Anda di halaman 1dari 15

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI I

PRAKTIKUM V. GAGAL JANTUNG

Hari, Tanggal Praktikum : Selasa, 28 Mei 2019


A2B - Kelompok 1
Oleh:

A.A Aditya Bhadrapada Pudja (171200160)

Baiq Dewi Anggraeni (171200161)

Dewa Ayu Mitarini (171200162)

Gede Aditya Maharta Yana (171200163)

Gusti Ayu Ade Tusyati (171200164)

I Gede Argham Mahardika (171200165)

I Kadek Aditya Putra (171200166)

I Komang Agus Mahardika (171200167)

I Made Pradnyana Putra (171200168)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI

2019
V. GAGAL JANTUNG
A. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Mengetahui definisi penyakit gagal jantung
2. Mengetahui patofisiologi penyakit gagal jantung
3. Mengetahui tatalaksana penyakit gagal jantung (Farmakologi & Non-Farmakologi)
4. Dapat menyelesaikan kasus terkait penyakit gagal jantung secara mandiri dengan
menggunakan metode SOAP
B. DASAR TEORI
1. Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak dapat lagi
memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh,
walaupun darah balik masih dalam keadaan normal. Dengan kata lain, gagal jantung
merupakan suatu ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure) atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi
(backward failure) atau keduanya.(Panggabean, 2009)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gagal jantung adalah
kontraktilitas miokard, denyut jantung (irama dan kecepatan/ menit) beban awal dan
beban akhir.
2. Klasifikasi Gagal Jantung
Selain menggunakan kriteria Framingham, terdapat beberapa pembagian
kriteria yang dipakai pada gagal jantung, diantaranya klassifikasi menurut New York
Heart Association (NYHA), dan pembagian stage menurut American Heart
Association. Klassifikasi fungsional yang biasanya dipakai menurut NYHA adalah
(Figueroa dan Peters, 2006) :

tidak ada keterbatasan dalam melakukan aktifitas apapun, tidak muncul


Klas I
gejala dalam aktivitas apapun.
mulai ada keterbatasan dalam aktivitas, pasien masih bisa melakukan
Klas II
aktivitas ringan dan keluhan berkurang saat istirahat
terdapat keterbatasan dalam melaksanakan berbagai aktivitas, pasien
Klas III
merasa keluhan berkurang dengan istirahat.
keluhan muncul dalam berbagai aktivitas, dan tidak berkurang meskipun
Klas IV
dengan istirahat.
Sedangkan pada tahun 2001, the American College of Cardiology/American
Heart Association working group membagi kegagalan jantung ini menjadi empat stage
(Figueroa dan Peters, 2006):

memiliki resiko tinggi untuk terkena CHF tapi belum ditemukan adanya
Klas A
kelainan struktural pada jantung
sudah terdapat kelainan structural pada jantung, akan tetapi belum
Klas B
menimbulkan gejala.
adanya kelainan struktural pada jantung, dan sudah muncul manifestasi
Klas C
gejala awal jantung, masih dapat diterapi dengan pengobatan standard.
pasien dengan gejala tahap akhir jantung, dan sulit diterapi dengan
Klas D
pengobatan standard.

3. Macam Gagal Jantung


a. Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala
atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau
tanpa adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi
sistolik atau disfungsi diastolik . Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan
berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang
seperti EKG, foto thoraks, biomarker dan ekokardiografi Doppler. Pasien segera
diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.(Aru
W.Sudoyo,dkk, 2006)
b. Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat
kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Gagal
jantung kronis juga didefinisikan sebagai sindroma klinik yang komplek yang
disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatique baik dalam keadaan istirahat
maupun beraktifitas(Aru W.Sudoyo,dkk, 2006)
4. Patofisiologi Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks.(Jackson G, et al., 2000)
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system RAA)
serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.(Jackson G, et al., 2000)
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis
yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis
miokard fokal.(Jackson G, et al., 2000)
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin
II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten
(arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari
pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi
kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung.(Jackson G, et al., 2000)
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide
(BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan
ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan
saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan
tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic
peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya
sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada
penderita gagal jantung.(Jackson G, et al., 2000)
Vasopressin merupakan hormon antidiuretic yang meningkat kadarnya pada
gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian
diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.(Jackson G, et al., 2000)
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah
ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma
akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga
berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu
perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat
kardioprotektor yang bekerja enghambat terjadinya remodelling vaskular dan
miokardial akibat endotelin.(Jackson G, et al., 2000)
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan
gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.
Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki
kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan
disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
(Jackson G, et al., 2000)
5. Terapi Farmakologi
a. Tujuan tata laksana gagal jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas (Tabel 1). Tindakan preventif dan pencegahan
perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana
penyakit jantung.

Table 1. Tujuan pengobatan gagal jantung kronik

1. Prognosis Menurunkan mortalitas


2. Morbiditas Meringankan gejala dan tanda
Memperbaiki kualitas hidup
Menghilangkan edema dan retensi cairan
Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik
Mengurangi kelelahan dan sesak nafas
Mengurangi kebutuhan rawat inap
Menyediakan perawatan akhir hayat
3. Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard
Perburukan kerusakan miokard
Remodelling miokard
Timbul kembali gejala dan akumulasi cairan
Rawat inap
(PERKI, 2015)

b. ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)


Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. ACEI memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup
(kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A). (PERKI, 2015)
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu
ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium
normal. (PERKI, 2015)
ACE Inhibitor merupakan obat pilihan untuk gagal jantung kongestif. Obat
ini bekerja dengan menghambat enzim yang berasal dari angiotensin I membentuk
vasokontriktor yang kuat angiotensin II (Mycek et al., 2001). Penghambatan ACE
mengurangi volume dan tekanan pengisian ventrikel kiri, dan meningkatkan curah
jantung (Ganiswarna, 1995). Konsep dasar pemakaian inhibitor ACE sebagai
vasodilator dalam pengobatan gagal jantung adalah karena kemampuannya untuk :
 Menurunkan retensi vaskular perifer yang tinggi akibat tingginya tonus
arteriol dan venul (peripheral vascular resistance)
 Menurunkan beban tekanan pengisian ventrikel yang tinggi (ventricular
filling pressure) (Suryadipraja, 2004).
Pada pemakaian ACE Inhibitor harus diwaspadai terjadinya hiperkalemia,
karena itu pemakaiannya dengan diuretik hemat K+ atau pemberian K+ harus
dengan hati-hati demikian juga pasien hipotensi (baik akibat pemberian diuretik
berlebihan maupun karena hipotensi sistemik) serta pada gagal ginjal.
c. Penyekat β
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal
jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki
fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup(PERKI, 2015)
Pemberian β- bloker pada gagal jantung sistolik akan mengurangi kejadian
iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel-sel automatik jantung dan efek
antiaritmia lainnya, sehingga mengurangi resiko terjadinya aritmia jantung, dan
dengan demikian mengurangi resiko terjadinya kematian mendadak (kematian
kardiovaskular). Pada pasien gagal jantung dengan gejala-gejala yang lebih parah
(NYHA kelas III dan IV). Pengalaman yang terbatas menunjukan bahwa meraka
dapat mentoleransi β-bloker dan mendapat keuntungan , tapi karena resiko yang
tinggi dan pengalaman yang masih terbatas, penggunaan β-bloker ini harus sangat
hati-hati. Oleh karena β-bloker pada gagal jantung bukan class effect, maka hanya
bisoprolol, karvedilol dan metoprolol lepas lambat yang dapat direkomendasikan
untuk pengobatan gagal jantung (Nafrialdi dan Setiawati, 2007).
d. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal
jantung simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan
gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosterone mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
(PERKI, 2015)
Spironolakton merupakan inhibitor spesifik aldosteron yang sering
meningkat pada gagal jantung kongestif dan mempunyai efek penting pada retensi
potassium. Triamteren dan amirolid beraksi pada tubulus distal dalam mengurangi
sekresi potassium. Potensi diuretik obat-obat tersebut ringan dan tidak cukup untuk
sebagian besar pasien gagal jantung, namun dapat meminimalkan hipokalemia
akibat agen tertentu (Massie dan Amidon, 2002). Efek samping akibat pemakaian
spironolakton adalah gangguan saluran cerna, impotensi, ginekomastia, menstruasi
tidak teratur, letargi, sakit kepala, ruam kulit, hiperkalemia, hepatotoksisitas, dan
osteomalasia (Anonim, 2000). Spironolakton dapat berinteraksi dengan aspirin,
suplemen kalium, kolestiramin, digoksin dan propoksifen (Stockley, 2008).
e. ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah
diberikan ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternative pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini,
ARB mengurangi angka kematian karena penyebab kardiovaskular. (PERKI, 2015)
f. HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap
ACEI dan ARB (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B).(PERKI, 2015)
Vasodilator lain yang dapat digunakan untuk gagal jantung adalah
hidralazin dan prazosin selain golongan nitrat yang efek kerjanya pendek serta
sering menimbulkan toleransi (Suryadipraja, 2004).
Hidralazin oral merupakan dilator oral poten dan meningkatkan cardiac
output secara nyata pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Tetapi sebagai
obat tunggal, selama pemakaian jangka panjang, ternyata obat ini tidak dapat
memperbaiki gejala atau toleransi terhadap latihan. Kombinasi nitrat dengan
hidralazin dapat menghasilkan hemodinamik dan efek klinis yang lebih baik. Efek
samping dari hidralazin adalah distress gastrointestinal, tetapi yang juga sering
muncul adalah nyeri kepala, takikardia, hipotensi dan sindrom lupus akibat obat
(McPhee et al., 2002).
Nitrat bekerja langsung merelaksasi otat polos pembuluh vena, tanpa
bergantung pada sistem pernafasan miokardium. Efek sampingnya merupakan
akibat dari efek vasodilatasi, yaitu sakit kepala, muka merah, dan hipotensi postural
yang muncul pada awal pengobatan. Efek samping ini dapat membatasi terapi,
terutama pada angina yang berat atau pada pasien yang sangat sensitif terhadap efek
nitrat (Anonim, 2000).
g. Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,
menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung,tetapi
tidak mempunyai efek terhadap angkakelangsungan hidup (kelas rekomendasi IIa,
tingkatan bukti B).(PERKI, 2015)
h. Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis
atau gejala kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari
pemberian diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat)
dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien,
untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.(PERKI, 2015)
Diuretik merupakan cara paling efektif meredakan gejala pada pasien-
pasien dengan gagal jantung kongestif sedang sampai berat. Sebagai terapi awal
sebaiknya digunakan kombinasi dengan ACEI. Pada pasien dengan tanda-tanda
retensi cairan hanya sedikit pasien yang dapat diterapi secara optimal tanpa
diuretik. Tetapi diuresis berlebihan dapat menimbulkan ketidakseimbangan
elektrolit dan aktivasi neurohormonal (McPhee et al., 2002).
Kerja diuretik untuk mengurangi volume cairan ekstrasel dan tekanan
pengisian ventrikel tetapi biasanya tidak menyebabkan pengurangan curah jantung
yang penting secara klinis, terutama pada pasien gagal jantung lanjut yang
mengalami peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri, kecuali jika terjadi
natriuresis parah dan terus menerus yang menyebabkan turunnya volume
intravaskular yang cepat (Ooi dan Colucci, 2008). Diuretik digunakan pada relieve
pulmonary dan peripeheral oedema akibat masuknya natrium dan ekskresi klorida
dengan cara menghambat reabsorbsi natrium ditubula renal. Diuretik
menghilangkan retensi natrium pada CHF dengan menghambat reabsorbsi natrium
atau klorida pada sisi spesifik ditubulus ginjal. Bumetamid, furosemid,dan torsemid
bekerja pada tubulus distal ginjal. Diuretik harus dikombinasikan dengan diet
rendah garam (kurang dari 3 gr/hari). Pasien tidak berespon terhadap diuretik dosis
tinggi karena diet natrium yang tinggi, atau minum obat yang dapat menghambat
efek diuretik antara lain NSAID atau penghambat siklooksigenase-2 atau
menurunya fungsi ginjal atau perfusi (Hunt et al., 2005).
Pasien dengan gagal jantung yang lebih berat sebaiknya diterapi dengan
salah satu loop diuretik, obat-obat ini onsetnya cepat dan durasi aksinya cukup
singkat. Pada pasien dengan fungsi cadangan ginjal yang masih baik, lebih disukai
pemberian dosis tunggal dalam 2 dosis atau lebih. Pada keadaan akut atau jika
kondisi absorbs gastrointestinal diragukan, sebaiknya obat-obat ini diberikan
intravena. Loop diuretik menghambat absorbsi klorida asenden loop of henle,
menyebabkan natriuresis, kaliuresis, dan alkalosis metabolik. Obat ini aktif
terutama pada keadaan insufisiensi ginjal berat, tetapi mungkin perlu dosis yang
lebih besar (McPhee et al., 2002).
Manfaat terapi diuretik yaitu dapat mengurangi edema pulmo dan perifer
dalam beberapa hari bahkan jam. Diuretik merupakan satu-satunya obat yang dapat
mengontrol retensi cairan pada gagal jantung. Meskipun diuretik dapat
mengendalikan gejala gagal jantung dan retensi cairan, namun diuretik saja belum
cukup menjaga kondisi pasien dalam kurun waktu yang lama. Resiko
dekompensasi klinik dapat diturunkan apabila pemberian diuretic dikombinasikan
dengan ACEI dan β-Bloker (Hunt et al., 2005). Mekanisme aksinya dengan
menurunkan retensi garam dan air, yang karenanya menurunkan preload
ventrikuler (Katzung, 2004).
Gambar 1. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung

6. Terapi non farmakologi


Dapat dilakukan dengan restriksi garam, penurunan berat badan, diet rendah
garam dan rendah kolesterol, tidak merokok, olahraga (National Clinical Guideline
Centre, 2010).
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal
jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen
perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk
menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan
mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.(PERKI, 2015)
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi farmakologi
maupun non-farmakologi.(PERKI, 2015)
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan
dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C) .(PERKI, 2015)
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas
rekomendasi IIb, tingkatan bukti C) .(PERKI, 2015)
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C) .(PERKI,
2015)
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau
di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A) .(PERKI, 2015)
DAFTAR PUSTAKA

Aru W.Sudoyo,dkk. (2006) Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 461, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Figueroa MS and Peters JI. 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology,Therapy,
and Implications for Respiratory Care. Respir Care. 51(4), pp. 403– 412.
Ganiswarna, S., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 271-288 dan 800-810, Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Hunt SA et al, 2005. Guideline update for the diagnosis and management of chronic heart failure
in the adult. European Journal Of Heart Failure
Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure: pathophysiology. BMJ
2000;320:167-70.
Mycek, M.J., Harvey, R.A., Pamela, C.C., dan Fisher, B.D., 2001, Farmakologi Ulasan
Bergambar, diterjemahkan oleh Agoes, A.H., Edisi II: Widya Medika.
Massie, B.M., Amidon, T.M., 2002, Heart. In: Tierney LM, McPhee SJ, mapadakis MA eds.
Current medical diagnosis and treatment 41st ed. New York : McGraw – Hill Med Publ
Div. International Edition; 363 – 457.
National Clinical Guideline Centre. 2010. Chronic Heart Failure: National Clinical Guideline for
Diagnosis and Management in Primary and Secondary Care: Partial Update. National
Clinical Guideline Centre: 34–47.
Ooi, H. and Colucci, W.S., 2008. Pengobatan Farmakologis Gagal Jantung. In: Goodman and
Gilman. Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Panggabean. M. Buku Ilmu Penyakit Dalam: Gagal Jantung. Volume 2. Jakarta: 2009
PERKI, 2015. PEDOMAN TATALAKSANA GAGAL JANTUNG EDISI PERTAMA. Jakarta:
Indonesian Heart Association
Suryadipraja, R.M., 2004, Gagal Jantung dan Penatalaksanaannya, dalam Moehadsjah., Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi III, 976,981,dan 982, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Setiawati, A., dan Nafrialdi, 2007, Obat Gagal Jantung, Farmakologi dan Terapi, Edisi V, 34 dan
300, Departeman Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta.
Stockley, I.H., 2008, Stockley’s Drug Interaction, Eighth Edition, 21, 144, 698, 700, 904, 920,
936, Pharmaceutical Press, London.
Tiemey, Jr. L. M., McPhee, S.J, & Papadakis, M.A. (2002). Diagnosis dan Terapi Kedokteran
Ilmu Penyakit Dalam (Ed 1, Jilid 2). Jakarta : Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai