Anda di halaman 1dari 29

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Jantung

1. Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang disebabkan ketidakmampuan

jantung memompa darah yang cukup untuk kebutuhan metabolisme tubuh.

Menurut McMurray et al., (2012) disebutkan bahwa gagal jantung merupakan

kondisi abnormal baik secara fungsional maupun struktural pada jantung,

sehingga oksigen tidak terpompa secara merata untuk kebutuhan metabolisme

jaringan. Adanya kelainan pada jantung akan menyebabkan berkurangnya

pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) dan kontraksi miokard (disfungsi sistolik)

(Ponikowski et al., 2014).

Gagal jantung adalah suatu penyakit progresif yang ditandai oleh

penurunan gradual kinerja jantung., yang pada banyak kasus sesekali diselingi

oleh serangan dekompensasi akut sehingga memerlukan rawat inap. Karenanya

terapi ditujukan

pada dua sasaran yang agak berbeda yaitu mengurangi gejala dan memperlambat

perkembangan sebanyak mungkin selama periode stabil dan menangani serangan

akut gagal jantung dekompensasi (Wakefield, 2013). Gagal jantung merupakan

sebagian besar penyakit pada orang tua. Gagal jantung dapat terjadi sebagian pada

ventrikel kiri dengan kongesti paru dan sesak atau sebagian besar pada ventrikel
2

kanan, dengan meningkatnya tekanan vena, udema perifer dan kongesti hepatik.

Biasanya kedua bentuk tersebut ada pada sindrom klasik gagal jantung kongestif

dan biventrikular (Shanbhag et al., 2018).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan penyakit gagal jantung

kondisi jantung bekerja kurang efisien dari biasanya. hal ini

mengakibatkan jantung tidak dapat memompa cukup oksigen dan nutrisi untuk

memenuhi kebutuhan tubuh. kondisi gagal jantung ditandai oleh gejala batuk yang

timbul pada malam hari apalagi bila disertai sesak nafas.

2. Klasifikasi Gagal Jantung

McDonagh et al., (2021) membagi kelainan gagal jantung menjadi dua

yakni gagal jantung sistolik (systolic Heart Failure) dan gagal jantung diastolik

(Heart Failure with Preserved Systolic Function). Gagal jantung sistolik

mengarah pada kondisi ketidakmampuan jantung berkontraksi. Sebagian besar

terjadi akibat Coronary Heart Disease (CHD), sedangkan gagal jantung diastolik

berkaitan dengan kegagalan diastolik dalam pemompaan ventrikel kiri

dikarenakan relaksasi yang terlalu dini. Pada gagal jantung diastolik berkaitan

dapat juga terjadi kekakuan miokard sehingga terjadi tekanan yang tinggi.

Tingkatan gagal jantung diklasifikasi berdasarkan kelainan struktural

jantung dan kapasitas fungsional. Berikut adalah klasifikasi gagal jantung yang

tertera di pedoman Tatalaksana Gagal Jantung oleh Perhimpunan Dokter Spesialis

Kardiovaskuler Indonesia, (2020)

Tabel 2.1 Klasifikasi gagal jantung (Europian Society of Cardiology) ESC


3

(2012) dalam (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020)

Klasifikasi Berdasarkan Kelainan Klasifikasi Berdasarkan


Struktural Jantung Kapasitas Fungsional
Stadium A Kelas I
Memiliki resiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. Tidakmelakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik
terdapat gangguan struktural atausehari hari tidak menimbulkan kelelahan,
fungsional jantung, tidak terdapat tandapalpitasi atau sesak nafas.
atau gejala.
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Terdapat batasan aktivitas ringan,
jantung yang berhubungan dengan tidak terdapat keluhan saat istirahat ,
perkembangan gagal jantung, tidak namunaktivitas fisik sehari hari
terdapat tanda atau gejala. menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas.
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktivitas bermakna.
berhubungan dengan penyakit strukturalTidak terdapat keluhan saat istirahat,
jantung yang mendasari. namun aktifitas fisik sehari hari
menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak.
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
serta gejala gagal jantung yang sangattanpa keluhan. Terdapat gejala saat
bermakna saat istirahat walaupun sudahistirahat. Keluhan meningkat saat
mendapat terapi medis maksimalmelakukan aktivitas.
(refrakter).

3. Etiologi Gagal Jantung

Gagal jantung dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Penyakit jantung

coroner (PJK) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami pria maupun

wanita dengan proporsi 60-75% gagal jantung di negara maju. Hipertensi menjadi

faktor dalam prognosis gagal jantung pada 75% pasien, termasuk pada PJK. PJK

dan hipertensi dapat bersinergis dalam peningkatan resiko gagal jantung,

demikian pula dengan penyakit diabetes mellitus. Beberapa etiologi atau


4

penyebab penyakit gagal jantung adalah (Yancy et al., 2013) :

a. Kelainan Otot Jantung

Kelainan pada otot jantung dapat menurunkan kemampuan kontraktilitas

otot jantung dan dapat menyebabkan gagal jantung. Kondisi yang memicu

terjadinya kelainan fungsi otot antara lain ateriosklerosis koroner, hipertensi

arterial dan penyakit degeneratif atau inflamasi.

b. Aterosklerosis Koroner

Aterosklerosis koroner menyebabkan disfungsi miokardium karena aliran

darah ke otot jantung terhambat dan terjadi hipoksia serta asidosis (akibat

penimbunan asam laktat). Umumnya infark miokard (kematian sel jantung)

mendasari penyakit gagal jantung.

c. Hipertensi Sistemik dan Pulmonal

Hipertensi sistemik dan pulmonal dapat meningkatkan beban kerja jantung

dan menyebabkan hipertrofi atau pembesaran serabut otot jantung.

d. Peradangan dan Penyakit Miokardium Degeneratif

Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif menyebabkan penurunan

kontraktilitas otot jantung sehingga menimbulkan gagal jantung.

e. Penyakit Jantung Lain

Gagal jantung dapat terjadi akibat penyakit jantung yang secara langsung

mempengaruhi jantung. Mekanismenya terjadi karena hambatan aliran darah yang

masuk jantung, jantung yang tidak mampu untuk mengisi darah.


5

f. Faktor Sistemik

Faktor yang berperan dalam prognosis gagal jantung antara lain

meningkatnya laju metabolisme ( misal: demam), hipoksia dan anemia sehingga

diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen

sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan jumlah oksigen ke jantung.

Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektrolit dapat

menyebabkan kemampuan kontraktilitas jantung menurun.

4. Patofisiologi Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan kumpulan dari gejala klinis akibat gangguan pada

jantung yang tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan

metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan adanya respon hemodinamik

jantung. Respon hemodinamik yang tidak normal salah satunya adalah

peningkatan jumlah volume darah, volume ruah jantung, tekanan pembuluh darah

perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga mengkativasi mekanisme

kompensasi tubuh yang akut berupa retensi air dan garam oleh ginjal dan aktivasi

sistem saraf adrenergik (Ponikowski et al., 2014).

Gagal jantung adalah suatu sindrom dengan banyak kausa yang mungkin

mangenai satu atau kedua ventrikel. Curah jantung biasanya dibawah kisaran

normal. Disfungsi sistol, disertai penurunan curah jantung dan berkurangnya

secara signifikan fraksi ejeksi (<45%; normal >60%) merupakan gagal akut,

khususnya yang disebabkan oleh infark miokarium. Disfungsi diastol sering


6

terjadi akibat hipertrofi dan kakunya miokardium dan meskipun curah jantung

berkurang, namun fraksi ejeksi mungkin normal. Gagal jantung karena disfungsi

diastol biasanya tidak berespon optimal terhadap obat obat inotropik positif

(McDonagh et al., 2021).

Gagal jantung terjadi jika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan tubuh terhadap oksigen disebabkan adanya sindroma klinis yang

kompleks akibat kelainan struktural dan fungsional jantung. Keadaan yang

memicu gagal jantung (infark miokard, hipertensi, aritmia dan penyakit jantung

lainnya). Mengakibatkan keadaan stress pada jantung sehingga memicu terjadinya

mekanisme kompensasi untuk menyalurkan darah keseluruh tubuh secara adekuat

(Umara et al., 2017). Kompensasi neurohormonal (ekstrinsik) menyelibatkan dua

mekanisme utama sistem saraf simpatis dan respon hormon resin angiotensin

aldosteron. Pada pasien dengan gagal jantung, refleks baroreseptor tampaknya

mengalami penyetelan ulang dengan penurunan sensitifitas terhadap tekanan

arteri. Akibatnya impuls simpatis meningkat dan impuls parasimpatis berkurang.

Meningkatnya impuls simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan

kontraktilitas, peningkatan tonus vaskular. Tonus vaskular semakin ditingkatkan

oleh angiostensin II dan endotelin, suatu vasokonstriksi poten yang dikeluarkan

oleh sel endotel vaskular. Vasokonstriksi meningkatkan afterload yang semakin

menurunkan fraksi ejeksi dan curah jantung (Shanbhag et al., 2018)

5. Manifestasi Klinik

Gagal jantung merupakan kumpulan gejala klinis yang kompleks dimana


7

terdapat gejala khas yaitu nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat

melakukan aktivitas disertai maupun tidak adanya kelelahan, adanya retensi cairan

yang menyebabkan edema paru atau edema tungkai kaki, terdapat bukti klinis dari

gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat. Gejala khas pada gagal

jantung meliputi takikardi, takipnue, efusi pleura, peningkatan tekanan pada

vena jugularis, edema tungkai dan pembesaran hepar. Tanda klinis gagal jantung

antara lain perubahan struktur atau fungsional pada jantung, perbesaran otot

jantung, ketidaknormalan pada pemeriksaan ekokardiografi dan peningkatan

konsentrasi peptida natriuretik (Natalia, 2019).

6. Terapi Gagal jantung

Terapi pada gagal jantung meliputi terapi non farmakologi dan terapi

farmakologi.

a. Tatalaksana Terapi Non Farmakologi

Manajemen perawatan kesehatan mendiri mempunyai peran dalam

keberhasilan pengobatan gagal jantung dan memberi dampak dalam perbaikan

gejala gagal jantung, mempertahankan fungsi jantung, meningkatkan kualitas

hidup, serta menurunkan morbiditas dan prognosis penyakit. Manajemen

perawatan kesehatan mandiri merupakan perilaku dengan tujuan untuk menjaga

kestabilan fisik. Mencegah perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan

mendeteksi gejala awal dari adanya perburukan gagal jantung (Siswanto, 2012).

1) Ketaatan pasien berobat

Kepatuhan dalam terapi pengobatan dapat menurunkan resiko morbiditas,


8

mortalitas dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Kepatuhan pasien hanya

sekitar 20-60% pasien yang patuh terhadap terapi fakmakologi maupun non-

farmakologi.

2) Pemantauan berat badan mandiri

Pasien disarankan melakukan pemantauan berat badan rutin setiap hari,

apabila terdapat kenaikan berat badan >2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikkan

dosis diuretik berdasarkan pertimbangan dokter.

3) Asupan cairan

Pembatasan asupan cairan 1,5-2 liter/hari disarankan terutama pada pasien

dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Pembatasan cairan yang rutin

pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan manfaat

secara klinis.

4) Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT>30 kg/m2) dengan gagal

jantung dapat menjadi pertimbangan untuk mencegah terjadinya perburukan

gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.

5) Kehilangan berat badan yang tidak direncanakan

Malnutrisi klinis atau subklinis banyak ditemukan pada pasien gagal jantung

berat. Faktor prediksi penurunan angka kelangsungan hidup dapat ditemukan pada

kaheksia jantung. Kaheksia terjadi bila selama 6 bulan terakhir berat badan

meningkat >6% dari berat badan stabil sebelumnya tanpa adanya pembatasan

cairan. Status nutrisi dan gizi pasien harus dihitung secara hati-hati.
9

6) Latihan fisik

Latihan fisik disarankan pada pasien gagal jantung kronik dengan keadaan

yang stabil. Latihan fisik atau olahraga dapat memberikan efek yang baik.

Olahraga dapat dikerjakan di rumah sakit atau dirumah.

7) Aktivitas seksual

Penggunaan penghambat 5-phosphodiessterase misalnya sildenafil dapat

mengurangi tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada pasien gagal

jantung lanjut dan tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat.

b. Tatalaksana Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi pada gagal jantung bertujuan untuk mengurangi resiko

morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif atau pencegahan perburukan

penyakit jantung tetap menjadi fokus dalam tata laksana terapi penyakit jantung

(Siswanto dkk, 2015). Katzung (2009) menyebutkan bahwa tujuan dari terapi

farmakologis yakni untuk mengurangi gejala, memperlambat kondisi perburukan

maupun sistolik adalah sama. Obat obat yang digunakan adalah

diuretik, antagonis aldosteron, ACE-inhibitor (Angiotensin-Converting

Enzyme inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), beta blocker,

Diuretik, Dobutamin (Katzung dkk, 2009). Urutan terapi pada pasien gagal

jantung biasanya diawali dengan diuretik untuk meredakan gejala kelebihan

volume. Kemudian, ditambahkan ACE-inhibitor atau ARB jika ACE-

inhibitor tidak ditoleransi. Namun, penambahan ARB dilakukan hanya

setelah terapi diuretik diberikan secara optimal. Dosis diatur secara


10

bertahap hingga dihasilkan curah jantung optimal. Beta blocker diberikan

setelah pasien stabil dengan pemberian ACE-inhibitor. Sedangkan digoxin

diberikan jika pasien masih mengalami gagal jantung meskipun telah

diberikan terapi kombinasi (Mycek dkk, 2011).

1. Diuretik

Diuretik berfungsi untuk mengurangi kongestif pulmonal dan edema

perifer. Mengurangi gejala volume berlebihan seperti ortopnea dan dispenia

noktural proksimal, menurunkan volume plasma selanjutnya menurunkan

preload untuk mengurangi beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen dan juga

menurunkan afterload agar tekanan darah menurun. Diuretik yang sering

digunakan golongan diuretik loop dan thazide (Lip et al, 2000). Diuretik Loop

(bumetamid, furosemid) bekerja meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal

dengan tempat kerja pada ansa henle asenden, namun efeknya bila diberikan

secara oral dapat menghilangkan pada gagal jantung berat karena absorsi usus.

Diuretik Thiazide (bendroflunetiazid) klorotiazid, hidroklorotiazid,

mefrusid dan metolazon) bekerja dengan penghambatan reabsorbsi garam di

tubulus distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang efektif

dibandingkan dengan diuretik loop dengan diuretik thiazide bersifat sinergis (Lip

et al., 2000).

Hal hal yang harus diperhatikan pada pemberian diuretik untuk pasien gagal

jantung yakni (PERKI, 2015):

1) Pasien terlebih dahulu diperiksa fungsi ginjal dan kadar serum elektrolit
11

2) Pemberian diuretik dianjurkan pada saat perut kosong.

3) Sebagian pasien diberikan terapi diuretik loop dibandingkan tiazid.

4) Diuretik dapat diberikan secara kombinasi (diuretik loop dan tiazid)

pada keadaan edema yang resisten.

Tabel 2.2 Dosis diuretik untuk pengobatan gagal jantung (ESC (2012)

dalam PERKI,2015).

Diuretik Dosis Awal (mg) Dosis Harian (mg)


Diuretik Loop
Furosemide 20-40 40-240
Bumetanide 0,5 – 1,0 1–5
Torasemide 5 – 10 10 – 20
Tiazid
Hidrochlortiazide 25 12,5 – 100
Metolazone 2,5 2,5 – 10
Indapamide 2,5 2,5 – 5
Diuretik Hemat Kalium
(+ ACEI/ARB) 12,5 - 25 (+ ACEI/ARB) 50
Spironolakton (- ACEI/ARB) 50 (-ACEI/ARB) 100 –
200

2. ACE-Inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)

ACE-inhibitor merupakan terapi lini pertama bagi pasien gagal jantung.

Obat golongan ini harus diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri

<40% (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020).

Mekanisme kerja ACE-inhibitor yakni dengan menghambat perubahan

angiotensin I menjadi angiotensin II yang diperantarai oleh ACE (Angiotensin

Converting Enzyme). Dengan begitu, jumlah angiotensin II akan menurun

diikuti dengan jumlah aldosteron. Berkurangnya hormon-hormon tersebut akan


12

mencega terjadinya fibrosis miokard, apooptosis, miosit, hipertropi

jantung, pelepasam norepinefrin, vasokontriksi dan retensi cairan. Dengan

begitu, ACE-inhibitor berperan penting dalam mencegah perburukan kondisi

jantung yang diperantarai oleh mekanisme RAAS (Renin-Aldosterone

system) (Firdaus et al., 2021) . Meskipun begitu, pemberian ACE-inhibitor

terkadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi

simtomatik, batuk dan angioderma (jarang terjadi). Maka dari itu, ACE-

inhibitor hanya boleh diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik dan

memiliki kadar kalium normal. ACE-inhibitor kontraindikasi dengan pasien

riwayat angiodema, stenosis renal bilateral, kadar kalium serum >5,0 mmol/L,

kadar serum kreatinin >2,5 mg/dl dan memiliki stenosis aorta berat (Perhimpunan

Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020).

Tabel 2.3 Dosis obat ACE-inhibitor untuk pengobatan gagal jantung

dalam (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020)

Obat Dosis awal (mg) Dosis Target (mg)


Captopril 6,25 (3x sehari) 50-100 (3 x sehari)
Enalapril 2,5 (2x sehari) 10-20 (2x sehari)
Lisinopril 2,5 – 5 (1x sehari 20-40 (1x sehari)
Ramipril 2,5 (1x sehari) 5 (2x sehari)
Perindopril 2 ( 1x sehari) 8 ( 1x sehari)

3. ARB (Angiotensin Receptor Blocker)

Obat-obat ARB bekerja dengan memblok reseptor angiotensin II subtipe 1


13

(AT1). Sehingga efek dari angiotensin II terhambat. Dampak dari terbloknya

reseptor AT1 yakni vasodilatasi dan terhambatnya perburukan ventrikel. Karena

obat ARB tidak menghambat ACE, sehingga tidak mempengaruhi aktivitas

bradikinin. Bradikinin merupakan mediator inflamasi yang dapat menyebabkan

batuk (Katzung dkk, 2009). Oleh sebab itu, ARB biasanya diberikan pada

pasien yang tidak toleran terhadap pemberian ACE-inhibitor, khususnya batuk

(Natalia, 2019). ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,

mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung

(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020).

Obat obat ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia

dan hipotensi simtomatik. Hanya saja ARB tidak menyebabkan batuk. Obat obat

ARB kontraindikasi dengan stenosis renal bilateral, kadar kalium serum >5

mmol/L, kadar serum kreatinin 2,5 mg/dl dan memiliki stenosis aorta berat.

Selain itu, ARB juga tidak boleh diberikan pada pasien yang diterapi ACE-

inhibitor dan antagonis aldosteron secara bersamaan (Perhimpunan Dokter

Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020).

Tabel 2.4 Dosis ARB untuk pengobatan gagal jantung dalam

(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020).

Obat Dosis Awal (mg) Dosis Target (mg)


Candesartan 4/8 ( 1x sehari) 32 (1x sehari)
Valsartan 40 (2x sehari) 160 ( 2x sehari)
14

4. Glikosida jantung

Glikosida jantung atau biasa disebut dengan digitalis adalah senyawa

kimia yang berasal dari tanaman digitalis (foxglove atau Digitalis purpurea).

Digitalis dapat meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan mempengaruhi

aliran ion natrium dan kalsium dalam otot jantung (Ziaeian, 2016). Glikosida

jantung menghambat kanal ion sehingga ion Na+, K+ dan ATPase tetap berada

dalam sel. Dengan begitu, kadar-kadar ion intraseluler menjadi tinggi dan otot

cenderung berkontraksi (Siswanto, 2012). Jenis obat yang umum digunakan untuk

terapi gagal jantung adalah digoksin (Ziaeian, 2016).

Digoksin digunakan untuk memperlambat lajur ventrikel pada pasien gagal

jantung dengan fibrasi atrial. Dosis awal pemberian digoksin yakni 0,25 mg 1 x

sehari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pasien geriatri dan pasien dengan

gangguan fungsi ginjal diberi dosis yang lebih rendah yakni 0,125 atau 0,0625

mg. Kadar digoksin dalam darah harus berkisar antara 0,6 – 1,2 mg/mL karena

indeks terapinya yang sempit. Oleh sebab itu, penggunaan obat-obatan yang

dapat meningkatkan kadar digoksin dalam darah seperti amiodarone, diltiazem,

verapamil dan kuinidin harus dihindari, efek samping dari pemberian digoksin

diantaranya aritmia atrial dan ventrikuler (terutama pada pasien hipokalemia),

mual, muntah, anoreksia dan gangguan melihat warna (Perhimpunan Dokter

Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020).

5. Beta Blocker

Metoprolol, carvedilol dan biprolol adalah obat golongan beta blocker yang
15

terbukti dapat mengurangi mortilitas gagal jantung. Metoprolol dan bisoprolol

bekerja selektif memblok resepror beta 1 sedangkan carvedilol memblok reseptor

beta 1, 2 dan alfa 1 (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia,

2020). Beta Blocker bermanfaat untuk gagal jantung dengan memblokade

aktivitas simpatik ( U m a r a e t a l . , 2 0 1 7 ) . Obat-obat beta blocker tidak

boleh diberikan pada pasien yang memiliki asma dan dapat menyebabkan

bradikardia (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020).

Tabel 2.5 Dosis obat beta blocker untuk pengobatan gagal jantung

(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2020)

Obat Dosis Awal (mg) Dosis Target (mg)


Bisoprolol 1,25 (1x sehari) 10 (1x sehari
Carvedilol 3,125 (2x sehari) 25 – 50 (2x sehari)
Metoprolo 12,5/25 (1x sehari) 200 (1x sehari)

A. Depresi

1. Definisi depresi

Menurut The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders

(DSM-5) depresi merupakan gangguan mood yang ditandai dengan suasana hati

yang terus – menerus merasa sedih, kosong, mudah tersinggung, bersamaan

dengan gejala kognitif dan somatik tertentu. Diagnosis depresi ditegakaan

apabila terdapat lima atau lebih gejala sebagai berikut, perubahan signifkian

dalam nafsu makan, penurunan atau peningkatan berat badan, insomnia atau

hypersomnia, selalu merasa kelelahan, perasaan tidak berharga, penurunan


16

konsentrasi dan gangguan ingatan, pemikirian untuk mengakhiri hidup. Gejala

tersebut harus dirasakan setidaknya 2 minggu atau lebih, dan selalu merasa

sedih sepanjang waktu (Donohue & Luby, 2016). Pada gangguan depresi berat

sering terjadi kekambuhan sehingga dikategorikan sebagai episode depresi

seumur hidup. Depresi biasanya diderita dewasa muda yang berusia sekitar 20-

30 tahun dan prevelensi wanita yang mengalami 3 kali lebih tinggi dari pada

pria (Kessler & Bromet, 2013)


17

2. Gejala depresi

Gejala- gejala depresi meliputi (Maina et al., 2016):

a. Perasaan sedih atau ketidak bahagiaan

b. Mudah merasa tersinggung bahkan dengan masalah kecil

c. Kehilangan minat atau kesenangan dalam keadaan kegiatan sehari-


hari

d. Insomnia atau hypersomnia

e. Pada beberapa orang depresi mengakibatkan penurunan selera

makan sehingga menyebabkan berat badanyang turun , namun

pada beberapa kasus depresi dapat mengakibatkan peningkatan

nafsu makan maupun berat badan

f. Gelisah, misalnya tidak bisa berdiri diam dalam waktu lama,

menggoyangkan kaki atau tidak dapat duduk dalam waktu lama

g. Lambat dalam berpikir, berbicara atau Gerakan tubuh

h. Penurunan konsentrasi

i. Mudah kelelahan bahkan mengerjakan hal – hal kecil

membutuhkan banyak upaya

j. Sering menyalahkan diri sendiri apabila ada sesuatu yang tidak


benar

k. Masalah fisik yang tidak jelas penyebabnya, contohnya sakit

kepala atau sakti perut yang tidak jelas faktor pencetusnya

l. Sering berpikiran untuk mengakhiri hidupnya atau bunuh diri

Depresi mempengaruhi individu dengan cara yang beragam,

akibatnya gejala yang ditimbulkan juga beragam antar satu individu


18

ke individu lain. Umur, gender, pendidikan, dan budaya

semuanya berperan dalam bagaimana


19

depresi mempengaruhi seseorang (Bhowmik et al., 2012). Gejala umum depresi dapat

sedikit berbeda pada anak- anak atau remaja contohnya, pada anak-anak yang lebih

muda, gejala depresi dapat mencakup kesedihan, lekas marah, putus asa dan

kekhawatiran. Gejala pada remaja dapat mencakup kecemasan, kemarahan dan

penghindaran interaksi sosial (Kelvin, 2016).

3. Etiologi depresi

Sampai saat ini penyebab dari depresi masih belum dipahami dengan jelas. Para

peneliti memperkirakan bahwa Sebagian kecil kasus depresi disebabkan oleh cedera

pada otak, pengaruh sistem endokrin atau farmakologis namun pada sebagian besar

kasus, faktor genetik dan lingkungan mengambil peran terhadap pathogenesis depresi

(Maina et al., 2016). Sama seperti kanker dan penyakit kardiovaskuler yang memiliki

berbagai faktor risiko yang mungkin menimbulkan penyakit tersebut, terdapat

berbagai faktor yang mungkin menimbulkan depresi klinis (Donohue & Luby, 2016).

Para peneliti menemukan bahwa mereka yang menderita gangguan bipolar

memiliki riasan genetik yang agak berbeda dari mereka yang tidak menderita

gangguan bipolar. Namun, tidak semua individu yang memiliki faktor genetik

bipolar akan mengembangkan penyakit tersebut. Rupanya, faktor tambahan,

mungkin lingkungan yang penuh tekanan, yang terlibat dalam onset dan faktor

pelindung terlibat dalam pencegahannya. Depresi berat juga tampaknya terjadi


20

dalam generasi demi generasi pada beberapa keluarga, meskipun tidak

sekuat dalam Bipolar I atau II (Kim et al., 2017).

Peristiwa eksternal sering tampaknya memulai episode depresi. Dengan

demikian, kehilangan serius, penyakit kronis, hubungan yang sulit, masalah

keuangan, atau perubahan pola kehidupan yang tidak disukai dapat memicu episode

depresi. Kombinasi faktor genetik, psikologis, dan lingkungan terlibat dalam

timbulnya gangguan depresi (Donohue & Luby, 2016).

Kelainan dalam fungsi endokrin diperkirakan memiliki peran penting

terhadap kejadian depresi. Studi klinis membuktikan bahwa pasien dengan

gangguan endokrin lebih sering mengalami gangguan depresi, misalnya depresi

banyak terjadi pada pasien dengan penyakit cushing’s syndrome dan pasien yang

menggunakan obat glukokortikosteroid. Selain itu depresi merupakan manifestasi

klinis yang umum pada kasus hipotiroidisme. Peningkatan kadar glukokortikoid dan

stres juga dapat berperan dalam penurunan ukuran wilayah hipocampus otak pada

pasien depresi dengan mengurangi neurogenesis dan kelangsungan hidup neuron

melalui brain-derived neurotrophic factor (BDNF) (Langlieb & DePaulo, 2008).

Penelitian baru menemukan bahwa stres dalam pekerjaan menyebabkan penurunan

tingkat BDNF serum (pasien dengan depresi telah ditemukan memiliki level BDNF

yang lebih rendah) dan tingkat plasma 3-metoksi-4-hy-droxyphenycol yang lebih

tinggi, hal tersebut diperkirakan terkait dengan tingkat kecemasan pada pasien

yang depresi (Krishnan & Nestler, 2008).


21

4. Tingkat depresi

Gangguan depresi adalah gangguan mood yang datang dalam bentuk yang

berbeda, Tiga jenis gangguan depresi yang paling umum dibahas di bawah ini.

Namun, yang harus diingat bahwa dalam masing-masing jenis ini, ada variasi dalam

jumlah, waktu, keparahan, dan persistensi gejala. Ada juga perbedaan dalam

bagaimana individu mengalami depresi berdasarkan usia (Bhowmik et al., 2012).

a. Depresi ringan

Episode depresi dengan sekurang- kurangnya harus ada dua dari tiga gejala

utama ditambah dua dari gejala lainnya. Dengan lamanya episode depresi

kurang dari dua minggu dan sedikit merasa kesulitan dalam pekerjaan dan

kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari (Prasetya & Aryastuti, 2019)

b. Depresi sedang

Episode depresi dengan sekurang - kurangnya harus ada dua dari tiga gejala

utama ditambah tiga/empat dari gejala lainnya. Dengan lamanya episode

depresi minimal dua minggu dan merasa kesulitan yang nyata dalam

pekerjaan dan kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari (Prasetya &

Aryastuti, i2019)

c. Depresi berat

Depresi berat ditandai dengan kombinasi gejala yang bertahan

setidaknya dua minggu berturut-turut, termasuk suasana hati yang

menyedihkan dan/atau mudah tersinggung, yang dapat mengganggu

kemampuan untuk
22

bekerja, tidur, makan, dan menikamati kegiatan sehari-hari. Kesulitan dalam

tidur atau makan dapat menjadi faktor hal tersebut. Episode depresi ini dapat

terjadi sekali, dua kali, atau beberapa kali seumur hidup (Bhowmik et al.,

2012).

5. Depresi pada lanjut usia

Depresi adalah masalah umum di antara orang dewasa yang lebih tua,

namun itu bukan bagian normal dari penuaan. Bahkan, penelitian menunjukkan

bahwa pada lanjut usia lebih sering merasa puas dengan kehidupan mereka,

meskipun memiliki lebih banyak penyakit atau masalah fisik. Namun,

perubahan kehidupan yang terjadi seiring bertambahnya usia mungkin

menyebabkan perasaan gelisah, stres, dan kesedihan. Misalnya, kematian orang

yang dicintai, pindah dari pekerjaan menjadi pensiun, atau berurusan dengan

penyakit serius dapat membuat orang merasa sedih atau cemas. Setelah periode

penyesuaian, banyak lansia yang dapat memperoleh kembali keseimbangan

emosional mereka, tetapi yang lain tidak dan dapat mengembangkan depresi

(Thapar et al., 2012). Sehingga orang-orang yang berusia di atas 65 tahun

tampaknya memiliki risiko depresi yang sedikit lebih besar. Risiko ini menjadi

jauh lebih tinggi pada orang berusia di atas 85 tahun. Sangat sulit untuk

mengenali depresi pada orang tua karena mereka cenderung tidak berbicara

tentang perasaan sedih atau rendah, dan lebih cenderung berbicara tentang

masalah fisik seperti kehilangan energi atau kesulitan tidur. Ini mungkin
23

menjelaskan mengapa orang yang lebih tua mengalami tingkat bunuh diri yang

tinggi, terutama pria berusia di atas 75 tahun. Depresi juga dapat dikacaukan

dengan efek dari masalah kesehatan lainnya. Orang-orang yang mengalami

depresi sering melaporkan merasa bingung dan mengalami kesulitan dalam

berpikir dan mengingat. Pada orang yang lebih tua, penting untuk mengetahui

apakah masalah ini disebabkan oleh depresi atau pengembangan demensia

misalnya dalam penyakit Alzheimer atau stroke (Draft, 2009).

6. Pengobatan pada depresi

Beberapa pengobatan yang digunakan dalam terapi depresi, diantaranya:

a. Pengobatan antidepresan menggunakan selective serotonin reuptake

inhibitors (SSRI). Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIS) adalah

obat yang menambah jumlah neurokimia serotonin di otak. (kadar serotonin

otak seringkali rendah dalam depresi.) Seperti namanya, SSRI bekerja

dengan selektif menghambat (memblokir) serotonin reuptake di otak. Blok

ini terjadi pada sinaps, tempat sel otak (neuron) terhubung satu sama lain.

Serotonin adalah salah satu bahan kimia di otak yang membawa pesan di

koneksi ini (sinapsis) dari satu neuron ke neuron lainnya. SSRI bekerja

dengan menjaga serotonin dalam konsentrasi tinggi di dalam sinapsis. Obat-

obatan ini bekerja dengan cara mencegah reuptake serotonin kembali ke

sel saraf pengirim. Reuptake serotonin bertanggung jawab untuk

menghentikan produksi serotonin baru. Oleh karena itu, pesan serotonin terus
24

datang. Diperkirakan bahwa, SSRI dapat membantu membangkitkan

(mengaktifkan) sel-sel yang telah dinonaktifkan oleh depresi, sehingga

menghilangkan gejala depresi. SSRI memiliki efek samping yang lebih

sedikit daripada antidepresan trisiklik (TCA) dan inhibitor monoamine

oksidase (MAOI). SSRI tidak berinteraksi dengan tyramine kimia dalam

makanan, seperti MAOI. Juga, SSRI tidak menyebabkan hipotensi ortostatik

(tiba-tiba jatuh tekanan darah saat duduk atau berdiri) dan gangguan ritme

jantung, seperti TCA. Oleh karena itu, SSRI sering menjadi pilihan

pengobatan lini pertama untuk depresi. Contoh SSRI termasuk fluoxetine

(Prozac), paroxetine (Paxil), Ser Traline (Zoloft), Citalopram (Celexa),

Fluvoxamine (Luvox), dan Escitalopram (Lexapro).

SSRI umumnya ditoleransi dengan baik, dan efek samping biasanya

ringan. Efek samping yang paling umum adalah mual, diare, agitasi,

insomnia, dan sakit kepala. Namun, efek samping ini umumnya hilang dalam

bulan pertama penggunaan SSRI. Beberapa pasien mengalami efek samping

seksual, seperti penurunan hasrat seksual (penurunan libido), orgasme

tertunda, atau ketidakmampuan untuk memiliki orgasme. Semua pasien

secara biokimia unik. Oleh karena itu, terjadinya efek samping atau

kurangnya hasil yang memuaskan dengan satu SSRI tidak berarti bahwa obat

lain dalam kelompok ini tidak akan bermanfaat. Namun, jika seseorang di

keluarga pasien memiliki respons positif terhadap obat tertentu, obat itu
25

mungkin yang lebih baik untuk dicoba terlebih dahulu (Donohue & Luby,

2016).

b. Dual-action antidepressants

Mekanisme kerja dari obat-obatan yang digunakan untuk mengobati

depresi (MAOI, SSRIS, TCAS, dan antidepresan atipikal) memiliki beberapa

efek pada norepinefrin dan serotonin, serta pada neurotransmiter lainnya.

Namun, beberapa obat antidepresan yang lebih baru tampaknya memiliki

efek yang lebih kuat pada sistem norepinefrin dan serotonin. Obat-obatan ini

tampaknya sangat menjanjikan, terutama untuk kasus depresi yang lebih

parah dan kronis. Venlafaxine (Effexor), Duloxetine (Cy mbalta) dan

Desvenlafaxine (Pristiq) adalah tiga dari senyawa aksi ganda ini. Effexor

adalah serotonin reuptake inhibitor, pada dosis yang lebih rendah, memiliki

efek samping yang lebih rendah dari SSRI. Pada dosis yang lebih tinggi, obat

ini muncul untuk memblokir reuptake norepinefrin. Dengan demikian,

Venlafaxine dapat dianggap sebagai SNRI, serotonin dan norepinefrine

reuptake inhibitor. Cymbalta dan Pristiq cenderung bertindak sebagai

inhibitor reuptake serotonin yang sama kuat dan inhibitor reuptake

norepinefrin terlepas dari dosisnya. Karena itu, mereka juga dianggap SNRI.

Mirtazapine (remeron), antidepresan lain, yang merupakan senyawa

tetrasiktik (struktur kimia empat cincin). Mirtazapine bekerja di situs

biokimia yang agak berbeda dan dengan cara yang berbeda dari obat lain.

Mirtazapine mempengaruhi serotonin, tetapi di situs postsinaptik (setelah


26

koneksi antara sel-sel saraf). Mirtazapine juga meningkatkan kadar histamin,

yang dapat menyebabkan kantuk. Untuk alasan ini, Mirtazapine diberikan

pada waktu tidur dan sering diresepkan untuk orang-orang yang kesulitan

tertidur. Seperti SNRI, Mirtazapine juga bekerja dengan meningkatkan kadar

norepinefrin. Selain menyebabkan sedasi, obat ini memiliki efek samping

yang mirip dengan SSRI tetapi pada tingkat yang lebih rendah dalam banyak

kasus (Donohue & Luby, 2016).

c. Antidepresan atipikal

Antidepresan atipikal dinamai karena obat-obatan bekerja dalam berbagai

cara. Dengan demikian, antidepresan atipikal bukan termasuk golongan TCA,

SSRIS, atau SNIS, tetapi mereka efektif dalam mengobati depresi dalam

banyak kasus. Lebih spesifik, Antidepresan atipikal meningkatkan tingkat

neurokimia tertentu di sinapsis otak (di mana saraf berkomunikasi satu sama

lain). Contoh-contoh antidepresan atipikal termasuk nefazodone (serzone),

trazodone (desyre l), dan bupropion (wellbutrin). The United States Food

and Drug Administration (FDA) juga telah menyetujui Bupropion untuk

digunakan dalam terapi dari kecanduan rokok. Obat ini juga sedang

dipelajari untuk mengobati Attention Deficit Disorder (ADD) atau Attention

Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) (Donohue & Luby, 2016).

d. Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)

Contoh MAOI termasuk fenelzine (nardil) dan tranylcypromine

(parnate). Monoamine oxidase inhibitors bekerja dengan cara meningkatkan


27

kadar neurokimia di sinapsis otak dengan menghambat monoamine oksidase.

Monoamine Oxidase adalah enzim utama yang memecah neurokimia, seperti

norepinefrin. Ketika monoamine oksidase dihambat, norepinefrin tidak rusak

oleh karena itu, jumlah norepinefrin di otak meningkat. Monoamine oxidase

inhibitors juga merusak kemampuan untuk memecah Tyramine, suatu zat

yang ditemukan dalam keju tua, anggur, kacang, coklat, dan beberapa

makanan lainnya. Tyramine, seperti norepinefrin, dapat meningkatkan

tekanan darah. Oleh karena itu, konsumsi makanan yang mengandung

tyramine oleh pasien yang mengkonsumsi obat MAOI dapat menyebabkan

peningkatan kadar tyramine darah dan tekanan darah tinggi. Selain itu,

Monoamine oxidase inhibitors dapat berinteraksi dengan obat flu dan batuk

yang dapat menyebabkan tekanan darah tinggi. Karena interaksi obat dan

makanan yang berpotensi serius ini, Monoamine oxidase inhibitors biasanya

hanya diresepkan setelah opsi pengobatan lainnya gagal (Fillit et al., 2010).

e. Antidepresan trisiklik (TCA)

Antidepresan golongan ini dikembangkan pada 1950 dan 1960 untuk

mengobati depresi. TCA bekerja dengan meningkatkan kadar norepinefrin di

sinapsis otak, selai itu TCA juga dapat memengaruhi kadar serotonin.

Dokter sering menggunakan TCA untuk mengobati depresi sedang hingga

berat. Contoh-contoh antidepresan trisiklik adalah desipramine (norpramin),

imipramine (tofranil), amitriptyline (elavil), trimipramine (Surmontil),

andperphenazine (trievil), protriptyline (vivactil), nortriptyline (aventyl,


28

pamelor). TCA aman dan umumnya ditoleransi dengan baik ketika

diresepkan dan dikelola dengan benar. Namun, jika dikonsumsi berlebihan,

TCA dapat menyebabkan gangguan ritme jantung yang mengancam jiwa.

Beberapa TCA juga dapat memiliki efek samping antikolinergik, yang

disebabkan oleh pemblokiran aktivitas saraf yang bertanggung jawab untuk

kontrol detak jantung, gerakan usus, fokus visual, dan produksi air liur.

Dengan demikian, beberapa TCA dapat menghasilkan mulut kering,

penglihatan kabur, sembelit, dan pusing setelah berdiri. Efek samping

antikolinergik juga dapat memperburuk glaukoma sudut sempit, obstruksi

urin karena hipertrofi prostat jinak, dan menyebabkan delirium pada orang

tua. TCA juga harus dihindari pada pasien yang dipersembahkan atau

riwayat stroke (Fillit et al., 2010).

f. Psikoterapi

Banyak bentuk psikoterapi secara efektif digunakan untuk membantu

individu yang depresi, termasuk beberapa terapi jangka pendek (10 hingga 20

minggu). Talking therapies (psikoterapi) membantu pasien mendapatkan

wawasan tentang masalah mereka dan menyelesaikannya melalui masukan

verbal oleh terapis. Terapi ini membantu pasien belajar bagaimana

mendapatkan kepuasan dan penghargaan melalui tindakan mereka sendiri.

Terapi ini juga membantu pasien untuk melepaskan pola perilaku yang dapat

berkontribusi pada depresi mereka (Thapar et al., 2012)


29

B. Kepatuhan Minum Obat

Anda mungkin juga menyukai