Anda di halaman 1dari 18

KONSEP GAGAL JANTUNG

1 Definisi Gagal Jantung


Gagal jantung merupakan sindrom klinik yang sifatnya kompleks, dapat berakibat dari
gangguan pada fungsi miokardium (fungsi sistolik dan diastolik), penyakit katup ataupun
perikardium, atau apapun yang dapat membuat gangguan pada aliran darah dengan adanya
retensi cairan, biasanya tampak sebagai kongesti paru, edema perifer, sesak nafas, dan cepat
lelah. Siklus ini dipicu oleh meningkatnya regulasi neurohormonal yang awalnya berfungsi
sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan mekanisme Frank–Starling, tetapi
selanjutnya menyebabkan penumpukan cairan yang berlebih dengan gangguan fungsi
jantung.
Gagal jantung dapat di definisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung atau fungsi
yang menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh tubuh.
Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana seseorang
memiliki tampilan berupa: gejala gagal jantung, tanda khas gagal jantung, dan adanya bukti
obyektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.

2 Gejala dan Tanda Gagal Jantung


3. Manifestasi Klinis Gagal Jantung
4. Etiologi Gagal Jantung
Menurut beberapa penelitian penyakit jantung disebabkan oleh beberapa hal yaitu: usia,
jenis kelamin, konsumsi garam berlebihan, keturunan, hiperaktivitas system syaraf simpatis,
stress, obesitas, olahraga tidak teratur, merokok, konsumsi alcohol dan kopi berlebihan,
hipertensi, ischaemic heart disease, konsumsi alkohol, Hypothyroidsm, penyakit jantung
kongenital (defek septum, atrial septal defek,ventrical septal defek), Kardiomiopati (dilatasi,
hipertropik, restriktif), dan infeksi juga dapat memicu timbulnya gagal jantung.
5. WOC

6. Klasifikasi
Klasifikasi gagal jantung dapat dijabarkan melalui dua kategori yakni kelainan struktural
jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional dari New York
Heart Association (NYHA).
Berdasarkan kelainan struktural jantung Berdasarkan kapasitas fungsional
(NYHA)
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang Tidak ada batasan aktifitas fisik. Aktifitas
menjadi gagal jantung. Tidak terdapat fisik sehari-hari tidak menimbulkan
gangguan struktural atau fugsional jantung, kelelahan, berdebar atau sesak nafas
dan juga tidak tampak tanda atau gejala
Telah terbentuk kelainan pada struktur Kelas II
jantung yang berhubungan dengan Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak
perkembangan gagal jantung tapi terdapat keluhan saat istrahat, namun aktifitas
tidakterdapat tanda atau gejala. fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,
berdebar atau sesak nafas.

Stadium C Kelas III


Gagal jantung yang simptomatik Terdapat batasan aktifitas yang bermakna.
berhubungan dengan penyakit struktural Tidak terdapat keluhan saat istrahat, namun
jantung yang mendasari. aktfitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,
berdebar atau sesak nafas.
Stadium D Kelas IV
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa
gagal jantung yang sangat bermakna muncul keluhan. Terdapat gejala saat istrahat.
saat istrahat walaupun sudah mendapat terapi Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
medis maksimal (refrakter).

Gagal jantung sering juga di klasifikasikan sebagai gagal jantung dengan penurunan fungsi
sistolik (fraksi ejeksi) dan gangguan fungsi diastolik saja namun fungsi sistolik (fraksi ejeksi)
yang normal, yang selanjutnya akan disebut sebagai Heart Failure with Reduced Ejection
Fraction (HFREF), Heart Failure with mid-range Ejection Fraction (HFmrEF), dan Heart
Failure with Preserved Ejection Fraction (HFPEF). Selain itu, myocardial remodeling juga
akan berlanjut dan menimbulkan sindroma klinis gagal jantung.
Macam Gagal Jantung
1. Gagal Jantung Akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala-gejala atau tanda-
tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit
jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.
Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan gejala dan penilaian klinis, didukung
oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto thoraks, biomarker dan ekokardiografi
Doppler. Pasien segera diklasifikasikan apakah disfungsi sistolik atau disfungsi diastolik.
2. Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung adalah suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung
memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan. Gagal jantung kronis juga
didefinisikan sebagai sindroma klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung
berupa sesak, fatique baik dalam keadaan istirahat maupun beraktifitas.

7. Patogenesis Gagal Jantung


Pada gagal jantung terjadi suatu kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri
yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (system
RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi
perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan
gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma
dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen)
dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis,
menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan
menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga
memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yang memiliki
efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide
(ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan
vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap
ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada
tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena
peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan
sebagai terapi pada penderita gagal jantung.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal
jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang
akan menyebabkan hiponatremia Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan
merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1
plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung.
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner,
hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain
seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30
– 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada
penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolic yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri.

8. Diagnosis Gagal Jantung


Diagnosis gagal jantung dapat dilakukan dengan dengan pemeriksaan fisik dan
penunjang. Gejala yang didapatkan pada pasien dengan gagal jantung antara lain sesak nafas,
Edema paru, peningkatan JVP , hepatomegali , edema tungkai.
Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik
(CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Kardiomegali dapat disebabkan
oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan, LVH, atau kadang oleh efusi perikard. Derajat
kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian besar pasien
(80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV, gangguan konduksi,
aritmia. Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal
jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik), dan abnormalitas
gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung dapat disinggirkan.
Tes darah direkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi ginjal
sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung sehingga
pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan. Pencitraan radionuklida menyediakan
metode lain untuk menilai fungsi ventrikel dan sangat berguna ketika citra yang memadai
dari ekokardiografi sulit diperoleh. Pemindahan perfusi dapat membantu dalam menilai
fungsional penyakit jantung koroner.

9. Penanganan
Tujuan umum penanganan gagal jantung adalah: meniadakan tanda klinik seperti batuk
dan dispne, memperbaiki kinerja jantung sebagai pompa, menurunkan beban kerja jantung,
dan mengontrol kelebihan garam dan air. Obat yang digunakan untuk penanganan gagal
jantung bervariasi tergantung pada etiologi, keparahan gagal jantung, spesies penderita, dan
faktor lainnya.
Untuk mencapai tujuan dalam penanganan gagal jantung dapat dilakukan dengan cara:
1. Membatasi aktivitas fisik. Latihan/aktivitas akan meningkatkan beban jantung dan juga
meningkatkan kebutuhan jaringan terhadap oksigen. Pada pasien yang fungsi jantungnya
mengalami tekanan, latihan dapat menimbulkan kongesti. Karena itu maka kerja jantung
harus diturunkan dengan istirahat atau membatasi aktivitas..
2. Membatasi masukan garam. Pada pasien yang mengalami CHF, aktivitas renin-
angiotensi-aldosteron mengalami peningkatan. Hal tersebut akan merangsang ginjal
untuk menahan natrium dan air sehingga ekskresi natrium dan air akan berkurang. Bila
ditambah pakan yang mengandung natrium tinggi maka retensi air dan peningkatan
volume darah akan semakin parah, dan pada gilirannya akan menimbulkan kongesti dan
edema.
3. Menghilangkan penyebab atau faktor pemicu gagal jantung. Menghilangkan penyebab
gagal jantung merupakan tindakan yang paling baik. Malformasi kongenital seperti
patent ductus arteriosus dapat diperbaiki dengan cara operasi dengan tingkat
keberhasilan yang tinggi. Ballon valvuloplasti telah berhasil digunakan untuk menangani
stenosis katup pulmonik. CHF yang disebabkan oleh penyakit perikardium dapat
ditangani sementara atau permanen dengan perikardiosentesis atau perikardektomi.
Tetapi sayangnya hal tersebut sering tidak mungkin dilakukan dengan berbagai alasan.
4. Menurunkan preload. Karena adanya retensi garam dan air oleh ginjal pada pasien CHF,
maka preload jantung pada umumnya tinggi. Hal tersebut akan mengakibatkan kongesti
pada sistem sirkulasi. Oleh karena itu, penurunan preload akan menurunkan kongesti dan
edema pulmoner, yang akan memperbaiki pertukaran gas pada paru-paru pada kasus
CHF jantung kiri, dan menurunkan kongesti vena sistemik dan asites pada CHF jantung
kanan. Preload ditentukan oleh volume cairan intravaskular dan tonus vena sistemik.

10. Pengobatan Gagal Jantung


Pengobatan dilakukan agar penderita merasa lebih nyaman dalam melakukan berbagai
aktivitas fisik, dan bisa memperbaiki kualitas hidup serta meningkatkan harapan hidupnya.
Pendekatannya dilakukan melalui 3 segi, yaitu mengobati penyakit penyebab gagal jantung,
menghilangkan faktor-faktor yang bisa memperburuk gagal jantung dan mengobati gagal
jantung. Tujuan pengobatan gagal jantung adalah untuk mengurangi gejala- gejala gagal
jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup penderita. Cara dan golongan obat yang dapat
diberikan antara lain mengurangi penumpukan cairan (dengan pemberian diuretik),
menurunkan resistensi perifer (pemberian vasodilator), memperkuat daya kontraksi miokard
(pemberian inotropik).
1. Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan pengeluaran
air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung. Diuterik yang sering digunakan
golongan diuterik loop dan thiazide. Diuretik Loop (bumetamid, furosemid)
meningkatkan ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa henle
asenden, namun efeknya bila diberikan secara oral dapat menghilangkan pada gagal
jantung berat karena absorbs usus. Diuretik ini menyebabkan hiperurisemia. Diuretik
Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid, hidroklorotiazid, mefrusid, metolazon).
Menghambat reabsorbsi garam di tubulus distal dan membantu reabsorbsi kalsium.
Diuretik ini kurang efektif dibandingkan dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif
bila laju filtrasi glomerulus turun dibawah 30%. Penggunaan kombinasi diuretic loop
dengan diuretic thiazude bersifat sinergis. Tiazide memiliki efek vasodilatasi langsung
pada arterior perifer dan dapat menyebabkan intoleransi karbohidrat.
2. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham menemukan
penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea). Glikosida seperti digoksin
meningkatkan kontraksi miokard yang menghasilkan inotropisme positif yaitu
memeperkuat kontraksi jantung, hingga volume pukulan, volume menit dan dieresis
diperbesar serta jantung yang membesar menjadi mengecil. Digoksin tidak
meneyebabkan perubahan curah jantung pada subjek normal karena curah jantung
ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun juga oleh beban dan denyut jantung.
Pada gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas dan menghilangkan
mekanisme kompensasi sekunder yang dapat menyebabkan gejala.
3. Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding ventrikel, yang
merupakan determinan utama kebutuhan oksigen moikard, menurunkan konsumsi
oksigen miokard dan meningkatkan curah jantung. Vasodilator dapat bekerja pada
system vena (nitrat) atau arteri (hidralazin) atau memiliki efek campuran vasodilator dan
dilator arteri (penghambat ACE, antagonis reseptor angiotensin, prazosin dan
nitroprusida).Vasodilator menurukan prelod pada pasien yang memakan diuterik dosis
tinggi, dapat menurunkan curah jantung dan menyebabkan hipotensi postural. Namun
pada gagal jantung kronis, penurunan tekanan pengisian yang menguntungkan biasanya
mengimbangi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Pada gagal jantung sedang
atau berat, vasodilator arteri juga dapat menurunkan tekanan darah.
4. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta adrenoreseptor
biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja inotropik negatifnya. Namun,
stimulasi simpatik jangka panjang yang terjadi pada gagal jantung menyebabkan regulasi
turun pada reseptor beta jantung. Dengan memblok paling tidak beberapa aktivitas
simpatik, penyekat beta dapat meningkatkan densitas reseptor beta dan menghasilkan
sensitivitas jantung yang lebih tinggi terhadap simulasi inotropik katekolamin dalam
sirkulasi. Juga mengurangi aritmia dan iskemi miokard. Penggunaan terbaru dari
metoprolol dan bisoprolol adalah sebagai obat tambahan dari diuretic dan ACE-blokers
pada dekompensasi tak berat. Obat- obatan tersebut dapat mencegah memburuknya
kondisi serta memeperbaiki gejala dan keadaan fungsional. Efek ini bertentangan dengan
khasiat inotrop negatifnya, sehingga perlu dipergunakan dengan hati-hati.
5. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah dengan jalan
menghambat pembentukan fibrin. Antagonis vitamin K ini digunakan pada keadaan
dimana terdapat kecenderungan darah untuk memebeku yang meningkat, misalnya pada
trombosis. Pada trobosis koroner (infark), sebagian obat jantung menjadi mati karena
penyaluran darah kebagian ini terhalang oleh tromus disalah satu cabangnya. Obat-
obatan ini sangat penting untuk meningkatkan harapan hidup penderita.
6. Antiaritmia dapat mencegah atau meniadakan gangguan tersebut dengan jalan
menormalisasi frekuensi dan ritme pukulan jantung. Kerjanya berdasarkan penurunan
frekuensi jantung. Pada umumnya obat-obatn ini sedikit banyak juga mengurangi daya
kontraksinya. Perlu pula diperhatikan bahwa obat-obatan ini juga dapat memeperparah
atau justru menimbulkan aritmia. Obat antiaritmia memepertahankan irama sinus pada
gagal jantung memberikan keuntungan simtomatik, dan amiodaron merupakan obat yang
paling efektif dalam mencegah AF dan memperbaiki kesempatan keberhasilan
kardioversi bila AF tetap ada.

11. Diet Pada Pasien Gagal Jantung


Di Indonesia menurut data dari Indonesian Society of Hypertension asupan garam harian
mencapai 15 gr hingga dua kali liat yang direkomendasikan WHO yaitu 5 sampai 6 gr per
hari. Ada tiga tahap diet rendah garam yakni terdiri dari diet ringan (konsumsi garam 3,75-
7,5 gram per hari), menengah (1,25-3,75 gram per hari) dan berat (kurang dari 1,25 gram per
hari).

1. Diet Rendah Garam


Yang dimaksud disini adalah diet tanpa penggunaan garam dapur baik dalam proses
pengolahan makanan maupun saat makanan tersebut akan dikonsumsi. Selain itu, konsumsi
makanan dengan kandungan Natrium yang tinggi juga dikurangi. Bahan makanan yang
diolah dengan menggunakan garam seperti kecap, margarin, mentega, keju, terasi, petis,dan
sebagainya tidak boleh dikonsumsi. Demikian juga dengan bahan maknan awetan yang
menggunakan garam seperti ikan asin, sardines, corned beef, sosis dan sebagainya. Konsumsi
bahan makanan yang kandungan natriumnya tinggi baik bahan makanan hewani maupun
nabati harus dibatasi jumlahnya karena kandungan natrium didalamnya cukup tinggi.
2 Diet Rendah Natrium
Dalam diet rendah garam, kandungan Natrium dalam makanan masih dalam jumlah
tinggi, yaitu sekitar 2500mg. Pada diet rendah natrium, kandungan Na adalah antara 600 mg
hinga 1200 mg. Akan tetapi dengan hanya mengunakan bahan makanan tertentu dalam diet,
kandungan Na dalam makanan dapat ditekan sampai batas minimal.
Diet rendah natrium hanya diberikan kepada penderita yang dirawat di rumah sakit.
Salah satu diet rendah natrium yang paling sering digunakan adalah disebut diet kempner.
Diet terdiri atas beras dan buah-buahan kandungan natrium sebanyak 200 mg, protein nabati
20 gram, dan hidrat arang 460 gram sehari. Jumlah cairan yang diberikan antara 700 ml
sampai 1000 ml sehari. Penderita diberi makanan yang terdiri atas 200 – 300 gr beras sehari
yang dimasak sebagai nasi. Nasi tidak boleh dimasak dengan garam. Jumlah kalori yang
didapat dari nasi adalah antara 700 – 100 kalori. Tambahan kalori diperoleh dengan
menambahkan gula atau buah-buahan segar. Semua buah-buahan dapat diberikan kecuali
advokad, kurma, dan buah-buahan yang sudah diawetkan/ buah-buahan kaleng. Sari tomat
dan sari sayuran tidak boleh diberikan. Diet rendah garam atau rendah natrium tidak hanya
diberikan kepada penderita penyakit jantung, tetapi juga diberikan kepada penderita penyakit
ginjal, penyakit sirosis hati, dankeracunan kehamilan. Penderita bukan saja harus membatasi
makanan yang mengandung natrium tinggi dan pantang garam, tetapi juga obat- obatan
ataupun bahan lainnya yang kadar natriumnya tinggi seperti Na-siklamat (gula tiruan), bumbu
masak (monosodium glutamat), dan sebagainya.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menjalani diet rendah garam, antara lain:
 Apabila fungsi ginjal tidak sempurna, penderita akan mengalami defisiensi natrium
karena kemampuan ginjal menyerap kembali Na menurun.
 Defisiensi Na juga dapat terjadi jika penderita diberi obat diuretik.
 Sindrom kurang garam dapat timbul pada penderita, yaitu tubuh menjadi lemah, nafsu
makan hilang, mual, dan muntah. Selain itu tekanan darah akan turun, denyut nadi
menjadi cepat. Keadaan ini disebut juga “intoksikasi air”.

Konsep Asuhan Keperawatan Gagal Jantung

1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Keluhan yang paling sering menjadi alasan pasien untuk meminta pertolongan pada
tenaga kesehatan seperti, dispnea, kelemahan fisik, dan edema sistemik (Dewi I. N.
2012).
b. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama dengan memberikan pertanyaan tentang
kronologi keluhan utama. Pengkajian yang didapat dengan gejalagejala kongesti vaskuler
pulmonal, yakni munculnya dispnea, ortopnea, batuk, dan edema pulmonal akut.
Tanyakan juga gajala-gejala lain yang mengganggu pasien (Wijaya & Putri, 2013).
c. Riwayat penyakit dahulu
Untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu tanyakan kepada pasien apakah pasien
sebelumnya menderita nyeri dada khas infark miokardium, sesak nafas berat, hipertensi,
DM, atau hiperglipidemia. Tanyakan juga obat obatan yang biasanya diminum oleh
pasien pada masa lalu, yang mungkin masih relevan. Tanyakan juga alergi yang dimiliki
pasien (Wijaya & Putri, 2013).
d. Riwayat keluarga
Tanyakan pasien penyakit yang pernah dialami oleh kelurga. Bila ada keluarga yang
meninggal tanyakan penyebab meninggalnya. Penyakit jantung pada orang tuanya juga
menjadi faktor utama untuk penyakit jantung iskemik pada keturunannya (Ardiansyah,
2012).

Menurut Doenges (2010), Asuhan keperawatan yang penting dilakukan pada klien gagal
jantung adalah :
A. Pengkajian primer
1) Airway: penilaian akan kepatenan jalan nafas, meliputi pemeriksaan mengenai adanya
obstruksi jalan nafas, dan adanya benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat
dianggap jalan napas bersih. Dilakukan pula pengkajian adanya suara nafas tambahan
seperti snoring.
2) Breathing: frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu pernafasan, retraksi
dinding dada, dan adanya sesak nafas. Palpasi pengembangan paru, auskultasi suara
nafas, kaji adanya suara napas tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya
trauma pada dada.
3) Circulation: dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac output serta adanya
perdarahan. Pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi.
4) Disability: nilai tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil.

B. Fokus Pengkajian:
Fokus pengkajian pada pasien dengan gagal jantung. Pengamatan terhadap tanda-
tanda dan gejala kelebihan cairan sistematik dan pulmonal.
1) Pernafasan : Auskultasi pada interval yang sering untuk menentukan ada atau tidaknya
krakles dan mengi, catat frekuensi dan kedalaman bernafas.
2) Jantung: Auskultasi untuk mengetahui adanya bunyi bising jantung S3 dan S4,
kemungkinan cara pemompaan sudah mulai gagal.
3) Tingkat kesadaran: Kaji tingkat kesadaran, adakah penurunan kesadaran.
4) Perifer: Kaji adakah sianosis perifer.
5) Kaji bagian tubuh pasien yang mengalami edema dependen dan hepar untuk mengetahui
reflek hepatojugular (RHJ) dan distensi vena jugularis (DVJ).

Data dasar pengkajian fisik:


a. Aktivitas/ istrirahat
 Gejala: keletihan, kelemahan terus sepanjang hari, insomnia, nyeri dada dengan
aktivitas, dispnea pasa saat istirahat atau pada pengerahan tenaga.
 Tanda: gelisah, perubahan status mental (latergi, TTV berubah pada aktivitas).
b. Sirkulasi
Gejala:
 Riwayat hipertensi, episode gagal jantung kanan sebelumnya
 Penyakit katup jantung, bedah jantung, endokarditis, anemia, syok septik, bengkak
pada kaki, telapak kaki, abdomen, sabuk terlalu kuat (pada gagal jantung kanan)
Tanda:
 Tekanan darah mungkin menurun (gagal pemompaan)
 Tekanan nadi menunjukan peningkatan volume sekuncup
 Ftekuensi jantung takikardia ( gagal jantung kiri)
 Irama jantung: sistemik, misalnya: fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel prematur/
takikardia blok jantung
 Nadi apikal disritmia
 Bunyi jantung S3 (gallop) adalah diasnostik, S4 dapat terjadi, S1 dan S2 mungkin
lemah
 Murmur sistolik dan diastolik dapat menandakan adanya katup atau insufisiensi
 Nadi: nadi perifer berkurang, perubahan dalam kekuatan denyutan dapat terjadi, nadi
sentral mungkin kuat, misal: nadi jugularis coatis abdominal terlihat
 Warna kulit: kebiruan, pucat, abu-abu, sianotik
 Punggung kuku: pucat atau sianotik dengan pengisian kapiler lambat
 Hepar: pembesaran/ dapat teraba, reflek hepato jugularis
 Bunyi napas: krekel, ronchi
 Edema: mungkin dependen, umum atau pitting, khususnya pada ekstremitas
 . Distensi vena jugularis
c. Integritas ego
Gejala:
 Ansietas, khawatir, takut
 Stres yang berhubungan dengan penyakit/ finansia
Tanda:
 Berbagai manifestasi perilaku, misal: ansietas, marah, ketakutan
d. Eliminasi
 Gejala: Penurunan berkemih, urine berwarna gelap, berkemih malam hari
(nokturnal), diare/ konstipasi
e. Makanan/ cairan
Gejala:
 Kehilangan nafsu makan29
 Mual/ muntah
 Penambahan berat badan signifikan
 Pembengkakan pada ekstremitas bawah
 Pakaian/ sepatu terasa sesak
 Diet tinggi garam/ makanan yang telah diproses, lemak, gula, dan kafein
 Penggunaan diuretik (Wijaya & Putri, 2013).
Tanda:
 Penambahan berat badan cepat
 Distensi abdomen (asites), edema (umum, dependen, atau pitting)
f. Hygiene
 Gejala : Keletihan, kelemahan, kelemahan selama aktivitas perawatan diri
 Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal
g. Neurosensori
 Gejala : Kelemahan, peningkatan episode pingsan
 Tanda : Letargi, kuat fikir, disorientasi, perubahan perilaku, mudah tersinggung
h. Nyeri/ kenyamanan
Gejala:
 Nyeri dada, angina akut atau kronis
 Nyeri abdomen kanan atau kiri
Tanda:
 Tidak tenang, gelisah
 Fokus menyempit (menarik diri)
 Perilaku melindungi diri 30
i. Pernapasan
Gejala:
 Dispnea saat beraktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal
 Batuk dengan/ tanpa sputum
 Riwayat penyakit paru kronis
 Penggunaan bantuan pernapasan, misal oksigen atau medikasi
Tanda:
 Pernapasan takipnea, nafas dangkal, pernapasan laboral, penggunaan otot
 aksesoris
 Pernapasan nasal faring
 Batuk kering/ nyaring/ non produktif atau mungkin batuk terus menerus
 dengan tanpa sputum
 Sputum: mungkin bercampur darah, merah mudah/ berbuih, edema
 pulmonal
 Bunyi napas: mungkin tidak terdengar dengan krekels banner dan mengi
 Fungsi mental: mungkin menurun, letargi, kegelisahan, warna kulit pucat/
sianosis (Wijaya & Putri, 2013).
j. Pemeriksaan penunjang
 Radiogram dada : Kongesti vena paru, redistribusi vaskuler pada lobus-lobus atas
paru, kardiomegali
 2). Kimia darah : Hiponatremia, hiperkalemia pada tahap lanjut dari gagal jantung,
Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin meningkat 31
 Urine : Lebih pekat, bunyi jantung meningkat, natrium meningkat
 Fungsi hati : Pemanjangan masa protombin, peningkatan bilirubin dan enzim hati
(SGOT dan SGPT meningkat) (Wijaya & Putri, 2013)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang sering muncul pada kasus gagal jantung adalah :
a. Penurungan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung
b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi Na+H2O
c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum
e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan edema

3. Rencana Asuhan Keperawatan


Diagnosa (SDKI) Luaran (SIKI) Intervensi (SIKI)
Penurunan Curah Jantung Curah Jantung (L.002008) Perawatan Jantung
(D.0008) (1.02075)
Kategori: Fisiologis Definisi :
Subkategori: Sirkulasi Ketidakadekuatan jantung Definisi
memompa darah untuk Mengidentifikasi, merawat
Definisi : memenuhi kebutuhan dan membatasi komplikasi
Ketidakadekuatan memompa metabolism tubuh. akibat ketidakseimbangan
Memenuhi metabolisme antara suplai dan konsumsi
tubuh darah jantung untuk Kriteria hasil : oksigen miokard
kebutuhan Setelah melakukan tindakan
Selama 2x24 jam maka Tindakan :
Penyebab : tingkat curah jantung pada Observasi
1. Perubahan irama jantung pasien meningkat. Dengan 1. Identifikasi tanda/gejala
2. Perubahan frekuensi kriteria hasil : primer penurunan curah
jantung 1. Menurun Jantung
2. Cukup menurn 2. Monitor tekanan darah
Gejala dan tanda mayor 3. Sedang 3. Monitor saturasi oksigen
Subjektif 4. Cukup meningkat 4. Monitor keluhannyeri
1. Perubahan irama jantung 5. Meningkat dada saturasi
- Palpitasi 5. Monitor atrimia
2. Perubahan preload 6. Periksa tekanan darah
- Lelah dan frekuensi nadi
3. Perubahan afterload sebelum dan sesudah
-Dispnea aktivitas
Objektif 7. Periksa tekanan darah
1. Perubahan irama jantung dan frekuensi nadi
2. Perubahan preload sebelum pemberian obat
3. Perubahan afterload
4. Perubahan kontraaktilitas Terapeutik
8. Posisikan pasien semi
Gejala dan tanda minor fowler dengan kaki
Subjektif kebawah atau posisi
1. Perubahan preload nyaman
2. Perubahan afterload 9. Berikan diet jantung
3. Perubahan kontratilitas yang sesuai
4. Perilaku emosional 10. Berikan relaksasi
- Cemas mengurangi jika perlu
- Gelisah terapi untuk stres,
11. Berikan untuk oksigen
Objektif mempertahankan
1. Perubahan preload saturasi
- Murmur jantung
- Berat badan bertambah Edukasi
- Pulmonary artery wedge 12. Anjurkan aktivitas fisik
pressure (Pawp) sesuai toleransi
13. Anjurkan meokok
berhenti

Kolaborasi
14. Kolaborasi pemberian
antiaritmia, perlu jika
15. Rujuk ke program
rehabilitas jantung

4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah tahap proses keperawatan dengan melaksanakan
berbagai strategi tindakan keperawatan yang telah direncanakan. Implementasi keperawatan
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan perawat untuk membantu pasien dari masalah
status kesehatan yang dihadapi menuju status kesehatan yang optimal. Pelaksanaan tindakan
merupakan realisasi dari intervensi keperawatan yang mencakup perawatan langsung atau
tidak langsung (Rinawati, 2023)

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu tahapan dari proses keperawatan dan merupakan
Tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh
dari diagnosis keperawatan, rencana intervensi keperawatan dan implementasi sudah berhasil
dicapai. Tahap evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor kesalahan yang terjadi
selama tahap pengkajian, analisis, perencanaan dan implementasi intervensi. Pada tahap ini
dilakukan kegiatan untuk menentukan apakah rencana keperawatan dan apakah bisa
dilanjutkan atau tidak, merevisi, atau bisa juga dihentikan (Risnawati, 2023)
Dapus :

Panggabean. M. Buku Ilmu Penyakit Dalam: Gagal Jantung. Volume 2. Jakarta: 2009

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI),

Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi

1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1,

Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai