Anda di halaman 1dari 26

OBAT UNTUK PENYAKIT KASDIOVAKULER

Oleh: KADEK EGA DAMAYANTI (15120801016)

Diserahkan Kepada Dosen

Darmawijaya,S.Si.,M.Si,S.Si.,M.Si

Sebagai Tugas Dari Mata Kuliah

FARMAKOLOGY GIZI

PROGRAM STUDI ILMU GIZI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS DHYANA PURA

BADUNG-BALI

2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan salah
satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju dan berkembang, termasuk Indonesia
(Muchid dan Panjaitan., 2006). Lebih dari 80% kematian akibat penyakit kardiovaskuler terjadi
di Negara berpenghasilan rendah dan menengah, dan semakin banyak menimpa populasi usia
dibawah 60 tahun, yaitu usia produktif (Rilantono, 2012). Di Indonesia dilaporkan PJK
merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%,. Angka ini
empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata
lain, lebih kurang satu di antara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah akibat PJK.
Berbagai faktor risiko mempunyai peran penting timbulnya PJK mulai dari aspek metabolik,
hemostasis, imunologi, infeksi, dan banyak faktor lain yang saling terkait (Muchid dan
Panjaitan., 2006). Tujuan utama dari pengobatan yaitu menghilangkan rasa sakit pasien dan
mengusahakan memperkecil resiko dari komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit
jantung koroner sebenarnya tidak dapat disembuhkan tapi harus senantiasa dikontrol (Majid,
2007). Pengobatan penyakit jantung koroner dimaksudkan tidak sekedar mengurangi atau
bahkan menghilangkan keluhan, yang paling penting adalah memelihara fungsi jantung sehingga
harapan hidup akan meningkat (Yahya, 2010).

Pengobatan merupakan suatu hal yang penting, namun jenis dan takaran yang salah justru
bisa membahayakan. Pasien sedapat mungkin mengetahui efek samping obat sebelum
menyetujui penggunaan obat yang digunakan oleh dokter. Banyak dokter memiliki kebijakan
untuk menerangkan manfaat maupun akibat samping dari suatu obat sebelum menuliskan resep
(Soeharto, 2004). Banyak penderita serangan jantung yang kembali ke rumah setelah perawatan
beberapa hari, sebagian perlu perawatan bermingguminggu sebelum dipulangkan karena fungsi
jantung sudah menurun. Diantara penderita serangan jantung itu, ada pula yang tidak dapat
diselamatkan (Yahya, 2010). Adanya keterkaitan penyakit jantung koroner dengan faktor resiko
dan penyakit penyerta lain seperti DM dan hipertensi, serta adanya kemungkinan perkembangan
iskemik menjadi infark menyebabkan kompleksnya terapi yang diberikan. Oleh karena itu,
pemilihan jenis obat akan sangat menentukan kualitas penggunaan obat dalam pemilihan terapi.
Berbagai pilihan obat saat ini tersedia, sehingga diperlukan petimbanganpertimbangan yang
cermat dalam memilih obat untuk suatu penyakit. Terlalu banyaknya jenis obat yang tersedia
dapat memberikan masalah tersendiri dalam praktik, terutama menyangkut pemilihan dan
penggunaan obat secara benar dan aman (Badan Pengawasan Obat dan Makanan, 2000). Banyak
obat yang memengaruhi fungsi fisiologis dan biokimia kardiovaskular seperti stimulansia SSP,
depresansia SSP, dan obat otonom. Yang dimaksudkan dengan obat kardiovaskular ialah obat
yang mempunyai efek utama pada jantung dan pembuluh darah. Obat yang termasuk dalam
golongan obat-obat kardiovaskular ialah :

I. Obat Gagal Jantung.

II. Antiaritmia.

III. Antiangina.

IV. Antihipertensi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian obat kasdiovakuler ?
2. Apa saja macam – macam obat kasdiovakuler ?
3. Bagaimana Cara Pemberian obat tersebut ?

1.3 TUJUAN PENULISAN


1. Untuk memahami obat kasdiovakuler
2. Mengetahui macam – macam obat kasdiovakuler
3. Mengetahui Cara Pemberian obat tersebut
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Obat kardiovaskuler merupakan kelompok obat yang mempengaruhi & memperbaiki


sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah ) secara langsung ataupun tidak langsung
Jantung dan pembuluh darah merupakan organ tubuh yang mengatur peredaran darah
sehingga kebutuhan makanan dan sisa metabolisme jaringan dapat terangkut dengan baik.
Jantung sebagai organ pemompa darah sedangkan pembuluh darah sebagai penyalur darah ke
jaringan. Sistem kardiovaskuler dikendalikan oleh sistem saraf otonom melalui nodus SA,
nodus AV, berkas His, dan serabut Purkinye. Pembuluh darah juga dipengaruhi sistem saraf
otonom melalui saraf simpatis dan parasimpatis. Setiap gangguan dalam sistem tersebut akan
mengakibatkan kelainan pada sistem kardiovaskuler. Obat kardiovaskuler: adalah obat yang
digunakan untuk kelainan jantung dan pembuluh darah. Obat-Obatan untuk perwatan
gangguan Jantung Penanganan pada gangguann jantung umumnya dilakukan melalui dua cara
yaitu surgical dan non-surgical. Terapi non-surgical dapat berupa pemberian obat-obatan pada
pasien. Karena sebagian besar penyakit jantung bersifat kronis, pemberian obat umumnya
dala jangka yang panjang. Obat jantung dapat memberikan efek yang bervariasi dari satu
individu ke individu lainnya. Obat-obat jantung dapat memberikan efek yang diinginka atau
bahkan efek yang tidak diinginkan, oleh karena itu seorang dokter dapat mengganti obat yang
digunakan atau hanya mengubah dosisnya supaya cocok untuk keadaan tertentu seorang
klien. Jenis-jenis obat jantung diantaranya : Obat kardiovaskuler dibedakan: Obat Antiangina
Obat Antiaritmia Obat Glikosida Obat Antihipertensi.
B. MACAM - MACAM OBAT KASDIOVAKULER

I. OBAT GAGAL JANTUNG

PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG BENDUNGAN

Gagal jantung bendungan atau payah jantung bendungan (congestive heart failure =
decompensatio cordis) adalah suatu keadaan saat terjadi pengurangan kontraktilitas otot jantung
yang menimbulkan bendungan sirkulasi sehingga jantung gagal untuk mengalirkan darah ke
jaringan dan kebutuhan oksigen di berbagai jaringan tidak terpenuhi. Hal ini terjadi karena
berbagai sebab, antara lain hipertensi, kelainan katup jantung, anemia berat, defisiensi vitamin
B1, sirosis hepatitis, gagal ginjal dan penyakit paru kronis. Pengobatan payah jantung bendungan
ialah dengan mengusahakan untuk menghilangkan bendungan sirkulasi, yaitu dengan:

1. Mengurangi beban jantung (istirahat, menurunkan berat badan, menghilangkan


penyebab, pembatasan asupan garam [<1500 mg Natrium/hari], dll.).

2. Meningkatkan kontraktilitas miokard dengan senyawa yang berefek inotropik positif


(glikosid jantung, dlll).

3. Menekan preload (beban sebelum kerja jantung) dan afterload (beban sesudah kerja
jantung), yaitu dengan diuretik untuk mengurangi volume darah, dan vasodilator untuk
menurunkan tahanan pembuluh darah perifer.

4. Menggunakan antiaritmia untuk memperbaiki frekuensi dan kelainan irama jantung.

Dengan meningkatkan kontraktilitas miokard, pengosongan ventrikel akan lebih baik, tekanan
vena menurun, frekuensi denyut jantung akn lebih baik, masa diastol akan lebih panjang, dan
aliran darah ke otot jantung diperbaiki. Aliran darah ke ginjal juga diperbaiki, dieresis
meningkat, dan udema akan hilang. Pada gagal jantung, bendungan yang disebabkan oleh
kerusakan otot jantung (infark miokard) tidak mungkin untuk memberikan obat inotropik positif.
Dengan demikian, agar kerja jantung efisien, digunakan diuretic dan vasodilator.
Obat-obat gagal jantung dapat dibedakan atas 3 golongan, yaitu :

1. Inotropik, yang meningkatkan kekuatan kontraksi miokard, yaitu glikosida jantung,


misalnya digitalis, digoksin, digitoksin, ouabain, strophantin K, dan inotropik lain
(agonis β-adrenergik dan inhibitor fosfodiesterase).

2. Diuretik, yang menurunkan volume cairan ekstraseluler sehingga mengurangi beban


jantung.

3. Vasodilator, yang mengurangi beban jantung.

Pemberian obat-obat tersebut dapat meningkatkan curah jantung sehingga dapat


mengurangi gejala dan memperpanjang masa hidup penderita gagal jantung bendungan; namun
tidak dapat mengembalikan keadaan patologik ke keadaan semula.

1. INOTROPIK
a. Glikosida Jantung Glikosida jantung mempunyai efek inotropik positif, yaitu
memperkuat kontraksi otot jantung sehingga meningkatkan curah jantung. Efek inotropik
positif terjadi melalui peningkatan konsentrasi ion Ca sitoplasma yang memacu kontraksi
otot jantung. Glikosida jantung alamiah dapat diperoleh dari berbagai tanaman, yaitu:
Folia digitalis purpurea menghasilkan digitoksin, gitoksin, dan gitalin. Folia digitalis
lanata menghasilkan lanatosid A (hidrolisisnya menghasilkan digitoksin) lanatosid B
(hidrolisisnya menghasilkan gitoksin) dan lanatosid C (hidrolisisnya menghasilkan
digoksin), Strofantus gratus menghasilkan glikosid ouabain dan Strofantus kombe
menghasilkan glikosid strofantin, Urginea maritime (ganggang laut) menghasilkan
skilaren, yakni zat aktif yang memacu kerja jantung.

 Farmakodinamik, semua glikosida jantung mempunyai farmakodinamika yang sama, dan


hanya berbeda dalam farmakokinetiknya, Glikosida jantung mempunyai efek
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung (kerja inotropik positif), Memperlambat
frekuensi denyut jantung (kerja kronotropik negatif), Menekan hantaran rangsang (kerja
dromotropik negatif), Menurunkan nilai ambang rangsang. Hal ini akan mempermudah
timbulnya rangsangan heterotropik, yang kemudian menyebabkan ekstrasistol.

Mekanisme Kerja, glikosida jantung bekerja menghambat enzim Natrium-Kalium ATP-ase pada
reseptor di membran sel. Kemudian di miokardium, khususnya pertukaran ion-ion Na+- K+,
diubah menjadi pertukaran ion-ion Na+ - Ca++ meningkatkan influx Ca++ menjadi protein
kontraktil tergantung-Ca2+ pada sel otot jantung. Pada nodus AV, glikosida bekerja
memperpanjang periode refrakter dan menurunkan kecepatan impuls supraventrikel yang
ditransmisikan ke ventrikel. Mekanisme efek ini kurang dimengerti, tetapi tampaknya melibatkan
peningkatan aktivitas vagal dan pengurangan sensitivitas nodus AV terhadap impuls simpatik;
kedua hal ini menyebabkan penekanan konduksi yang melewati nodus.
 Farmakokinetik, Bioavailabilitas sediaan oral sangat bervariasi sehingga perlu memantau
kadarnya dalam serum. Absorbsinya dihambat oleh adanya makanan dalam saluran cerna,
perlambatan pengosongan lambung, malabsorbsi, dan antibiotika. Ekskresi digitalis
berbeda menurut jenisnya masing-masing. Ekskresi terutama melalui ginjal dalam bentuk
utuh dan sebagian dalam bentuk yang telah diubah. Sediaan yang paling lambat
diekskresikan adalah digitoksin dan yang paling cepat adalah ouabain.

 Digitalis, dalam darah digitalis berikatan dengan albumin plasma. Ikatan ini berbeda
untuk tiap sediaan digitalis. Metabolismenya terutama terjadi dalam hepar, sehingga pada
penderita payah jantung dengan fungsi hepar terganggu kemungkinan terjadinya
intoksikasi digitalis lebih besar.
 Digoksin, obat ini terikat dengan protein plasma sebanyak 25%; sebagian besar ekskresi
melalui urine dalam bentuk utuh. Pada keadaan gagal ginjal dosisnya harus diturunkan.
Waktu paruh sekitar 1,6 hari (40 jam).
 Digitoksin, sebanyak 90% digitoksin diikat oleh protein plasma. Senyawa ini
dimetabolisasi oleh enzim mikrosom hati (salah satu hasil metabolismenya adalah
digoksin). Digitoksin mengalami sirkulasi enterohepatik yang nyata, dan waktu paruhnya
4-7 hari. Metabolit hepatik diekskresikan dalam urine. Oubain, walaupun kerjanya cepat,
obat ini jarang digunakan di klinik.

Indikasi Klinik Glikosida Digitalis, diindikasikan untuk (1) lemah jantung kongestif, dan (2)
depresi nodus AV. Tujuan pemberian glikosida pada depresi nodus AV ialah untuk mengontrol
respons ventrikel terhadap takikardi supraventrikel paroksimal, flutter atrial atau fibrilasi atrial.

 Efek Samping
 Gejala saluran cerna, hilangnya nafsu makan dan mual/muntah merupakan gejala
paling dini yang timbul pada keracunan digitalis.
 Efek pada jantung, antara lain ekstrasistol, fibrilasi atrium, fibrilasi ventrikel
(gangguan pembentukan rangsangan), serta dapat terjadi blok SA dan blok AV.
 Susunan saraf, sakit kepala, trigeminal neuralgia, capai/lemah, disorientasi, afasia,
delirium, konvulsi dan halusinasi.
 Gangguan penglihatan, kromatopsia (buta warna sebagian atau seluruhnya);
penglihatan kabur, diplopia dan skotomata (adanya daerah buta/sebagian buta
dalam visus). Kromatopsia yang sering terjadi adalah warna hijau dan kuning
(xantopsia).
 Gejala lain: (1) pada laki-laki ada kalanya terjadi ginaekomastia (menyerupai efek
estrogen), (2) kelainan kulit dapat berupa urtikaria (jarang sekali), (3) eosinofilia
yang nyata dalam darah, dan (4) koagulasi darah, belum ada data-data yang jelas
dari klinik.
 Interaksi Obat
 Hipokalemia dan hipomagnesemia merupakan predisposisi untuk intoksikasi
digitalis.
 Kalsium dan digitalis mempunyai efek yang sama pada miokard. Efek inotropik
digitalis yang positif kemungkinan besar melalui efek Kalsium.
 Barbiturat, rifampisin, fenilbutazon, dan fenitoin menginduksi enzim mikrosomal
hati sehingga meningkatkan metabolisme digitoksin (metabolitnya digoksin).
 Diuretik (potassium loosing diuretic), klortalidon, etakrinik, furosemid, dan
golongan diuretik tiazid saling memperkuat efek glikosida jantung.
 Obat simpatomimetik memudahkan terjadinya ectopic pacemaker.
 Neomisin mengganggu absorbsi digitalis.
 Verapamil, nifedipin, amiodaron, kuinidin, tetrasiklin, diazepam, eritromisin, dan
hipotiroid dapat meningkatkan efek digoksin. Antasid, prednisone, rifampisin, dan
hipertiroid dapat menurunkan efek digoksin.

B. Dobutamin

Dobutamin adalah suatu agonis β-adrenergik yang bekerja sebagai inotropik positif pada
jantung. Dalam dosis sedang, dopamine meningkatkan kontraktilitas miokard tanpa
meningkatkan frekuensi denyut jantung, sedangkan dosis yang lebih tinggi meningkatkan
tekanan darah dan frekuensi denyut jantung. Hal ini agaknya menunjukkan kerja yang relatif
selektif pada otot ventrikel. Jadi, secara relatif, dobutamin lebih menonjol dalam hal
meningkatkan kontraktilitas otot jantung daripada meningkatkan kontraktilitas otot jantung
daripada meningkatkan frekuensi denyut janyung sehingga obat tersebut menghasilkan inotropik
positif.

Secara kimia, dobutamin mirip dengan dopamin, tetapi mempunyai gugus aromatik sebagai
pengganti gugus amino. Katekolamin sintetik ini terutama bekerja pada β1-adrenoreseptor,
sedikit memenuhi β2-reseptor dan α serta tidak memengaruhi reseptor dopamin. Selain itu,
dobutamin juga menambah otomatisitas sinus pada manusia;aksi ini tidak menonjol, seperti pada
isoproterenol. Efek yang kontras dengan dopamin, dopamin tidak mempunyai efek reseptor
dopaminergik dalam pembuluh darah ginjal sehingga tidak menyebabkan vasodilatasi ginjal.

Efek Samping :

• Takikardia dan hipertensi, dalam hal ini dosis diturunkan, Mual, sakit kepala, palpitasi, nyeri
angina, sesak nafas, dan aritmia ventrikel kadang-kadang terjadi, Fibrilasi atrium. Pada
penderits dengan penyakit jantung koroner tanpa gagal jantung, dopamin dapat menyebabkan
iskemik miokard, Toksisitas, karena efek elektrofisiologi yang disebabkan oleh dobutamin
tidak jauh berbeda dengan isoproterenol dan dopamin, aritmia kordis dapat terjadi. Dobutamin
menambah konduksi AV dan dibarengi dengan fibrilasi atrial. 5 – 10% pasien memakai
dobutamin, irama jantung dan tekanan sistoliknya meningkat. Efek tersebut segera berkurang
bila dosis diturunkan.

c. Inhibitor Fosfodiesterase

Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah amrinon dan milrinon sebagai inhibitor
fosfodiesterase yang memacu peningkatan konsentrasi siklik-AMP intrasel, dan meningkatkan
kontraktilitas otot jantung atau bersifat inotropik positif. Akhir-akhir ini, hasil uji klinis
menunjukkan bahwa obat-obat ini tidak dapat menurunkan angka kematian mendadak dan
tidak dapat memperpanjang masa hidup penderita gagal jantung bendungan.

2. DIURETIK

Ginjal memegang peranan penting dalam pathogenesis gagal jantung sebab pengurangan
volume cairan ekstrasel dengan diuretik akan menurunkan preload, mengurangi bendungan paru,
dan edema di perifer. Oleh karena itu, dewasa ini diuretik sering dipakai sebagai obat pertama
pada gagal jantung bendungan ringan dengan denyut jantung yang normal. Pada fungsi ginjal
yang normal, golongan tiazid adalah obat pilihan untuk gagal jantung.

Obat golongan ini meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl- melalui urine. Secara sekunder terjdi
pengeluaran K+ akan membahayakan penderita yang juga mendapat digitalis sebab bila terjadi
hipokalemia, jantung akan lebih rentan terhadap digitalis sehingga mudah terjadi keracunan
digitalis. Dalam hal ini, perlu pemeriksaan elektrolit secara berkala. Pasien juga harus diberikan
sediaan yang mengandung Kalium (KCl) atau banyak makan buah-buahan.

Selain itu, dapat pula diberikan diuretik hemat kalium, seperti aldosteron antagonis
(spironolakton), triamteren, dan amilorid. Dibanding dengan furosemid, efek diuretik hemat
kalium kurang kuat. Cara kerja diuretik adalah penghambatan secara kompetitif.
Hiperaldosterinisme terjadi karena peningkatan ekskresi aldosteron oleh korteks bertambah. Hal
ini disebabkan oleh sekresi glikokortikoid yang meningkat.

Peningkatan sekresi glikokortikoid tersebut terjadi karena pembedahan, rasa takut, stress, trauma
fisik, perdarahan, asupan kalium meningkat, asupan natrium menurun, bendungan vena kava
inferior, sirosis hepatitis, nefrosis, dan gagal jantung.
3. VASODILATOR

Vasodilator berperan penting dalam mengatasi gagl jantung berat, terutama yang
disebabkan oleh hipertensi, penyakit jantung iskemik, insufisiensi mitral, dan insufiensi aorta.
Vasodiltor akan memperbaiki keseimbangan kardiovaskular. Pada gagal jantung bendungan,
gangguan fungsi kontraksi jantung diperberat oleh peningkatan kompensasi pada preload dan
afterload. Preload adalah volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole. Afterload adalah
tekanan yang harus diatasi jantung pada saat memompa darah ke sistem arterial. Peningkatan
preload menyebabkan pengisian jantung berlebihan. Peningkatan afterload menyebabkan jantung
bekerja lebih kuat memompa darah ke sistem arterial. Pemberian vasodilator berguna untuk
mengurangi preload dan afterload yang berlebihan. Dilatasi pembuluh darah vena menyebabkan
berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena; vasodilator arterial
menurunkan resistensi arteriol sistemik dan menurunkan afterload.

Pemilihan vasodilator untuk penderita gagal jantung dilakukan berdasarkan gejala gagal
jantung dan parameter yang ada. Pada penderita yang tekanan pengisiannya (filling pressure)
tinggi sehingga sesak nafas yang menonjol, vasodilator akan membantu mengurangi gejala.
Sebaliknya, penderita dengan curah jantung rendah yang ditandai dengan kelelahan umum
(fatique) akan tertolong dengan arteriole dilator. Namun, pada penderita gagal jantung kronis
yang kurang responsif terhadap pengobatan, biasanya kedua faktor di atas berperan sehingga
diperlukan vasodilator yang sekaligus bekerja pada arteriol dan vena. Vasodilator parenteral
misalnya natrium nitroprusid atau nitrogliserin i.v, digunakan untuk mengobati gagal jantung
kronis dan eksaserbasi akut yang berat.

Inhibitor ACE dan vasodilator oral jangka panjang, ditujukan untuk gagal jantung kronik yang
berat refrakter. Nitrogliserin yang digunakan untuk angina pektoris dapat pula digunakan untuk
mengurangi preload sehingga akan mengurangi edema paru.

a. Natrium Nitroprusid Karena berefek arteriodilator dan vasodilator, obat ini mengurangi
tekanan pengisian dan meningkatkan curah jantung pada penderita gagal jantung dengan
gangguan pompa yang berat .Obat ini lebih efektif dan lebih cepat kerjanya. Isi sekuncup
yang ditimbulkan dapat mengimbangi turunnya resistensi perifer sehingga tekanan darah
biasanya tidak banyak berubah. Kombinasi dengan zat inotropik, misalnya dobutamin akan
meningkatkan efektivitasnya, terutama pada penderita dengan komplikasi hipotensi. Dosis
yang biasa diberikan adalah 15-20 µg/menit pada orang dewasa dan 0,1-8 µg/kg BB/menit
pada anak-anak.

b. Nitrogliserin Indikasi utama obat ini ialah untuk angina pectoris, tetapi karena dapat
mengurangi preload, obat ini bermanfaat untuk menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri
dan mengurangi edema paru akut.
HidralazinMerupakan arteriodilator. Dalam penggunaan jangka panjang pada gagal jantung
bendungan akan memperbaiki hemodinamik walaupun efeknya terhadap kebertahanan hidup
masih belum jelas. Refleks takikardi yang sering timbul pada penderita hipertensi jarang terjadi
pada pengobatan gagal jantung.

Cara kerja, hidralazin merelaksasi otot polos arteriol secara langsung dan vasodilatasi yang
terjadi dapat menimbulkan reaksi kompensasi yang kuat berupa peningkatan denyut dan
kontraktilitas jantung, serta peningkatan renin plasma dan retensi cairan yang akan melawan efek
hipotensi obat. Penurunan tekanan diastolik lebih besar daripada tekanan sistolik. Absorbsinya
melalui saluran cerna dan hampir sempurna.

Efek samping, dapat berupa :

1. Retensi natrium dan air. Untuk mengatasinya, berikan diuretic.

2. Sakit kepala dan takikardi, dapat diatasi dengan menurunkan dosis.

3. Iskemik otot jantung, gangguan saluran cerna, kulit dan muka memerah, nyeri otot,
nyeri sendi, pembesaran limfa, edema, dan toksik hepar. Semuanya dapat pulih
kembali bila obat dihentikan.

c. Inhibitor ACE (kaptopril, enalapril) Kaptopril adalah suatu medilator yang bekerja
menghambat enzim konversi angiotensin (angitensin Converting Enzyme, ACE). Inhibitor
ACE merupakan obat pilihan untuk gagal jantung bendungan, dan lebih baik daripada
vasodilator lain. Efek farmakologi inhibitor ACE adalah pada sistem renin-angiotensin, yaitu
menghambat perubahan angiotensin I inaktif menjadi angiotensin II yang aktif. Inhibitor ACE
ini sangat spesifik. Obat ini tidak berinteraksi secara langsung dengan komponen lain dari
sistem renin-angiotensin termasuk reseptor peptide. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
kuat dan merupakan salah satu perangsang kuat terhadap kelenjar adrenal untuk sekresi
aldosteron yang merangsang reabsorbsi Na+ dan Cl- dalam ginjal. Karena sistem arteriolar
mengalami dilatasi, inhibitor ACE akan mengurangi afterload dan jantung curah meningkat
(inotropik positif). Inhibitor ACE bukan hanya menyebabkan dilatasi arteriol sehingga
mengurangi afterload melainkan juga menyebabkan venodilatasi sehingga mengurangi retensi
cairan dan mengurangi preload.

Frekuensi jantung umumnya berkurang, inhibitor ACE ini juga mengurangi tahanan
pembuluh darah paru dan tahanan atrial kiri dan ventrikel kiri (preload). Aliran darah otak dan
jantung tidak berubah walaupun tekanan darah menurun. Pada pemberian oral, absorbsinya
cepat. Bioavailabilitas rata-rata 60% dan berkurang karena makanan. Obat diberikan 1 jam
sebelum makan. Konsentrasi puncak dalam plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruhnya
kira-kira 2 jam. Kurang lebih 95% obat ini dikeluarkan melalui urine. 50% sebagai kaptopril
dan sisanya sebagai metabolit. Ekskresi obat ini lambat pada pasien ginjal.
Efek samping

1. Hipotensi, terutama bila diberikan bersama dengan diuretik. Berikan dosis awal sekecil
mungkin, lalu lanjutkan sesuai kebutuhan

2. Insufisiensi ginjal pada pasien stenosis ginjal bilateral. Hal ini disebabkan oleh
pengurangan angiotensin II yang diperlukan dalam keadaan tersebut untuk
mengonstriksi pembuluh arterial eferens glomerulus sehingga filtrasi memadai.

3. Kulit memerah, indra pengecap terganggu/hilang sama sekali, vertigo, sakit kepala,
dan berbagai gejala saluran cerna, proteinemia, dan batuk kering mengendap.

4. Kaptopril tidak dianjurkan untuk wanita hamil.

Indikasi, pasien gagal ventrikel kiri (semua tingkat), termasuk infark miokard. Saat infark
miokard terjadi, pengobatan harus dimulai sendiri, mungkin setelah infark miokard.
II. OBAT ANTIARITMIA

PATOFISIOLOGI ARITMIA

Obat-obat antiaritmia terdiri atas golongan molekul heterogen yang memengaruhi fungsi
elektrofisiologi jantung dengan jalan memblok kanal ion (kanal natrium, kalsium, dan kalium)
atau dengan mengurangi efek simpatik. Rangsangan jantung secara normal disalurkan dari
sentrum impuls pacu nodus SA (sinoatrial) melalui atrium, sistem hambatan hantaran
atriventrikuler (AV), berkas serabut Purkinje, dan otot ventrikel. Dalam keadaan normal, pacu
untuk denyut jantung dimulai di denyut nodus SA (Nodus Keith-Flack). Jadi, ada “irama sinus”
dengan 70-80 kali per menit, di nodus AV (Nodus Tawara) dengan 50 kali per menit.

Sentrum yang tercepat membentuk pacu memberikan pimpinan, dan sentrum yang memimpinini
disebut Pacemaker. Dalam keadaan tertentu, sentrum yang lebih rendah pun dapat juga bekerja
sebagai pacemaker, yaitu : Bila sentrum SA membentuk pacu lebih kecil, atau bila sentrum AV
membentuk pacu lebih besar. Bila pacu di SA tidak sampai ke sentrum AV, dan tidak diteruskan
ke Bundel His akibat adanya kerusakan pada sistem hantaran atau penekanan oleh obat.

Aritmia terjadi karena gangguan pembentukan impuls (otomatisasi abnormal atau gangguan
konduksi). Gangguan dalam pembentukan pacu, antara lain :

1. Gangguan dari irama sinus, seperti takikardi sinus, bradikardi sinus, dan aritmia sinus.

2. Debar ektopik dan irama ektopik :

a. Takikardi sinus fisiologis, yaitu pekerjaan fisik, emosi, waktu makanan di cerna.

b. Takikardi pada waktu istirahat yang merupakan gejala penyakit, seperti demam,
hipotiroidisme, anemia, lemah miokard, miokarditis, dan neurosis jantung. Dalam
keadaan normal, kontraksi jantung diawali oleh rangsangan β-adrenoseptor yang
menyebabkan pertukaran ion Na+ dan K+ disertai influks ion Ca2+. Depolarisasi
terjadi melalui interaksi aktin dengan myosin yang menghasilkan kontraksi miokard.
Jantung sebagai organ otonomik dapat berkontraksi sendiri oleh rangsangan yang
masuk dari luar simpul SA, misalnya rangsangan psikis, racun, perdarahan, dan obat.
Sistem saraf pada jantung dipengaruhi oleh nervus vagus (parasimpatik) dan saraf
simpatik. Aritmia atau disritmia adalah irama jantung yang tidak termasuk dalam
irama sinus normal dan frekuensinya tidak normal. Irama sinus normal diatur oleh
simpul SA dan kecepatannya bergantung pada faktor pengontrol otomatis. Dalam
keadaan istirahat, frekuensi denyut jantung biasanya 60-80x/menit. Impuls ini segera
disalurkan melalui jaringan atrium dan masuk ke dalam simpul AV.

JENIS-JENIS ARITMIA

Aritmia yang paling sering ditemukan adalah :

1. Flutter Atrium. Pada keadaan ini, kecepatan irama regular yang dikeluarkan oleh jaringan
atrium adalah 220-350/menit. Fokus penyebabnya mungkin dari pacemaker atau re-entry
circuit. Curah darah atrium tetap bertahan, tetapi kemudian berkurang secara bermakna dan
progresif sesuai dengan meningkatnya frekuensi.

2. Fibrilasi Atrium. Dalam hal ini, terdapat irama yang cepat dan tidak teratur (frekuensi
atrium 350-1000/menit atau lebih); dan frekuensi irama ventrikel bergantung pada derajat
blok AV, biasanya 50-250/menit). Tidak lama kemudian, atrium berkontraksi dalam ragam
yang sinkron dan darah mengalami penumpukan kemudian berkumpul di sekitar trabekula
dinding atrium.

3. Blok AV. Penekanan konduksi impuls nodus AV dapat memperlambat frekuensi impuls
dengan perbandingan konduksi 1:1 (derajat blok I), blok 1 atau lebih impuls atrium
merambat secara intermiten sehingga rasio antara denyut atrium terhadap ventrikel menjadi
2:1, 3:2 dan seterusnya (derajat blok xII) atau blok sempurna (derajat blok III). Pada kasus
terakhir pacemaker, ventricular (baik natural maupun elektris) harus ada untuk
mempertahankan fungsi ventrikel.

4. Ritme hubungan antarventrikular. Iramanya cepat diatur dalam nodus AV atau dalam saraf.
Hal ini sering disebabkan oleh digitalis tetapi dapat pula hilang sendiri.

5. Takikardi Supraventrikular. Iramanya cepat yang melibatkan nodus AV dan bagian jaringan
trium, serta ventrikel dalam sirkuit re-entry. Berkas penghantar yang ganjil berada di antara
atrium dan ventrikel.

6. Debar ventrikel premature. Irama ini terdiri atas debar sinus yang teratur dengan diselingi
debar Purkinje atau dari sumber sel ventrikel. Berbagai macam mekanisme
menggarisbawahi aritmia ini. Debar ventrikular prematur dapat memacu aritmia ventrikular
yang lebih berbahaya. Irama bigeminus merupakan variasi antara gabungan irama sinus
yang teratur dan debar ventrikular premature, biasanya dalam rasio 1:1.
7. Takikardi ventrikuler. Irama ini sering diikuti oleh suatu focus jantung atau keracunan
digitalis yang berat. Hal ini disebabkan oleh fokus (baik pacemaker maupun re-entry) yang
mendominasi ventrikel. Debar sinus dapat berada atau tidak ada di dalam atrium. Takikardi
ventrikuler yang cepat, biasanya secara mekanik tidak efisien dan mengurangi curah
jantung. Aritmia ini juga merupakan predisposisi berkembangnya fibrilasi ventrikular.

8. Fibrilasi ventrikular. Aritmia ini merupakan kelainan irama yang paling berbahaya dari
semua jenis aritmia karena tidak lagi ada curah jantung. Sirkulasi harus segera diatasi
dengan defibrilasi atau dengan memijit jantung dari luar dalam sekejap untuk mencegah
kerusakan otak atau jantung secara permanen.

Jadi, aritmia adalah hasil otomatisasi yang tidak normal (aktivitas pacemaker ektopik) atau
konduksi yang tidak normal (blok atau re-entry). Hasil abnormalitas ini pada gilirannya, berasal
dari perubahan pada saluran membran, terutama permeabilitas saluran natrium, kalsium, dan
kalium.

OBAT-OBAT ANTIARITMIA

Obat antiaritmia memengaruhi aksi potensial dan konduksinya dengan beberapa cara. Secara
klinis, hal ini direfleksasikan dalam denyut nadi dan tekanan darah yang sama baiknya, seperti
pada EKG. Obat antiaritmia dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelas menurut efek
elektrofisiologiknya, penggolongan ini tidak selalu dapat dipakai dalam klinik karena tiap obat
dapat menunjukkan lebih dari 1 efek elektrofisiologik.

1. Kuinidin

Farmakologi, merupakan dekstroisomer dari kuinin, absorbsinya cepat pada pemberian oral,
dimetabolisasi oleh hati dan diekskresi dengan cepat oleh ginjal.

o Efek Elektrofisiologik, (1) Meningkatkan konduksi nodus AV (vagolitik), dan (2)


Menurunkan otomatisitas dan memperpanjang aksi potensial pada otot ventrikel, serabut
Purkinje, dan otot atrium.
o Indikasi Klinik, (1) Aritmia ventrikel dan ektopik ventrikel, (2) Menghilangkan flutter
atau fibrilasi atrial. Sebelumnya, penderita harus diobati dulu dengan digitalis atau β-
blocker untuk menghindari efek vagolitik pada nodus AV dengan mengakibatkan
peningkatan respons pada ventrikel sehingga terjadi disritmia atrial, dan (3) Kontraksi
prematur atrial.
o Efek samping dan Toksisitas, (1) Pada EKG, tampak QT dan QRS sangat memanjang,
nodus SA terhenti, blok AV tingkat tinggi, takiaritmia ventrikel, asistol,
perlambatan/pemendekan nodus AV, dan dapat mengubah fibrilasi atrium menjadi
fibrilasi ventrikel. Hipotensi disebabkan oleh vasodilatasi perifer dan efek inotropik
negatif. Gejala saluran cerna berupa mual, muntah, dan diare. Reaksi imunologik berupa
drug fever, reaksi anafilaksis, trombositopenia. Sinkonisme, dengan gejala tinnitus,
pandangan kabur, gangguan saluran cerna, dan delirium. Sinkop.

Interaksi Obat, Barbiturat, fenitoin, primidon, dan rifampisin dapat meningkatkan metabolisme
kuinidin. Simetidin dapat menurunkan metabolisme kuinidin. Amiodaron dapat meningkatkan
efek kuinidin. Kuinidin dapat meningkatkan efek digoksin, digitoksin, dan dapat menghambat
neuromuscular.

2. Prokainamid

o Sifat Farmakologis. Struktur kimia prokainamid mirip dengan prokain. Obat ini dapat
diberikan per oral atau parenteral.
o Indikasi Klinik, hampir sama dengan kuinidin. Prokainamid atau kuinidin dapat dipakai
salah satu jika yang lain tidak efektif. Prokainamid juga merupakan obat yang baik untuk
disritmia ventrikular.
o Efek samping dan Toksisitas, dapat berupa; (1) Bradikardi dan blok AV, tingkat blok dan
bradikardia pada prokainamid tinggi, (2) Dapat terjadi perubahan fibrilasi atrial menjadi
fibrilasi ventrikular, (3) Hipotensi, (4) Delirium, (5) Reaksi imunologik: drug fever,
agranulositosis, sindrom mirip-lupus (terutama atralgia dan perikarditis). Berbeda dengan
SLE sebenarnya, kecendrungan (predileksi) kurang pada wanita; melibatkan otak dan
ginjal, leucopenia, anemia, trombositopenia. Asetilator lambat lebih mudah dipengaruhi
(lebih sensitif).

3. Disopiramid

o Sifat Farmakoligi, Absorbsinya baik pada pemberian oral. Senyawa induk dan
metabolitnya diekskresikan melalui ginjal. Kira-kira separuh dari obat mengalami
metabolisme lintas-pertama dihati.
o Indikasi klinik, Pemberian per oral berperanan penting dalam pengobatan dan
pencegahan takikardia ventrikel dan kontraksi ektopik ventrikel.
o Toksisitas, Obat ini memberikan efek inotropik negatif terbesar, dapat memperberat
payah jantung kongestif. Sifat parasimpatolegiknya menimbulkan retensi urin, konstipasi,
dan glaucoma sudut tertutup. Seperti kuinidin dan prokainamid, disopiramid obat ini
dapat mengeksaserbasi disritmia ventrikel (jarang).

4. Lidokain

o Sifat Farmakologi, lidokain adalah obat yang banyak digunakan sebagai obat anestesi
lokal. Metabolisme terjadi di hati (mengalami de-etilasi), dan diekskresi melalui ginjal.
o Indikasi klinik, lidokain merupakan terapi primer untuk disritmia ventrikel (diberikan
secara i.v) dan juga digunakan untuk pencegahan disritmia ventricular pada keadaan
infark miocard akut (pemberian i.v dan i.m).
o Efek samping dan Toksisitas, efek samping yang menonjol pada lidokain adalah : (1)
gejala SSP berupa mengantuk, disorientasi, kejang, dan psikosis (terutama pada pasien
lanjut usia dan penderita payah jantung kronis); dan (2) Hipotensi. Interaksi obat,
Simetidin dan propranolol dapat meningkatkan toksisitas lidokain.

5. Fenitoin

o Sifat Farmakologis, Fenitoin merupakan derivat hidantoin. Obat ini diabsorbsi dengan
baik pada pemberian oral, dan dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Fenitoin dalam
darah terikat dengan protein sebesar 90%. Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk metabolit
terkonjugasi.

6. Bretelium

o Farmakokinetik, metabolismenya tidak jelas, dan ekskresi melalui ginjal.


o Indikasi klinik, aritmia ventrikularnya di unit perawatan intensif (ICU) atau keadaan henti
jantung.
o Toksisitas, dapat berupa: (1) Hipotensi (akibat blockade cabang aferen refleks
baroreseptor), (2) mual dan muntah, (3) vertigo dan pusing, dan (4) hipertensi dengan
golongan simpatomimetik.

7. β-Blocker

o Farmakokinetik, β-blocker memiliki ikatan protein yang tinggi, dimetabolisasi di hati dan
diekskresikan dalam urine.
o Indikasi klinik, β-blocker digunakan untuk: (1) Takiaritmia supraventrikular paroksimal,
(2) Infark pascamiocard, untuk menurunkan resiko re-infark dan kematian mendadak, dan
(3) Pada keadaan tertentu dari miokard infark akut.
o Toksisitas, toksisitas yang berhubungan dengan blokade beta pada daerah nonvascular,
berupa bronkospasme; eksaserbasi penyakit hipoglikemia; terselubungnya respons
simpatik terhadap hipoglikemia;efek inotropik negatif, eksaserbasi dan presipitasi payah
jantung kongestif; dan blokade jantung. Toksisitas pada SSP berupa halusinasi, mimpi
buruk, dan depresi.

8. Verapamil dan Inhibitor Kanal Kalsium Lainnya

o Sifat Farmakologis, (1) Obat ini dapat diabsorbsi secara sempurna pada pemberian per
oral, tetapi mengalami metabolisme lintas pertama substansia oleh hati dan lebih dari
70% diekskresikan melalui ginjal.
o Indikasi klinik, Obat ini akan mengakibatkan takikardia supraventrikular paroksimal
(termasuk sindrom Wolf-Parkinson-White) dan fibrilasi atrial.
o Toksisitas, efeknya dapat berupa hipotensi, asistolik, dan blok AV.

9. Amiodaron

o Sifat Farmakologis, pada pemberian amiodaron secara i.v atau per oral, dibutuhkan waktu
2-4 minggu untuk mencapai keadaan yang mantap. Metabolismenya terjadi di hati, dan
waktu paruhnya berkisar antara 10-50 hari.
o Indikasi klinik, disritmia atrial dan ventricular yang resisten terhadap obat.
o Toksisitas, amiodaron dapat menimbulkan efek samping mikrodeposit pada kornea;
hiper-dan hipotiroidisme; hepatotoksik; alveolitis dan/atau fibrosis paru; meningkatnya
kadar digitalis dan aktivitas obat golongan warfarin, menurunnya fungsi ventrikel kiri;
fotosensitivitas; deposit pada kulit sehingga berwarna kebiruan.

10. Obat-obat baru (oral)

a. Meksiletin dan Tokainid

Obat-obat ini adalah analog lidokain, dan diberikan per oral dengan efek dan indikasi
yang sama dengan lidokain, tetapi tidak seefektif lidokain untuk pencegahan
fibrilasi/takiaritmia ventrikular rekuren. Meksiletin digunakan untuk pengobatan jangka
panjang aritmia ventrikular yang disebabkan oleh infark miocard sebelumnya. Tokainid
digunakan untuk pengobatan takiaritmia ventrikular. Tokainid mempunyai toksisitas paru
yang dapat menyebabkan fibrosis paru.

b. Flekainid
Obat ini berdisosiasi secara lambat dari kanal natrium istirahat dan menunjukkan efek yang
jelas, walaupun dengan kecepatan denyut jantung normal. Efeknya mirip kuinidin dan
prokainamid. Obat ini digunakan untuk kontraksi ventrikular premature dan takikardi
ventrikel. Efek Farmakologik, flekainid menekan upstroke fase 0 dari serabut purkinje dan
miocard. Hal ini menyebabkan konduksi yang sangat lambat pada semua jaringan jantung,
dengan efek minor pada lama potensial aksi dan refrakter. Otomatisasi berkurang dengan
peningkatan nilai ambang potensial, dan bukan menurunkan slope depolarisasi fase 4.
Penggunaan klinik, bermanfaat untuk pengobatan aritmia ventrikular refrakter, terutama
berguna untuk menekan kontraksi ventrikular prematur. Flekainid mempunyai efek inotropik
negatif pada jantung dan dapat memperberat gagal jantung bendungan. Efek samping, dapat
berupa pusing, sakit kepala, penglihatan kabur, dan mual. Flekainid dapat memperberat
aritmia yang sudah ada, yang akan timbul atau menimbulkan takikardi ventrikular yang
berbahaya, dan yang resisten terhadap pengobatan.
c. Propafenon
Seperti halnya dengan Flekainid, propafenon memperlambat konduksi dalam seluruh
jaringan otot jantung, dan dianggap sebagai obat antiaritmia berspektrum luas.
III. OBAT ANTIANGINA

PENDAHULUAN

Angina pectoris adalah gejala utama penyakit jantung iskemik, berupa rasa nyeri hebat di
dalam dada (retrosternal) yang menjalar ke lengan kiri, leher, atau rahang; dicetuskan oleh kerja
fisik, ketegangan mental, hawa dingin, atau pada waktu makan. Nyeri angina dapat terjadi bila
aliran darah koroner tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik jantung. Rasa nyeri
dapat dikurangi atau dihilangkan dengan obat yang memperbaiki perfusi darah ke miocard atau
yang mengurangi kebutuhan metabolik jantung atau obat yang bekerja dengan kedua cara ini.
Gejala angina pectoris timbul ketika suatu ketidakseimbangan akut antara kebutuhan oksigen
miokard dan jumlah oksigen yang ada untuk keperluan tersebut terjadi. Hal ini terjadi ketika
terdapat peningkatan kebutuhan oksigen yang tiba-tiba pada suatu jantung iskemik yang kronis,
atau ketika terdapat spasme dari suatu arteri koroner (disebut varian=atipikal=angina
Prinzmetal). Selain itu, terdapat juga angina tak stabil yang biasanya disebabkan oleh ruptur
suatu plak ateromatous dalam suatu arteri koroner yang selanjutnya bisa berkembang menjadi
serangan infark miocard. Obat-obat yang digunakan pada pengobatan angina antara lain,
Vasodilatator koroner (terdiri dari Nitrat Organik dan Antagonis Kalsium) dan β-Blockers yang
berfungsi mengurangi kebutuhan oksigen miocard.

OBAT-OBAT ANGINA PECTORIS

A. Vasodilator Koroner Zat-zat ini memperlebar arteri jantung, memperlancar pemasukan darah
serta oksigen, dan dengan demikian meringankan beban jantung. Pada serangan akut, obat
pilihan utama adalah nitrogliserin sublingual dengan kerja pesat tetapi singkat. Sebagai terapi
interval guna mengurangi frekuensi serangan tersedia nitrat long acting (isosorbide-nitrat),
Antagonis Calcium (Diltiazem, Verapamil), dan Dipiridamol.
1. Nitrogliserin

o Farmakologi, trinitrat dari gliserol berkhasiat relaksasi otot pembuluh, bronchia, saluran
empedu, lambung usus, dan kemih. Berkhasiat vasodilatasi berdasarkan terbentuknya
nitrogenoksida (NO) dari nitrat di sel-sel dinding pembuluh. NO bekerja mengendurkan
sel-sel ototnya, sehingga pembuluh terutama vena mendilatasi dengan langsung.
Akibatnya, tekanan darah turun dengan pesan dan aliran darah vena yang kembali ke
jantung berkurang. Penggunaan oksigen jantung menurun dan bebannya dikurangi. Arteri
koroner juga diperlebar, tetapi tanpa efek langsung terhadap miocard.
o Penggunaan, per oral untuk menanggulangi serangan angina akut secara efektif,
begitupula sebagai profilaksis jangka pendek, misalnya langsung sebelum melakukan
aktivitas bertenaga (exertion) atau menghadapi situasi lain yang dapat menginduksi
serangan. Secara intravena digunakan pada dekompensasi tertentu setelah infark jantung,
jika digoksin dan diuretika kurang meberikan hasil.
o Efek samping, yang terpenting berupa nyeri kepala dan refleks takikardia, juga hipotensi
ortostatis, pusing, nausea, ‘flushing’, disusul dengan muka pucat. Bila efek terakhir
timbul, maka pasien harus mengeluarkan sisa tablet dari mulut dan segera berbaring.
Plester dapat menimbulkan iritasi kulit (merah) dengan rasa terbakar dan gatal-gatal.

2. Isosorbida-5-mononitrat

o Farmakologis, Derivat nitrat siklis sama kerjanya dengan nitrogliserin, tetapi bersifat
long-acting. Di dinding pembuluh zat ini diubah menjadi nitrogenoksida (NO), yang
mengaktivasi enzim tertentu. Karena itu, kadar cGMP (cyclo Guanyl-Mono-Phosphate)
di sel otot polos naik dengan akibat vasodilatasi.
o Penggunaan, Isosorbida-5-mononitrat terutama digunakan oral sebagai profilaksis untuk
mengurangi frekuensi serangan, juga secara oromukosal (tablet retard). Adakalanya juga
oral pada dekompensasi yang dengan obat-obat lazim kurang berhasil.

3. Isosorbida-dinitrat

o Farmakologi, Isosorbida-dinitrat adalah derivate dengan khasiat dan penggunaan sama.


Secara sublingual mulai kerjanya dalam 3 menit dan bertahan sampai 2 jam, secara spray
masing-masing 1 menit dan 1 jam, sedangkan oral masing-masing 20 menit dan 4 jam
(tablet retard 8-10 jam).

4. Dipiridamol

o Farmakologi, sebagai penghambat fosfodiesterase, derivat dipiperidino ini berdaya


inotrop positif lemah tanpa menikkan penggunaan oksigen dan vasodilatasi, juga
terhadap arteri jantung. Penggunaannya pada angina kini dianggap obsolet, karena kurang
efektif. Begitu pula sebagai obat pencegah infark kedua (bersama asetosal), berdasarkan
kerja antitrombotiknya. Khusus digunakan sebagai obat tambahan antikoagulansia pada
bedah penggantian katup jantung untuk mencegah penyumbatan karena penggumpalan
darah (tromboemboli).
o Efek samping, gangguan lambung usus, nyeri kepala, pusing, dan palpitasi yang bersifat
sementara.

B. β-Blockers

Farmakologi, β-blockers memperlambat pukulan jantung (bradycardia, efek kronotrop


negatif), sehingga mengurangi kebutuhan oksigen miocard. Juga digunakan pada terapi interval.
Zat-zat ini mengikat diri secara reversibel pada reseptor β-adrenoreseptor dan dengan demikian
memblok reaksi atas impuls saraf simpatik atau katekolamin (nor/adrenalin, serotonin, dan
sebagainya) dari sirkulasi.

Blokade reseptor β1 menurunkan frekuensi jantung (efek kronotrop negatif), daya kontraksi
(efek inotrop negatif), dan volume-menit jantung. Kecepatan penyaluran AV diperlambat dan
tekanan darah diturunkan. Blokade reseptor β2 dapat antara lain menimbulkan bronchokonstriksi
dan meniadakan efek vasodilatasi dari katekolamin terhadap pembuluh perifer.

Penggunaan, selain pada pada hipertensi juga pada :

a. Angina Stabil Kronis, berdasarkan efek kronotrop negatifnya yang menyebabkan


dikuranginya kebutuhan oksigen jantung exertion, hawa dingin, dan emosi. Secara
sekunder juga penyaluran darah melalui pembuluh koroner berkurang. Pada angina
variant, kerjanya tak konstan, yaitu dapat positif dan negatif, maka umumnya lebih
disukai antagonis kalsium.

b. Gangguaan Ritme, antara lain fibrilasi dan flutter serambi, juga takikardia
supraventrikuler. Terutama sebagai obat tambahan, bila glikosida jantung tunggal
kurang menghasilkan efek.

C. Antagonis Ca2+

Calcium entry-blockers mengurangi penggunaan oksigen selama exertion, karena tekanan


darah arteri umumnya turun akibat vasodilatasi perifer dan turunnya frekuensi jantung (efek
kronotrop negatif). Selain itu, pemasukan darah diperbesar karena vasodilatasi miocard, efek
inotrop negatifnya hanya ringan atau hilang sama sekali.

1. Nifedipin

o Farmakologi, Dihidropiridin terutama berkhasiat vasodilatasi kuat dengan hanya kerja


ringan terhadap jantung. Efek inotrop negatifnya ditiadakan oleh vasodilatasi, bahkan
frekuensi jantung serta cardiac output justru dinaikkan sedikit akibat antara lain turunnya
afterload (volume darah yang dipompa keluar jantung ke arteri)

2. Verapamil

o Farmakologi, Rumus kimia senyawa amin ini mirip papaverin. Khasiat vasodilatasinya
tidak sekuat nifedipin dan derivatnya, tetapi efek inotrop negatifnya lebih besar. Bekerja
kronotrop ringan dan memperlambat penyaluran impuls AV. Penggunaan, digunakan
pada angina variant/stabil, hipertensi dan aritmia tertentu (antara lain takikardia
supraventrikuler, fibrilasi serambi)

3. Diltiazem

o Farmakologi, derivat benzothiazin ini berkhasiat vasodilatasi lebih kuat dar verapamil,
tetapi efek inotrop negatifnya lebih ringan.Penggunaan, sama dengan verapamil pada
angina variant/stabil, hipertensi, dan aritmia tertentu.

IV. OBAT ANTIHIPERTENSI

Hipertensi adalah penyakit kompleks yang ditandai dengan adanya tekanan diastolic lebih
dari 90 mmHg pada saat istirahat, kecuali pada isolated systolic hypertension, dengan adanya
peningkatan tekanan sistolik tanpa disertai peningkatan tekanan diastolik. Ada hipertensi yang
tidak diketahui sebabnya (hipertensi esensial) atau hipertensi sekunder dengan sebab yang jelas,
misalnya penyakit ginjal, penyakit renovaskuler, berbagai penyakit endokrin, coarcttion of the
orta, dan obat-obatan.

Hipertensi biasanya asimptomatik (tidak ada gejala). Tetapi hipertensi kronis menyebabkan
komplikasi tertentu (gagal jantung, gagal ginjal, stroke, dan iskemia miocard). Walaupun sulit
untuk memberikan definisi yang persis mengenai derajat keparahan hipertensi, patokan kerja
yang dapat digunakan, antara lain :

1. Hipertensi ringan (135/85-140/90 mmHg).

2. Hipertensi sedang (140/90-160/100 mmHg).

3. Hipertensi berat (> 160/100 mmHg).

4. Hipertensi Emergensi (tekanan diastolik > 120 mmHg, atau jika ada ensefalopati dengan
tekanan darah berapa pun).

Terapi hipertensi umumnya merupakan terapi obat seumur hidup, dan karena itu harus hati-hati
memastikan bahwa diagnosis adalah benar.
MEKANISME KERJA OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI

Walaupun semua obat antihipertensi yang dibicarakan di sini menurunkan tekanan darah,
sampai sejauh ini hanya diuretik dan β-blockers yang telah terbukti mencegah komplikasi jangka
panjang hipertensi. Semua obat-obat antihipertensi lainnya digunakan dengan anggapan bahwa
penurunan tekanan darah merupakan kunci dalam mencegah komplikasi-komplikasi tersebut.

1. Diuretik,
o mekanisme kerja diuretik thiazide dalam hipertensi belum jelas dan tidak dapat
dihubungkan hanya dengan efeknya pada keseimbangan garam dan air. Diuretik yang
lebih efektif, seperti furosemid, bukan merupakan obat antihipertensi yang lebih efektif.
Walaupun volume cairan intravaskular dan jumlah Na+ total dalam tubuh berkurang
selama minggu pertama terapi dengan diuretik, peningkatan renin sirkulasi terjadi, dan
dalam beberapa minggu volume intravaskular dan jumlah Na+ tubuh kembali normal,
namun efek antihipertensi menetap. Kemungkinan bahwa diuretik bekerja dengan suatu
efek langsung pada otot polos vaskular yang menyebabkan vasodilatasi. Efek tersebut
dapat dihasilkan melalui suatu pengurangan Na+ pada dinding pembuluh darah
(mengubah Ca2+ dinamik) atau melalui suatu kerja pada kanal K+. Diazoksid, suatu
senyawa mirip thiazide menyebabkan retensi Na+, merupakan suatu antihipertensi kuat,
yang bekerja dengan membuka kanal K+ sehingga menyebabkan vasodilatasi perifer.

2. β-Blockers (antagonis β-adrenoseptor).


o Mekanisme kerja β-blockers tidak dimengerti dengan jelas. Yang sekarang diketahui
adalah obat ini menyebabkan penurunan curah jantung, dengan refleks baroreseptor tidak
mengompensasi secara penuh, dan kemudian reseptor barorefleks ini diatur kembali, dan
dengan demikian resitensi perifer turun. Namun, semuanya ini menunjukkan bahwa
mekanisme kerja β-blockers ini belum jelas. Hipotesis lainnya adalah obat β-blockers
memiliki efek sentral, yang mengubah tonus simpatis (ini tidak cocok karena obat-obat β-
blockers yang kurang menembus otak, misalnya atenolol adalah obat antihipertensi yang
sama baiknya), atau mereka menghambat pelepasan renin dari ginjal.

3. Inhibitors ACE.
o Inhibitors ACE menghambat konversi Angiotensin I menjadi Angiotensin II. Senyawa ini
juga menghambat inaktivasi bradikinin. Hambatan terhdap ACE tidak hanya terjadi
dalam plasma tetapi juga didalam endothelium vaskular, menghasilkan vasodilatasi,
penurunan resistensi perifer, dan penurunan tekanan darah. Terdapat bukti bahwa
inhibitor ACE memperbaiki arteriol medial hypertrophy yang terjadi pada hipertensi dan
mengurangi hipertrofi jantung. Inhibitor ACE juga mengurangi produksi aldosterone dan
retensi Na+, dan ini juga dapat berperan dalam efek antihipertensinya.

4. Vasodilator.
o Beberapa obat antihipertensi merupakan vasodilator langsung pada arterioli. Bloker kanal
kalsium (Ca-antagonis) mengurangi masuknya Ca2+ kedalam sel melalui potential-
operated Ca-chanels. Natrium Nitroprusid meniru kerja EDRF (nitrogen monoksida) pada
otot polos vaskular. Mekanisme kerja vasodilator lainnya, seperti minoksidil, hidralazin,
dan diazoksid yang bekerja langsung pada arteriol, tidak diketahui, tetapi beberapa
diantaranya mungkin bekerja dengan cara stimulasi K+-effluks dari sel-sel melalui kanal
K+. Hidralazin dan Ca antagonis menyebabkan suatu refleks takikardia, yang dapat
diatasi (dan efek antihipertensinya bertambah) dengan pemberian bersama suatu β-
blocker. Jika suatu vasodilator menyebabkan retensi garam dan air, suatu diuretik dapat
ditambahkan.

5. α-Blocker (antagonis α-adreseptor)

o obat tertentu memiliki kerja vasodilatasi langsung pada otot polos vaskular dengan efek
hambatan pada α-adenoseptor, khususnya α1-adrenoseptor pascasinaptik. Contoh obat-
obat ini antara lain prazosin, doksazosin, terazosin, dan indoramin. Labetalol memiliki
efek gabungan α-bloker dan β-bloker yang nonspesifik.

6. Antagonis reseptor angiotensin II.


o Obat-obat golongan ini antara lain losartan, valsartan, irbesartan, dan kandesartan;
menghambat kerja angiotensin II pada reseptornya. Karena inhibitor ACE menghambat
hanya sebagian konversi angiotensin I menjadi angiotensin II, blokade reseptor
merupakan suatu cara yang lebih efektif untuk mengurangi kerja Angiotensin II.

7. Obat-obat yang memengaruhi kontrol saraf terhadap tekanan darah.


o Obat-obat ini bekerja dengan cara yang berbeda-beda. Obat yang merupakan agonis α-
adrenoseptor bekerja dengan menstimulasi α-adrenoseptor pada batang otak dan
menyebabkan pengurangan fungsi sistem saraf simpatik perifer. Klonidin adalah suatu
agonis langsung pada α-adrenoseptor prasinaptik. α-Metildopa diperkirakan bekerja
dengan cara dikonversi didalam neuron-neuron noradrenergic menjadi α-
metilnoradrenalin, yang merupakan suatu agonis alfa yang kuat. Reserpin menyebabkan
pengosongan simpanan katekolamin saraf, baik yang di saraf pusat maupun yang di
perifer. Bloker neuron adrenergi, yang meliputi betanidin, debrisokuin, dan guanetidin,
menghambat pelepasan noradrenalin dari ujung-ujung saraf simpatik perifer. Selain
penggunaan metildopa pada kehamilan, obat-obat tersebut telah digantikan oleh obat
lainnya dalam pengobatan hipertensi.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Obat kardiovaskuler merupakan kelompok obat yang mempengaruhi & memperbaiki


sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah ) secara langsung ataupun tidak langsung.
Obat dapat diberikan dengan berbagai cara disesuaikan dengan kondisi pasien, diantaranya : sub
kutan, intra kutan, intra muscular, dan intra vena. Dalam pemberian obat ada hal-hal yang perlu
diperhatikan, yaitu indikasi dan kontra indikasi pemberian obat. Sebab ada jenis-jensi obat
tertentu yang tidak bereaksi jika diberikan dengan cara yang salah. Obat-obat gagal jantung dapat
dibedakan atas 3 golongan yaitu inotropik, diuretic, vasolidator. Obat kardiovaskuler dibedakan:
Obat Antiangina, Obat Antiaritmia, Obat Glikosida, Obat Antihipertensi

3.2 Saran

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat mengaplikasikan pemberian obat
secara benar dan baik dan mengetahui jenis dan efek samping dalam penggunaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Badan POM RI, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, hal 1, 6, Badan Pengawasan
Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Gray, H. H. (2005). Lecture Notes Kardiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga

Majid, A., 2007, Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, dan Pengobatan Terkini
(online). (http:// respository.usu.ac.id/bitstream/123456789/705/1/08E00124.pdf
diakses25 Mei 2013)

Muchid, dkk., 2006, Pharmaceutical Care untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner : Fokus
Sindrom Koroner Akut, Penerbit Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik,
Departemen Kesehatan, Jakarta.

Mutschler, Ernst. 1991. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi Buku Ajar Edisi Kelima.
Bandung: Penerbit ITB.

Morell, J. (2007). Simple Guide : Kolesterol. Jakarta: Penerbti Erlangga

Rilantono, LI., 2012, Penyakit Kardiovaskular (PKV) : 5 Rahasia, Edisi Pertama, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Universitas Sriwijaya. 2009. Kumpulan Kuliah


Farmakologi Edisi 2. Jakarta: EGC, Penerbit Buku Kedokteran.

Soeharto, 2001, Pencegahan dan Penyembuhan Penyakit Jantung Koroner, Edisi Kedua,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Soeharto, 2004, Serangan Jantung dan Stroke Hubungannya dengan Lemak dan Kolesterol, Edisi
Ketiga, hal 387, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek
Efek Samping Edisi V. Jakarta: Elex Media Komputindo kelompok Gramedia.

Yahya, A.F., 2010, Menaklukkan Pembunuh no.1 : Mencegah dan Mengatasi Penyakit Jantung
Koroner Secara Tepat, PT Mizan Pustaka, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai