RAGAM KEBUDAYAAN “PASOLA” Tradisi pasola menggabungkan keahlian menunggang kuda dan melempar lembing yang diadakan untuk menyambut tahun baru dalam kepercayaan Marapu dan panen.
Permainan pasola diadakan pada empat
kampung di kabupaten Sumba Barat, Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya “TRADISI NYALE”
Tradisi nyale merupakan puncak dari segala
kegiatan untuk memulai pasola. Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. UPACARA ADAT KEMATIAN DAN PENGUBURAN UPACARA ADAT KEMATIAN DAN PENGUBURAN
Kematian dilihat dari transisi antara hidup duniawi dan
akhirat dan merupakan peristiwa penting dalam perjalanan seseorang menuju kebahagiaan sejati. Oleh karenanya penguburan harus dilaksanakan dengan upacara khusus agar arwah manusia layak masuk dalam Praimarapu (Surga). Setelah mayat disimpan bahkan sampai bertahun-tahun, dilakukan penyembelihan ternak kerbau dan kuda dalam jumlah besar (tergantung status sosial) sebagai sesaji pengiring penguburan. Setiap orang yang mengikuti upacara penguburan wajib memakai pakaian adat. Wanita di wajibkan memakai sarung dan pria di wajibkan bersarung, kapouta (ikatan kepala/ikatan pinggang),dan parang. TARI KANDINGANG
Tari Kandingang (jeni)
Tarian ini merupakan tarian tradisional yang sering ditampilkan pada acara adat di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Namanya adalah Tari Kandingang. KEBUDAYAAN REBA (EVA) Upacara Reba merupakan sebuah upacara adat di daerah Ngada yang di adakan setiap tahun baru,biasanya di bulan januari dan februari, upacara adat ini bertujuan untuk melakukan penghormatan dan mengucapkan rasa terima kasih kepada jasa para leluhur. Telah kita lihat bersama bahwa reba bagi orang Ngada merupakan suatu upacara adat guna, menghormati para leluhur dan sang pencipta yang telah memberikan kehidupan dan keberhasilan selama setahun. TRADISI MEKOTEK Tradisi mekotek atau upacara “ngerebeg” ini mulai dilaksanakan pada tahun 1934. Dengan mengelilingi seluruh wilayah Desa Adat Munggu, serta memohon (menunas) tirta di setiap pura yang ada di sekitar wilayah Desa Adat Munggu oleh seluruh warga Desa Adat Munggu, baik kaum perempuan dan kaum laki-laki tanpa memandang usia maupun golongan Pada tahun 1940 ketika kedatangan penjajah dari Belanda, mekotek atau upacara “ngerebeg” yang menggunakan tombak dan tameng digantikan dengan menggunakan kayu pulet yang berisikan daun pandan berduri, serta jejaritan tamiang. Hal ini dilakukan oleh warga Desa Adat Munggu untuk menghindari anggapan adanya serangan dari warga Desa Adat Munggu melawan penjajahan Belanda. Masyarakat Desa Adat Munggu takut keluar karena membawa tombak dan tameng yang dikira akan menyerang Belanda, maka masyarakat Desa Adat Munggu mengganti tombak dan tameng dengan menggunakan kayu pulet yang berisikan daun pandan berduri, serta jejaritan tamiang. TRADISI MEKOTEK Pada tahun 1946 Mekotek atau upacara “ngerebeg” pernah tidak terlaksana akibat adanya wabah penyakit cacar yang mengakibatkan masyarakat Desa Adat Munggu menjadi “gerubug”, serta Pura Khyangan Desa Adat Munggu menjadi “sepung” atau kotor. Dengan adanya kesibukan masyarakat untuk mengobati wabah penyakit cacar, maka tradisi mekotek atau upacara “ngerebeg” tidak dilaksanakan. Akibat dari tidak terlaksananya prosesi tradisi mekotek menimbulkan sebuah bencana yang besar, seperti: kematian yang terus menerus terjadi, kekeringan yang mengakibatkan gagal panen, serta keributan di Desa Adat Munggu, sehingga desa pun tidak kondusif. Dengan banyaknya musibah yang terjadi, maka diadakanlah rapat Prajuru Adat. Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa mekotek atau upacara “ngerebeg” harus tetap terlaksana pada setiap hari Raya Kuningan tanpa mengenal adanya hujan, panas dan kesibukan-kesibukan lainnya.