Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung adalah sindrom kompleks dimana jantung tidak


mampu lagi untuk memompakan darah secukupnya dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi untuk metabolisme tubuh, biasanya karena jantung
melemah atau kaku (NHS, 2021; Malik, Brito, Vaqar, et al, 2021).
Mekanisme yang mendasari ini adalah kerusakan sifat kontraktilitas dan
ventrikel yang tidak mampu untuk memompakan darahnya sebanyak darah
yang masuk saat fase diastolik. Hal ini menyebabkan tingginya volume
ventrikel pada akhir diastolik (Nugroho, et al., 2016). Pada gagal jantung
terjadi kerusakan atau masalah dalam pengisian atau ejeksi ventrikel ke
sirkulasi sistemik. Menurut American Heart Assosiation (2017), gagal
jantung adalah kondisi kronis dan progresif dimanaotot jantung tidak dapat
memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan darah dan
oksigen yang pada dasarnya, jantung tidak bisa mengikuti beban kerjanya.

Gagal jantung merupakan sindrom klinik yang bersifat kompleks,


dapat berakibat dari gangguan pada fungsi miokard (fungsi sistolik dan
diastolik), penyakit katup ataupun perikard, atau hal-hal yang dapat
membuat gangguan pada aliran darah dengan adanya retensi cairan,
biasanya tampak sebagai kongesti paru, edema perifer, dispnu, dan cepat
lelah. Siklus ini dipicu oleh meningkatnya regulasi neurohormonal yang
awalnya berfungsi sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan
sistem Frank–Starling, tetapi justru menyebabkan penumpukan cairan yang
berlebih dengan gangguan fungsi jantung (PERKI, 2020). Gagal jantung
didefinisikan sebagai abnormalitas dari struktur jantung atau fungsi yang
menyebabkan kegagalan dari jantung untuk mendistribusikan oksigen ke
seluruh tubuh. Secara klinis, gagal jantung merupakan kumpulan gejala
yang kompleks dimana seseorang memiliki tampilan berupa gejala gagal
jantung, tanda khas gagal jantung dan adanya bukti obyektif dari gangguan

1
struktur atau fungsi jantung saat istirahat. (PERKI, 2020).

Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa gagal jantung


disebabkan karena gangguan kontraktilitas jantung sehingga kemampuan
jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh menurun. Hal ini dapat
mempengaruhi fungsi organ tubuh lainnya, seperti gangguan fungsi ginjal,
hati, hingga ke sistemik. Bila penyakit gagal jantung tidak diatasi dengan
tepat maka kemampuan hidup pasien tidak optimal bahkan jumlah pasien
yang meninggal akibat gagal jantung akan meningkat.

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko Gagal Jantung

Secara garis besar, etiologi dari terjadinya gagal jantung dapat


dikelompokan sebagai berikut.
 Kegagalan miokard (disfungsi miokard)
 Gangguan mekanis
 Peningkatan kebutuhan metabolik (demand overload)
 Gangguan irama jantung
Gagal jantung kongestif disebabkan oleh abnormalitas struktur dan
fungsi jantung, serta faktor predisposisi lainnya. Factor predisposisi utama
yang seringkali menyebabkan gagal jantung ialah penyakit jantung coroner
dan diabetes mellitus (Malik, Brito, Vaqar, et al, 2021). Namun demikian,
gagal jantung juga dapat disebabkan oleh kondisi seperti hipertensi,
penyakit katup jantung, aritmia tidak terkontrol, miokarditis, pericarditis,
kardiomiopati dan penyakit jantung bawaan (Malik, Brito, Vaqar, et al,
2021; Ziaeian & Fonarow, 2016). Gagal jantung kongestif dapat juga
disebabkan oleh defisiensi nutrisi,obesitas, severe anemia, thyrotoxicosis
(Reddy et al, 2016). Kondisi tersebut tidak secara langsung menyebabkan
gagal jantung, melainkan memperparah kondisi gagal jantung. Hal ini
dikarenakan dapat meningkatkan kebutuhan (demand) sistemik, sedangkan
kemampuan pompa jantung menurun. Di sisi lain, penyebab utama gagal
jantung kongestif dekompensasi (ADHF) meliputi terapi obat tidak teratur,
konsumsi garam berlebih, dan penurunan aktivitas fisik serta yang utama
yaitu hipertensi tidak terkontrol (Lind, Ingelsson, Sundstrom, et al, 2021).

2
Berikut faktor risiko yang berhubungan dengan gagal jantung :

1. Faktor resiko yang dapat menyebabkan gagal jantung :


 Infeksi seperti pneumonia
 Aritmia
 Infark miokard
 Anemia
 Konsumsi alkohol secara berlebih
 Ketidakpatuhan terhadappengobatan hipertensi
 Gangguan tiroid sepertitirotoksikosis
 Emboli paru
 Kehamilan
2. Faktor yang memperburuk kondisi gagal jantung :
 Gagal jantung tingkat yang lebihtinggi
 Diabetes melitus
 Penurunan fungsi ejeksi ventrikelkiri (LVEF)
 Bunyi jantung (S3)
 Penurunan indek cardiac
 Peningkatan katekolamin plasma dan konsentrasi natreuretik peptida
Menurut Sumber: (Dakota, 2019)

2.3 Klasifikasi Gagal Jantung

Gagal jantung dibedakan dari beberapa jenis klasifikasi, diantaranya :

Menurut AHA (2017)


Pertama kali gagal jantung diperkenalkan oleh The New York
Heart Association (NYHA) tahun 1994. Gagal jantung terklasifikasi
menjadi beberapa kelas yaitu (Heidenreich et al, 2022) :
1. Kelas I : Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak
menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas fisik.
Pasien tidak mengalami fatique, palpitasi, dispnea
dan nyeri dada saat aktivitas.
2. Kelas II : Pasien dengan penyakit jantung yang
menyebabkan gangguan aktivitas fisik ringan.
Merasa nyaman ketika beristirahat, tetapi merasa
fatique, sesak, palpitasi dan nyeri dada jika

3
melakukan aktivitas biasa misalnya saat berjalan
cepat menaiki tangga.
3. Kelas III : Keterbatasan aktivitas fisik sangat terasa pada
pasien dengan cardiac disease. Nyaman
beristirahat tetapi merasakan gejala walaupun
hanya dengan aktivitas minimal.
4. Kelas IV : Pasien dengan penyakit jantung dimana aktivitas
fisik sangat terbatas dan gejala dirasakan walaupun
saat istirahat, bahkan ketidaknyamanan semakin
bertambah ketika melakukan aktivitas fisik apapun.
Menurut American College of Cardiology (ACC) dan
American Heart Association (AHA) tahun 2017
Gagal jantung terbagi atas atas 4 stadium berdasarkan kondisi
predisposisi pasien & derajat keluhannya yaitu (Gibson et al, 2021;
Heidenreich et al, 2022):

Gambar 1. Stadium Gagal Jantung Menurut ACC/AHA 2017


Sumber: Heidenreich et al (2022)
1. Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa
penyakit jantung struktural atau tanda dan gejala
gagal jantung. Pasien dalamstadium ini termasuk

4
mereka yang mengidap hipertensi, DM,
sindroma.
2. Stage B : Penyakit jantung struktural dengan disfungsi
ventrikel kiri yang asimptomatis. Pasien dalam
stadium ini dapat mengalami LV remodeling,
fraksi ejeksi LV rendah, riwayat IMA
sebelumnya.
3. Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan
gejala gagal jantung saat ini atau sebelumnya.
Ditandai dengan penyakit jantung.
4. Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter.
Gejala dapat muncul saat istirahat meski dengan
terapi maksimal dan pasien memerlukan rawat
inap.

Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik


Gagal jantung dapat disebabkan dari berbagai gangguan yang
mempengaruhi kemampuan jantung untuk berkontraksi (disfungsi
sistolik) atau fungsi relaksasi (disfungsi diastolik) ( Menurut Dakota,
2019).

1. Gagal Jantung Sistolik

Gagal jantung sistolik terjadi akibat terganggunya


kemampuan jantung untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh.
Hal ini disebabkan oleh adanya penekanan kotraktilitas
miokard. Gagal jantung sistolik akut terlihat pada miokarditis
virus, keracunan alkohol dan anemia. Sedangkan gagal
jantungsistolik kronis dapat terjadi setelah kardiomiopati atau
infark miokard. Gagal jantung ini juga dikenal dengan Heart
Failure with Reduced EjectionFraction (HFREF).

2. Gangguan Jantung Diastolik

Gangguan jantung diastolik, terjadi akibat dari pengisian


jantung yang terganggu. Hal ini bisa tampak pada wanita usia

5
lanjut. Penyebab gagal jantung diastolik diantaranya adalah
penyakit struktural, abnormalitas fisiologis, abnormalitas non
miosit maupun miosit. Gagal jantung ini seringdikaitkan dengan
istilah Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFPEF)
(Dakota, 2019).

Gagal Jantung Akut dan Kronik


1. Gagal jantung Akut
Gagal Jantung Akut adalah timbulnya gejala secara
mendadak, biasanya selama beberapa hari atau jam. Kondisi
klinis pasien gagal jantungakut (Acute Heart Failure), meliputi:
a. Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)
Merupakan gagal jantung akut yang didefinisikan sebagai
serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala – gejala atau
tanda – tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfungsi
ini dapat berupa disfungsi sistolik maupun diastolik,
abnormalitas irama jantung, atau ketidakseimbangan preload
dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru (acut
de novo) tanpa kelainan jantung sebelumnya (gagal jantung
menahun atau acute on cronic), atau dapat merupakan
dekompensasi dari gagal jantung kronik (chronic heart
failure) yang telah dialami sebelumnya (Rilantono, 2012).
b. Hipertensive Acute Heart Failure
- TD meningkat secara cepat
- Fungsi LV (Left Ventricle) relatif baik
- Sering disertai Edema paru
c. Edema Paru
- Dyspnea berat
- SpO2 < 90%, pada udara ruangan
- Terdapat ronchi basah pada kedua lapangan paru
d. Renjatan Kardiogenik
- Hipoperfusi jaringan
- TDS < 90 mmHg atau MAP menurun > 30 mmHg,

6
walaupun preload sudah dikoreksi
- Urine output < 0,5 ml/ Kg BB/ Jam
- Heart Rate > 60 kali/menit
e. High Output Failure
Hiperdinamik, kadang-kadang disertai adanya bendungan di
paru
f. Gagal Jantung Kanan
- Terdapat curah jantung rendah
- Tanda-tanda bendungan perifer seperti JVP
yang meningkat, hepatomegali, dan hipotensi

2. Gagal Jantung Kronik


Gagal jantung kronik adalah perkembangan gejala
selama beberapa bulan sampai bebarapa tahun. Jika penyebab
atau gejala gagal jantung akut tidak reversibel, maka gagal
jantung menjadi kronis (Hudak & Gallo, 2011).
Gagal Jantung Kanan dan Kiri
Gagal jantung kanan adalah kegagalan ventrikel kanan untuk
memompa secara adekuat. Gagal jantung kanan lebih jarang terjadi
dan hanya terjadi pada pasien dengan penyakit jantung bawaan dan
kor pulmonal. Gagal jantung kanan terjadi akibat akumulasi darah
sebelum masuk ventrikel kanan. Hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan atrium kanan dan vena sistemik sehingga terjadi akumulasi
cairan pada jaringan tubuh. Pasien dengan gagal jantung kanan
sering mengalami edema ( Menurut Dakota, 2019).
Gagal jantung kiri adalah kegagalan ventrikel kiri untuk
mengisi dan memompokan darah ke sistemik yang tidak adekuat.
Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam ventrikel dan
kongesti pada sistem vaskular paru. Gagal jantung kiri lebih banyak
terjadi pada praktek klinik. Gagal jantung jenis ini biasa terjadi pada
pasien dengan kardiomiopati dilatasi. Hal ini terjadi akibat
akumulasi darah sebelum masuk ventrikel kiri. Kondisi ini
mengakibatkan peningkatan tekanan di atrium kiri dan vena paru

7
sehingga terjadi akumulasi cairan di paru. Keluhan utama pada
gagal jantung ini adalah sesak nafas. (Menurut Dakota, 2019).
Gagal Jantung Berdasarkan Stevenson
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan
melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan
adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato
jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke
kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status
perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan
penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut
basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan
perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm).
Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
1. Kelas I (A) : Kering dan hangat (dry – warm)
2. Kelas II (B) : Basah dan hangat (wet – warm)
3. Kelas III (L) : Kering dan dingin (dry – cold)
4. Kelas IV (C) : Basah dan dingin (wet – cold)

Gambar 2. Gagal Jantung Berdasarkan


Stevenson Gagal Jantung Backward dan Forward
Gagal jantung forward terjadi oleh karena suplai darah tidak
cukup ke aorta. Rasa lelah terutama sewaktu melakukan pekerjaan

8
adalah gejala yang khas pada gagal jantung forward. Gagal
jantung backward terjadi apabila ventrikel kiri tidak mampu
memompakan darah yang datang dari vena pulmonalis dan atrium
kiri sehingga terjadi pengisian yang berlebihan di paru-paru. Gagal
jantung backward biasanya mangakibatkan edema paru.
Gagal Jantung Berdasarkan Killip
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita
infark miokard akut, dengan pembagian:
1. Derajat I : Tanpa gagal jantung.
2. Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal
paru, S3 galop peningkatan tekanan vena
pulmonalis, distritmia, dan peningkatan
frekwensi jantung.
3. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh
lapanganparu.
4. Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan
darah sistolik 90 mmHg), vasokonstriksi perifer
(oliguria, sianosis dan diaforesis), perubahan
status mental dan penurunan atau tak adanya
haluaran urin.

Gagal jantung berdasarkan Framingham


Dalam mendiagnosis gagal jantung kongestif, dipakai
kriteria Framingham yang ditunjukkan:
1. Kriteria mayor : Edema paru akut, kardiomegali, ronki paru,
hepatojugular refluks¸ paroximal nocturnal dispneu, gallop S3,
distensi vena leher, dan peninggian vena jugularis.
2. Kriteria minor : Edema ekstremitas, batuk malam hari, dispneu
d’effort,hepatomegali, efusi pleura, penurunan vital capacity 1/3
dari normal dan takikardi (> 120/menit).
Menurut Framingham seseorang dikatakan mengalami gagal
jantung bila memiliki 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dengan

9
2 kriteria minor.
Gagal Jantung Berdasarkan Left Ventricular Ejection Fraction
(LVEF)
LVEF merupakan pertimbangan penting dalam klasifikasi
pasien gagal janung karena perbedaan prognosis dan respon terhadap
penanganan dan manajemen gagal jantung serta banyak pemeriksaan
klinis didasarkan pada ejeksi fraksi (Heidenreich et al, 2022; Malik,
Brito, Vaqar, et al, 2021).

Gambar 3. Klasifikasi HF berdasarkan LVEF


Sumber : Heidenreich et al (2022)

Klasifikasi ini didasarkan pada gejala yang muncul dan besaran


LVEF, diantaranya terbagi atas:
1. Heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF),
merupakan gagal jantung dengan EF ≤ 40%
2. Heart failure with mid-range ejection fraction (HFmrEF),
merupakan gagal jantung dengan EF antara 41-49%
3. Heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF),
merupakan gagal jantung dengan EF ≥ 50%

10
2.4 Patofisiologi Gagal Jantung
Kerja jantung diatur oleh dua sistem yaitu :
1. Sistem pertama adalah regulasi secara intrinsik yang melibatkan respon
miokard untuk meregangkan serat-serat otot jantung sebelum proses
kontraksi (inotropik). Hal ini disebut preload dan melibatkan proses
pengisian jantung selama diastolik seperti volume diastolik akhir.
Respon miokard untuk meningkatkan kapasitas jantung setelah
kontraksi dimulai disebut afterload.
2. Sistem kedua merupakan regulasi secara ekstrinsik, yang melibatkan
respon jantung terhadap kondisi – kondisi seperti stimulasi neural,
hormon, obat dan penyakit. Setiap perubahan pada kedua sistem
tersebut menyebabkan gagal jantung. Selain itu, sirkulasi paru dan
perifer juga dapat memperburuk kondisi hemodinamik dari gagal
jantung.
Pada fase awal gagal jantung, terdapat 2 mekanisme yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki kontraktilitas miokard. Respon pertama
adalah dengan mekanisme Starling. Menurut Hukum Starling, suatu
peningkatan pada volume diastolik akhir (preload) menyebabkan jantung
memulai kontraksinya pada tekanan dan volume yang lebih tinggi. Volume
sistolik akhir akan sedikit meningkat, namun pada kondisi ini jantung akan
bekerja pada volume diastolik akhir yang lebih besar dan akibatnya akan
mengeluarkan volume stroke yang besar juga.
Mekanisme kedua adalah melalui aktivasi sistem saraf simpatik.
Sistem saraf simpatik bekerja melalui reseptor alfa dan beta adrenergik yang
pada awalnya akan memperbaiki curah jantung. Mekanisme ini
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan dinding jantung, dimana
kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya hipertropi miokard, pelemahan
sistem saraf simpatik, dan pengeluaran peptida natriuretik atrium.
Mekanisme sistem saraf simpatik ini, dalam waktu tertentu akan mengubah
gagal jantung kompensasi menjadi gagal jantung simptomatik yang akan
mempengaruhi kinerja ventrikel.

11
Ventrikel yang mengalami hipertropi menyebabkan abnormalitas
aliran koroner, morfologi kapiler, serta karakteristik mitokondria.
Mekanisme lain yang turut berperan dalam patogenesis gagal jantung adalah
aktivasi neurohormonal. Respon ini pada awalnya menguntungkan, Namun
selanjutnya akan menyebabkan perburukan pada gagal jantung. Respon ini
akan menghasilkan perubahan hemodinamik, seperti vasokontriksi dan
retensi cairan volume air. Selain itu juga menyebabkan reaksi inflamasi dan
berpengaruh pada pertumbuhan. Aktivasi reaksi neurohormonal dimulai dari
aktivasi sistem saraf simpatik.

Gambar 4. Mekanisme Kompensasi pada HF ( Sumber : Dakota 2019)

Selain aktivasi sistem saraf simpatik, mekanisme a9ktivasi


neurohormonal, ini juga melibatkan sistem Renin-angiotensin-aldosteron
(Renin-angiotensin-aldosteron system/ RAAS). Aktivasi RAAS berperan
dalam patogenesis gagal jantung. Sistem ini bertanggung jawab terhadap
respon maladaptif jangka panjang yang mengakibatkan perburukan gagal
jantung. RAAS diaktifkan oleh sistem saraf simpatik, menurunnya tekanan
arteri renal, hiponatremia, diuretik dan vasopresin. Hal ini menyebabkan
suatu jalur reaksi proteolitik yang mengakibatkan pembentukan angiotensin
II.Angiotensin II yang kemudian mengakibatkan berbagai respon

12
maladaptif. Beberapa efek dari angitensin II seperti vasokontriksi, retensi
natrium dan air, rasa haus, menjaga filtrasi glomerulus (GFR) serta
hipertropi vaskuler dan miokard. (Dakota, 2019)

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang ditemui pada pasien gagal jantung


berdasarkan tipe gagal jantung itu sendiri terdiri dari :
1. Gagal Jantung kiri, dengan tanda dan gejala berupa :
 Penurunan cardiac output: kelelahan, oliguri, angina, konfusi dan
gelisah, takikardi dan palpitasi, pucat, nadi perifer melemah, akral
dingin.

 Kongesti pulmonal: batuk yang bertambah buruk saat malam hari


(paroxysmal noctural dyspnea), dispnea, crackles, takipnea dan
orthopnea.
Tabel 1. Manifestasi Klinik Gagal Jantung

Sumber : PERKI (2020)


2. Gagal jantung kanan, dengan tanda dan gejala berupa: kongesti
sistemik yaitu distensi vena jugularis, pembesaran hati dan lien,
anoreksia dan nausea, edema menetap, distensi abdomen, bengkak pada
tangan dan jari, poliuri, peningkatan berat badan, peningkatan tekanan
darah atau penurunan tekanan darah karena kegagalan pompa jantung.

13
2.6 Komplikasi
2.6.1 Komplikasi akibat dari gagal jantung sendiri :
1. Aritmia dapat terjadi karena respon tarhadap peningkatan
katekolamin dan iskhemi miokard. Iskhemik atrial yang lama
dapat menimbulkan atrial fibrilasi.
2. Angina dan infark miokard terjadi akibat dari peningkatan kerja
otot jantung yang iskhemik atau akibat dari penurunan perfusi
arteri koroner akibat dari penurunan tekanan sistemik.
3. Syok terjadi akibat dari penurunan curah jantung.
4. Renal failure terjadi akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal.
5. Pembentukan emboli terjadi akibat bendungan dan stasis vena .
6. Hepatomegali akibat dari bendungan vena.
7. Efusi pleura: Dihasilkan dari peningkatan tekanan kapiler.
Transudasi cairan terjadi dari kapiler masuk ke dalam ruang
pleura. Efusi pleura biasanya terjadi pada lobus bawah darah.

2.6.2 Komplikasi akibat dari pengobatan :


1. Hypovolume akibat dari pemberian terapi diuretic disertai
pengeluaran cairan dan sodium yang berlebihan.
2. Hypokalemia akibat dari pengeluaran potasium yang berlebihan
akibatdari terapi diuretic
3. Intoksikasi digitalis akibat dari penggunaan digitalis
berlebihan,hipokalemi, gangguan fungsi renal.
4. Aritmia dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan elektrolit
maupunintoksikasi digitalis.
5. Infark miokard terjadi akibat dari beban kerja miokard yang
meningkatserta efek dari pemberian inotropik.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada pemeriksaan khusus yang dapat menegakkan diagnosis
gagal jantung. Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui
sejauh mana gagal jantung telah mengganggu fungsi-fungsi organ lain
seperti: hati, ginjal dan lain-lain. Pemeriksaan penunjang tersebut (PERKI,
2020) adalah :
14
2.7.1 Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal
jantung. Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti
paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru
yang menyebabkan atau memperberat sesak napas. Kardiomegali
dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.

2.7.2 Elektrokardiogram (EKG)


Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada
semua pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki
nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung jika
EKG normal, diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi
sistolik sangat kecil (< 10%).
2.7.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien gagal jantung,
meliputi :
1. Darah perifer lengkap: hemoglobin, leukosit, trombosit,
hematokrit
2. Analisa Gas Darah
3. Enzim Jantung (CK-MB, Troponin I atau T, LDH)
4. Gula Darah.
5. Elektrolit : K,Na,Mg.
6. Gangguan fungsi ginjal dan hati : BUN, Creatinin, Urinalisa,
estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR),SGOT,SGPT
7. Kolesterol,Trigliserida.
8. Pemeriksan BNP (Brain Natriuretic Peptide) neurohormonal
yang dilepaskan oleh ventrikel jantung (miokardium) sebagai
respon terhadap dekompensasi jantung dan volume overload,
sebagai diagnosis dini gagal jantung dan untuk memperkirakan
morbiditas dan mortalitas pada pasien gagal jantung.

15
Tabel 2. Interpretasi Nilai Serum BNP

Hasil Interpretasi
Serum BNP < 100 Normal / gagal jantung terkompensasi baik.
Serum BNP 100 – Gagal jantung terkompensasi baik.
200
Normal (usia lanjut, wanita, pengguna
Beta Blocker). Cor pulmonal (gagal
jantung kanan). Hipertensi, disfungsi
diastolic. Penyakit jantung
iskemik.
Serum BNP 200 – Gagal jantung terkompensasi ringan sedang.
400
Gagal jantung kronik terkompensasi.
Serum BN > 400 Gagal jantung kongestif yang berat
(hipovolemia)

Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai


gambaran klinis. Gangguan hematologi atau elektrolit yang
bermakna jarang dijumpai pada pasien dengan gejala ringan sampai
sedang yang belum diberikan terapi, meskipun anemia ringan,
hiponatremia, hiperkalemia, dan penurunan fungsi ginjal sering
dijumpai terutama pada pasien dengan terapi diuretik dan/atau ACE-
I, ARB, ARNI, atau antagonis aldosterone.

2.7.4 Ekokardiografi
Istilah ekokardiografi digunakan untuk semua teknik
pencitraan ultrasound jantung termasuk pulsed and continuous wave
Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI).
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan atau disfungsi jantung
dengan pemeriksaan ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan
secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Pengukuran
fungsi ventrikel untuk membedakan antara HFREF dan HFPEF
(PERKI, 2020).
Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam
mendiagnosis gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis

16
harus memenuhi tiga kriteria:
a. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
b. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau sedikit terganggu
(fraksi ejeksi > 45-50%)
c. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri
abnormal/kekauan diastolik)
d. Peningkatan kadar peptide natriuretic
Ekokardiografi transesofagus direkomendasikan pada
pasien dengan ekookardiografi transtorakal yang tidak adekuat
(obesitas, pasien dengan ventilator), pasien dengan kelainan katup,
pasien endocarditis, penyakit jantung bawaan atau untuk mengeklusi
thrombus di left atrial appendage pada pasien fibrilasi atrium.
Ekokardiografi dengan beban (dobutamin atau latihan) digunakan
untuk mendeteksi disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia
dan menilai viabilitas miokard pada keadaan hipokinesis atau
akinesis berat.

2.8 Penatalaksanaan

Menurut PERKI (2020), ada beberapa hal yang dapat


dilakukan untuk mencegah gagal jantung, diantaranya:
2.8.1 Non farmakologi

a. Manajemen perawatan diri


Manajemen perawatan diri dapat didefinisikan sebagai
tindakan- tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas
fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi
dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Manajemen perawatan diri mempunyai peran penting dalam
keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi
dampak bermakna untuk perbaikan gejala gagal jantung,
kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.
b. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien untuk berobat dapat mempengaruhi

17
morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan
literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non farmakologi.
c. Pemantaun berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setiap hari,
jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien
harus menaikkan dosis diuretik atas pertimbangan dokter.
d. Asupan cairan
Restriksi cairan 900 ml – 1,2 liter/hari (sesuai berat
badan) dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala
berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak
memberikan keuntungan klinis.
e. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pada pasien obesitas dengan
gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan
gagal jantung, menguragi gejala dan meningkatkan kualitas
hidup.
f. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada
gagal jantung berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia)
merupakan predikator penurunan angka mortalitas. Jika selama
6 bulan terakhir terjadi kehilangan berat badan > 6% dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien
didefinisikan sebagai kaheksia. Status malnutrisi pasien harus di
nilai dengan hati-hati.
g. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien
gagal jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan
efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah.

18
h. Aktivitas seksual
Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil)
mengurangi tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan
pada gagal jantung lanjut dan tidak boleh dikombinasikan
dengan preparat nitrat.

Terapi non farmakologis juga dapat dilakukan dengan


restriksi garam, penurunan berat badan, diet rendah garam dan
rendah kolesterol, tidak merokok dan dengan melakukan olahraga.
2.8.2 Terapi Farmakologi
Terapi Farmakologi, terdiri atas obat-obat golongan
(PERKI, 2020):
a. Penghambat ACE/ACE-I (captropil, lisinopril, ramipril)
Obat ini bekerja dengan menghambat konversi
angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 melalui angiotensin
converting enzyme (ACE). ACE-I harus diberikan pada semua
pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤ 40%, kecuali ada kontraindikasi.

b. B-blocker (bisoprolol, karvedilol)


Obat ini memiliki fungsi untuk memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung dan menurnkan mortalitas.
Kontraindikasi pemberian beta blocker: asma berat, AV blok
derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome (tanpa pacu jantung
permanen) dan sinus bradikardi.
c. Antagonis aldosterone
Penambahan obat antagonis aldosterone dosis kecil
harusdipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤
35% dan gagal jantung simtomatik berat (kelas fungsional III-IV
NYHA) tanpahiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.

19
d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan fraksi ejeksi ≤ 40 % yang tetap simptomatik walaupun
sudah diberikan ACE-I dan beta blocker optimal, kecuali
terdapat kontra indikasi.

e. ARNI (Angiotensin Receptor-Nefrilysin Inhibitor)


Pada pasien yang masih simtomatik dengan dosis
pengobatan ACE- I/ARB, beta blocker, dan MRA dapat juga
diberikan terapi baru sebagai pengganti ACE-I/ARB yaitu
ARNI (kombinasi molekuler valsartan-sacubitril). Sacubitril
merupakan penghambat enzim nefrilisin yang akan
menyebabkan memperbaiki remodelling miokard, diuresis, dan
natriuresis serta mengurangi vasokontriksi, retensi cairan dan
garam.
f. Ivabradine
Ivabradine bekerja memperlambat laju jantung melalui
penghambatankanal di nodus sinus, dan hanya digunakan untuk
pasien dengan irama sinus. Ivabradine menurunkan mortalitas
dan perawatan rumah sakit akibat gagal jantung pada pasien
gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun (LVEF ≤ 35
%, irama sinus, dan nadi ≥ 70 x/menit) yang pernah mengalami
rawat inap dalam 12 bulan terakhir.
g. Vasodilator lain (hidralazin – isosorbid dinitrat)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai
alternatif jika pasien intoleran terhadap ACE-I/ARB/ARNI.
h. Digoxin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial,
digoksin dapat digunakan untuk memperlambat laju ventrikel
yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 % dengan irama sinus, digoksin dapat
mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit

20
karena perburukan gagal jantung, tetapi tidak mempunyai efek
terhadap mortalitas.

i. Diuretik (furosemid, tiazid)


Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung
dengan tanda klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian
diuretik adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan
hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur
sesuai kebutuhan pasien untuk menghindari dehidrasi atau
retensi.
j. Obat inotropik lain (dopamin, dobutamin)
Obat inotropik berfungsi meningkatkan kontraksi otot
jantung dan curah jantung.
k. Anti aritmia
Obat antiaritmia menurunkan otomatisasi pacu jantung
ektopik lebih daripada nodus sinoatrial. Hal ini terutama dicapai
dengan menghambat secara selektif saluran natrium atau saluran
kalsium daripada sel yang didepolarisasi. Obat antiaritmia
dibagi menjadibeberapa kelas, yaitu (Dakota, 2019):
Kelas I : antagonis saluran (Na+)
 Ia (moderat) : kuinidin, prokainamid, disopiramid
 Ib (lemah) : lidokain, meksiletin, fenitoin
 Ic (kuat) : flekainid, propafenon
Kelas II : antagonis reseptor
beta
Kelas III : antagonis saluran K+ (amiodaron, sotalol)
Kelas IV : antagonis saluran Ca2+ (verapamil,
diltiazem)

21
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan

2.9.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari
proseskeperawatan yang meliputi:
1) Anamnesa
a. Identitas pasien
Nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis kelamin,
alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan,
tanggal masuk rumah sakit (MRS), nomor register, dan
doagnosa medik. Identitas Penanggung Jawab, meliputi:
nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, serta status
hubungan dengan pasien.
b. Keluhan utama
Keluhan yang paling sering menjadi alasan pasien
untuk meminta pertolongan pada tenaga kesehatan seperti,
dispnea, kelemahan fisik, dan edema sistemik.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama
dengan memberikan pertanyaan tentang kronologi keluhan
utama. Pengkajian yang didapat dengan gejala-gejala
kongesti vaskuler pulmonal, yakni munculnya dispnea,
ortopnea, batuk, dan edema pulmonal akut. Tanyakan juga
gejala-gejala lain yang mengganggu pasien.
d. Riwayat penyakit dahulu
Untuk mengetahui riwayat penyakit dahulu
tanyakan kepada pasien apakah pasien sebelumnya
menderita nyeri dada khas infark miokardium, hipertensi,
DM, atau hiperlipidemia. Tanyakan juga obat-obatan yang
biasanya diminum oleh pasien pada masa lalu, yang
mungkin masih relevan. Tanyakan juga alergi yang dimiliki
pasien (Wijaya & Putri, 2013).
e. Riwayat keluarga
Tanyakan pasien penyakit yang pernah dialami oleh

22
kelurga. Bila ada keluarga yang meninggal tanyakan
penyebab meninggalnya. Penyakit jantung pada orang
tuanya juga menjadi faktor utama untuk penyakit jantung
iskemik pada keturunannya.
f. Riwayat Pekerjaan dan Pola Hidup
Menanyakan situasi tempat pasien bekerja
danlingkungannya. Kebiasaan sosial dengan menanyakan
kebiasaan dan pola hidup misalnya minum alkohol atauobat
tertentu. Kebiasaan merokok dengan menanyakan tentang
kebiasaan merokok, sudah berapa lama, beberapa batang per
hari, dan jenis rokok. Data biografi juga merupakan data yang
perlu diketahui, yaitu dengan menanyakan nama, umur, jenis
kelamin, tempat tinggal, suku dan agama yang dianut oleh
pasien.

2) Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas/ istrirahat
Gejala : keletihan, kelemahan terus sepanjang hari,
insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat
istirahat atau pada pengerahan tenaga. Tanda: gelisah,
perubahan status mental (latergi, TTV berubah pada
aktivitas).
b. Sirkulasi

Gejala : riwayat hipertensi, episode gagal jantung


kanan sebelumnya, penyakit katup jantung, bedah jantung,
endokarditis, anemia, syok septik, bengkak pada kaki,
telapak kaki, abdomen, sabuk terlalu kuat (pada gagal
jantung kanan).
Tanda :
 Tekanan darah mungkin menurun (gagal pemompaan)
 Tekanan nadi menunjukan peningkatan volume
sekuncup
 Frekuensi jantung takikardia (gagal jantung kiri)
 Irama jantung: sistemik, misalnya: fibrilasi
atrium, kontraksi ventrikel prematur/ takikardia blok
jantung
 Nadi apikal disritmia
23
 Bunyi jantung S3 (gallop) adalah diasnostik, S4 dapat
terjadi, S1 dan S2 mungkin lemah
 Murmur sistolik dan diastolic dapat menandakan
adanya katup atau insufisiensi
 Nadi: nadi perifer berkurang, perubahan dalam
kekuatan denyutan dapat terjadi, nadi sentral mungkin
kuat, misal: nadi jugularis coatis abdominal terlihat
 Warna kulit: kebiruan, pucat, abu-abu, sianosis
 Punggung kuku: pucat atau sianotik dengan pengisian
kapiler lambat
 Hepar: pembesaran/ dapat teraba, reflek hepato
jugularis
 Bunyi napas: crackles, ronchi
 Edema: mungkin dependen, umum atau pitting,
khususnya padaekstremitas
 Distensi vena jugularis.

c. Integritas ego
Gejala : ansietas, khawatir, takut, stres yang
berhubungan dengan penyakit. Tanda berbagai manifestasi
perilaku seperti ansietas, marah, ketakutan.

d. Eliminasi
Gejala : penurunan berkemih, urine berwarna gelap,
berkemih malamhari (nokturnal), diare/ konstipasi.
e. Makanan/ cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual atau muntah,
penambahan berat badan signifikan, pembengkakan pada
ekstremitas bawah, diet tinggi garam atau makanan yang
telah diproses, lemak, gula, dan kafein, penggunaan
diuretik. Tanda: penambahan berat badan cepat, distensi
abdomen (asites), edema (umum, dependen, atau pitting).
f. Hygiene
Gejala : keletihan, kelemahan, kelemahan selama

24
aktivitas perawatan diri. Tanda: penampilan menandakan
kelalaian perawatan personal.

g. Neurosensori
Gejala : kelemahan, peningkatan episode pingsan.
Tanda: letargi, kuat fikir, disorientasi, perubahan perilaku.

h. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri
abdomen kanan. Tanda: tidak tenang, gelisah, perilaku
melindungi diri.
i. Pernapasan

Tanda dan gejala :


Terlihat sesak, frekuensi napas melebihi normal
 Kongesti Vaskular Pulmonal
Gejala : vaskular pulmonal adalah dispnea,
ortopnea, dispneanoktural proksimal, batuk, dan edema
pulmonal akut.
 Dispnea
Dispnea, dikarakteristikan dengan pernapasan
cepat, dangkal dan keadaan yang menunjukkan bahwa
pasien sulit mendapatkan udara yang cukup, yang
menekan pasien. Terkadang pasien mengeluh adanya
insomnia, gelisah atau kelemahan, yang disebabkan
oleh dispnea.
 Orthopnea
Ortopnea, ketidakmampuan untuk berbaring
datar karena dispnea, adalah keluhan umum lain dari
gagal ventrikel kiri yang berhubungan dengan kongesti
vaskular pulmonal. Perawat harus menentukan apakah
ortopnea benar-benar berhubungan dengan penyakit
jantung atau apakah peninggian kepala saat tidur adalah
kebiasaan pasien.

25
 Paroksimal Nokturnal Dispnea
Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND) adalah keluhan yang
dikenal baik oleh pasien yaitu pasien biasanya terbangun di
tengah malam karena mengalami napas pendek yang hebat.
Dispnea noktural proksimal diperkirakan disebabkan oleh
perpindahan cairan dari jaringan ke dalam kompartemen
intravaskular sebagai akibat dari posisi telentang. Pada siang
hari, saat pasien melakukan aktivitas, tekanan hidrostatik,
khususnya pada bagian bawah tubuh karena adanya gravitasi,
peningkatan volume cairan diserap kembali ke dalam sirkulasi.
Peningkatan volume cairan dalam sirkulasi akan memberikan
jumlah tambahan darah yang dialirkan ke jantung untuk dipompa
tiap menit (peningkatan beban awal) dan memberikan beban
tambahan pada dasar vaskular pulmonal yang telah mengalami
kongesti.
 Batuk
Batuk iritatif adalah salah satu gejala dari
kongesti vaskular pulmonal yang sering tidak menjadi
perhatian tetapi dapat merupakan gejala dominan.
Batuk ini dapat produktif tetapi biasanya kering dan
batuk pendek. Gejala ini dihubungkan dengan kongesti
mukosa bronkial dan berhubungan dengan peningkatan
produksi mukus.
 Edema Pulmonal
Edema pulmonal akut ini terjadi bila tekanan
kapiler pulmonal melebihi tekanan yang cenderung
mempertahankan cairan di dalam saluran vaskular
(kurang lebih 30 mmHg). Pada tekanan ini, akan terjadi
tranduksi cairan ke dalam alveoli, namun sebaliknya
tekanan ini akan menurunkan tersedianya area untuk
transpor normal oksigen dan karbon dioksida dari darah
dalam kapiler pulmonal. Edema pulmonal akut

26
dicirikan oleh dispnea hebat, batuk, ortopnea, ansietas,
sianosis, berkeringat, kelainan bunyi pernapasan, dan
sangat sering nyeri dada dan sputum berwarna merah
muda, berbusa yang keluar dari mulut.
 Inspeksi. Inspeksi tentang adanya parut pada dada, keluhan
kelemahanfisik, dan adanya edema ekstremitas.
 Palpasi. Denyut nadi perifer melemah. Thrill biasanya ditemukan.
 Auskultasi. Tekanan darah biasanya menurun akibat penurunan
volume sekuncup. Bunyi jantung tambahan akibat kelainan katup
biasanya ditemukan apabila penyebab gagal jantung adalah
kelainan katup.
 Perkusi Batas jantung mengalami pergeseran yang menunjukkan
adanyahipertrofi jantung (kardiomegali).

2.9.2. Diagnosa Keperawatan


Dari hasil analisa data, kita dapat kelompokan data hasil
pengkajian kedua bagian, data subjektif dan data objektif. Menurut
SDKI SLKI SIKI (2017), data- data tersebut dapat kita rumuskan
beberapa diagnosa keperawatan, meliputi:

1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan


afterload, perubahan frekuensi jantung, irama, kontraktilitas dan
perubahan preload (D.0008).

2. Pola nafas tidak efektif berhubungan penurunan energy


(D.0005).

3. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme


regulasi,gangguan aliran balik vena (D.0022).

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan

27
antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan, tirah baring
(D.0056).

5. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis


(D.0077).

6. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional ancaman


terhadapkematian (D.0080).

7. Manajemen kesehatan tidak efektif berhubungan dengan


kompleksitasprogram perawatan/ pengobatan (D.0116).

28
2.9.3 Rencana Asuhan Keperawatan
Tabel 3. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
1. Penurunan curah Luaran Utama: Perawatan Jantung (1.02075)
jantung berhubungan  Curah Jantung (L.02008) Observasi
dengan perubahan Setelah dilakukan asuhan  Identifikasi tanda / gejala primer penurunan curah jantung
afterload, perubahan keperawatan selama 1x24 jam, (dyspnea, kelelahan, edema, orthopnea, peningkatan CVP)
frekuensi jantung, curah jantung pasien adekuat  Identifikasi tanda / gejala sekunder penurunan curah jantung
irama, kontraktilitas dengan kriteria hasil: (peningkatan BB, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, kulit pucat,
dan perubahan - Edema berkurang distensi vena jugularis)
preload (D.0008) - Dispnea berkurang  Monitor tekanan darah
- Tidak terdapat gambaran  Monitor intake dan output cairan
ekg aritmia  Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
- EF membaik  Monitor saturasi oksigen
Luaran Tambahan:
 Monitor ekg 12 sadapan
 Status Sirkulasi  Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)

29
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
- Pulsasi nadi adekuat  Monitor nilai laboratorium jantung (elektrolit, enzimjantung,
- Output urine meningkat BNP, NTpro-BNP
- Saturasi oksigen meningkat  Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan sesudah
- Tekanan darah, MAP aktivitas
membaik  Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian
obat (mis. beta blocker, ACE inhibitor, calcium chanel
blocker)
Terapeutik
 Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki
kebawah atau posisi nyaman
 Berikan diit jantung yang sesuai (batasi asupan kafein,natrium,
kolesterol)
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gayahidup
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jikaperlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasioksigen >

30
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
94 %
Edukasi
 Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi dan bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake danoutput cairan
harian
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat antiaritmia, jika perlu
2. Pola nafas tidak efektif Luaran Utama: Manajemen Jalan Nafas (1.01011)
berhubungan penurunan  Pola Napas Observasi
energi (D.0005)  Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 1x24 jam,  Monitor bunyi nafas tambahan (mis. gurgling,

pola nafas pasien membaik wheezing, ronkhi kering)

dengan kriteria hasil: Terapeutik

- Fekuensi nafas normal  Pertahankan kepatenan jalan nafas

31
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
- Dispnea berkurang  Posisikan semifowler atau fowler
- Penggunaan otot bantu  Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
menurun  Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, mukolitik, jikaperlu
3. Hipervolemia Luaran Utama : Manajemen Hipervolemia (1.03114)
berhubungan dengan  Keseimbangan Cairan Observasi
gangguan mekanisme (L.03020) Setelah dilakukan  Periksa tanda dan gejala hypervolemia (mis. orthopnea, dispnea,
regulasi, gangguan aliran asuhan keperawatan selama edema, JVP/CVP meningkat, suara nafas tambahan)
balik vena 1x24 jam, cairan dalam tubuh  Identifikasi penyebab hypervolemia
(D.0022) pasien seimbang dengan  Monitor status hemodinamik (frekuensi jantung, tekanan darah,
kriteria hasil: MAP, CVP, PAP, PCWP, CO, CI), jikatersedia
- Keluaran urin membaik  Monitor intake dan output cairan

32
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
- Edema berkurang  Monitor tanda hemokonsentrasi (mis. kadar natrium,BUN,
- Tekanan darah hematokrit, berat jenis urine)
kembali normal  Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma(mis. kadar
- Berat badan menurun protein dan albumin meningkat)
 Monitor kecepatan infus secara ketat
 Monitor efek samping diuretik (mis. hipotensi
orthostatik, hipovolemia, hipokalemia, hiponatremia)
Terapeutik
 Timbang berat badan dan ukur lingkar perut setiap hari pada
waktu yang sama
 Batasi asupan cairan dan garam\
 Tinggikan kepala tempat tidur 30-40o
Edukasi
 Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5
mL/kgbb/jam dalam 6 jam

33
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
 Anjurkan melapor jika BB bertambah >1 kg dalamsehari
 Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan danhaluaran
cairan
 Ajarkan cara membatasi cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian diuretic
 Kolaborasi pemberian kalium akibat diuretik
4. Intoleransi aktivitas Luaran Utama: Manajemen Energi (I.05178)
berhubungan dengan  Toleransi Aktivitas Observasi
ketidak seimbangan (L.05047) Setelah dilakukan  Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
antara suplai dan asuhan keperawatanselama mengakibatkan kelelahan
kebutuhanoksigen, 1x24 jam, pasien kembali  Monitor kelelahan fisik dan emosional
kelemahan, tirah baring. toleran saat beraktivitas
 Monitor pola dan jam tidur
(D.0056)
dengan kriteria hasil:
 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukanaktivitas
- Kemudahan dalam
Terapeutik

34
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
melakukanaktivitas sehari-  Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah
hari meningkat stimulus(mis. cahaya, suara, kunjungan)
- Keluhan lelah berkurang  Lakukan latihan rentang gerak aktif dan/atau pasif
- Dispnea saat dan
 Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
setelah
 Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat
aktivitasberkurang
berpindah atau berjalan
- Tidak terdapat Edukasi
perasaan lemah
 Anjurkan tirah baring
- Tidak terdapat sianosis
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
- Tekanan darah dan
 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejalakelelahan
frekuensi nafasnormal
tidak berkurang
 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkanasupan
makanan

35
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
5. Nyeri akut berhubungan Luaran Utama: Manajemen Nyeri (I.08238)
dengan agen pencedera  Tingkat Nyeri (L.08066) Observasi
fisiologis (D.0077) Setelah dilakukan keperawatan  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,kualitas,
selama 1 x 24 jam, nyeri intensitas nyeri.
pasien hilang dengan kriteria  Identifikasi skala nyeri
hasil :  Identifikasi respon nyeri non-verbal
 Keluhan nyeri berkurang  Identifikasi faktor yang memperberat dan meringankannyeri
 Tidak gelisah  Monitor efek samping penggunaan analgetik
 Tekanan darah, nadi, dan Terapeutik
pola nafas normal  Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasanyeri
1. Kemampuan menuntaskan  Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
aktivitas meningkat  Fasilitasi istirahat dan tidur.
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihanstrategi meredakan nyeri
Edukasi

36
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasanyeri
Kolaborasi
 - Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

6. Ansietas berhubungan Luaran Utama: Reduksi Ansietas (1.09314)


dengan krisis situasional, Tingkat Ansietas (L.09093) Observasi
ancaman terhadap Setelah dilakukan intervensi  Identifikasi saat tingkat cemas berubah (mis. kondisi,waktu,
kematian (D.0080) keperawatan selama 1 x 24 stressor)
jam, cemas pasien berkurang  Monitor tanda-tanda cemas (verbal dan non verbal)
dengan kriteria hasil: Terapeutik
- Verbalisasi akibat  Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan

37
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
kondisi yangdihadapi kepercayaan
berkurang  Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
- Tidak menunjukkan memungkinkan.
perilaku gelisahdan/atau  Pahami situasi yang membuat cemas
tegang  Dengarkan dengan penuh perhatian
Tidak terdapat palpitasi  Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
 Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
Kecemasan
Edukasi

 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkindialami


 Informasikan secara factual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi.
 Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi

38
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
ketegangan
 Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
7. Manajemen kesehatan Luaran Utama: Edukasi Kesehatan (1.12383)
tidak efektif - Manajemen Kesehatan Observasi
berhubungan dengan (L.12104) Setelah dilakukan - Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerimainformasi
kompleksitas program keperawatan selama1 x 24 - Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan
perawatan / pengobatan jam, pasien dapat melakukan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat
(D.0116) manajemen kesehatan secara Terapeutik
optimaldengan kriteria hasil :  Sediakan materi dan media pendidikan Kesehatan
- Melakukan tindakan  Jadwalkan pendidikan Kesehatan sesuai kesepakatan
untukmengurangi faktor  Berikan kesempatan bertanya
resiko Edukasi
- Menerapkan program  Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhiKesehatan

39
Diagnosa
Keperawatan Luaran(SLKI) Intervensi(SIKI)
No.
(SDKI)
perawatan  Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat
- Aktivitas hidup sehari-hari  Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
efektif memenuhi tujuan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
Kesehatan
- Tidak menunjukkan
verbalisasi kesulitan dalam
menjalani program
perawatan

40
41

Anda mungkin juga menyukai