Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN INTENSIF

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN DENGAN ACUTE DECOMPESATED HEART FAILURE (ADHF) DI RUANG
ICCU RSUP SANGLAH DENPASAR

OLEH :
PUTU DEWI DIAH PERTIWI
1902621048

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2020
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi/Pengertian
Acute decompensated heart failure (ADHF) didefinisikan sebagai onset tiba-
tiba dari tanda gejala gagal jantung yang memerlukan penanganan segera, disebut
juga dengan dekompensasi kordis. Dekompensasi kordis secara sederhana berarti
kegagalan jantung untuk memompa darah dalam memenuhi kebutuhan tubuh.
Dekompensasi kordis merupakan suatu keadaan dimana terjadi penurunan
kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa
jantung (Price, 2006; Ramli, Syafri, Fadil, dan Nindrea, 2018).
ADHF merupakan sindroma klinis yang mana terjadinya perubahan struktur
atau fungsional jantung yang mengarah pada ketidakmampuan untuk memompa
dan/atau mengakomodasi darah dengan tekanan yang fisiologis. Hal ini
menyebabkan keterbatasan fungsi dan memerlukan intervensi yang segera. Acute
Decompasated Heart Failure (ADHF) dapat berupa serangan baru tanpa kelainan
jantung sebelumnya atau dapat merupakan dekompensasi dari gagal jantung
kronik (chronic heart failure) yang telah dialami sebelumnya. (Hanafiah, 2006).
Jadi, ADHF merupakan kondisi kegagalan jantung dalam memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan tubuh akibat perubahan struktur atau fungsional
jantung dapat berupa serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya atau dapat
merupakan dekompensasi dari gagal jantung kronik (chronic heart failure) yang
telah dialami sebelumnya.
2. Epidemiologi/Insiden Kasus
American Heart Association menyatakan di Amerika terdapat 5,3 juta orang
yang mengalami gagal jantung dan setiap tahun terdiagnosis 600.000 kasus baru,
dengan insiden 10 per 1.000 orang (Haris, Rampengan, Jim, 2016). Kemenkes RI
(2018) menyatakan di Indonesia diperkirakan 1,5% penduduk Indonesia atau
sekitar 1.017.290 mengalami gagal jantung berdasarkan diagnosis dokter. Di Bali
sejumlah 16.481 (1,3%) penduduknya terdiagnosa penyakit jantung. Menurut
karakteristiknya, usia 75 tahun keatas (4,7%) dan jenis kelamin perempuan (1,6%)
menderita penyakit jantung.
3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Faktor spesifik yang menjadi pencetus hospitaliasi pasien dengan gagal
jantung adalah tidak cocoknya pengobatan atau karena pembatasan diet, hipertensi
yang tidak terkontrol, iskemia, aritmia, dan eksaserbasi COPD. Faktor lain, berupa
kondisi nonkardiak, yaitu disfungsi ginjal, diabetes mellitus, anemia, dan efek
samping pengobatan (NSAID, calcium-channel blockers, dan thiazolidinediones)
(Ramli, dkk., 2018).
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis
adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir, atau yang
menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal,
seperti regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat pada
keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada infark miokard atau kardiomiopati. Faktor lain
yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan
pengisian ventrikel (stenosis katup atrioventrikuler), gangguan pada pengisian,
dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif dan temponade jantung). Dari seluruh
penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah pada setiap kondisi
tersebut mengakibatkan gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer, atau
di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil (Price, 2006).
4. Patofisiologi terjadinya penyakit
Disfungsi kardiovaskuler dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari
mekanisme, seperti: (1) kegagalan pompa, terjadi akibat kontraksi otot jantung
yang lemah/inadekuat atau karena relaksasi otot jantung yang tidak cukup untuk
terjadinya pengisian ventrikel; (2) obstruksi aliran akibat adanya lesi yang
mencegah terbukanya katup atau menyebabkan peningkatan tekanan ruang
jantung, misalnya stenosis aorta, hipertensi sistemik dan koartasio aorta; (3)
regurgitasi yang dapat meningkatkan aliran balik beban kerja ruang jantung,
misalnya ventrikel kiri pada regurgitasi aorta atau atrium serta pada regurgitasi
mitral; (4) gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang
tidak selaras dan tidak efesien; dan (5) diskontinuitas sistem sirkulasi dimana
mekanisme ini memungkinkan darah lolos, misalnya luka tembak yang menembus
aorta (Ksatria dan Anggriyani, 2015).
Pada saat gagal jantung terjadi, tubuh melakukan proses adaptasi pada jantung
dan sistemik. Jika volume sekuncup salah satu ventrikel berkurang karena
kontraktilitas otot jantung yang menurun atau volume afterload yang berlebihan,
end diastolic volume dan tekanan di ruang tersebut akan meningkat. Hal ini dapat
memperpanjang serat miokardium saat fase diastolik akhir, yang kemudian
menyebabkan kontraksi serat otot yang lebih kuat saat fase sistolik (hukum
Starling). Jika kondisi ini berlangsung kronis, akan berakibat dilatasi ventrikel.
Hal ini akan memperbaiki cardiac output saat istirahat. Peningkatan tekanan
diastolik yang berlangsung kronis akan dijalarkan ke atrium dan ke sirkulasi
pulmoner serta vena sistemik. Lebih lagi, bertambahnya tekanan kapiler dapat
mendorong terjadinya transudasi cairan yang selanjutnya akan mengakibatkan
terjadinya edema pulmonal atau sistemik (Ksatria dan Anggriyani, 2015).
Cardiac output (COP) yang menurun, terutama bila diasosiasikan dengan
berkurangnya tekanan arteri atau perfusi ginjal, juga akan mengaktifkan beberapa
sistem neural dan humoral. Bertambahnya aktivitas sistem saraf simpatis, akan
menstimulasi kontraktilitas miokardium, detak jantung, dan tonus vena.
Perubahan yang terakhir adalah hasil dari kenaikan volume efektif darah sentral,
yang mendasari semakin meningkatnya preload. Walaupun adaptasi tersebut
dirancang untuk meningkatkan cardiac output, tetapi mekanisme tersebut dapat
juga merugikan. Takikardia dan peningkatan kontraktilitas dapat mempercepat
iskemia pada pasien dengan penyakit jantung koroner dan peningkatan preload
dapat memperburuk kongesti pulmoner.
Aktifasi sistem saraf simpatis juga meningkatkan resistensi pembuluh darah
perifer. Adaptasi ini dirancang untuk mengatur perfusi ke organ-organ vital, tetapi
jika berlebihan, mekanisme ini akan mengurangi aliran darah ginjal dan jaringan
yang lain. Resistensi pembuluh darah perifer juga merupakan faktor penentu
mayor dari afterload ventrikel kiri. Sehingga aktifitas simpatis yang berlebihan
dapat menekan fungsi jantung lebih jauh lagi (Ksatria dan Anggriyani, 2015).
Efek yang lebih penting dari cardiac output yang lebih rendah adalah
menurunnya aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus yang akan mendorong
terjadinya retensi garam dan cairan. Sistem renin angiotensin aldosteron juga
diaktifkan, mengakibatkan peningkatan lebih besar resistensi pembuluh darah
perifer dan afterload ventrikel kiri seperti halnya retensi garam dan cairan. Gagal
jantung diasosiasikan dengan bertambahnya tingkatan arginine vasopressin di
sirkulasi, yang juga bertindak sebagai vasokonstriktor dan inhibitor ekskresi air.
Sementara pelepasan atrial natriuretic peptide bertambah pada gagal jantung oleh
karena naiknya tekanan atrium, ada bukti tentang resistensi efek vasodilatasi dan
natriuretic (Ksatria dan Anggriyani, 2015).
Pathway terlampir
5. Klasifikasi
Salah satu klasifikasi yang sering digunakan pada penyakit gagal jantung,
yaitu klasifikasi berdasarkan abnormalitas struktural jantung yang disusun oleh
American Heart Association/American College of Cardiology (AHA/ACC) atau
berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas fungsional yang disusun oleh New
York Heart Association (NYHA).
Klasifikasi ACC/AHA Klasifikasi NYHA
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Pasien dengan penyakit jantung tetapi
berkembang menjadi gagal jantung. tidak ada pembatasan aktivitas fisik.
Tidak terdapat gangguan struktural atau Aktivitas fisik biasa tidak
fungsional jantung. menyebabkan kelelahan berlebihan,
palpitasi, dispnea atau nyeri angina
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktural Pasien dengan penyakit jantung dengan
jantung yang berhubungan dengan sedikit pembatasan aktivitas fisik.
perkembangan gagal jantung, tidak Merasa nyaman saat istirahat. Hasil
terdapat tanda dan gejala. aktivitas normal menyebabkan fisik
kelelahan, palpitasi, dispnea atau nyeri
angina.
Stadium C Kelas III
Gagal jantung yang simptomatis Pasien dengan penyakit jantung yang
berhubungan dengan penyakit struktural terdapat pembatasan aktivitas fisik.
jantung yang mendasari Merasa nyaman saat istirahat. Aktifitas
fisik ringan menyebabkan kelelahan,
palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium D Kelas IV
Penyakit struktural jantung yang lanjut Pasien dengan penyakit jantung yang
serta gejala gagal jantung yang sangat mengakibatkan ketidakmampuan untuk
bermakna saat istirahat walaupun telah melakukan aktivitas fisik apapun tanpa
mendapat terapi. ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung
dapat muncul bahkan pada saat
istirahat. Keluhan meningkat saat
melakukan aktifitas

Gagal jantung juga dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi, yaitu:


Berdasarkan onset
- Gagal jantung akut
- Gagal jantung kronik/kongestif
Berdasarkan lokasi
- Gagal jantung kanan
- Gagal jantung kiri
Berdasarkan fungsi dan timing
- Gagal jantung sistolik
- Gagal jantung diastolik

6. Gejala Klinis
Mayoritas pasien mengalami sesak napas memberat yang akut sehingga
membutuhkan pertolongan segera (Ponikowski, et al., 2016; Pauly, 2014)
a. ADHF: perburukan gejala gagal jantung kronis, ditandai dengan sesak napas
yang makin memberat, edema tungkai, ortopnea, ronki basah halus; rontgen
dada biasanya normal. Dapat dibagi berdasarkan profil hemodinamiknya
(perfusi-hangat, dingin dan kongesti-basah, kering)
b. Edema paru akut: sesak napas tiba-tiba disertai distress pernapasan dan
penurunan saturasi oksigen (<90%), ronkhi basah lebih dari ½ lapang paru
dapat disertai wheezing atau batuk darah
c. Syok kardiogenik didapati tanda klinis syok (hipoperfusi jaringan) dapat
berupa penurunan tekanan darah (90/60 mmHg) akral dingin, kesadaran
menurun, disertai nyeri dada dan sesak napas, lebih sering karena sindrom
koroner akut (NSTEMI atau STEMI)
d. Gagal jantung hipertensif: gejala mirip dengan ADHF atau edema paru akut,
namun fungsi ventrikel kiri baik dan ditemukan hipertensi
e. Gagal jantung kanan: sesak napas, asites, hepatomegali, edema tungkai, serta
tekanan jugular meningkat
Banyak tanda-tanda gagal jantung yang terjadi akibat retensi air dan natrium
yang biasanya akan membaik dengan cepat dengan pemberian terapi diuretik.
Riwayat medis pasien juga penting bagi penegakan diagnosis, dan gagal jantung
tidak lazim terjadi pada pasien tanpa adanya riwayat medis yang relevan, misalkan
riwayat infark miokard yang akan meningkatkan kemungkinan terjadinya gagal
jantung pada pasien dengan tanda dan gejala yang khas (Purwowiyoto, 2018).
Setelah diagnosis gagal jantung ditegakkan, sangatlah penting untuk
menentukan penyebabnya, terutama penyebab yang dapat dikoreksi. Gejala dan
tanda merupakan hal penting yang harus selalu dimonitor sebagai respon terapi
dan tanda kestabilan pasien dengan gagal jantung. Gejala yang menetap pada
pasien dengan terapi gagal jantung biasanya menandakan perlunya terapi
tambahan, dan perburukan gejala membutuhkan penanganan medis yang serius.
Berikut merupakan tanda dan gejala gagal jantung menurut ESC yang dikeluarkan
di tahun 2016 (Purwowiyoto, 2018).
Gejala Tanda
Tipikal Lebih spesifik
- Sesak napas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Reflek hepatojuguler
- Paroksismal nokturnal dispneu - Bunyi jantung 3 (gallop)
- Penurunan toleransi aktivitas - Impuls apikal yang bergeser ke
- Kelelahan, letih, dan kebutuhan lateral
waktu yang lebih banyak untuk - Bising jantung
istirahat setelah aktivitas
- Edema tungkai
Kurang tipikal Kurang spesifik
- Batuk malam - Edema perifer (tungkai, skrotal)
- Mengi - Krepitasi paru
- Peningkatan berat badan - Efusi pleura
>2kg/minggu - Takikardia
- Penurunan berat badan (pada - Pulsasi irregular
gagal jantung lanjut) - Takipneu (>16x/menit)
- Perasaan penuh - Hepatomegali
- Kurang nafsu makan - Asites
- Bingung (terutama pada usia - Kakeksia
tua)
- Depresi
- Palpitasi
- Sinkop

7. Pemeriksaan Fisik
Penilaian secara sistematik presentasi klinik sangat penting, meliputi riwayat
penyakit dan pemeriksaan fisik yang teliti. Penilaian perfusi perifer, suhu kulit,
peninggian tekanan pengisian tekanan vena sangat penting. Adanya sistolik
murmur dan diastolik murmur, demikian juga irama gallop sangat perlu dideteksi
pada auskulultasi bunyi jantung. Mitral insufisiensi sangat sering ditemukan pada
fase akut. Adanya stenosis aorta atau insufisiensi aorta juga harus dideteksi.
Kongesti paru dideteksi denngan auskultasi dada dimana ditemukan ronkhi basah
pada kedua basal paru dan kontriksi bronkhial seluruh lapangan paru sebagai
petanda peninggian dari tekanan pengisian ventrikel kiri. Tekanan pengisian
jantung kanan dapat dinilai dari evaluasi pengisian vena jugularis (Ksatria dan
Anggriyani, 2015).
8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
ADHF menurut Ksatria dan Anggriyani (2015), yaitu:
a. Pemeriksaan EKG, untuk melihat ada tidaknya infark miokardial akut dan
mengkaji kompensasi, seperti hipertropi ventrikel. Irama sinus atau atrium
fibrilasi, gelombang mitral, yaitu gelombang P yang melebar serta berpuncak
dua serta tanda RVH, LVH jika lanjut usia cenderung tampak gambaran atrium
fibrilasi.
b. Echocardiografi dapat membantu evaluasi miokard yang iskemik atau
nekrotik pada penyakit jantung koroner
c. Foto X-ray thorak untuk melihat adanya kongesti pada paru dan pembesaran
jantung
d. Sonogram : dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam
fungsi/struktur katup atau penurunan kontraktilitas ventrikular
e. Kateterisasi jantung: dapat menunjukkan tekanan abnormal merupakan
indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri,
dan stenosis katup atau insufisiensi, juga mengkaji fungsi arteri kororner. Zat
kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran abnormal dan
ejeksi fraksi/perubahan kontraktilitas.
f. Foto polos dada, terdiri dari:
- proyeksi A-P; konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung hilang,
cefalisasi arteria pulmonal
- proyeksi RAO; tampak adanya tanda-tanda pembesaran atrium kiri dan
pembesaran ventrikel kanan.
g. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan: (1) hematologi : hb, ht, leukosit; (2)
elektrolit : K, Na, Cl, Mg; (3) enzim jantung (CK-MB , troponin, LDH); (3)
gangguan fungsi ginjal dan hati : BUN, kreatinin, urine lengkap, SGOT,
SGPT; (4) gula darah; (5) kolesterol, trigliserida; dan (6) analisa gas darah.
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Ksatria dan Anggriyani (2015) menyatakan diagnosis ADH F ditegakkan
berdasarkan gejala, penilaian klinis, serta pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan
EKG, foto toraks, laboratorium, dan ekokardiografi doppler. Adapun kriteria mayor dan
minor, yaitu:
Kriteria mayor terdiri dari: Kriteria minor terdiri dari:
1. paroksismal nokturnal dyspnea 1. edema ekstremitas
2. distensi vena jugularis 2. batuk malam hari
3. ronkhi paru 3. dispneu d’effort
4. kardiomegali 4. hepatomegali
5. edema paru akut 5. efusi pleura
6. suara gallop S3 6. penurunan kapasitas vital 1/3
7. peningkatan tekanan vena dari normal
jugularis > 16 cmH2O 7. takikardia (>120x/menit)
8. refluks hepatojugular
9. waktu sirkulasi > 25 detik
Kriteria mayor ataupun minor : kehilangan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari
sebagai respon terhadap pengobatan.
Diagnosis pasti gagal jantung apabila memenuhi dua kriteria mayor, atau satu
kriteria mayor dan dua kriteria minor.

10. Therapy/Tindakan Penanganan


Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah sebagai
berikut:
a) Menurunkan kerja jantung
b) Meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miocard
c) Menurunkan retensi garam dan air
d) Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung
e) Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-
bahan farmakologis
f) Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretic
diet dan istirahat .
Pelaksanaannya meliputi:
a) tirah baring: kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal
jantung kongesti tahap akut dan sulit disembuhkan.
b) pemberian diuretik: pemberian terapi diuretik bertujuan untuk memacu
ekskresi natrium dan air melalui ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien
bersedia merespon pembatasan aktivitas, digitalis, dan diet rendah natrium.
c) pemberian morphin: untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi
perifer, menurunkan aliran balik vena dan kerja jantung, menghilangkan
ansietas karena dispnea berat.
d) reduksi volume darah sirkulasi: dengan metode plebotomi, yaitu suatu
prosedur yang bermanfaat pada pasien dengan edema pulmonal akut karena
tindakan ini dengan segera memindahkan volume darah dari sirkulasi
sentral, menurunkan aliran balik vena dan tekanan pengisian serta
sebaliknya menciptakan masalah hemodinamik segera.
e) terapi vasodilator: obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada
penatalaksanaan gagal jantung. Obat ini berfungsi untuk memperbaiki
pengosongan ventrikel danpeningkatan kapasitas vena sehingga tekanan
pengisian ventrikel kiri dapat diturunkan dan dapat dicapai penurunan
dramatis kongesti paru dengan cepat.
f) terapi digitalis: digitalis adalah obat utama yang diberikan untuk
meningkatkan kontraktilitas (inotropik) jantung dan memperlambat
frekuensi ventrikel serta peningkatam efisiensi jantung. Ada beberapa efek
yang dihasilkan, seperti peningkatan curah jantung, penurunan tekanan
vena dan volume darah, dan peningkatan diuresis yang mengeluarkan
cairan dan mengurangi edema.
g) inotropik positif terdiri dari:
- dopamine: pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alpha-
adrenergik beta-adrenergik dan reseptor dopamine ini mengakibatkan
keluarnya katekolamin dari sisi penyimpanan saraf, memperbaiki
kontraktilitas curah jantung dan isi sekuncup, dilatasi ginjal-serebral
dan pembuluh koroner. Pada dosis maksimal 10-20 mg/kg BB akan
menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung.
- dobutamin: merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip dopamine
memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokonstriksi
dan takikardi.
h) dukungan diet (pembatasan natrium): pembatasan natrium ditujukan untuk
mencegah, mengatur, atau mengurangi edema, seperti pada hipertensi atau
gagal jantung. Dalam menentukan ukuran sumber natrium harus spesifik
dan jumlahnya perlu diukur dalam milligram.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian (Data Subjektif dan Objektif)
- Data subjektif terdiri dari:
a. Keluhan utama pasien
b. Alasan MRS pasien
c. Riwayat kesehatan dan penyakit pasien
d. Riwayat kesehatan keluarga pasien
- Data objektif terdiri dari:
a. Breathing
Pengkajian dan observasi mengenai kepatenan jalan napas pasien, pola
napas, irama, pergerakan dinding dada, suara napas tambahan, respiration
rate, penggunaan alat bantu napas
b. Blood
Perlu diobservasi setiap jam di intensif berupa SaO2, CRT, tekanan darah,
MAP, CVP, turgor kulit untuk menghindari penurunan kardiak output secara
terus menerus. Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya
normal, batas jantung mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit
pucat, ikterus, CRT memanjang (>3 detik).
c. Brain
Klien bisa mengalami penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer
apabila gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran,
besar dan reflek pupil terhadap cahaya
d. Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, serta dikaji pula kelainan
pada genetalia dan pola eliminasi urine, serta nyeri saat berkemih.
Observasi balance cairan dengan memperhitungkan output urin (normal :
0.5 – 1 cc/kgBB/jam). Pada pemeriksaan ginjal meliputi cek urine output,
cek status cairan dan balance kumulatif, cek kadar ureum dan kreatinin
darah
e. Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola
eliminasi alvi, adakah kelainan pada anus, adakah nyeri tekan pada
abdomen, kesulitan defekasi, keinginan defekasi. Jika pasien sudah sadar,
observasi adanya mual dan muntah termasuk nafsu makan, frekuensi
makan, dan konsistensi feses. Pada pemerikasaan pencernaan, cek Naso
Gastrik Tube (NGT) jika ada, cek jenis makanan, kecepatan, dan toleransi,
auskultasi peristaltik, dan kapan terakhir BAB.
f. Bone, terdiri dari:
- Kaji adanya nyeri pada bagian ekstremitas
- Kaji adanya luka : luas, warna, kedalaman
- Evaluasi kemampuan pasien untuk memenuhi ADL, pasien tirah baring
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, yaitu:
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
jantung, perubahan preload, after load ditandai dengan palpitasi,
bradikardia/takikardia, gambaran EKG aritmia, lelah, edema, distensi vena
jugularis, hepatomegali, dispnea, murmur jantung, berat badan bertambah,
paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea, batuk, terdengar suara jantung S3,
sianosis, nadi perifer teraba lemah, tekanan darah meningkat/menurun
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi perubahan
ditandai dengan dispneu, ortopneu
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen
dengan kebutuhan tubuh, kelemahan ditandai dengan pasien mengatakan letih
terus menerus sepanjang hari, sesak nafas saat aktivitas, tanda vital berubah
saat beraktivitas
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan meningkatnya beban awal,
penurunan curah jantung sekunder terhadap gagal jantung ditandai dengan
peningkatan berat badan, oedema, asites, hepatomegali, bunyi nafas krekels,
wheezing.
e. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan ditandai dengan tampak
meringis, adanya laporan nyeri, perubahan tanda-tanda vital.
DAFTAR PUSTAKA

Hanafiah, A. (2006). Buku ajar kardiologi. Jakarta: Universitas Indonesia Jakarta.


Haris, D.E., Rampengan, S.H., & Jim, E.L. (2016). Gambaran pasien gagal jantung akut yang
menjalani rawat inap di RSUP Prof Dr. R. D. Kandou periode September-November
2016. Jurnal e-Clinic (eCl), 4(2).
Kemenkes RI. (2018). Laporan nasional riskesdas 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.
Ksatria, F.T. & Anggriyani, N. (2015). Gambaran peresepan spironolactone pada pasien gagal
jantung di rsup dr. kariadi semarang. Media Medika Muda, 4(4), halaman 1743-1750.
Pauly, D.F. (2014). Managing acute decompensated heart failure. Cardiol Clin, 32(1),
halaman 145–149.
Ponikowski, P., et al. (2016). ESC guidelines for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure: The task force for the diagnosis and treatment of acute and
chronic heart failure of the European Society of Cardiology (ESC) developed with the
special contribution of the Heart Failure Association (HFA) of the ESC. Eur Heart J,
37(27), halaman 2129–21200.
Price, S.A. (2006). Patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta: EGC.
Purwowiyoto, S.L. (2018). Gagal Jantung Akut: Definisi, Patofisiologi, Gejala Klinis, dan
Tatalaksana. CDK-263, 45(4), halaman 310-312.
Ramli, D., Syafri, M., Fadil, M., & Nindrea, R.D. (2018). Relationship between of lactate
clearance with major cardiovascular events in patients with acute decompensated heart
failure. Indonesian Journal of Cardiology, 39(4), halaman 166-173.
3. Rencana Keperawatan
MASALAH
NO. TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI
KEPERAWATAN
1 Risiko penurunan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x NIC Label: Cardiac Care
curah jantung … jam, diharapkan curah jantung efektif, dengan 1. Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas, lokasi, durasi)
kriteria hasil: 2. Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac
NOC Label: Cardiac Pump Effetiveness output
1. Tidak ada sesak napas 3. Monitor status kardiovaskuler
2. Tidak ada bunyi jantung tambahan 4. Monitor balance cairan
3. Tidak ada distensi vena jugularis 5. Atur periode latihan dan istirahat untuk menghindari
4. Intake dan output cairan seimbang kelelahan
5. Tekanan darah normal 100-140 mmHg sistole dan 6. Monitor toleransi aktivitas pasien
80-100 mmHg diastole 7. Monitor adanya dispneu, fatigue, takipneu dan
6. Nadi dalam rentang normal (60-100 kali/menit) ortopneu
7. Tidak ada sianosis 8. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
8. Dapat mentoleransi aktivitas, tidak ada kelelahan 9. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah
9. Tidak ada penurunan kesadaran aktivitas
10. Monitor jumlah dan irama jantung
11. Monitor bunyi jantung
NOC Label : Circulation Status 12. Monitor sianosis perifer
1. Saturasi oksigen lebih dari sama dengan 95% 13. Instruksikan pasien dan keluarga untuk pembatasan
2. CRT kurang dari 2 detik aktivitas
3. Produksi urin lebih dari 44,5 cc/jam
NIC Label : Respiratory Monitoring
NOC Label : Cardiopulmonary Status 1. Monitor dan catat pergerakan dada dan penggunaan
1. Kecepatan respirasi 16-20x/menit otot bantu napas
2. Ritme jantung normal reguler 2. Monitor dan catat SaO2 dan perubahan AGD
3. Tidak bernapas dengan mengungakan otot bantu 3. Berikan oksigen sesuai indikasi
napas 4. Bersihkan jalan napas dari sekret
4. Tidak melakukan purse lip breathing
NIC Label: Hemodinamic Regulation
1. Auskultasi suara paru terhadap krekels dan bunyi lain.
2. Kolaborasi dalam pemberian medikasi positive
inotropic/contractility, serta medikasi anti aritmia.
3. Pantau efek samping dari pemberian medikasi positive
inotropic/contractility, serta medikasi anti aritmia.
4. Monitor nadi perifer, CRT, serta warna dan suhu
ekstremitas.
5. Monitor edema perifer, distensi vena jugularis, dan
suara jantung S1, S2.
6. Berikan posisi semi-fowler.

2 Gangguan pertukaran Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x NIC Label: Acid-Base Management
gas …. jam diharapkan pertukaran gas pada alveoli 1. Pantau hasil pemeriksaan analisa gas darah
kembali efektif dengan kriteria hasil: 2. Kaji adanya pengeluaran asam/basa berlebih dari tubuh
NOC Label: Respiratory Status: Gas Exchange 3. Kolaborasi pemberian medikasi untuk mengkoreksi
1. PO2 dalam rentang normal (80-100 mmHg) keseimbangan asam-basa
2. PCO2 dalam rentang normal (35-45) 4. Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi
3. pH darah dalam rentang normal (7,35-7,45)
4. HCO3- dalam rentang normal (22-26 mmol/L) NIC Label: Airway Management
5. BE dalam rentang normal (-2 s/d +2) 1. Auskultasi adanya suara napas tambahan
6. SaO2 dalam rentang normal 2. Kaji frekuensi, irama, dan kedalaman napas pasien
3. Berikan posisi semifowler
NOC Label: Respiratory Status: Ventilation 4. Kolaborasi pemberian bronkodilator
1. Tidak ada sesak napas
2. RR dalam rentang normal (16-20 kali/menit)
3. Tidak ada suara napas tambahan
4. Tidak ada penggunaan otot bantu napas
3 Intoleransi aktivitas Setelah diberikan asuhan keperawatan selama NIC Label: Energy Management
…..x….. diharapkan intoleransi aktivitas kx teratasi 1. Kaji keterbasan fisik klien
dengan criteria hasil : 2. Tentukan penyebab kelelahan dari pasien (misalnya
NOC Label: Fatigue Level nyeri dan pengobatan)
1. Kelelahan berkurang 3. Monitor respon dari fungsi kardiorespiratori terhadap
2. Saturasi oksigen dapat terkontrol aktivitas (seperti takikardia, dispnea, diaphoresis, RR)
4. Tingkatkan istirahat atau batasi aktivitas pasien.
NOC Label: Respiratory status
1. RR dalam batas normal (16-20x/mnt) NIC Label: Oxygen Therapy
1. Berikan oksigen sesuai indikasi.
NOC Label : Activities of Daily Living (ADL) 2. Monitor efektivitas terapi oksigen
1. Hygiene pasien dapat terpenuhi.
NIC Label: Self Care Assistance
1. Monitor kemampuan pasien untuk memenuhi
kebutuhan self care
2. Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan self care
sampai pasien bisa mandiri
4 Kelebihan volume Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x … NIC Label: Fluid Management
cairan jam diharapkan tercapai keseimbangan antara asupan 1. Pertahankan keakuratan intake dan output cairan.
dan haluaran cairan, dengan kriteria hasil: 2. Monitor hasil lab yang berhubungan dengan retensi
NOC Label: Fluid Balance cairan (peningkatan BUN, peningkatan hematokrit,
1. Tekanan darahdalam batas normal(tekanan darah peningkatan osmolaritas urine)
sistolik berada dalam rentang 110-129 mmHg dan 3. Monitor tanda-tanda vital
tekanan darah diastolik berada dalam rentang 70- 4. Monitor indikasi dari kelebihan volume cairan/retensi
89 mmHg). seperti peningkatan CVP, edema, distensi vena
2. Denyut nadi dalam batas normal (60-100x/menit). jugularis.
3. Tercapai keseimbangan intake dan output cairan. 5. Kaji lokasi dan faktor pemicu edema.
4. Turgor kulit elastis.
5. Membran mukosa lembab. NIC Label: Fluid Monitoring
1. Monitor intake dan output tiap hari.
2. Monitor serum albumin dan total protein level.
3. Monitor serum dan osmolalitas urine.

NIC Label: Hypervolemia management


1. Monitor perubahan pada edema perifer.
2. Elevasi tungkai yang mengalami edema
3. Kolaborasi pemberian diet rendah garam.
4. Anjurkan pasien untuk meningkatkan istirahat.
5. Lakukan kompresi pada bagian tubuh yang edema.
6. Kolaborasi pemberian diuretik.
5 Nyeri akut Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … x NIC Label : Pain Management
…jam diharapkan nyeri yang dirasakan pasien 1. Melakukan pengkajian yang komprehensif yang
berkurang dengan kriteria hasil: meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
NOC Label : Pain Control kualitas, intensitas atau beratnya nyeri serta faktor
1. Pasien dapat menggunakan analgesik yang pencetus.
direkomendasikan untuk mengurangi nyeri 2. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
yang dirasakan ketidaknyamanan klien (suhu ruangan, cahaya, dan
NOC Label : Pain Level suara)
1. Nyeri yang dirasakan pasien berkurang 3. Berkolaborasi dengan tim kesehatan lain mengenai
2. Pasien tidak menunjukkan ekspresi wajah nyeri pemberian analgesik untuk meurunkan nyeri yang
(meringis). dirasakan pasien.
4. Mengajarkan penggunaan teknik terapi pengalihan rasa
nyeri non farmakologi seperti terapi relaksasi napas
dalam, guided imagery, distraksi.

NIC Label: Vital Sign Monitoring


1. Pantau tanda-tanda vital pasien (tekanan darah, nadi,
suhu dan respirasi)

Anda mungkin juga menyukai