, dan
Ndak boleh menikah. Seorang Bissu dipimpin oleh seseorang Bissu yang
dituakan dan mendapat restu dari arwah leluhur dan DEWATA. Pada
umumnya pemimpin Bissu disebut PUANG MATOA, walaupun seseorang
yang dianggap sebagai petua itu bukanlah dari golongan bangsawan(
arung ) melainkan dari golongan biasa ( tosama ) tetapi jika ia diangkat
menjadi petua bissu maka otomaNs ia akan diangkat sebagai bangsawan.
Bissu adalah adat dari kab. Pangkep yang berpusat pada kecamatan segeri,
di mana terletak sebuah rumah panggung kuno khas sulawesi yang
terbuat dari kayu yang disebut “ARANGGE”. Rumah atau bola ARAJANGGE
adalah tempat dimana benda-benda kerajaan dan benda-benda pusaka
bissu ditaruh, dimana pada benda-benda itulah dipercaya para kaum bissu
sebagai tempai bersemayamnya arwah -arwah para leluhur mereka. Bola
atau rumah arangge di segeri merupakan tempat mencari kekuatan para
calon bissu. Di rumah inilah kelak pelanNkan bissu akan dilaksanakan.
Bissu pertama sekaligus puang matoa bissu pertama di kabupaten
pangkep bernama “ H. SANDRO SAIKE ” atau dikenal dengan sebutan “
PUANG MATOA SEGERI”. Pada umumnya Puang Matoa Bissu keNka wafat
akan diganNkan oleh putra mahkota bissu ( puang ca’di ), tapi Ndak
menutup kemungkinan bissu lain yang akan mengganNkan puang matoa
untuk jadi puang matoa baru. Seseorang yang siap menjadi puang matoa
bissu akan di rasuki oleh arwah DEWATA atau PUANG MATOA BISSU
TERDAHULU dan dapat mengarNkan naskah kitab LAGALIGO dari bahasa
bugis kuno ( basa to rilangiq ) kedalam bahasa bugis masa sekarang dalam
keadaan Ndak sadar, Umumnya hal ini terjadi setelah bertahun-tahun
puang matoa wafat. Sebelum kerasukan arwah para kandidat pemimpin
bissu akan Nnggal / menetap di bola arajangge tanpa jangka waktu
tertentu, sampai ia sudah merasa mendapat restu dan kekuatan. MA’GIRI
adalah puncak ritual dari para bissu saat melakukan upacara-upacara
adat, MA’ GIRI adalah tarian para bissu dengan menusuk-nusukkan benda
tajam kepada bagian tubuhnya seperN, mata, telapak tangan, dan perut.
KeNka MA’GIRI bissu Ndak dapat ditembus oleh benda tajan seperN keris,
dan badik. Dalam melakukan tarian MA’BISSU ( MA’GIRI ) bissu biasa
diiringi oleh gendang, pui-pui, lae-lae dan berbagai peralatan lain. Pada
saat MA’GIRI, para bissu dirasuki oleh arwah para DEWATA sehingga ia
kebal akan senjata tajam.

9. PINRANG
Kearifan lokal: mappanre tasi
Mappanre Tasi di Sulawesi
Selatan menjadi salah satu
bentuk keanekaragaman
budaya kearifan lokal yang ada
di Kabupaten Pinrang. Budaya
ini sudah ada sejak lama
ditengah masyarakat
pengikutnya hingga saat ini,
meski berada di Tanah Bugis masyarakat Suku Mandar yang pertama kali
membuka perkampungan yang berada di pesisir laut dan
memperkenalkan tradisi ini terhadap warga sekitarnya sebagai upacara
ruNn di seNap bulan april. Budaya kearifan lokal Mappanre Tasi hidup dan
berkembang pada masyarakat nelayan yang mendiami daerah sekitar
pesisir laut, tradisi ini dilaksanakan seNap tahun di bulan April dengan
harapan agar hasil tangkapan ikan di waktu yang akan datang menjadi
lebih banyak. Sedangkan respon masyarakat sekitar terhadap budaya ini
cukup beragam, diantaranya pelaksanaan budaya ini merupakan warisan
dari leluhur yang harus diteruskan ke generasi selanjutnya, dan adanya
klaim dari sebagian tokoh masyarakat bahwa budaya ini menyimpan dari
ajaran Agama Islam. Kemudian salah satu unsur yang termuat dalam
moderasi beragama adalah akomodaNf terhadap budaya lokal, sehingga
budaya lokal Mappanre Tasi menjadi jembatan pemersatu bagi
masyarakat penganut tradisi ini dengan masyarakat disekitarnya.

10.KEPULAUAN SELAYAR
Kearifan lokal: tradisi lesung
Lesung merupakan salah satu simbol
prinsip kehidupan sederhana
dikalangan masyarakat Kabupaten
Kepulauan Selayar, Sulawesi-Selatan
dengan ciri khasnya sebagai
komunitas masyarakat pedalaman
yang masih sangat mempertahankan
dan menjunjung tinggi nilai-nilai
adat-istiadat serta tradisi warisan leluhur mereka. Bagi masyarakat
Kabupaten Kepulauan Selayar, lesung atau yang dalam bahasa lokal
setempat dikenal dengan sebutan “assung” lebih banyak digunakan
penduduk terpencil maupun perkotaan sebagai alat tumbuk tradisional
terutama untuk mengolah beras menjadi tepung pembuatan bahan baku
makanan tradisional sejenis beras jagung atau “te’te”. Tepung yang akan
diolah dituangkan kedalam lubang lesung dan selanjutnya ditumbuk
dengan menggunakan bantuan peralatan berupa “alu” atau sejenis kayu
tebal. Salah satu hal yang menarik, sebab lesung di Kabupaten Kepulauan
Selayar memiliki perbedaan bentuk yang sangat kontras dan unik jikalau
dibandingkan dengan kebanyakan lesung di daerah Pulau Jawa dan
beberapa wilayah di sekitarnya. Bentuk lesung di Kabupaten Kepulauan
Selayar yang berdiri tegak dan hanya dapat digunakan oleh maksimal dua
orang warga masyarakat menjadikan lesung ini berbeda dengan
kebanyakan lesung-lesung di daerah lainnya di Indonesia. Menariknya
lagi, sebab keberadaan mesin pengolah tepung modern sama sekali tidak
menggeser posisi lesung yang telah dimanfatkan secara turun-temurun
oleh masyarakat lokal setempat.
Pemanfaatan lesung di Kabupaten Kepulauan Selayar tumbuh dan
berkembang dari masyarakat pedalaman serta desa-desa terpencil sampai
akhirnya merambah ke sebahagian kecil wilayah kota Benteng sebagai
pusat ibukota kabupaten.

11. SIDENRENG RAPPANG


Kearifan lokal: tudang sipulung
Tudang sipulung merupakan suatu tradisi bagi
masyarakat petani yang dilakukan sebelum dan
sesudah panen padi . Tudang sipulung dikenal oleh
masyarakat petani di Sidenreng Rappang sekitar
abad XV M, yang pertama kali dicetuskan oleh
seorang petani yang terkenal kepintarannya yang
bernama Nenek Mallomo atau dikenal pula dengan
nama La Pagala, beliau adalah ahli piker Suku
Bangsa Bugis pada zamannya. Pada zaman
beliaulah upacara tudang sipulung mulai dilakukan. Adapun maksud
upacara tudang sipulung pada waktu itu antara lain untuk
menyeragamkan waktu pembibitan, untuk menyeragamkan waktu
penanaman, dan untuk menyeragamkan waktu panen. Tradisi Tudang
Sipulung dilaksanakan secara sederhana oleh masyarakat petani di
lapangan, balai Desa, dan bahkan di rumah-rumah sawah sekalipun.
Dalam pelaksanaan acara tersebut, terdapat sejumlah nilai sebagai
pedoman bagi masyarakat petani dalam menjalani akNvitas kehidupan
sehari-hari, baik dalam lingkungan sosial masyarakat maupun keluarga.
Nilai-nilai tersebut melipuN nilai musyawarah, nilai Religius, nilai
Solidaritas, nilai ketaatan/kepatuhan, nilai kesederhanaan, dan nilai
kebersamaan.

12. SINJAI
Kearifan lokal: marrimpa salo

Sinjai memiliki kekayaan laut yang cukup melimpah, dengan menggunakan


potensi inimasyarakat Sinjai,banyak menggantungkan hidup mereka dari
hasil laut.Karena mendapatkn hasil laut yang selalu melimpah,masyarakat
setempat ruNn melaksanakan suatu atraksi budaya yang merupakan ciri
khas masyarakat yaitu “marimpa salo” (menghalau sungai).
Desa Sanjai dan Desa Bua merupakan desa yang menjadi lokasi diadakan
nya tradisi ini yang ruNn diadakan Naptahun, karena tradisi ini dijadikan
sebagai suatu potensi adat dan budaya oleh pemerintah kabupaten
sinjai. Kegiatan ini merupakan ungkapan puji syukur atas keberhasilan
mappaenre bale (menangkap ikan) bagi nelayan seNap tahunnya. Hal
inilah yang menjadikan tradisi ini unik, karena perayaan atas hasil laut
yang dihasilkan di sungai. Tradisi marimpa salo mengandung nilai-nilai
yang menjadi mekanisme penjalin kebersamaan antar warga sejak zaman
dahulu kala yang oleh masyarakat setempat dijadikan sebagai pedoman
dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, diantaranya melalui
Marimpa Salo dibagi dalam beberapa tahap, sebagai berikut:

• Mengadakan musyawarah (Ma’ tanra Esso)


Untuk menentukan waktu pelaksanaan acara marimpa salo dan segala
persiapannya. Setelah musyawarah ini,masyarakat biasanya langsung
bergotong-rotong membantu membersihkan sampah di sisi pinggir
sungai.
• Memasang Baruga Walasuji (tenda)
Yang dibuat dari bambu, dipasang kurang lebih sejauh 30 meter di pinggir
sungai sebagai tenpat para undangan dan warga setempat c
• Mempersiapkan perahu
Perahu yang akan digunakan pada acara inti serta alat musik yang akan digunakan
untuk mengiringi acara marimpa salo.

13. BARRU
Kearifan lokal: marakka’ bola
Tradisi Marakka’ Bola atau biasa juga
diseut Mappalette’ Bola adalah proses
mengangkat atau memindahkan rumah di
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Tradisi ini
muncul karena mayoritas masyarakat Barru
memiliki rumah panggung terutama yang
berada di pedesaan atau kampung yang jauh dari ibu kota
kabupaten rumah orang Bugis (Barru) terbuat dari kayu yang berbentuk
panggung sehingga dapat diangkat jika suatu saat akan dipindah karena
rumah tersebut dijual oleh pemiliknya dan lokasi berdirinya tidak ikut
terjual, atau biasa pula karena si pemilik ingin memindahkan rumahnya
ke lokasi baru yang dianggap lebih baik dan cocok. Rumah bagi
masyarakat Bugis berarti tanah Ibu Pertiwi, warisan yang harus dijaga, jadi
jika seorang warga ingin pindah rumah berarti harus mengangkat satu
rumah utuh ketempat baru. Ada 2 cara untuk memindahkan rumah yaitu
:
Ø Didorong, jika pindahnya dekat maka hanya dengan didorong, baik
kedepan atau ke belakang, menyamping ata menyerong. Ban
dibelakang dipindahkan kedepan secara kontinyu agar tidak
terputus, ban tersebut dibentuk dari kayu hitam yang kuat,
dan diapit oleh dua buah papan, papan pertama menyentuh tanah
dan papan kedua menyentuh kayu-kayu menjadi tiang.
Ø Diangkat, jika jarak pindah cukup jauh, maka rumah tersebut harus
diangkat dengan bantuan masyarakat sekitar. Ditiang-tiang rumah
dipasang bambu dengan tinggi dari tanah sekitar 1,7 meter,
bambu-bambu itulah yang nantinya menjadi penahan rumah dari
goncangan, selain itu dapat menjadi pegangan dan landasan bahu
ketika mengangkat rumah.

14. BONE
Kearifan lokal: sirawu sulo
Sirawu sulo atau perang api adalah ritual
budaya di kabupaten Bone desa Pongka.
Sirawu sulo juga dikenal dengan nama
sirempek api. Sirawu sulo berasal dari dua
kata yaitu sirawu (saling melempar) artinya
yaitu ada dua pihak yang saling
melemparkan sesuatu kepada pihak yang
satu kepada pihak lainnya sedangkan arti sulo (obor) artinya ada dua
pihak yang saling melempar obor menyala yang terbuat dari daun kelapa.
Masyarakat disana meyakini jika tradisi ini tidak dilakukan atau terlambat
dilakukan maka ada bencana yang menimpa masyarakat berupa; gagalnya
panen tahunan,datangnya wabah penyakit,musibah kebakaran dan
bencana lainnya. Desa pongka dibangun oleh sekelompok migran dari
kabuaten Soppeng yang mengasingkan diri yang tidak senang
kesewenang-wenangan penguasa Soppeng. Protes social dikarenakan
sifat penguasa Soppeng yang sangat bertentangan dengan hati Nurani
rakyat, yakni: penindasan, pemerkosaan dan pemaksaan menjadi
motivasi perpindahan ke Pongka. Dalam perjalanan mencari pemukiman,
mereka rujuk pada sebuah bunyi gendang ajaib yang dibunyikan setiap
kali memasuki sebuah wilayah. Pada saat tiba di suatu wilayah, bunyi
gendang mirip dengan suara “ngka” atau ada. Hal inilah yang
menyebabkan penamaan desa Pongka. Atas kesepakatan rombongan
dari Soppeng mereka lalu tinggal di desa Pongka atas seijin raja Bone yang
bertindak sebagai pelopor pada kegiatan pengasingan ke desa Pongka
adalah panglima perang yang Bernama Petta Makkuli Lajengnge. Rumah
masyarakat Pongka waktu itu menghadap kea rah Barat dan rumah
masyarakat Soppeng ke arah Timur sebagai bukti ketidakcocokan antara
keduanya. Mereka juga melakukan “sirawu sulo” yang biasanya diadakan
tiga tahun sekali yang tidak boleh tidak dilaksanakan.
Makna pelaksanaan sirawu sulo sebagai ritual untuk menolak bala pesta
panen kapas, jagung,kacang hijau dan tembakau. Makna Ayam dan
Gendang dalam pelaksanaan ritual sirawu sulo yakni {ayam sebagai
simbol kegembiraan Masyarakat untuk menyambut acara ritual sirawu
sulo}. Dan {gendang sebagai symbol penyemangat bagi Masyarakat desa
Pongka}.
Pelaksanaan ritual dilaksanakan tiga malam berturut-turut yang
berlangsung selama dua jam atau lebih tergantung dari sulo(api) jika
sudah padam. Sebelum ritual berlangsung, laki-laki yang akan mengikuti
ritual wajib diolesi minyak yang sudah diberi mantra atau doa agar kebal
terhadap sulo (api).

15. BULUKUMBA
Kearifan lokal: pasang ri-kajang
Suku Kajang
merupakan salah
satu suku yang
Nnggal di
pedalaman secara
turun temurun, tepatnya di desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kab.
Bulukumba. Masyarakatnya lebih dikenal dengan nama masyarakat
ammatoa kajang. ammatoa adalah sebutan bagi pemimpin adat mereka
yang diperoleh secara turun temurun. Amma arNnya Bapak, sedangkan
Toa berarN yang di Tuakan. Masyarakat ammatoa Kajang dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu rilalang embayya (Tanah Kamase-masea)
lebih dikenal dengan nama Kajang Dalam yang dikenal sebagai kawasan
adat ammatoa dan ipantarang embayya (Tanah Kausayya) atau lebih
dikenal dengan nama Kajang Luar, yang membedakan diantara keduanya
adalah modernitas, di kajang dalam masih sangat memegang teguh adat
dan tradisi dan menolak modernisasi yang dianggap dapat merusak
tatanan norma kehidupan mereka.
Kawasan adat ammatoa suku kajang memiliki nilai kearifan lokal yang
bernama “Pasang”, sebuah pesan lisan dari leluhur yang sangat dijaga dan
terus jalankan. Hal-hal yang bersifat sakral wajib hukumnya untuk ditaaN,
karena diyakini akan menimbulkan hal buruk apabila pasang tersebut
dilanggar. Oleh karena itu, kondisi kawasan adat hingga saat ini masih
terus dijaga keasliannya, hanya sedikit hal yang sudah terpengaruh oleh
modernisasi. Pasang mengatur 4 sendi kehidupan masyarakat adat yaitu
mengenai ketuhanan, kemasyarakatan, pemerintahan, dan pelestarian
alam (hutan). Selain itu juga terdapat nilai kesederhanaan (kamase-
masea) yang menjadi prinsip hidup dalam keseharian masyarakat adat ini.
Ke-empat sendi kehidupan yang diatur dalam pasang dan juga prinsip
kesederhanaan yang akan dijadikan acuan konsep pengembangan
kawasan adat ammatoa yang berbasis lingkungan dan masyarakat.
Sehingga dalam proses pengembangan kawasan secara fisik maupun non
fisik Ndak merusak kondisi asli kawasan adat. Selain itu juga dilihat potensi
sumber daya alam dan masyarakat setempat sebagai arah pengembangan
kawasan adat ammatoa suku kajang.
Dalam pasang terdapat amanah untuk selalu hidup sederhana, selaras dan
menjaga alam, khususnya hutan, karena dari alam tersebutlah mereka
mendapatkan sumber kehidupan. Masyarakat masih sangat memegang
kuat tradisi dan pola hidup yang senanNasa harmonis dengan alam, dan
memiliki sistem sosial dan juga budaya yang unik serta berbeda dari yang
lainnya. Mulai dari kepercayaan, tradisi, adat, sistem sosial, hingga
kehuniannya sangat dipengaruhi oleh alam, bahkan dikawasan ini
masyarakat Ndak menggunakan teknologi yang ada sekarang, seperN
listrik dan barang-barang elektronik. Semua rumah warga dibangun
dengan bentuk yang sama, konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan
sebagai simbol keseragaman. Dalam keseharian Ndak pernah
menggunakan alas kaki dan selalu menggunakan pakaian yang berwarna
hitam. Meski terlihat sangat primiNf, namun mereka juga mengenal
teknologi yang meski masih sangat sederhana.

16. ENREKANG
Kearifan lokal: maccera manurung
Maccera Manurung adalah tradisi yang
dilakukan secara turun temurun oleh
masyarakat Enrekang khususnya di
daerah Kaluppini, Acara Maccera
Manurung ini merupakan salah satu ritual
pengungkapan rasa syukur atas
keberhasilan tanaman pertanian.
Masyarakat sangat antusias untuk
melakukan tradisi ini karena hanya dilakukan setiap 8 tahun sekali. Bukan
masyarakat Enrekang saja bahkan masyarakat dari luar provinsi bahkan
perantau pun berdatangan untuk ikut merayakan upacara adat tersebut.
Upacara ini berlangsung selama 4 hari berturut-turut. Adapun larangan (pemali)
yang tidak bisa di lakukan pada saat di area Maccera Manurung, adalah:
memakai pakaian berwarna kuning; merokok; memakai mas; memakan ubi
jalar, kacang tanah, kambing dan kerbau putih; membawa atau menyalakan
lampu senter atau lampu sorot lainnya; dan membawa senjata tajam.
Upacara adat ini dipimpin oleh tetua adat setempat dan berlangsung dalam
beberapa tahapan. Proses awal yaitu menabuh gendang semalam suntuk
tujuannya untuk membangkitkan tanah. Masyarakat meyakini tanah adalah inti
dari seluruh jagad. Pada hari pertama acara khususnya hari jumat, pada saat
itulah masyarakat melakukan salah satu bagian dari Maccera Manurung yaitu
"mapanongo gandang" yang artinya membawa "turun gendang". Dimana
gendang tersebut di keluarkan dari masjid, lalu dijemur sebentar di atas batu,
kemudian di gantung. Setelah itu gendang dipukul satu sekali sebagai peresmian
pembukaan acara Maccera Manurung.
Ritual selanjutnya yaitu liang wae, yakni mengeluarkan air dari pusat bumi.
Ritual ini diawali dengan berdoa di sebuah lubang tempat air keluar. Lubang
tersebut apabila airnya diambil tidak akan berkurang dan tidak pula bertambah.
Masyarakat setempat meyakini air tersebut membawa berkah. Air itu pun akan
mejadi rebutan oleh masyrakat. Acara keesokan harinya adalah ma'peong yaitu
memasukkan beras ketan ke dalam bamboo kemudian disiram santan lalu di
bakar. Acara Ma'peong ini sebagai sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki
yang telah diperoleh masyarakat.

17. GOWA
Kearifan lokal: accera kalompoang
Accera Kalompoang merupakan
upacara adat untuk membersihkan
benda-benda pusaka peninggalan
Kerajaan Gowa yang tersimpan di
Museum Balla Lompoa. Inti dari
upacara ini adalah “allangiri
kalompoang” yaitu pembersihan
dan penimbangan salokoa
(mahkota) yang dibuat pada abad ke-
14. Mahkota ini pertama kali dipakai oleh Raja Gowa, I Tumanurunga, yang
kemudian disimbolkan dalam pelantikan Raja- Raja Gowa berikutnya. Upacara
ini merupakan salah satu ritual adat yang bersifat sakral, yang sangat diyakini
dan dihormati oleh masyarakat Gowa, Sulawesi Selatan. Prosesinya sendiri
dimulai sejak pemerintahan Raja Gowa ke 14, yaitu I Mangngarangi Daeng
Manrabbia yang bergelar Sultan Alauddin, Raja Gowa yang pertama kali
memeluk agama Islam. Benda-benda kerajaan yang dibersihkan diantaranya:
tombak rotan berambut ekor kuda (panyanggaya barangan), parang besi tua
(lasippo), keris emas yang memakai permata (tatarapang), senjata sakti sebagai
atribut raja yang berkuasa (sudanga), gelang emas berkepala naga (ponto janga-
jangaya), kalung kebesaran (kolara), anting-anting emas murni (bangkarak
taroe), dan kancing emas (kancing gaukang). Selain benda-benda pusaka
tersebut, juga ada beberapa benda impor yang tersimpan di Museum Balla
Lompoa turut dibersihkan, seperti: kalung dari Kerajaan Zulu Filipina, pada abad
XVI, tiga tombak emas, parang panjang (berang manurung) penning emas murni
pemberian Kerajaan Inggris pada tahun 1814 M, dan medali emas pemberian
Belanda. Yang menarik dari pelaksanaan upacara Accera Kalompoang adalah
pada saat penimbangan salokoa atau mahkota emas murni seberat 1.768 gram
dengan diameter 30 cm dan berhias 250 butir berlian. Penimbangan mahkota
tersebut sangat penting bagi petinggi dan masyarakat Gowa, karena
penimbangan itu merupakan petunjuk bagi kehidupan mereka di masa yang
akan datang. Mahkota tersebut tidak pernah diperbaiki dengan menambah
atau mengurangi timbangannya, namun uniknya, pada saat penimbangan
dilakukan dalam ini, timbangan mahkota tersebut sering berubah-ubah,
terkadang berkurang dan terkadang pula lebih. Jika timbangan mahkota
tersebut berkurang, maka itu menjadi pertanda akan terjadi bencana di negeri
mereka. Pernah suatu ketika, timbangan mahkota tersebut berkurang dan
terbukti terjadi tanah longsor di Bawakaraeng yang menelan puluhan korban.
Sebaliknya, jika timbangan mahkota tersebut bertambah, maka itu menjadi
pertanda kemakmuran akan datang bagi masyarakat Gowa. Suatu ketika,
mahkota yang beratnya kurang dari 2 kilogram ini tidak dapat diangkat oleh
siapa pun, bahkan 4 orang sekaligus berusaha mengangkatnya, namun tetap
saja tidak sanggup. Secara logika, kejadian yang aneh itu sangat sulit untuk
dipercaya. Namun, karena telah terbukti, para keturunan Raja-raja Gowa serta
masyarakat umum sudah meyakininya. Oleh karena itu, mereka senantiasa
mendukung dan memelihara tradisi upacara Accera Kalompoang yang mereka
anggap sakral ini. Pencucian benda-benda kerajaan tersebut menggunakan air
suci yang diawali dengan pembacaan surat Al-Fatihah secara bersama-sama
oleh para peserta upacara yang dipimpin oleh seorang Anrong Gurua (Guru
Besar). Khusus untuk senjata-senjata pusaka seperti keris, parang dan mata
tombak, pencuciannya diperlakukan secara khusus, yakni digosok dengan
minyak wangi, rautan bambu, dan jeruk nipis. Pelaksanaan upacara ini tidak
hanya disaksikan oleh para keturunan Raja-Raja Gowa, tetapi juga oleh
masyarakat umum dengan syarat harus berpakaian adat Makassar pada saat
acara. Accera Kalompoang merupakan upacara adat untuk membersihkan
benda-benda pusaka peninggalan Kerajaan Gowa yang tersimpan di Museum
Balla Lompoa.
18. LUWU
Kearifan lokal: ma’bunga lalang
Tradisi ma’bunga’ lalang adalah serangkaian
praktik/ritual selama kegiatan pertanian atau
persawahan yang dipimpin oleh seorang
bunga’ lalang. Praktik/ritual dalam tradisi
ma’bunga’ lalang dilakukan demi mendukung
perolehan hasil pertanian yang baik di satu
desa. Dari hasil penelitian pendahuluan yang
dilakukan, sejauh ini belum ada penelitian terkait tradisi ma’bunga’ lalang
hanya ada sedikit dokumen yang menyebutkan tentang tradisi ini.
Terlebih lagi, tradisi ma’bunga’ lalang juga sekarang jarang dilakukan oleh
masyarkat Luwu karena tergerus modernitas dan terbentur religuisitas.
Secara literal ma’bunga’ lalang berarti “melakukan praktik bunga’ lalang”.
Frasa bunga’ lalang terdiri atas dua kata dalam Bahasa Tae’, bahasa
daerah Luwu, yaitu bunga’yang berarti “pertama” dan lalang yang berarti
“jalan”. Istilah bunga’ lalang awalnya mengacu kepada orang yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam membuka lahan
pertanian atau menentukan waktu pertanian. Tugas utama seorang
bunga’ lalang adalah memimpin petani dalam setiap tahapan pertanian
mulai dari pembukaan lahan sampai pasca panen. Istilah bunga’ lalang
belakangan mengacu kepada keseluruhan tradisi pertanian / persawahan
di Luwu.Penjelasan singkat tentang bunga’ lalang terdapat dalam
Ensiklopedi Budaya Luwu bahwa bunga’ lalang adalah orang yang
memiliki pengetahuan yang baik tentang menanam padi orang yang
pertama turun ke sawah pada musim tanam; bunga’ lalang mengetahui
waktu yang baik untuk menanam padi, musim hujan, dan waktu
munculnya hama. Bunga’ lalang juga pernah disebut dalam website
pemerintah daerah, luwukab.go.id, bahwa pada tahun 2012 Bupati
Kabupaten Luwu menghadiri agenda bunga’ lalang di Desa Salubua,
Kecamatan Suli Barat. daya. Praktik/ritual dalam tradisi ma’bunga’ lalang
dapat dilakukan di tempe’ bunga’ lalang (sawah yang diberikan secara
turun temurun kepada bunga’ lalang), di sawah lain di desa, atau bahkan
di keseluruhan wilayah persawahan di desa; hal ini berdasarkan keperluan
dan kesepakatan masyakarat desa.
Wujud praktik/ritual dalam tradisi ma’bunga’ lalang, baik yang dilakukan
oleh bunga’ lalang sebagai perwakilan masyarakat atau yang dilakukan
bersama-sama masyarakat desa, berupa tindakan (gau-gau) dan tuturan
(pau-pau). Terkhusus untuk tuturan, ada bagian yang disebut mappisa’bi
yang dalam tradisi ini berarti menyapa lingkungan alam, alam gaib, dan
pencipta keseluruhan alam. Tahapan kegiatan tradisi ma’bunga’ lalang
mengikuti semua tahapan pertanian selama satu musim tanam untuk
melakukan mappammula mipare di sawah, ia mendatangi sawah yang
akan lebih dahulu dipanen menggunakan mesin combine harvester.
Bunga’ lalang duduk di sudut sawah tersebut dan memilih tanaman padi
dengan ciri-ciri khusus lalu mengikat cabang/daunnya bagian bawah dan
sampingnya. Ia mengusap buah padinya sambil mengucapkan pau-pau
diikuti dengan gau-gau tertentu. Bunga’ lalang memegang tanaman padi
dengan tangan kiri dan sabit dengan tangan kanan sambil membisikkan
pau-pau berikutnya. Setelah beberapa saat, bunga’ lalang memotong padi
di tengah-tengah cabang bagian atas sembari membaca takbir. Ia pun
memberi perlakuan (gau-gau) terhadap bagian yang terpotong dan
tanaman yang dipotong.Mendistribusikan sedekah biasanya dilakukan
setelah butir padi digiling menjadi beras. Para petani memberikan beras
hasil panen mereka seikhlasnya kepada bunga’ lalang yang dikumpulkan
dalam bandala (kotak penyimpanan yang terbuat dari kayu). Setelah
terkumpul, bunga’ lalang biasanya membicarakan dengan kepala desa
tentang siapa yang pantas menerima sedekah beras. Ia lalu membagikan
sedekah tersebut kepada penduduk desa yang dianggap berhak. Bunga’
lalang biasanya juga diminta memakan nasi pertama yang dimasak dan
mendoakannya.

19. LUWU UTARA


Kearifan lokal: toke’ sampa’
Tradisi toke’ sampa’ adalah tradisi
di sebuah desa di Luwu Utara.
Toke’ dalam bahasa Luwu adalah
gantung dan Sampa’ adalah
sejenis kain segi empat yang
digunakan untuk menutup plafon
atau langit-langit rumah. Jadi
tradisi toke’ sampa’ ini adalah tradisi menaikkan atau menggantung kain
yang dinamakan mawa’ sekarang terbuat dari kain biasa yang dianggap
sakral karena mawa’ sudah langka. Jadi Toke’ Sampa’ artinya menaikkan
atau menggantung kain pusaka sebagai gambaran pelaksanaan pesta
yang masih dianggap sakral. Tradisi ini digelar pada saat masyarakat
menggelar suatu acara, baik itu pada acara gau (pesta) seperti
pernikahan, aqiqah, masuk rumah baru, serta acara kematian. Adapun
tahapan – tahapan dalam pelaksanaannya yaitu ada dua aturan adat
mengenai tradisi toke’ sampa’ ini ada yang disusu’ dan ada yang di
gantung biasa. Maksudnya jika pestanya biasa-biasa saja, dalam artian
tidak ada yang dipotong seperti kerbau, atau sapi maka sampa’ tersebut
hanya diikat dengan katimbang (sejenis tanaman patikala yang biasanya
tumbuh didalam hutan) tapi karena sekarang tumbuhan tersebut sudah
jarang atau sulit ditemukan maka diganti dengan tali rapia yang mudah
didapatkan sekarang tetapi jika pestanya ada hewan berkaki empat
seperti kerbau atau sapi maka sesuai aturan adat sampa’ itu disusu’
dengan bulo( semacam bambu kecil ) jika itu pesta hidup (pernikahan,
aqiqah, masuk rumah baru). Tetapi jika pesta kematian, maka
menggunakan pelapah rotan. Cara menggantungnya juga berbeda jika
gau tuo (pesta hidup) posisi bulonya dipasang searah dengan pintu masuk
rumah pangkal bulonya menghadap kedepan/keluar dan ujung bulonya
itu menghadap kedalam. Sedangkan jika gau mate (pesta kematian) pintu
rumah di palang dan jika pintu ke arah timur maka bulonya menghadap
ke selatan hal ini bermaksud untuk jika ada orang meninggal itu yang
terakhir, karena pintunya di palang maka tidak ada lagi yang selanjutnya.
Dalam tradisi ini seluruh perangkat adat harus ada baik masyarakat, tokoh
agama dan pemerintah, lalu sampa’ tersebut akan diletakkan diatas
nampan dan di letakkan di tengah kemudian diberi air putih segelas lalu
sampa’ tersebut di pegang oleh yang dituakan disitu kemudia mengambil
air putih itu lalu di percik-percikkan ke sampa tersebut sambil membaca
doa, kemudia dia memasukkan bulo tersebut ke sampa yang ingin di
gantung.Prosesi adat ini diyakini jika tidak dilaksanakan akan
mendatangkan musibah.

20. LUWU TIMUR


Kearifan lokal: tari moriringgo
Tari Moriringgo merupakan tari tradisional
kerakyatan. Tari rakyat adalah tarian yang
sudah mengalami perkembangan sejak
zaman masyarakat primiNf sampai
sekarang. Pada dasarnya segala akNvitas
yang dilakukan manusia adalah untuk
memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, seperN belajar, bekerja,
bermain, dan berkesenian. Kebutuhan yang terakhir tersebut erat
hubungannya dengan pemenuhan santapan esteNs. Peranan tari sebagai
cabang kesenian bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan itu, tetapi
juga dapat menunjang kegiatan manusia. Fungsi tari dalam kehidupan
manusia adalah untuk kepenNngan upacara, untuk hiburan, sebagai
seni pertunjukan, dan media pendidikan, sedangkan fungsi tari
moriringgo bagi kehidupan adalah berfungsi sebagai hiburan. Secara
tradisionil, masyarakat Luwu Timur masih menyimpan banyak kearifan,
yang dulu dimanfaatkan oleh leluhur mereka sebagai sarana persatuan
dan kesatuan. Salah satu di antaranya adalah upacara padungku yang
dilakukan seNap selesai panen dengan sejumlah kesenian, salah satu
antaranya adalah seni tari moriringgo dan mongkaliboe, tari
kegembiraan dan kesyukuran atas berhasilnya panen mereka.Kata
moriringgo dalam bahasa PadoeberarN halangan atau rintangan.
Tarian moriringgo adalah tarian yang bertendensi kemenangan
yang penuh kegirangan/suka cita. Tarian moriringgo ditampilkan pada
acara-acara syukuran; disamping pada acara syukuran karena panen yang
berhasil, juga pada acara syukuran menyambut Pongkiari yang pulang
berperang dan menang, serta acara syukuran menyambut Saliwu
waktu pulang dari Palopo menebang pohon Langkenae. Bunyi tongkat
yang dipukul-pukulkan secara berirama oleh para penari melambangkan
bunyi alu yang dipukul-pukulkan ke pinggir lesung secara bersahut-
sahutan oleh para muda- mudi yang sedang menumbuk padi sambil
bercengkrama ria.Tarian moriringgo diiringi dengan dentuman
gendang dan gong yang sekaligus memberikan semangat kepada para
penari, juga diiringi nyanyian syair lagu berisi puja dan puji terhadap
keindahan dan kekayaan alam “Wute Nuha” karena sifatnya yang riang
gembira.Tarian moriringgo pada dewasa ini sering ditampilkan pada
event-event penNng. Termasuk menyambut tamu-tamu atau pejabat-
pejabat penNng yang berkunjung di Kab LuNm, bahkan sering juga
ditampilkan pada hari-hari raya nasional. Tarian moriringgo adalah
salah satu tarian andalan atau kebanggaan di Kab LuNm

21. KOTA PALOPO

Kearifan lokal: mapacekke wanua

Mapacekke wanua adalah salah satu ritual


adat yang bertujuan melakukan rekonsiliasi
untuk memulihkan keseimbangan kesatuan
ikatan masseddi’ siri’ di dalam menciptakan
suasana harmonis dan dinamis yang akan
mendatangkan berkah berupa kedamaian
dan kesejahteraan bersama. Ritual ini sering diadakan seNap tahun
KeNka negeri dilanda masalah/konflik, bencana, malapetaka dan
suasana perang. Proses pelaksanaan ritual ini dilaksanakan selama 1
minggu dengan berbagai macam ritual pendukungnya. Sebelum
properN ritual dipasang, terlebih dahulu seorang sesepuh adat daNng
ke lokasi untuk melakukan accera’ atau memberi tumbal darah
Binatang diiringi dengan doa untuk memohon keselamatan, agar
pelaksanaan ritual bisa berjalan bisa berjalan dengan baik.
Setelah persiapan lokasi ritual rampung, maka dilakukan prosesi
massolo’ atau mengundang. Pelaksanaan ritual mengunjungi rumah
DATUK LUWU untuk menyampaikan undangan sekaligus meminta
restu pelaksanaan ritual. Kunjungan ini diiringi dengan berbagai
macam hadiah yang disimpan dalam wadah bosara’ sebagai
penghargaan kunjungan untuk datuk. Elemen utama dalam proses
ritual ini adalah air. Ketika tamu dan undangan sudah berkumpul
ditempat ritual, diadakan perjamuan serta penampilan berbagai tarian
tradisional sembari dipersiapkanlah sebuah ritual khusus yaitu
malekke’ wae. Ritual ini untuk mengambil air pada suatu tempar yang
dianggap memiliki tuah atau berkah berdasarkan sejarahnya. Sang
pembawa wadah air adalah seorang gadis kecil belum akil baliq.
Wadah air di bungkus plastik lalu di peluk dengan khidmat. Para tamu
kemudian beriringan menuju lokasi pengambilan air berupa sumur
yang mempunyai Sejarah tersendiri yang ditentukan oleh pemangku
adat.

22. KOTA PAREPARE


Kearifan lokal: tudang loang loma
Tradisi ritual tudang loang loma
merupakan budaya lokal yang seNap
tahun digelar oleh kalangan petani di
Kelurahan Watang Bacukiki, Kota
Parepare untuk menentukan waktu
tanam yang tepat. Tudang berarN
duduk, loang berarN luas, dan oma
berarN rumah.
Jadi Tudang Loang Loma biasa juga disebut Tudang Loang Ruma, kata
ruma diarNkan sebagai rumah atau ruangan yang luas untuk duduk
bersama atau secara isNlah diarNkan sebagai tempat berkumpulnya
masyarakat atau petani untuk melakukan musyawarah guna mencapai
kesepakatan tertentu. Dalam ritual ini, petani berkumpul membentuk
lingkaran di tengah sawah mengelilingi dua ekor sapi, sementara
seorang pemuka adat melantunkan doa-doa di kerumunan orang
tersebut. Tujuannya, menunggu kedua sapi itu mengeluarkan air
seninya (kencing), sebagai tempat pertama kali ditanami benih padi.
Tudang loang loma, secara harfiah ‘tudang’ berarN duduk, ‘loang’
berarN luas, dan loma yang berarN rumah. Jadi tudang loang loma bisa
diarNkan sebagai rumah atau ruangan yang luas untuk duduk bersama
atau secara isNlah diarNkan sebagai tempat berkumpulnya masyarakat
atau petani untuk melakukan musyawarah guna mencapai
kesepakatan tertentu. Acara tudang loang loma dilakukan sejak zaman
nenek moyang para petani di Parepare dan turun temurun hingga saat
ini yang dilaksanakan menjelang musim tanam Nba, guna menentukan
jadwal tanam yang tepat. Latar belakang kegiatan tudang loang loma,
adalah adanya kepercayaan masyarakat terhadap ’to manurung’ yang
dianggap sebagai ’arung’ (raja) pertama di Bacukiki. Saat itu
masyarakat melihat sinar api di Buluroangnge dan cahaya itu berubah
menjadi seseorang dan diangkatlah dia menjadi raja. Sebelum
mallinrung atau mallajang (lenyap) dia berpesan kepada anak-anak dan
cucunya, bahwa iko anak cucukku mateppei ko engka melo mupagau
enrekko mai lokomai mappesabbi nakoporano enreko mai (wahai anak-
anak dan cucuku jika kalian hendak mengadakan kegiatan penNng
naiklah ke sini (Buluroangnge) untuk bermohon doa restu dan setelah
kegiatan kalian selesai kembalilah ke sini).

23. JENEPONTO
Kearifan lokal: pappuli
Pappuli merupakan seni
tradisional yang diwarisi secara
turun temurun oleh masyarakat
khususnya dalam lingkungan
Jeneponto. Kata pappuli
bermakna penyempurnaan.
Tradisi ini berupa ritual
penyempurnaan dalam
pewarisan ilmu bela diri. Biasanya dilakukan pada ujian terakhir keNka
harus memilih diantara kedua pamancak. Adanya pengaruh
perkembangan zaman, kemajuan teknologi, komunikasi, dan informasi,
mengakibatkan perubahan besar dalam sendi-sendi kebudayaan
masyarakat. Apalagi yang berkaitan dengan cara pandang masyarakat
terhadap hal yang disebut tradisi atau tradisional.
Sejarah mencatat, pappuli adalah tradisi pada bela diri lokal khususnya
Jeneponto telah mengalami perkembangan dan pergeseran.
Perubahan itu dapat dilihat dari makna tradisi yang bergeser. Berasal
dari sebuah perisNwa dan kondisi yang menjadi NNk awal dari
pergeseran tersebut. Kondisi yang dimaksud Ndak terlepas dari
globalisasi yakni masuknya pengaruh dan munculnya berbagai macam
bela diri dari luar, seperN karate, taekwondo, dan lainnya. Kondisi
tersebut menggambarkan pergeseran pappuli yang Ndak lagi
digandrungi. Masyarakat cenderung menyukai bela diri yang baru
karena dianggap lebih modern. Adanya perubahan yang terjadi akan
menciptakan makna baru terhadap esensi dari tradisi pappuli dalam
lingkungan masyarakat Jeneponto.
Adapun makna-makna simbol yang terkandung dalam tradisi pappuli
ini adalah:
1) makna religious, merupakan bentuk keyakinan manusia dan bentuk
pengEsaan kepada Allah SWT;
2) Simbol kesederhanaan dan rendah haN, ada dalam pakaian yang
dikenakan. Tidak ada aturan dan ketentuan yang mengikat dalam hal
pakaian. Hal ini menggambarkan tentang kesederhanaan seseorang
dalam hidupnya. Kerendahan haN perlu dimiliki siapa pun dan
bagaimana pun kedudukan seseorang dalam masyarakat;
3) Makna gotong royong dan silaturahim, setelah seorang memperoleh
pelajaran pappuli dalam bela diri maka dilanjutkan dengan saling
mematan sesama anggota perguruan. Terlebih keNka selesai
bertarung antara perguruan. Hal ini dilakukan sebagai bentuk
silaturrahmi;
4) Keberanian dan tanggung jawab, keberanian dalam ajaran pappuli
adalah berani berNndak apabila dalam keadaan genNng baik itu keNka
menghadapi musuh ataupun dalam kondisi lainnya.

24. BANTAENG
Kearifan lokal: a’dupa

Menurut H. Rasid tokoh agama di Dusun


Parang labbua, A’dupa merupakan
kegiatan membaca Doa secara bersama
untuk dikirimkan kepada para leluhur
atau sering disebut tau mangeanga riolo
artinya, orang atau keluarga,almarhum
yang telah meninggal,” Ungkapnya. Tradisi A’dupa selalu dilakukan oleh suku
Bugis Makassar untuk menyambut atau merayakan sebuah acara di dahului
dengan ritual A’dupa atau sering juga disebut “Suro Maca”. Ritual ini dilakukan
dengan menggunakan media api dan kemenyan yang disebut pa’dupaan,
sebagai pengantar doa yang menghasilkan aroma harum, sembari membacakan
doa dan diikuti lantunan “Zikir”. Selain mengirimkan doa, tradisi SuroMaca ini
pun menjadi sebuah penghormatan kepada leluhur yang telah tiada dan sebagai
cara untuk membersihkan jiwa dan Rohani. Uniknya, acara ini menyajikan
beragam makanan,buah pisang unti tekne(pisang manis) unti lompo (pisang
raja) kakdoro maksingkulu, Baje’ dan onde-onde. Mereka percaya bahwa pisang
Manis sebagai simbol kehidupan selalu disertai keceriaan dan pisang raja
sebagai simbol kebesaran. Harapannya agar para pemilik rumah yang memiliki
hajat mendapatkan manisnya kehidupan, seperti bertetangga dan berumah
tangga. Selain itu kemenyang (dupa) yang Kamu jumpai menjadi sebuah simbol
harum yang dipercaya agar pemilik rumah namanya harum di tengah
masyarakat.

KEARIFAN LOKAL PROVINSI DI INDONESIA

1. NANGGROE ACEH DARUSSALAM


Kearifan lokal: tulak bala
Uroe tulak bala (hari tolak bahaya)
atau juga dikenal dengan sebutan
Rabu abeh (Rabu terkahir dibulan
safar) merupakan tradisi turun
temurun yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat Aceh terutama
yang Nnggal di wilayah pesisir
pantai.
Tradisi ini dilakukan seNap tahun pada akhir bulan safar kalender
islam. Kenapa bulan safar? Karena menurut sebagian masyarakat Aceh,
bulan safar dikenal dengan bulan yang membawa suasana kurang baik
terhadap kesehatan fisik maupun psikis, aura Ndak baik di bulan safar
dipercaya mudah terkena berbagai macam gangguan dan jenis penyakit,
salah satu contoh penyakitnya adalah ta'eun yang sering menyerang
ternak terutama ayam.
Tradisi tulak bala dilakukan guna meminta permohonan dan
perlindungan kepada Allah SWT dengan cara melakukan shalat sunnah
(shalat tulak bala), membaca Al-Quran, berdoa dan membaca shalawat
secara bersama-sama di masjid, pinggir pantai, hamparan sawah dan lain
sebagainya. Kemudian dilanjut ditempat terbuka seperN laut atau sungai
warga datang untuk sekedar duduk sambil makan atau mandi bersama
keluarga.
Tradisi ini banyak berkembang di wilayah barat selatan Aceh seperN
Aceh barat, Aceh barat daya, Aceh selatan, Nagan raya dan Aceh Singkil.
InN dari tradisi ini ialah doa bersama yang dipimpin oleh seorang teungku.
Di beberapa daerah juga ada juga kegiatan mandi kembang bersama
dengan tujuan membuang seluruh aura negaNf.

2. SUMATERA UTARA
Kearifan lokal: fahombo (lompat batu)
Tradisi Lompat Batu biasanya
dilakukan para pemuda dengan cara
melompaN tumpukan batu seNnggi 2
meter untuk menunjukkan bahwa
mereka sudah pantas untuk dianggap
dewasa secara fisik.
Selain ditampilkan sebagai acara
adat, Tradisi Lompat Batu ini juga bisa
menjadi pertunjukan yang menarik, khususnya bagi para wisatawan yang
datang ke sana. Adalah Desa Bawomataluo, salah satu desa adat di
Kabupaten Nias Selatan yang sangat kental dengan Tradisi Lompat Batu.
Bawomataluo, dalam bahasa Nias, berarN bukit matahari. Sesuai dengan
letaknya yang berada di atas bukit dengan keNnggian 324 meter di atas
permukaan laut, dibangun berabad-abad lalu. Sebagai bentuk perhaNan
pada budaya yang ada di Desa Bawomataluo, Kementerian Sosial
(Kemensos) memberikan bantuan Program Kearifan Lokal sebesar 50 juta
rupiah untuk membantu melestarikan kebudayaan tradisi lompat batu.
Program Kearifan Lokal ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan
antar warga setempat sehingga dapat mencegah terjadinya konflik-konflik
sosial.
Tradisi Lompat Batu telah berlangsung berabad-abad yang lalu. Tradisi
dilestarikan bersama budaya megaliNkum di pulau seluas 5.625 km2 yang
berpenduduk 700.000 jiwa dan di kelilingi Samudera Hindia. Tradisi
Fahombo diwariskan secara turun-temurun pada anak laki-laki. Namun,
Ndak semua anak laki-laki sanggup melakukan tradisi ini, meskipun
mereka telah dilaNh sejak kecil. Masyarakat Nias percaya bahwa selain
laNhan ada unsur magis dari roh leluhur untuk seseorang yang berhasil
melompaN batu dengan sempurna. Awalnya, tradisi lompat batu berasal
dari kebiasaan berperang antar desa suku-suku di pulau Nias. Masyarakat
Nias memiliki karakter keras dan kuat diwarisi dari budaya pejuang
perang. Dahulu, suku-suku di Pulau Nias sering berperang karena
terprovokasi oleh rasa dendam, pembatasan tanah, atau masalah
perbudakan. Masing-masing desa lalu membentengi wilayah dengan batu
atau bambu seNnggi 2 meter. Mereka juga harus dapat melompaN batu
bersusun seNnggi 2 meter tanpa menyentuh permukaannya sedikitpun
sebagai tes akhir.

3. SUMATERA BARAT
Kearifan lokal: upacara tabuik
Upacara tahunan ini sudah ada
sejak abad 19 Masehi. Lebih
tepatnya, tradisi tabuik sudah ada
sekitar tahun 1826 atau 1828
Masehi. Diyakini bahwa tradisi ini
dibawa oleh para penganut Syiah
yang berasal dari India. Pada tahun
1910, para ketua suku di Sumatera Barat melakukan diskusi mengenai
perayaan ini. Kesepakatan yang didapatkan adalah menyesuaikan upacara
tersebut dengan adat dan budaya Minangkabau.
Upacara Tabuik diadakan seNap tanggal 10 Muharram. Nama dari tradisi
ini berasal dari kata Tabot atau Tabuik, yang diambil dari bahasa Arab, yang
berarN peN kayu. Dalam riwayat dan sejarah nabi, jenazah Hussein yang
gugur dalam perang dimasukkan ke dalam peN kayu tersebut. Setelah itu,
peN kayu tersebut diangkat ke langit oleh Buraq. Buraq sendiri
digambarkan sebagai makhluk berbentuk kuda bersayap yang dapat
terbang dan berkepala manusia.
Rangkaian pelaksanaan tradisi ini Pariaman terdiri dari beberapa tahap
ritual, yaitu mengambil tanah, menebang batang pohon pisang, Bacakak,
Maatam yang dilanjutkan dengan mengarak jari-jari, ritual mengarak
sorban, Tabuik naik pangkat, Hoyak Tabuik, dan melarung ke laut.
Tahapan pertama adalah prosesi mengambil tanah atau sering disebut
maambiak tanah pada tanggal 1 Muharram, tanggal dimulainya upacara
ini. Tetua upacara ini akan mengambil segumpal tanah dari sungai pada
sore hari, dan melibatkan tetua dari Tabuik Pasa dan Subarang. Masing-
masing tetua mengambil segumpal tanah dari wilayah yang berlawanan.
Kemudian, tanah yang sudah diambil oleh para tetua tersebut dimasukkan
ke dalam sebuah wadah kayu yang disebut sebagai daraga, simbol dari
makam Hussein. Makna dari prosesi ini adalah untuk mengingatkan
bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Tahapan
kedua yaitu menebang batang pohon pisang atau disebut juga dengan
Manabang Batang Pisang. Ritual Manabang Batang Pisang diarNkan
sebagai ketajaman pedang yang digunakan pada saat perang, serta
penyimbolan keNka Husein wafat di medan perang. Prosesi ini dilakukan
oleh seorang pria dengan pakaian silat, dan batang pisang yang ditebang
harus dilakukan satu kali saja. Batang pisang yang sudah ditebas tersebut
kemudian dimasukkan ke dalam daraga.
Tahapan keNga adalah Bacakak atau ritual tari yang menyerupai
perkelahian yang dilaksanakan oleh dua kelompok. Tarian ini
menggambarkan dua kelompok yang sedang melakukan peperangan yang
terjadi di Karbala.
Setelah itu prosesi akan dilanjutkan dengan Ritual Maatam yang dilakukan
oleh para perempuan. Para perempuan akan berjalan mengelilingi Daraga
sambil membawa jari-jari, sesaji, pedang, dan sorban. Mereka
mengiringi daraga sambil menangis dan meratap sebagai simbol
peratapan terhadap para korban yang wafat atau gugur dalam perang
Karbala.
Tahapan selanjutnya adalah ritual mengarak sorban yang dilaksanakan
pada petang hari tanggal 8 Muharram. Pelaksana upacara akan
menginformasikan kepada masyarakat bahwa Husein sudah terbunuh.
Ritual ini akan diiringi dengan bunyi bunyian dari gendang Tasa.
Selanjutnya adalah ritual naik pangkat yang dilaksanakan pada tanggal 10
Muharram dini hari. Prosesi ini adalah penyatuan Tabot atau Tabuik
menjadi utuh. Setelah itu akan diarak ke pantai, dan prosesi Hoyak Tabuik
dilaksanakan. Arak-arakan ini diiringi oleh gendang dalam perjalanan
menuju pantai sembari mengajak semua masyarakat untuk ikut
meramaikan prosesi ini.
Setelah mencapai pantai, prosesi terakhir akan dilakukan yaitu melakukan
larung. Tabot atau Tabuik akan dilarung ke laut pada sore hari

4. SUMATERA SELATAN
Kearifan lokal: tepung tawar
PrakNk tepung tawar masih tumbuh
dan berkembang di Sumatera
Selatan sebagai bentuk kearifan
budaya yang dapat digunakan
sebagai sarana resolusi konflik dan
kohesi sosial dalam suatu
masyarakat. Kearifan lokal tepung
tawar berisi pilar karakter yang
berfungsi untuk mempertahankan kesatuan dalam keluarga besar atau
lingkungan.
Makna pada dasarnya terbentuk berdasarkan hubungan antara lambang
komunikasi (simbol), akal budi manusia penggunanya. Makna Simbol yang
terkadung pada alat kegiatan budaya adat tradisi tepung tawar. Beras
kunyit, basuh dan berNh yang dihamburkan dibagian bahu kanan dan kiri,
maksudnya ucapan selamat dan gembira. Merenjis dibagian kening atau
dahi maksudnya berpikirlah sebelum berNndak, merenjis pada bahu
kanan dan kiri maksudnya memikul beban dan rasa tanggung jawab,
merenjis pada punggung tangan dan kiri maknanya dalam mencari rezeki
hendaklah berikhNar (berusaha) dalam menjalankan bahtera kehidupan.
Mengalin telur atau menggolekkan telur di bibir maksudnya meneruskan
keturunan dan ketulusan haN yang sakinah, mawadah, warrahmah.
Mencecahkan sedikit inai atau mengoles ke telapak tangan kanan dan kiri
maksudnya menandakan mempelai sudah berakad nikah. Do’a selamat
sebagai penutup acara tepung tawar bertujuan untuk mendapatkan
berkah dari Allah SWT. Tepung Tawar juga bermakna memohon do’a restu
dari hadirin serta bermakna menghindarkan diri dan keluarga dari
marabahaya, menghadirkan kegembiraan atau kesenangan, serta
membuang penyakit.

5. BENGKULU
Kearifan lokal: tabot
Upacara Tabot/Tabuik merupakan
sebuah tradisi masyarakat di Bengkulu
dan di pantai barat Sumatera Barat,
yang diselenggarakan secara turun
menurun. Upacara ini digelar di hari
Asyura yang jatuh pada tanggal 10
Muharram dalam kalender Islam untuk
memperingaN kemaNan cucu Nabi
Muhammad, Husein. Orang Minang pada umumnya menyebutkan kata
Tabuik berasal dari kata Tabut dan orang Pariaman khususnya melafazkan
Tabuik. Ini disebabkan pengaruh dialek Minang dimana konsonan akhir
huruf"t" akan dilafalkan "ik"seperN takut menjadi takuik, larut menjadi
laruik dan sebagainya. Menurut beberapa sumber tabuik adalah peN kayu
yang dilapisi emas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tabuik atau
tabut adalah sebuah peN yang terbuat dari anyaman bambu yang diberi
kertas berwarna, kemudian dibawa arak-arakan pada hari peringatan
Hasan dan Husein tanggal 10 Muharram. Upacara tabuik sekarang telah
menjadi agenda tahunan tradisi masyarakat Padang Pariaman seNap
tanggal 1-10 Muharram.
Tabuik berasal dari bahasa Arab Melayu yang arNnya peN atau keranda
yang dihiasi bunga-bunga dan kain berwarna-warni dan kemudian dibawa
berarak-arak keliling kampung. Sedangkan pengerNan tabuik di Pariaman
adalah sebuah keranda yang diibaratkan sebagai usungan mayat Husein
Bin Ali yang terbuat dari bambu, kayu rotan yang dihiasi bunga-bunga
"salapan". Pada bagian bawah tabuik terdapat seekor kuda bersayap
berkepala manusia yang disebut buroq dan pada bagian atasnya terdapat
satu tangkai bunga salapan yang disebut sebagai puncak tabuik.
Secara harfiah tabuik berarN peN atau keranda yang dihiasi bunga-
bungaan dan dekorasi lain yang berwarna-warni dan kelengkapan lain
yang menggambarkan Buraq (seekor kuda bersayap berkepala manusia).
Secara simbolik, tabuik menggambarkan kebesaran Allah SWT yang telah
membawa terbang jenazah imam Husein ke langit dengan buraq sebagai
medium orang yang meninggal secara mengenaskan saat terjadi perang di
Karbala, Madinah.
Tradisi ini bersifat kolosal, karena melibatkan banyak orang, mulai dari
tahap persiapan, pelaksanaan dan tahapakhir penyelesaian puncakacara.
Keterlibatan kelembagaan maupun pemerintah daerah, masyarakat
setempat, juga pihak lain dari luar daerah Pariaman mempunyai andil
cukup besar dalam berlangsungnya Upacara Tabuik.Secara kuanNtas
Upacara Tabuik merupakan keramaian sosial yang terbesar di wilayah
Padang Pariaman.
Beberapa hari sebelum prosesi tabuik dimulai terlebih dahulu masing-
masing rumah tabuik mendirikan sebuah tempat yang dilingkari dengan
bahan alami (pimpiang) empat persegi dan didalamnya diberi tanda
sebagai kiasan bercorak makam yang dinamakan dengan "daraga". Fungsi
dari daraga adalah sebagai pusat dan tempat alat ritual, merupakan
tempat pelaksanaan maatam.

6. RIAU
Kearifan lokal: batobo (arisan tani)
Secara umum, batobo dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian yaitu batobo biasa dan
batobo pasukuan. Batobo biasa merupakan
tobo yang memiliki anak tobo berasal dari
warga masyarakat tanpa memandang suku,
sedangkan batobo pasukuan merupakan batobo yang memiliki anak tobo
berasal dari satu suku yang sama. Batobo biasa dilaksanakan atas
persetujuan pimpinan kampung, sedangkan batobo persukuan
berdasarkan persetujuan ninik mamak dalam suku yang batobo.
Pelaksaan batobo juga diiringi dengan penyiapan penganan secara
bersama dan pertunjukan berbagai kesenian. Penganan yang disediakan
berupa panganan yang umum disediakan dalam akNvitas-akNvitas
komunal, misalnya lemang, konji (bubur beras), pulut, galamai (dodol),
kue talam, guajik (wajik). Sedangkan pertunjukan keseniannya antara lain
gondang baraguong, bedondong dan pantun batobo.
Batobo pada awalnya dilakukan oleh kaum perempuan. Hal ini disebabkan
kaum laki-laki umumnya pergi merantau sehingga kegiatan pertanian
menjadi tanggung jawab perempuan. Tobo yang beranggotakan
perempuan disebut dengan tobo induak-induak. Umumnya beranggota
perempuan yang telah menikah berusia antara 25-40 tahun.
Selanjutnya berkembang tobo yang beranggotakan laki-laki yang disebut
dengan tobo bujang. Ada pula tobo bujang gadih (di Kampar disebut tobo
basampuak) yang beranggotakan bujang dan gadis yang berusia 14-18
tahun. Perlaksaan batobo ini umumnya selalu terpisah, walaupun Ndak
ada larangan untuk dilakukan secara bersama-sama.
Saat ini batobo kian diNnggalkan seiring pola pertanian yang semakin
individual. Para pemilik ladang lebih memilih untuk membayar upah atau
menyewa tenaga orang lain. Lahan pertanian yang semakin menipis dan
pola bertani yang berubah juga sebagai penyebab batobo semakin jarang
ditemukan.
Pelaksanaan Batobo:
SeNap kelompok tobo beranggotakan antara 20-40 orang, yang dipimpin
oleh seorang tuo tobo. Pimpinan tobo bertanggung-jawab atas
keberhasilan dan pelaksanaan tobo misalnya memberitahu waktu
pelaksanaan tobo, tempat batobo, menunjuk pengganN anggota tobo
yang Ndak bisa melaksanakan tobo, dan memberi tahu pimpinan
kampung atau ninik mamak persukuan.
Batobo dilakukan pada musim berladang (sawah) atau pada saat
membuka kebun secara bersama. Waktu pelaksanaan ditentukan
berdasarkan keadaan alam dan musim. Misalnya, jika musim hujan, maka
tahapan yang dilakukan adalah menyediakan dan menanam benih.
Sedangkan musim kemarau merrupakan masa untuk mencangkul dan
memanen. Kegiatan batobo dilakukan sehari penuh.
Pelaksaan batobo terbagi dalam beberapa tahap. Pertama, tahap
menyemulo, yaitu saat mencangkul lahan pertama kali. Kedua, tahap
membalik tanah, mencangkul lahan untuk kedua kalinya. KeNga, tahap
melunyah, yaitu menginjak-injak lahan dengan kaki. Keempat, menanam
benih. Kelima, memanen.

7. KEPULAUAN RIAU
Kearifan lokal: tari mak yong
Tarian Mak Yong menggabungkan seni cerita
dan tarian, sehingga tak heran jika masyarakat
juga menyebutnya dramatari.
Di dalamnya mengisahkan cerita rakyat, cerita kerajaan, serta legenda,
yang dikombinasikan dengan gerakan tari yang indah. Dulu, Tari Mak Yong
dipentaskan setelah panen padi di daerah pematang sawah.
Di masa kejayaannya, sekitar tahun 1950-an atau masa keemasan
kesultanan Riau, tarian ini sempat dianggap sebagai seni istana. Yang
mana dulunya Mak Yong terdapat di dua tempat, yaitu Tanah Merah dan
Mantang Arang.
Uniknya lagi, Tari Mak Yong juga dapat digunakan untuk merawat orang
yang sakit. Karena di dalamnya juga terdapat mantra yang diwariskan
turun temurun.
Di Indonesia, Mak Yong berkembang melalui Riau, Lingga, yang dulu
pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Johor.
Bedanya Tarian Mak Yong Indonesia dengan Malaysia, dimana Mak Yong
Indonesia mengenakan topeng untuk sebagian karakter, yaitu dayang
Raja, Puteri, penjahat, setan, dan semangat.
Akhir abad lalu, Mak Yong Ndak hanya dipertunjukkan harian saja. Tapi
juga sebagai adat isNadat raja dalam memerintah.
Mak Yong juga digunakan untuk merawat orang sakit dengan tambahan
mantra khusus.
Mak Yong sudah ada selama kurang lebih 150 tahun lamanya. Tradisi ini
terus dilestarikan, bahkan seringkali dipertunjukkan dalam acara – acara
khusus. Sehingga generasi penerus dapat tetap menikmaNnya.
Tari Mak Yong menggabungkan unsur agama, adat Melayu, serta
sandiwara. Dimana di dalamnya terdapat nilai – nilai moral, kehidupan,
serta nilai luhur kebudayaan yang diselipkan dalam tarian dan drama.
Sehingga dapat mengena di haN masyarakat yang menyaksikan.

8. JAMBI
Kearifan lokal: makan di kelung
Tradisi makan di kelung merupakan
representasi dari kepercayaan
masyarakat Melayu Timur. Dahulu,
masyarakat setempat menganut
kepercayaan animisme dan
dinamisme.
Makan di kelung biasanya dilakukan
di rumah atau di tempat-tempat
yang dimungkinkan dalam pelaksanaan ritual. Tak ada pemilihan tempat
secara isNmewa, hanya saja peran sang dukun dalam prosesi ini sama
penNngnya sebagai pemimpin ritual.
Proses tradisi ini diawali dengan menyiapkan sesajen berupa kue mue.
Masyarakat yang bertugas menyiapkan sesajen tersebut adalah para ibu-
ibu yang sedang Ndak haid. Pasalnya, segala proses ritual ini harus
dilakukan dengan bersih dan suci.
Selanjutnya, dukun kampung akan memilih waktu yang tepat untuk ritual.
NanNnya, orang yang sakit akan ditempatkan dalam sebuah kamar yang
telah diatur sedemikian rupa untuk melakukan prosesi.
Sementara itu, kelung merupakan sarana dilaksanakannya ritual yang
berbentuk meja kayu berumur tua berbentuk persegi panjang. Kelung ini
dipercaya dapat menjadi media perantara keNka berhubungan dengan
kekuatan gaib. Sebelum dilakukan ritual, kelung yang ditempatkan di
tengah-tengah kerumunan masyarakat yang hadir dihias dengan beragam
bahan makanan, seperN ketan hitam, ketan kuning, kue-kuean, dan
sebagainya. Makanan-makanan tersebut dicampur menjadi satu dan
dibentuk seperN seekor buaya. Buaya disebut sebagai simbol penguasa
laut atau air. Setelahnya, doa-doa pun didendangkan.
Hingga akhirnya, terjadi kerasukan roh sang leluhur yang dianggap sebagai
penanda ritual pengobatan segera dimulai. Sang pasien pun didudukkan
menghadap sesajen.
Pemimpin ritual mulai memainkan perannya, yakni mengusir segala
kekuatan buruk dan mengharapkan datangnya kekuatan baik demi
kesembuhan pasien. Setelahnya, batang tebu dipatahkan yang
menandakan selesainya ritual buang penyakit.
Kemudian, pasien dipersilahkan makan di kelung.

9. LAMPUNG
Kearifan lokal: ngumbai lawok
Ngumbai Lawok atau "mencuci laut"
adalah cara masyarakat Lampung
mengungkapkan rasa terima kasih
kepada penguasa laut, sekaligus menjadi
media silaturahmi di antara warga pesisir.
Terminologi Ruwat Laut tak hanya dikenal
dalam kehidupan masyarakat Jawa dan
Bugis, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat Lampung Pesisir,
yaitu Ngumbai Lawok.
Tradisi ruwatan merupakan salah satu ritual yang sudah umum
dilaksanakan oleh masyarakat di Pulau Jawa. Penamaan tradisi ini
bermacam-macam, di antaranya, nadran dan hajat laut. Tradisi yang sudah
mengakar di Pulau Jawa ini ditemukan juga di Pulau Sumatra, tepatnya di
Provinsi Lampung.
Beberapa wilayah pesisir di Teluk Lampung, Teluk Semangka, Pesisir Barat
dan Timur yang mengadakan tradisi ini, di antaranya Kota Bandar
Lampung, Lampung Selatan, Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Timur
dan Tulangbawang. Ruwatan sebagai sebuah upaya pembersihan untuk
membebaskan seseorang dari suatu kemalangan yang bukan disebabkan
oleh kesalahan diri sendiri.
Masyarakat mariNm (pesisir) menempatkan subjek puja pada laut sebagai
penentu rezeki dan keselamatan melaut layaknya masyarakat agraris
(petani) menempatkan Dewi Sri yang diyakini sebagai dewi kesuburan
sebagai subjek pujanya, dengan keyakinan bahwa jika laut dibersihkan
dengan Ngumbai Lawok memberikan persembahan berupa sesaji
dan ubo rampe penguasa laut akan memberi kelimpahan rezeki dan
keselamatan.
Demikian juga tradisi Ngumbai Lawok atau meruwat laut dengan
melibatkan prosesi larung sesaji, yakni terdiri dari kepala kerbau dan ubo
rampe. Ritual ini dilaksanakan sebagai laku persembahan sekaligus
implementasi rasa syukur dan pengorbanan masyarakat pesisir.

10.BANGKA BELITUNG
Kearifan lokal: buang jung
Buang jung adalah upacara adat yang
dilakukan masyarakat suku
Sawang di Bangka Belitung. Buang jung
berarN membuang atau melepaskan
perahu ke laut. Menurut kepercayaan
suku Sawang, upacara ini dilakukan
sebagai bentuk penghormatan terhadap
leluhur dan keluarga yang telah Nada
serta memohon keselamatan dan kesejahteraan saat melaut. Upacara
adat buang jong atau buang jung diadakan setahun sekali. Waktu yang
dipilih adalah menjelang datangnya musim Barat (pancaroba), yakni
sekitar akhir bulan Juni sampai Agustus. Hari yang dipilih keNka bulan
purnama. Penyelenggaraan upacara diadakan di perkampungan suku
Sekak yang berada di sekitar laut, seperN di Kecamatan Lepar
Pongok, Kabupaten Bangka Selatan.
Upacara ini dilaksanakan 3 hari 3 malam berturut-turut. Upaara ini akan
dipimpin oleh seorang dukun. Pelaksanaannya kemudian diikuN oleh
semua orang Sawang dari berbagai wilayah di sekitar Pulau Belitung.
Upacara buang jung akan diawali dengan tradisi mengambil kayu di hutan
oleh masyarakat Sawang. Sementara itu, sang dukun mulai mengadakan
penyelidikan di hutan untuk menentukan kayu yang dapat diambil. KeNka
dukun sudah memasNkan area hutan mana yang dapat diambil kayunya,
masyarakat kemudian berduyun-duyun memasuki hutan keesokan
harinya diiringi oleh sang dukun.
Untuk menentuan waktu pelaksanaan upacara, dukun akan melakukan
ritual berupa semedi sambil membaca doa atau biang. Upacara dapat
dilaksanakan jika Ndak ada sesuatu yang akan menjadi halangan menurut
isyarat yang diperoleh oleh dukun. Sebaliknya, jika terdapat halangan,
pelaksanaan upacara akan ditunda. Setelah waktu pelaksanaan upcara
didapatkan, para perangkat upacara akan memulai persiapan. Persiapan
berupa pencarian dana untuk keperluan upacara dan perlengkapan
upacara, terutama jung, balai, dan tempa. Dalam pemilihan lokasi hutan,
dukun akan memimpin upacara dengan ritual berupa permohonan
terhadap roh. Setelah lokasi hutan didapatkan, para pria akan melakukan
penebangan kayu, sementara para wanita membantu dengan memberi
hiburan dengan bernyanyi dan menari.[1]
Pada malam sebelum upacara, orang-orang akan menari dan berpesta
mengelilingi perahu, sambil mendendangkan syair-syair magis.
Upacara adat ini diawali dengan pembacaan doa bersama oleh tetua adat,
dilanjutkan dengan "tunjang angin", yakni pertunjukan kesenian
tradisional Suku Sawang. Seorang lelaki dari suku Sawang menunjukkan
keahliannya berdiri di atas dua buah Nang kayu dengan mengikuN irama
gendang sembari menari. Setelah tunjang angin berakhir, para tetua adat
mulai melaksanakan acara inN yakni buang Jung.[6]
Sambil diiringi pembacaan doa, perahu kayu berisikan aneka makanan
yang telah disiapkan sebelumnya dibawa ke tepian laut dan dihanutkan.
11.KALIMANTAN BARAT
Kearifan lokal: naik dango
Naik Dango adalah acara ruNn tahunan
yang diadakan masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat sebagai ungkapan rasa
syukur kepada Nek Jubata (sang
pencipta) atas panen padi yang
didapatkan pada musim panen Nba.
Masyarakat ada juga memohon kepada
Jubata agar hasil panen tahun depan bisa
lebih baik. Kemudian masyarakat dihindarkan dari bencana dan
malapetaka.
Kebiasaan adat Naik Dango ini didasari mitos asal mula padi menjadi
popular di kalangan orang Dayak Kalimantan Barat, yakni cerita “Ne
Baruankng Kulup” yaitu Kakek Baruangkng Yang Kulup karena Ndak sunat.
Acara ini menyajikan Nyangahathn (pembacaan mantra), dan juga
ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperN permainan
tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa
tradisional.

12.KALIMANTAN TIMUR
Kearifan lokal: besangaar
Dalam Bahasa Dayak benuaq kenohan,
besangaar ialah tolak balak. tolak balak
ialah acara mengusir dampak jelek & hal-
hal negaNf serta menghindarkan desa dr
penyakit/wabah.
Dalam tradisi tolak balak ini menggunakan
sesajen berupa makanan tradisional &
hewan sebagai materi alam mirip ayam/babi.
Roh-roh leluhur pula dipanggil dgn keinginan membantu menghalau
wabah. Tradisi ini dilaksanakan selama 2 hari & melibatkan masyarakat.
Adapun bahan yg dipakai untuk tradisi ini yakni air & pupur/bedak yg
dibentuk dr tepung beras yg nanNnya digunakan untuk membasuh diri &
digunakan. Tetua budpekerN membacakan mantra pada air yg nanNnya
disiram ke kepala masyarakat yg hadir. Air tersebut sebagai air pembersih
diri supaya suci kembali & terhindar dr imbas buruk.
Setelah itu seNap rumah akan diberikan pupur & bendera kecil dgn impian
wabah/penyakit Nnggal masuk & menyerang anggota rumah.
Pupur dioleskan pada dahi sebagai pelindung. Saat wabah covid-19
penduduk setempat pula melakukan tradisi ini.

13. KALIMANTAN SELATAN


Kearifan lokal: manugal
Tradisi menanam padi yg dilakukan oleh
masyarakat eNka Dayak. Tradisi ini
termasuk dlm kearifan setempat
alasannya adalah adanya pelestarian
pengelolaan lingkungan.
Manugal sendiri memiliki makna yaitu
bertani dilahan kering/gunung.
Proses manugal ini yaitu laki-laki menugal (menciptakan lubang dgn
santunan kayu yg ditancapkan ke tanah untuk benih).
Sedangkan perempuan memasukkan benih padi ke lubang tugal. Lubang
ini tak ditutup namun dibiarkan terbuka. Karena lama-usang lubangnya
akan menutup sendiri balasan terNmbunnya tanah yg dipengaruhi oleh
pedoman air hujan. Sebelum menanam padi, penduduk membakar dupa
yg dibawa sambil mengelilingi lahan yg akan tanami padi sebanyak 3x
sambil membaca mantra. Padi yg digunakan merupakan padi dengan
gnvarietas Nnggi, hal itu dilakukan karena padi yg baik sungguh manis
untuk lingkungan alam.

14. KALIMANTAN TENGAH


Kearifan lokal: pahewan (hutan suci)
Oleh penduduk Kalimantan Tengah, Suku
Dayak hutan dijadikan sebagai tempat untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, ritual &
kelancaran hidup penduduk di masa yg akan
datang.
Sekarang ini fungsi hutan banyak dirubah yg
menjadikan konflik sosial.
Pahewan ialah hutan yg sangat lebat & merupakan hutan konservasi adat
yg mempunyai fungsi selaku penyangga kerusakan lingkungan &
kepunahan aneka sumber daya hayaN.
Di dlm hutan suci ini masyarakat sering menyelenggarakan ritual mirip
mamapas lewu yakni membersihkan kampong dr gangguan roh jahat &
ucapan terimakasih karena hasil usaha yg didapat selama 1 tahun.
Ritual ini ditujukan untuk roh penghuni sungai, hutan & tempat-tempat yg
dianggap keramat mirip hutan suci.
Selain itu ada upacara manyanggar yakni meminta izin pada roh leluhur
untuk membuka perjuangan.
Masyarakat setempat masih mempercayai kalau ingin berbuat sesuatu
harus meminta izin pada leluhur.

15. KALIMANTAN TENGAH


Kearifan lokal: Cwah
Tradisi Tiwah adalah upacara ritual kemaNan
Nngkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di
Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya
Dayak Pedalaman penganut agama
Kaharingan sebagai agama leluhur warga
Dayak. Upacara ini merupakan upacara
kemaNan yang umumnya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan
dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan
hanya Nnggal tulangnya saja.
Tujuan dari Ritual Tiwah untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah
yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang)
sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa berdasarkan
keyakinan masyarakat lokal.

16. KALIMANTAN UTARA


Kearifan lokal: tane’ olen
ArNnya ialah tanah yg disimpan, yg mempunyai
bermacam-macam sumber daya alam yg dipakai oleh
penduduk untuk keperluan sehari-hari.
Oleh suku Dayak kenyah, tanah larangan disebut
selaku hutan larangan.
Orang lain tak boleh menguasai tanah dengan-cara perseorangan
alasannya tanah tersebut dipakai untuk kepenNngan penduduk .
Larangan pada hutan tersebut yakni masyarakat tak boleh menebang
pohon, aben hutan, menciptakan ladang & kesibukan yg menjadikan
kerusakan hutan.
Apabila melanggar maka akan dikenakan sanksi oleh kepala eNka.
Kayu digunakan dgn sebaik-baiknya untuk kepenNngan eksklusif. Akan
tetapi, tak boleh memperjual belikan kayu.

17. BANTEN
Kearifan lokal: seni debus
Debus merupakan kesenian tradisional
dari Provinsi Banten yang menampilkan
atraksi kekebalan tubuh melawan berbagai
macam benda tajam. Hal ini tak lepas dari
asal isNlah dalam Bahasa Arab “dablus”
yang berarN sejenis senjata dengan ujung
yang runcing. Baca juga: Pasar Kaget
Sampai Kursus Kilat Debus, AkNvitas untuk Turis Cruise di Sabang Sebuah
pertunjukkan kesenian debus mengandung unsur seni dan unsur agama,
dengan ilmu kebaNnan yang disebut bernuansa magis. Sejarah Kesenian
Debus Pada masa lalu, kesenian debus digunakan sebagai salah satu cara
penyebaran agama Islam di daerah Banten. Namun pada masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, debus digunakan untuk memompa
semangat rakyat dalam melawan penjajah Belanda. Namun melemahnya
Kesultanan Banten di bawah kekuasaan Sultan Rafiudin sempat membuat
kesenian ini menghilang. Baru pada tahun 1960-1n, kesenian ini muncul
kembali namun dalam bentuk atraksi hiburan. Selain itu, asal-usul debus
disebut berawal dari kesenian Al Madad yang memang memiliki beberapa
kemiripan. Namun saat ini jumlah kelompok kesenian Al Madad juga Ndak
sebanyak kelompok kesenian debus. Berkembang di Padepokan Silat Ada
anggapan bahwa seNap pemain debus sudah pasN pesilat, namun Ndak
seNap pesilat bisa menjadi pemain debus. Hal ini Ndak sepenuhnya salah
karena memang silat merupakan gerakan dasar dari atraksi debus,
sehingga keduanya Ndak bisa dipisahkan. Ada Nga aliran silat yang dikenal
cukup besar dan mewarnai kesenian debus yaitu aliran silat cimande,
bandrong, dan terumbu. Sebuah sanggar debus dipimpin oleh seorang
guru besar atau syeh. dan membawahi sekitar 20 pemain debus, termasuk
pemain atraksi dan penabuh nayaga. Perlengkapan dalam Pertunjukkan
Debus Kesenian debus tentunya memerlukan berbagai perlengkapan
untuk menunjang atraksi dan memberi daya tarik. Pertama adalah busana
pemain debus yang terdiri atas lomar ‘ikat kepala’, baju kampret, dan
celana pangsi. Kedua adalah peralatan kesenian yang digunakan untuk
mengiringi pertunjukan debus, dengan beberapa jenis sesuai alirannya
yaitu: Peralatan kesenian kendang penca untuk mengiringi debus
cimande, yang terdiri atas tarompet, kanco ‘gong’, kendang kemprang,
kendang gedur, dan kulanter; Peralatan kesenian paNngtung untuk
mengiringi debus terumbu dan debus bandrong, yang terdiri atas satu
kendang besar, dua kendang kecil, gong kecil, gong panggang, kenuk,
angkeb, kecrek, dan tarompet; ada juga yang merupakan gabungan
kendang penca dan rebana. KeNga adalah peralatan atraksi sesuai dengan
jenis peragaan debus yang ingin dimainkan dalam pertunjukkan.
Sebelum pertunjukkan, guru besar atau syeh akan melakukan ritual
dengan memohon kelancaran jalannya pertunjukkan kepada Tuhan.
Kemudian pertunjukan debus akan dimulai dengan mengikuN beberapa
tahapan, yaitu: Kelompok akan menyiapkan peralatan dan mengecek
arena pertunjukan.

18.DKI JAKARTA
Kearifan lokal: nyorog
Nyorog merupakan kegiatan berbagi
bingkisan dengan sanak saudara maupun
tetangga. Bingkisan yang diberikan pun
bermacam-macam, ada yang
memberikan sembako berupa beras,
telur, gula, garam, tapi ada juga yang
memberi aneka masakan khas Betawi,
semacam gabus pucung, sayur babanci, soto tangkar, dan sebagainya.
Kegiatan Nyorog memang dilakukan sebagai tanda penghormatan. Karena
itu biasanya yang melakukan pembagiannya adalah anak muda atau
pasangan muda. Bingkisan ini biasanya diantarkan kepada anggota
keluarga yang lebih tua, tokoh daerah setempat, atau orang tua/mertua
yang sudah Nnggal berbeda rumah.
Nyorog berawal dari sebuah perisNwa ritus baritan atau upacara adat yang
berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terkait perisNwa alam.
Kegiatan ini merupakan refleksi antar interaksi yang melibatkan manusia,
lingkungan, dan kepercayaan kepada sang pencipta.

19.JAWA BARAT
Kearifan lokal: cingcowong
Tradisi cingcowong sendiri tergolong
seni ritual meminta hujan yang
menggunakan jejelmaan atau orang-
orangan berupa boneka yang kepalanya
terbuat dari batok kelapa dan badannya
terbuat dari bubu ikan. Boneka
cingcowong berfungsi sebagai alat untuk memanggil roh-roh gaib yang
kerap disebut hampir sama dengan jelangkung. Ritual ini menggunakan
alat pengiring berupa buyung sebagai kendang yang terbuat dari tanah liat
dan ceneng atau bokor sebagai ketuk. Selain itu digunakan perlengkapan
pendukung ritual berupa taraje (tangga bambu), samak (Nkar), sisir dan
cermin, serta air dan bunga kamboja yang disimpan dalam wadah.
Disiapkan pula parukuyan (pedupaan) dan kemenyannya, serta aneka
sesajen yang terdiri dari telur asin, kopi, rokok atau cerutu, congcot
(tumpeng kecil), tektek (seperangkat bahan untuk menyirih) makanan
ringan, kue-kue basah, dan buah-buahan manis. Setelah semua persiapan
lengkap, maka tradisi cingcowong pun bisa untuk dilaksanakan.
Pelaksanaan Tradisi Cingcowong Tradisi cingcowong dipimpin oleh
seorang yang dinamakan punduh sebagai orang yang dianggap memiliki
kemampuan khusus yang berhubungan dengan makhluk dan kekuatan
supernatural. Seorang punduh akan dibantu oleh beberapa orang yang
bertugas untuk memegang boneka cingcowong, serta memainkan dua
alat musik utama yaitu buyung dan bokor. Ada pula sinden yang bertugas
melantunkan lagu-lagu tertentu untuk mengiringi trian boneka
cingcowong. Pemain buyung dan bokor serta sinden akan memainkan lagu
sebagai tanda dimulainya ritual. Punduh dan pembantunya akan
memegang boneka cingcowong masuk ke dalam tempat ritual. Boneka
cingcowong yang dipegang akan digerakan seakan berjalan di antara anak
tangga yang diletakkan di atas lantai, dimulai dari ujung awal sampai ujung
akhir sebanyak Nga kali bolak-balik. Kemudian punduh akan duduk di
tengah tangga dengan memangku boneka cingcowong dan
menghadapkan wajah boneka ke arah cermin. Punduh kemudian akan
melakukan gerakan seperN menyisir rambut boneka menggunakan sisir.
Para pembantu yang duduk di samping punduh ikut memegangi sabuk
yang dikenakan boneka cingcowong karena boneka akan mulai bergerak
mengikuN alunan lagu. Semakin lama, boneka cingcowong akan bergerak
seperN Ndak terkendali setelah kalimat terakhir dari lagu cingcowong
dinyanyikan oleh sinden. Gerakan tak terkendali ini dipercaya
menandakan bahwa boneka cingcowong tersebut telah mulai dirasuki roh
gaib. Bergeraknya boneka cingcowong ini memang di luar nalar, sehingga
kerap dihubungkan dengan hal-hal yang bernuansa misNs. Adakalanya
boneka cingcowong akan bergerak mendatangi kerumunan penonton dan
membuat mereka berhamburan karena ketakutan. Untuk menetralkan
suasana, punduh akan mengucapkan kata-kata “cingcowong cingcowong,
hulu canNng awak bubu” yang berarN cingcowong cingcowong kepala
canNng badan bubu, diiringi dengan cipratkan air bunga kemboja kepada
para penonton sambil mengucapkan kata-kata “ hujaan… hujaan…
hujaan….”.

20. JAWA TENGAH


Kearifan lokal: suran
Tradisi Suran yang masih melekat di
tengah masyarakat Jawa merupakan
sebuah tradisi untuk menyambut bulan
Suro, tepatnya pada tengah malam
pukul 00.00 tanggal 1 Suro. Tradisi
Suran yang masih dipelihara hingga kini
dikalangan masyarakat Jawa adalah
bentuk akulturasi budaya. Sebelum
Agama Islam masuk, di kalangan masyarakat Jawa telah memiliki tradisi
budaya ini yang berhubungan dengan tahun Jawa yang dinamakan Tahun
Saka yang menggunakan perputaran matahari sebagai perhitungannya.
Tahun Hijriah yang merupakan tahun Islam mulai digunakan semasa
Sultan Agung dari Mataram tahun 1625 M atau betepatan dengan 1547
Saka dengan mengeluarkan sebuah dekret yang isinya mengganN
penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan kalender
Islam (Hijriah) yang berbasis perputaran bulan (lunar/qomariah. Demi
asas kesinambungan, perpindahan tahun Saka menjadi tahun
Hijriah Ndak menggunakan angka tahun Hijriah saat itu yaitu 1035 H,
tetapi meneruskan angka tahun Saka yang berlaku saat itu yaitu 1547
Saka, namun diganN menjadi tahun 1547 Jawa.

21. DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


Kearifan lokal: wayang kulit
Wayang Kulit adalah bentuk seni
teater tradisional Jawa yang
menggunakan boneka kulit sebagai
tokoh-tokoh dalam ceritanya.
Pertunjukan Wayang Kulit
menggabungkan seni visual, musik
gamelan, dan cerita mitologis yang mengajarkan nilai-nilai moral.
Yogyakarta adalah salah satu tempat terbaik untuk menyaksikan pertunjukan
Wayang Kulit yang memikat, terutama di Keraton Yogyakarta atau di berbagai
tempat pertunjukan tradisional.

22.JAWA TIMUR
Kearifan lokal: kebo-keboan
Kebo-keboan, sebuah perayaan adat yang
begitu istimewa, menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan Suku Osing di desa
Banyuwangi, Jawa Timur. Di dalam ritual ini,
kita akan disuguhkan dengan penampilan
menakjubkan para kebo-keboan, di mana
manusia menghiasi diri mereka seperti kerbau
yang gagah. Upacara Kebo-keboan sendiri
adalah sebuah bentuk ungkapan syukur yang mendalam dari masyarakat suku
Osing terhadap hasil panen yang melimpah.

23. BALI
Kearifan lokal: upacara ngaben
Ngaben dan Nyekah merupakan tradisi adat di Bali
yang memiliki kaitan erat dengan kematian
seseorang. Biasanya, masyarakat sudah tak asing dengan upacara Ngaben yang
dilaksanakan dengan membakar jenazah orang mati. Ngaben sudah dikenal
masyarakat luas dan identik dengan arak-arakan bade atau tempat jenazah
diusung serta lembu tempat jenazah dibakar.

Ngaben dilaksanakan dengan iring-iringan masyarakat sebagai bentuk


penghormatan menemani jenazah ketika akan menyatu dengan Tuhan. Tujuan
Ngaben agar raga sarira manusia dapat kembali ke asalnya dengan cepat, yaitu
ke panca maha butha dan atman dapat bersatu kembali kepada sang pencipta.

Ngaben didasarkan pada landasan filosofis panca sradha atau lima kerangka
dasar agama Hindu. Secara khusus, Ngaben dilatarbelakangi wujud kasih sayang
kepada leluhur dan bakti kepada orang tua. Secara singkat Ngaben merupakan
proses pengembalian unsur panca maha butha kepada sang pencipta.

Pelaksanaan Ngaben dilaksanakan dengan upacara atiwa-tiwa yang berarti


penyucian dan pembersihan jenazah dari kekuatan panca maha bhuta.
Pelaksanaan atiwa-tiwa juga dikenal dengan ngeringkes atau ngelelet, yang
bermakna pengembalian dan penyucian asal mula manusia berupa huruf suci
sehingga harus dikembalikan lagi.

24.NUSA TENGGARA TIMUR


Kearifan lokal: bijalungu hiu paana
Bijalungu hiu paana adalah sebuah
upacara adat yang diselenggarakan
warga Wanokaka, Kabupaten
Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Upacara dilaksanakan seNap akhir
Februari. Tanggal pasNnya
ditentukan oleh
para Rato (pemimpin spiritual
Marapu) dengan melihat tanda-
tanda alam serta berdasarkan perhitungan bulan gelap dan bulan
terang. Bijal memiliki makna turun atau pergi. Sedangkan Hiu Paana adalah
nama sebuah hutan kecil. Jadi bijalungu hiu paana berarN pergi ke hutan
Hiu Paana. Dinamakan demikian karena puncak upacara yang berpusat di
kampung Waigali ini memang dilaksanakan di hutan itu, tepatnya di
sebuah gua kecil tak jauh dari kampung. Dalam upacara ini masyarakat
melakukan tradisi ritual Kabena Kebbo (lempar kerbau) dan
ritual Teung (potong kerbau).
Bijalungu hiu paana pada dasarnya merupakan upacara menyambut
musim baru maka banyak ritual ramal meramalnya. Diantaranya ritual
penyembelihan ayam oleh Rato (pendeta) Marapu dimana kondisi usus
ayam mengindikasikan baik buruknya hasil panen mendatang. Ada pula
ritual mengamaN Manu Wulla Manu Laddu, sebuah batu bertuah yang
menurut legenda merupakan pemberian penguasa langit kepada
putrinya yang menikahi pria bumi. Jika posisi batu yang berada dalam
gua di hutan Hiu paana ini rapat sempurna maka panen akan berlimpah,
jika sebaliknya yang terjadi kemungkinan akan datang berbagai serangan
penyakit.
Tidak hanya itu, ada juga ritual Kabena Kebbo(lempar kerbau). Dalam
ritual ini, seekor kerbau muda yang dipilih secara khusus sebagai hewan
persembahan akan dihalau memasuki area upacara. Bersamaan dengan
itu, semua orang dipersilahkan melempar sang kerbau dengan buah
pinang yang telah dibagikan. Jika mengenai dahi si kerbau, pelemparnya
dipercaya bakal mendapat untung besar. Apabila mengenai leher juga
pertanda baik. Perut dan kaki dipercaya sebagai bagian yang kurang baik.
Acara terus berlanjut dengan ritual Teung(potong kerbau). Kerbau
disembelih dan posisi jatuhnya mengindikasikan kondisi tahun itu. Jika
jatuh ke kanan berarN tahun yang baik, jika jatuh ke kiri berarN tahunnya
kurang bagus. Selanjutnya daging si kerbau dipotong-potong lalu direbus
dalam periuk suci yang telah disiapkan oleh salah seorang Rato. Jika kuah
rebusan membual-bual berarN panen bakal berlimpah, jika buih kuah
hanya sedikit berarN hasil panen kurang menggembirakan.

25.NUSA TENGGARA BARAT


Kearifan lokal: paresean

Peresean adalah pertarungan antara dua


pria, yang biasa disebut sebagai pepadu.
Pertarungan dua pepadu
tersebut menggunakan senjata tongkat
rotan atau penjalin dan perisai dari kulit
kerbau tebal dan keras atau ende,
berdasarkan informasi dari website Dinas
Pariwisata NTB.
Tongkat rotan itu berfungsi untuk menyerang lawan, sementara perisai untuk
melindungi tubuh dari serangan. Para pepadu, mengenakan celana yang dibalut
dengan penutup kain khas Lombok dan ikat kepala. Sementara, bagian atas
badan mereka tidak mengenakan baju alias bertelanjang dada. Tradisi ini
memang cukup ekstrem, lantaran para petarung bisa saja terluka hingga
berdarah. Meskipun termasuk dalam kesenian tradisional yang ekstrem,
peresean memiliki sejumlah pesan moral. Bukan sekadar adu ketangkasan
semata, peresean bermakna persaudaraan dan sikap ksatria seorang laki-laki
yang diuji melalui permainan, Peresean juga menguji sportivitas para petarung
karena harus menghindari perbuatan curang. Selain itu, terdapat nilai
patriotisme yang berkaitan dengan sejarah Suku Sasak.

26. GORONTALO
Kearifan lokal: pulanga
Pulanga merupakan upacara adat masyarakat
Gorontalo yang berhubungan dengan acara
penobatan. Pulanga ini berupa pemberian gelar
adat yang dilakukan kepada orang yang masih
hidup, biasanya diberikan kepada mereka yang
menduduki jabatan penNng mulai dari Nngkat
kecamatan, daerah bahkan provinsi. Di samping itu terdapat pula gelar
yang diberikan kepada orang-orang yang sudah meninggal yang di sebut
dengan Gara'i. Pulanga merupakan upacara adat yang resmi yaitu
pemberian atau penganugrahan Ntel atau gelar jabatan. Pulanga diberikan
kepada seorang pejabat dalam lingkungan pemerintahan, mulai dari
gubernur, bupaN/walikota. Dalam pelaksanaan upacara adat ini semua
pejabat dalam lingkungan pemerintahan harus hadir tak terkecuali kepala
desa atau ayahanda. Pulanga pada hakikatnya mengukur seseorang dalam
jabatannya sebagai sumber pola anutan dalam seNap akNvitasnya (ooliyoo)
sebagai pemimpin yang dipercaya rakyat. Pemberian pulanga itu sendiri
mengandung tanggung jawab yang berat bagi yang bersangkutan, bukan
saja di dunia tapi juga di akhirat kelak. Sangat dianjurkan agar seorang
pemimpin itu adalah juga agamawan agar perNmbangan dan kebijakan
seimbang antara akal dan hukum Islam. Karena luasnya wilayah kekuasaan
seorang penguasa (olongia) dan agar Ndak berbuat sewenang-wenang
maka seNap pelanNkan dikukuhkan dengan kata-kata bijak atau tujai, yang
bunyinya sebagai berikut: Tulu, tulu lo ito EyaApi, api milik tuanku Dupoto,
dupoto lo ito EyaAngin, angin milik tuanku Tawu, tawu lo ito EyaRakyat,
rakyat milik tuanku Bo dia poluliya hilawo, EyangguTapi jangan sewenang-
wenang, tuanku. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan Ndak terbatas,
punya wewenang tapi Ndak sewenang-wenang. Kewenangan ini disebut
dalam bahasa Gorontalo datahu lo huntu huidu arNnya dataran
menjunjung gunung yang mengarah pada kekuasaan yang otoriter yaitu
semuanya tunduk kepada penguasa dan segala keputusannya didukung
oleh adat. Adapun sistem pemberian gelar sapaan pulanga mencakup
tahapan-tahapan berikut ini yang dalam isNlah adat disebut dengan isNlah
pohutu momulanga. Pelaksanaan pohutu momulanga berhubungan
dengan beberapa faktor dan persyaratan yang mengacu kepada: (a) yang
berhak menerima; (b) waktu pelaksanaan momulanga; (c) tempat
pelaksanaan; (d) pelaksana kegiatan; (e) perlengkapan yang diperlukan; (f)
prosesi pelaksanaan pohutu momulanga.

27. SULAWESI BARAT


Kearifan lokal: mamose

Salah satu tradisi ekstrem yang ada di


Sulawesi Barat adalah tradisi Mamose.
Bagaimana tidak, dalam tradisi ini
nantinya para tokoh adat akan
menunjukkan keberanian mereka dengan
cara menebaskan parang panjang ke
tubuh mereka. Tradisi ini dilakukan oleh
Masyarakat Adat Budong-Budong yang berada di Kabupaten Mamuju Tengah.
Tujuan dari tradisi ini sendiri adalah untuk menyatukan kekuatan dan
kebersamaan masyarakat. Adapun alunan musik yang mengiringi atraksi ini
adalah dengan memakai gendang sebagai alat musik utama. Tradisi ini dilakukan
3 kali dalam setahun, yaitu pada saat sebelum masuk hutan, selesai
membersihkan hutan, dan setelah masa panen.

28.SULAWESI TENGAH
Kearifan lokal: modero

Gerakan Dero atau Modero adalah istilah yang


sudah menjadi turun temurun dan yang paling
banyak dilakukan oleh Suku Bare'e. Gerakan
Modero adalah hampir sama dengan Tari
Moende tetapi berbeda fungsi, Tari Moende
dilakukan pada saat Pesta Panen Padungku,
dan Modero biasanya dilakukan pada saat pulang mengayau. Gerakan Tari
Moendeada tiga jenis gerakan tarian, sedangkan Modero hanya satu jenis
gerakan tarian saja. Suku Bare'eyang semua penduduknya beragama Islam telah
berhasil mengubah suatu acara penyembahan yang tradisional dan kuno dari
suatu suku ke sebuah Gerakan Tarian yang lebih moderen.
Asal usul kata Dero atau Modero bisa dicari pada kamus Bahasa Bare'e (Bare'e-
Taal) terjemahan dari Bare’e-Nederlandsch Woordenboek (Brill, 1928) yang
kamus tersebut ditujukan untuk Suku Bare'e (Bare'e-Stammen).

29. SULAWESI TENGGARA


Kearifan lokal: pasuo
posuo diarNkan sebagai suatu prosesi
upacara peralihan status individu
wanita dari gadis remaja dalam bahasa
Buton, labuabua ke status gadis dewasa
kalambe.
Upara ritual ini diyakini sebagai sarana
menguji kesucian seorang gadis.
Menurut La Ode Maulidun (46),
budawayan Buton, upacara posuo dilaksanakan selama delapan hari delapan
malam dalam ruang khusus yang disebut suo. Selama dikurung di ruang sempit
dan pengap itu, peserta posuo diisolasi dan diprotekasi dari berbagai pengaruh
dunia luar yang terjadi di sekelilingnya, kecuali hanya berhubungan dengan
bhisa yang memberi pembinaan atau wejangan khusus yang ditunjuk langsung
oleh pemangku adat. Selama itu pula, pawang gendang terus menabuh gendang
dan gong. Jika ada gendang yang pecah saat ditabuh, mengisyaratkan bahwa
ada di antara gadis posuo yang sudah pernah berhubungan badan dengan lawan
jenis. Meski demikian, masalah itu tidak akan diungkap secara umum, tetapi
menjadi rahasia antara pawang gendang dan keluarga peserta posuo.

30.SULAWESI SELATAN
Kearifan lokal: rambu sulo

Rambu Solo adalah tradisi upacara


kematian suku Toraja. Dewan Masyarakat
Adat Nusantara, Eric Crystal Ranteallo
mengatakan Rambu Solo merupakan ritual
sakral bagi masyarakat Toraja dan telah
dilakukan oleh Aluk Todolo, atau nenek moyang dari suku Toraja.

"Orang Toraja itu sangat menghargai keluarganya yang telah berpulang. Itu
nomor satu di Toraja, sebagai penghormatan untuk terakhir kali. Ini sudah
dilakukan sejak leluhur kami Aluk Todolo," jelas Eric Crystal Ranteallo
kepada detikSulsel, Jumat (10/6/2022).

Rambu Solo diyakini sebagai upacara untuk menyempurnakan kematian


seseorang.

Masyarakat suku Toraja meyakini bahwa mati adalah suatu proses perubahan
status dari manusia fisik di dunia menjadi roh di alam gaib. Sehingga, selama
rangkaian ritual Rambu Solo belum dilakukan hingga rampung, maka sang mayat
akan diperlakukan sebagaimana orang sakit.

Ritual rambu solo membutuhkan banyak biaya karena harus mengorbankan


kerbau. Sehingga jika biaya keluarga belum mencukupi maka mayat akan terus
disimpan hingga mampu menggelar Rambu Solo.

Rambu Solo terdiri atas beberapa ritual adat yang dilakukan secara runtut oleh
masyarakat suku Toraja. Ritual dalam Rambu Solo' terdiri atas Mappassulu',
Mangriu' Batu, Ma'popengkaloa, Ma'pasonglo, Mantanu Tedong, dan
Mapasilaga Tedong.

31.MALUKU UTARA
Kearifan lokal: tobo safar

Upacara prosesi adat Tobo Safar (mandi


safar) diawali dengan penyambutan
kedatangan Sultan Tidore Husain Sjah dan
sejumlah bobato adat menggunakan
Juanga (Perahu Sultan) yang tiba di
dermaga Majui dan mengambil tempat
bersama Wali kota Tidore Ali Ibrahim dan
Forkompimda. Acara dilanjutkan dengan penyambutan oleh kapita
(Panglima) tarian Maku Toti kepada pasukan pembawa bambu sebagai
peralatan mandi safar. Bambu ini berisi air yang diambil dari sumur Togubu di
teluk Gamgau. Setelah pasukan pembawa bambu berada di tengah lokasi
upacara, anak cucu Tomayou Soa Romtoha (lima kampung) memperdengarkan
pesan leluhur, lalu bambu dibawa masuk ke dalam Masjid sekaligus ritual doa
permintaan berkat. Usai ritual doa, bambu berisi air ini kembali dibawa ke
tengah-tengah acara oleh para pemuda bersama sembilan orang Yaya Goa
(sembilan perempuan) diiringi pembacaan dzikir. Bambu yang berisi air ini
kemudian dituangkan kedalam mangkok putih di atas meja di tengah-tengah
tempat upacara. Imam Masjid kemudian menaruh doa safar ke dalam air dan
Imam Mohtar Mahmud membacakan doa selamat. Selanjutnya, Imam Masjid
melakukan penaburan doa safar di laut, disaksikan seluruh pengunjung wali kota
dan Sultan Tidore serta pejabat lainnya. Setelah penaburan doa safar selesai,
dilanjutkan dengan prosesi mandi safar yang dilakukan oleh Yaya Goa (Sembilan
perempuan) dengan cara Jako Ruko (memukul) dengan menggunakan
bunga dan mayang pinang kepada Wali kota Ali Ibrahim dan Imam Masjid
Mafututu. Setelah semua prosesi mandi selesai dilanjutkan dengan jamuan
makan adat yang diawali dengan Dowaro (baca doa) oleh Aman A. Latif.

32.MALUKU
Kearifan lokal: batu pamali

Batu pamali merupakan symbol material adat


Masyarakat Maluku. Batu pamali termasuk
mikrokomos dalam negeri-negeri yang
ditempati masyaraat adat Maluku. Batu
pamali merupakan batu alas atau batu dasar
berdirinya sebuah negeri adat yang selalu
diletakkan di samping rumah Baileo sekaligus
representasi kehadiran nenek moyang (nenek moyang) di dalam kehidupan
Masyarakat.

Batu pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan
demikian batu pamali adalah milik Bersama setiap soa. Di beberapa daerah adat
Maluku, batu pamali adalah milik bersama setiap soa. Di beberapa daerah adat
Maluku, batu pamali dimiliki secara kolektif termasuk negeri adat yang
masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. Seiring dengan perkembangan
agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik tata cara dalam upacara
keagamaan dan keberadaan Batu Pamali.

33. PAPUA BARAT


Kearifan lokal: sasi

Masyarakat yang tinggal di Kepulauan Raja


Ampat, Papua, punya aturan tersendiri dalam
mencari sumber makanan sekaligus menjaga kelestarian alam. Aturan adat yang
menentukan apa yang boleh dan dilarang mereka sebut sebagai sasi. Peneliti
Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan masyarakat yang tinggal di
perkampungan Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, mematuhi sasi tersebut.
"Ini merupakan bentuk kearifan lokal yang telah berlangsung turun-temurun
demi menjaga alam," kata Hari Suroto kepada Tempo, Senin 23 November 2020.
Ada beragam jenis sasi yang berlaku di wilayah Kepulauan Raja Ampat. Salah
satunya, menurut Hari Suroto, nelayan hanya boleh melaut setiap enam sampai
12 bulan sekali, di mana selama sekitar satu hingga dua minggu, mereka dapat
mengambil hasil laut sebanyak mungkin yang mereka perlukan. Setelahnya,
mereka tidak boleh melaut lagi. Apabila ingin mengambil hasil laut di luar batas
waktu tersebut, Hari Suroto mengatakan, para nelayan harus pergi dari perairan
Raja Ampat. Pria yang juga dosen arkeologi Universitas Cenderawasih ini
menjelaskan, sasi terkadang berlaku juga pada jenis biota laut tertentu, misalnya
teripang. Tujuan dari sasi ini, dia melanjutkan, memberi kesempatan pada biota
laut agar berkembang biak sebesar ukuran yang laku di pasaran. Jika sudah
memenuhi syarat ukuran tertentu, barulah teripang boleh diambil dan dijual.
Sasi berlaku pula pada tanaman. Masyarakat Kepulauan Raja Ampat dilarang
mengambil buah di pohon, bahkan yang terjatuh dari pohon sekalipun, tanpa
izin.

34.PAPUA
Kearifan lokal: bakar batu
Tradisi Bakar Batu adalah sebuah tradisi yang
penNng bagi seluruh penduduk asli Papua.
Tradisi Bakar Batu bermakna sebagai bentuk
rasa syukur dan ajang silaturahmi antar warga
sekampung. Acara Bakar Batu biasanya
diadakan pada saat ada kelahiran,
perkawinan adat, penobatan kepala suku, dan pengumpulan prajurit
perang. Tradisi Bakar Batu biasanya dilakukan oleh suku asli Papua yang
Nnggal di pedalaman, seperN di Lembah Baliem, Panaiai, Nabire
Pegunungan Bintang, dan lain-lain. Nama dari pesta adat ini berbeda-beda
di seNap daerahnya. Di suku Paniai, tradisi Bakar Batu disebut
dengan Gapiia, di Wamena disebut dengan Kit Oba Isogoa, sedangkan di
Jayawijaya disebut dengan Barapen. Disebut dengan tradisi Bakar Batu
karena memang benar-benar batu dibakar hingga panas. Fungsi batu yang
panas adalah untuk mematangkan daging, ubi, dan sayur-sayuran
beralaskan daun pisang yang akan menjadi santapan seluruh warga pada
acara yang sedang berlangsung.

35.PAPUA TENGAH
Kearifan lokal: Cfa menggunakan darah

Tifa adalah sebuah alat musik khas wilayah


Indonesia Timur, Papua dan Maluku. Tifa
bentuknya menyerupai kendang, terbuat dari kayu
yang dilubangi pada bagian tengahnya dan juga
dilapisi kulit binatang. Tifa memiliki beberapa jenis
dan bentuk, di antaranya adalah Tifa Jekir, Tifa
Dasar, Tifa Potong, dan Tifa Bas. Dalam pembuatannya, biasanya menggunakan
lem untuk merekatkan beberapa bagian. Namun di Papua, ada tradisi
pembuatan Tifa dengan menggunakan darah manusia. Darah tersebut berfungsi
sebagai lem. Dengan menggunakan darah, Tifa dipercaya akan menjadi lebih
kuat dan awet.

36. PAPUA PEGUNUNGAN


Kearifan lokal: potong jari
Tradisi Potong jari adalah tradisi yang
dilakukan oleh suku Dani di Papua. Suku
Dani adalah suku yang mendiami Lembah
Baliem. Tradisi potong jari pada suku Dani
sudah ada sejak zaman dahulu dan masih
dilaksanakan hingga sekarang.
Tradisi potong jari menyimbolkan suatu
kerukunan, kesatuan, dan kekuatan yang berasal dari dalam diri seorang
manusia maupun di dalam sebuah keluarga.
Keluarga adalah tumpuan paling berharga yang dimiliki oleh seorang
manusia, jari dipercaya menyimbolkan keberadaan dan fungsi dari sebuah
keluarga itu sendiri.
Tradisi potong jari dilakukan keNka seseorang kehilangan salah satu
anggota keluarga atau sanak saudara seperN suami, istri, anak, adik, dan
kakak untuk selama-lamanya.
Pada suku Dani, kesedihan dan rasa duka cita akibat kemalangan juga
kehilangan salah satu anggota keluarga Ndak hanya di apresiasikan dengan
menangis, namun juga memotong jari.
Suku Dani beranggapan bahwa memotong jari adalah simbol dari rasa
sedih dan rasa sakit kehilangan salah satu anggota keluarga. Tradisi potong
jari juga dianggap sebagai cara untuk mencegah terjadinya kembali
malapetaka yang merenggut nyawa seorang anggota keluarga yang
sedang berduka.

37.PAPUA SELATAN
Kearifan lokal: rumah bujang
Tradisi Rumah Bujang atau biasa disebut
dengan ‘Jew’ Ndak bisa dilepaskan dari Suku
Asmat. Jew merupakan rumah utama, tempat
segala akNvitas suku Asmat dilakukan. KeNka
hendak mendirikan Jew, mereka harus
diadakan upacara khusus terlebih dahulu. Hanya para pria yang belum
menikah yang boleh Nnggal di Jew, sementara wanita hanya boleh
masuk keNka ada acara besar saja.

38.PAPUA BARAT DAYA


Kearifan lokal: wor k’bor
K’bor diambil dari dua kata, yakni kuk yang
berarN menusuk atau kadang-kadang juga
disebut dengan di atas sesuatu, dan bori yang
berarN di atas sesuatu. Wor K'bor merupakan
upacara dalam tradisi upacara akil balik
Menurut antropolog lulusan Universitas
Leiden Belanda, J.R. Mansoben dalam Wor
K’bor, para pemuda dalam rentang usia antara 15-17 tahun setelah Nnggal
selama enam bulan di dalam Rum Sram atau rumah bujang akan
menjalani upacara memasuki dunia orang dewasa (Wor K’bor). Upacara
ini ditandai dengan mengiris atau memotong bagian atas dari ujung penis
mereka dengan memakai sebilah bambu Npis.
Wor K’bor atau tradisi sunat menandakan akil balik anak lelakimenjadi
tradisi sudah berlangsung sejak lama. “Ritus ini pernah berlangsung
beberapa tahun silam sekitar 1940-an di Pulau Biak dan Numfor,” Kata
Mansoben. Upacara menjelang dewasa ini berlaku untuk anak laki-laki
dan perempuan. Upacara yang dilaksanakan untuk anak laki-laki
disebut k’bor. InN dari upacara ini adalah sama dengan upacara khitan
dalam agama Islam. Sebelum melaksanakan upacara ini, anak dikurung
dalam sebuah bilik selama sembilan hari. Badannya ditutupi Nkar. Pada
saat pelaksanaan upacara, anak tersebut dikhitan oleh seorang dukun
khitan. Selesai dikhitan dia harus masuk kembali ke dalam bilik.
Makanannya diantar oleh seseorang yang harus memalingkan mukanya
keNka memberikan makanan. Untuk anak perempuan diadakan
upacara aro era tu ura. Upacara ini dilakukan untuk anak yang berusia 3-
5 tahun. Seorang dukun (aebe siewi) akan melubangi daun telinga dan
cuping hidung anak tersebut.

Anda mungkin juga menyukai